“Jika kita berangk`t sekarang, kira-kira sampai di Butong san (pegunungan Butong) siang atau malam?” tanya Cio San.
Cukat Tong berpikir sebentar lalu menjawab, “Siang”
“Ah, kalau begitu kita berangkat nanti saja, biar sampainya bisa tengah malam” kata Cio San.
“Kau mau menyusup ke sana?” Cukat Tong bertanya.
“Memangnya kau pikir aku mau datang ke sana secara baik-baik dan duduk mengobrol?” kata Cio San sambil tertawa.
Cukat Tong pun ikut tertawa. Tiba-tiba ia berkata,
“Eh, aku melihat kejadian saat kau di jembatan bersama perempuan itu. Siapa namanya?”
“Maksudmu Mey Lan? Kau lihat semuanya?” tanya Cio San
“Ya”
“Hahaha. Memalukan. Tidak perlu dibahas”
“Tidak memalukan. Aku justru bisa mengerti perasaanmu.”
Hanya laki-laki yang bisa mengerti perasaan sahabatnya. Mungkin itulah sebabnya persahabatan antar lelaki jauh lebih erat dan dalam, ketimbang persahabatan antar kaum perempuan.
Karena itu jugalah lebih banyak laki-laki yang lebih suka menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya ketimbang bersama kekasihnya.
“Yang tidak bisa kubayangkan adalah bagaimana perasaan Mey Lan setelah ia mengetahui siapa kau sebenarnya. Betapa tampan dan gagahnya kau, dan betapa terhormatnya kau di kalangan persilatan” tukas Cukat Tong
“Mungkin hal inilah yang membuatnya semakin benci terhadapku. Ia kira aku membohonginya selama ini.”
“Maka ia menyuruh suaminya untuk menghajarmu?”
“Ya”
“Aku sungguh tak mengerti perasaan wanita” kata Cukat Tong sambil geleng-geleng kepala.
“Kalau kau mengerti, tentunya kau sudah menjadi dewa”
“Dewa saja tidak mengerti”
“Kalau dewa saja tidak mengerti, lalu kira-kira siapa yang mengerti?” tanya Cio San
“Tidak ada yang bisa mengerti. Bahkan mereka saja tidak mengerti perasaan mereka sendiri”
”Kalau mereka sendiri juga tidak mengerti, lalu kenapa mereka meminta kaum lelaki untuk mengerti perasaan mereka?”
“Justru karena mereka tidak mengerti maka mereka meminta orang lain untuk mengerti perasan mereka”
“Entah kenapa jika berbicara tentang perempuan, kepalaku jadi pusing” kata Cio San tersenyum.
“Bukan hanya kepala yang pusing, tapi jantung juga berdebar” tambah Cukat Tong.
“Peredaran darah menjadi tidak lancar. Badan meriang dan perut mendadak mulas”
Mereka berdua tertawa.
“Tapi entah kenapa, jika tidak ada perempuan, hidup terasa jauh lebih menderita” kata Cukat Tong.
“Begitulah”
“Ada perempuan berarti banyak masalah. Tidak ada perempuan rasanya hidup terasa hampa. Kira-kira kau pilih yang mana?” tanya Cukat Tong.
“Aku memilih perempuan yang tidak mendatangkan masalah” jawab Cio San.
“Perempuan cantik, jumlahnya tidak terhitung di kolong langit ini. Tapi kalau perempuan yang tidak mendatangkan masalah, baru kali ini aku mendengar ada perempuan macam demikian” kata Cukat Tong.
“Ang Lin Hua tidak mendatangkan masalah” kata Bio San.
“Itu karena dia anak buahmu, coba kalau dia jadi kekasihmu…” Dengan sendirinya Cukat Tong tak perlu melanjutkan kata-katanya.
Memang begitulah adanya.
Perempuan akan terlihat manis dan baik hati saat pertama kau mengenalnya. Tapi jika ia sudah menjadi kekasihmu, dari hari ke hari ia berubah semakin garang dan ganas. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Tapi jarang ada lelaki yang mau membahasnya. Entah kenapa. Mungkin karena takut ketahuan bahwa ia salah satu dari golongan yang kalah garang dengan istrinya.
“Bagaimana dengan Khu Ling Ling? Ku perhatikan dia pun tertarik kepadamu” tanya Cukat Tong lagi.
“Entahlah. Aku belum terlalu mengenalnya. Tapi ia terlihat garang dan ganas kalau berkelahi”
“Perempuan yang ganas dan garang di luarnya, jika di ranjang mungkin saja berubah manja dan aleman. Sebaliknya perempuan yang terlihat manis dan pendiam di luarnya, bisa jadi berubah ganas dan garang di atas ranjang. Masa hal ini saja kau tidak tahu?”
“Aku belum berbuat yang aneh-aneh dengan perempuan” jawab Cio San sambil tersenyum lebar.
“Hah?” Cukat Tong hanya melongo. Tapi ia percaya. Jika Cio San bilang matahari terbit di barat dan tenggelam di timur pun dia akan percaya.
“Kau yang gagah dan menarik ini masa kalah dengan Suma Sun yang diam dan dingin seperti batu itu? Dia kalau urusan perempuan memang sudah sangat ahli.”
“Dari mana kau tahu? Memangnya kau sudah pernah tidur dengan Suma Sun?” tanya Cio San sambil tertawa.
“Haha. Setiap hari pekerjaannya kan mengunjungi rumah bordil.”
“Mengunjungi rumah bordil kan tidak berarti ia tidur dengan perempuan”
“Jadi maksudmu dia ke rumah bordil hanya untuk sarapan dan minum teh?”
“Aku puluhan kali ke rumah bordil juga tidak berbuat apa-apa. Hanya mengunjungi markas rahasia Mo Kauw”
“Berarti maksudmu Suma Sun juga mengerjakan hal lain di rumah bordil?”
“Semua orang kan punya rahasia. Masa Suma Sun tidak boleh punya rahasia?”
Arak seperti tak pernah habis dan obrolan seperti tak pernah selesai. Dua orang sahabat duduk santai menikmati sejuknya hutan dan hangatnya tawa dan canda.
Hal yang paling berharga adalah kenangan.
Karena itu selalulah berbuat baik agar kenangan yang tertinggal adalah kenangan indah.
Perpisahan dan kesedihan selalu mengintai hidup manusia.
Jika tidak menghargai apa yang kita miliki,
Bukankah di masa depan akan menangis menyesal?
“Saatnya berangkat” kata Cukat Tong.
“Baiklah”
Terbang.
Bumi terlihat begitu indah. Manusia terlihat begitu kecil.
Hidup sedemikan rapuh, mengapa masih rakus meraih dunia?
Satu persatu manusia mati. Namun bumi dan alam tetaplah indah.
Nyawa manusia hanya bagai dedaunan yang rontok di musim gugur.
Begitu kecil, begitu hina, begitu tak berharga.
Dibandingikan alam seluas ini, apalah arti manusia?
Yang terbaik adalah berbuat baik
Karena dengan begitu barulah manusia memiliki sedikit arti
Perjalanan itu akhirnya sampai juga.
Butongsan dengan segala keindahannya. Dengan segala kemegahan, dan keagungannya. Di gunung inilah berdiri salah satu partai persilatan yang paling dihormati dan disegani di muka bumi. Butong Pay. Mendengar namanya saja, orang akan tertunduk segan, dan berbinar kagum. Mendengar namanya saja, hati orang jerih dan tangan gemetaran.
Kini malah ada dua orang ‘bodoh’ menerobos dan menyusup masuk.
Jika bukan karena telah memakan nyali harimau, tentu hanya orang pikun yang berani menyusup ke sana.
Kedua orang ini tidak pernah makan nyali harimau, dan bukan orang pikun.
Memangnya kalau bukan dua orang ini yang menyusup Butong Pay, siapa lagi yang bisa?
Kedua orang ini sekarang telah berada di puncak tertinggi Butongsan. Tempat dulu Cio San ‘diasingkan” dan dihukum. Tempat terjadinya berbagai macam kejadian yang membentuk dirinya menjadi seperti sekarang ini.
Angin begitu dingin.
Malam begitu pekat.
Jika bukan karena kenangan indah, mungkinkah manusia bisa bertahan?
Tak terasa airmata Cio San menetes. Gubuk bambu ini tak berubah setelah sekian lama. Pepohonan, bebatuan, dan pemandangan ini tidak berubah setelah bertahun-tahun ia pergi.
Teringat kenangan ia berlatih silat. Teringat kenangan ia membaca buku sampai pagi. Atau saat A Liang datang membawa khim dan mereka bernyanyi bersama. Atau pada saat gihunya datang dan berbagi cerita.
Yang paling mengherankan dari kenangan adalah ia menguatkanmu, namun membuatmu lemah pada saat yang bersamaan.
Cukat Tong sangat memahami perasaan Cio San. Karena itulah ia hanya duduk diam di atas sebuah batu besar. Membiarkan sahabat terbaiknya itu tenggelam dalam kenangan dan lamunan.
Cio San berdiri dengan gagah di atas sebuah batu. Angin meniup rambutnya. Mendatangkan sejuta gambar tentang masa lalu. Matanya tertutup rapat.
Ia khawatir jika ia membuka mata, maka ia akan segera kembali kepada kenyataan.
Ia ingin, sebentar saja, merasakan kembali masa lalu.
Karena bagaimanapun, terkadang masa lalu terasa jauh lebih membahagiakan daripada masa kini.
Tapi memang masa lalu itu hanya indah untuk dikenang. Karena sehebat apapun manusia, ia tidak dapat memutar waktu kembalh.
Yang paling bijaksana memang adalah menjadikan kenangan masa lalu sebagai penguat dan pelajaran untuk menjalani masa kini.
Masa depan? Bukankah itu urusan langit?
Hanya manusia sombong yang merencanakan masa depan.
Manusia bijaksana menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk menghargai masa kini, dan berbuat sebaik-baiknya kepada orang-orang yang dimilikinya saat ini.
Cio San akhirnya membuka matanya.
Kesenduan dan airmata telah menghilang dari raut wajahnya.
Sinar matanya berbinar dan mencorong tajam.
Inilah dia Cio San. Pemuda terbaik pada masanya. Pendekar paling hebat di jamannya. Dan sahabat paling setia yang pernah ada.
Ia menoleh kepada Cukat Tong.
Cukat Tong pun tersenyum.
Karena ia pun pernah mengalami hal yang sama dengan Cio San. Pergulatan batin untuk menghadapi kenangan-kenangan yang tidak mungkin dilupakan. Karena memang kenangan itu bukan untuk dilupakan.
Cukat Tong tahu itu. Karena ia sendiri pun pernah berjuang keras menghadapi masa lalu yang menghantuinya.
Manusia yang berhasil keluar dari ini semua, siapapun dia, lelaki atau perempuan, adalah manusia-manusia yang telah tercerahkan.
Oleh karena itu sinar wajah Cio San berubah menjadi begitu menyilaukan.
“Kau sudah berhasil mengatasinya?” tanya Cukat Tong.
Cio San mengangguk dan tersenyum.
Cinta, benci, dan dendam. Hal yang terus menerus menggeregoti hidup manusia. Jika kau berhasil menghadapinya, maka kau akan seperti Cio San. Wajahmu bercahaya. Langkahmu gagah, tubuhmu tegap, dan matamu bersinar terang.
“Apa yang bisa ku bantu?” tanya Cukat Tong lagi.
“Aku mencari sebuah pintu rahasia” jelas Cio San.
“Baik” Cukat Tong pun bergerak.
Cio San pun ikut mencari.
Urusan bergerak mencari barang adalah urusannya Raja Maling. Siapapun yang berlomba dengan dia pasti akan tertunduk malu.
Dalam waktu sepeminum teh, Cukat Tong sudah muncul sambil tersenyum,
“Aku sudah menemukannya”
Cio San tersenyum dan mengikuti Cukat Tong.
Pintu rahasia itu ternyata berada di dalam gubuk bambu itu. Tepat di bawah tempat tidur. Hanya berupa sebuah lubang kecil. Tapi jika kau memasukkan jarimu kesitu, maka terbukalah sebuah pintu kecil di lantai.
“Tampaknya kau ahli sekali dalam memasukkan jari ke dalam lubang” kata Cio San tertawa.
“Aku banyak berlatih” tukas Cukat Tong sambil tertawa juga.
“Kau tak takut jika kau masukkan jari ke dalam lubang itu, lalu tiba-tiba tanganmu digigit sesuatu?” tanya Cio San.
“Lubang tempat aku berlatih tidak ada giginya” Cukat Tong tertawa penuh arti.
Ketika Cio San akan masuk ke dalam pintu rahasia di lantai itu, Cukat Tong mencegahnya,
“Biar aku duluan yang masuk. Bisa jadi ada bahaya di sana”
“Kau pikir aku takut?”
“Takut sih tidak, tapi apa kau ingin kita ketahuan dan perjalanan kita sia-sia?”
“Bahkan urusan masuk ke dalam lubang pun aku harus mempercayakannya kepadamu” Cio San tertawa lebar.
“Ikuti semua langkahku. Di mana aku menginjakkan kaki, disitulah kau injakkan kaki. Ruangan rahasia ini lungkin memiliki banyak jebakan”
Cio San mengangguk.
Bahkan jika Cukat Tong menyuruhnya buka baju buka celana dan berlarian telanjang bulat pun dia akan mengangguk menurut.
Urusan menyusup begini memang Cukat Tong ahlinya. Para pemula sebaiknya menurut saja.
Mereka menuruni lubang gelap di dasar lantai. Setelah melihat sekeliling, baru Cukat Tong melangkah dengan penuh hati-hati.
“Kau perlu obor?” tanya Cukat Tong lirih sekali.
“Tidak. Aku sudah terbiasa dalam gelap”
Cukat Tong mengangguk.
Setelah memastikan bahwa ia bisa membuka pintu dari dalam lubang, Cukat Tong lalu menutup pintunya.
“Ayo” katanya “Semua masih aman”.
Mereka berjalan menyusuri goa itu. Ternyata arahnya menurun. Panjang dan sangat berliku-liku.
“Dari mana kau tahu kalau diatas ada pintu rahasia” bisik Cukat Tong bertanya.
“Kau ingat ceritaku saat aku dulu terusir dari Butong Pay”
“Ya”
“Saat itu guruku Tan Hoat meninggal secara aneh. Tidak ada orang lain yang naik ke gunung ini, karena jika ada pasti sudah ketahuan. Pembunuhnya pasti turun naik gunung ini melalui jalan lain yang tersembunyi.” Lanjutnya,
“Aku juga ingat saat di markas utama Mo Kauw dulu, mendiang Ang-kaucu pernah berkata bahwa hampir di setiap perguruan mempunyai jalan rahasia yang berguna untuk mengamankan diri jika terjadi sesuatu”
“Oh karena itulah kau jadi curiga bahwa pasti ada sebuah pintu rahasia di atas tadi” kata Cukat Tong yang dijawab Cio San dengan anggukan.
“Kira-kira kau sudah menebak, siapa yang membunuh gurumu?” tanya Cukat Tong lagi.
“Tentu saja aku sudah tahu, aku kesini hanya memastikan.”
“Siapa?”
“Lau-ciangbunjin”
“Hah? Ketua Butongpay yang maha terhormat itu? Atas dasar apa kau menuduhnya”
“Kan biasanya hanya ketua yang mengerti jalan rahasia”
“Tapi bisa saja ada orang lain juga yang tahu” bantah Cukat Tong.
“Selain itu, hanya dia yang bisa membunuh Tan-suhu secara tiba-tiba seperti itu. Di Butongpay hanya dia yang punya kemampuan itu. Ditambah lagi Liang-lopek juga tewas karena lemparan jarum beracun. Di muka bumi ini siapa lagi yang bisa punya kemampuan selihai itu untuk melukai Liang Lopek?”
Cukat Tong mengangguk-angguk.
Perjalanan panjang sekali. Sudah berjam-jam mereka menuruni jalan goa yang sempit itu. Kini mereka sampai di sebuah bagian goa yang lumayan luas.
“Mari kita istirahat sebentar” kata Cio San.
Mereka berdua duduk di lantai goa dan menikmati keadaan goa yang dingin, gelap, namun menakjubkan itu. Tak lama kemudian, Cio San berkata dengan sedikit kaget,
“Eh, kau lihat itu?” katanya sambil menuding sebuah dinding goa.
Cukat Tong memicingkan mata dan berkata, “Ya”
Mereka berdiri lalu lari mendekat,
Ternyata di tembok itu berisi banyak sekali lukisan. Lukisan yang digoreskan langsung di dinding goa dengan menggunakan benda tumpul.
“Ini…lukisan-lukisan ini digambar dengan jari tangan!” kata Cio San.
Siapa gerangan orangnya yang sanggup melakukan hal demikian selain Thio Sam Hong? Lukisannya rapi dan halus. Lukisan orang berkelahi.
Ternyata setelah diperhatikan dengan seksama dinding-dinding goa ini terdapat banyak sekali lukisan orang bersilat. Tak lama kemudian Cio San melihat sebuah tulisan tangan yang halus dan indah sekali.
Setelah bertahun-tahun, aku akhirnya dapat memecahkan berbagai macam ilmu silat perguruan dan partai lain. Gerakan-gerakan ini tidak kuajarkan kepada murid-murid Butongpay dan kutuliskan di goa rahasia ini dengan maksud agar jika mereka benar-benar terdesak oleh urusan-urusan Kang Ouw, mereka dapat mengasingkan diri di sini dan baru dapat mempelajari ilmu ini. Siapapun yang berjodoh dengan ilmu ini, dipersilahkan untuk mempelajarinya.
Semoga Thian (langit) selalu melindungi Butongpay dan seluruh umat manusia.
Thio Sam Hong
Membaca itu, Cukat Tong dan Cio San berdecak kagum.
“Luas sekali pandangan thay-suhu” ia berkata begitu sambil menjatuhkan diri ke lantai, dan bersoja 3 kali di hadapan tulisan itu.
Setelah bangkit ia berkata kepada Cukat Tong,” Kau dipersilahkan melihat dan mempelajari gambar-gambar ini. Kata Thay-suhu siapapun yang berjodoh melihatnya, dipersilahkan untuk mempelajarinya”
“Aku tidak tertarik” kata Cukat Tong menggeleng.
“Kenapa?” tanya Cio San
“Memangnya kau pikir aku tukang berkelahi seperti kau?”
“Ilmu itu akan berguna suatu saat nanti”
“Memangnya kau pikir diriku ini tidak berguna?”
“Hahaha” Cio San cuma bisa tertawa. Dalam hati ia mengerti. Cukat Tong merasa dirinya bukan murid Butongpay sehingga merasa tidak pantas untuk mencuri belajar ilmu-ilmu Butongpay.
“Untuk ukuran maling, kau adalah maling paling terhormat yang pernah ku kenal”
“Maling juga punya harga diri.” Cukat Tong tersenyum. Ia kini duduk santai di lantai setengah berbaring sambil menatap lukisan-lukisan di dinding goa.
Cio San menatap dan mempelajari lukisan-lukisan itu dengan seksama. Tak berapa lama ia tersenyum dan ikut duduk di lantai bersama Cukat Tong.
“Selesai?” tanya Cukat Tong heran
“Selesai”
“Semuanya?”
“Semuanya”
“Aku melihat saja belum selesai, kau malah sudah menghafal seluruhnya”
“Aku tidak menghafal sama sekali, bahkan mungkin kini sudah lupa dengan apa yang ku lihat” tukas Cio San.
“Lalu?”
“Tapi aku sudah paham”
“Ohh..ya..ya..aku tahu maksudmu” Cukat Tong cuma bisa mengangguk-angguk.
Ia melihat begitu banyak ilmu partai dan perguruan lain yang telah terpecahkan oleh Thio Sam Hong. Segala macam jurus tangan kosong, dan berbagai macam senjata mulai jurus pedang, jurus golok, jurus tombak, jurus melempar senjata rahasia, dan lain-lain milik perguruan dan partai-partai besar, semua telah terpecahkan.
Orang yang mempelajari semua ini sudah pasti akan merajai dunia persilatan. Hanya tinggal memperdalam lweekang dan ginkang.
“Bagaimana cara supaya bisa paham tanpa harus menghapal?” tanya Cukat Tong.
“Paham dan hapal kan adalah dua hal yang berbeda” kata Cio San.
“Bagiku orang baru paham kalau sudah hapal, dan bisa hapal jika sudah paham”
“Itulah kesalahanmu. Jika kau bisa menghapus pemikiran itu dari otakmu, baru kau bisa paham tanpa harus hapal”
“Memangnya hanya dengan berpikir demikian saja bisa mengganggu proses pemahaman?” tanya Cukat Tong.
“Itu karena kau telah membentuk suatu pemahaman di benakmu, maka kau susah menemukan kebenaran lain. Jika dalam hati kau sudah bilang ikan goreng itu tidak enak, maka jika orang lain bilang ikan goreng itu enak, kau tak akan percaya. Bahkan untuk mencoba saja kau tidak mau. Lalu bagaimana kau bisa merasakan kenikmatan ikan goreng yang sesungguhnya?”
Cukat Tong merenungi ucapan Cio San.
“Betul juga”
“Ayo kita jalan lagi”
Mereka berdua berjalan lama sekali. Hingga tiba di sebuah jalan buntu.
“Kau dengar ada sesuatu di atas?” tanya Cio San
“Tidak dengar apa-apa” jawab si Raja Maling. Lalu katanya,
“Aku naik duluan, kau harus mengikuti setiap langkahku. Jangan sentuh apapun yang tidak ku sentuh. Mengerti?”
Cio San mengangguk.
Perlahan-lahan Cukat Tong membuka tingkap pintu diatasnya. Ia buka sedikit saja. Tapi yang sedikit itu sudah mampu membuatnya memperhatikan semua keadaan di atas.
“Aman”
Dia lalu naik, diikuti Cio San.
“Ini kamar milik ketua” kata Cio San.
“Berarti dugaanmu tepat”
Mumpung berada di sana, mata Cukat Tong jelalatan memperhatikan isi ruangan. Padahal di bawah tanah tadi ia bertemu lukisan ilmu silat yang sangat berharga, matanya tidak sejelalatan ini.
“Apa yang kau cari?” tanya Cio San.
“Barang berharga”
Tidak banyak barang yang ada di dalam kamar itu. Hanya lemari pakaian, sebuah rak buku, meja makan, dan sangkar burung yang kosong.
Cio San juga jelalatan seperti Cukat Tong. Jika sudah menyangkut rahasia, hatinya pasti akan tertarik.
“Apa yang kau temukan, kenapa kau tersenyum seperti itu?” tanya Cukat Tong.
Cio San memungut sesuatu dari lantai.
“Abu” katanya
“Abu hitam, mungkin dari hasil bakaran kertas” kata Cukat Tong.
“Tepat. Untuk apa orang membakar kertas di dalam rumah?”
“Untuk menghilangkan jejak surat rahasia” kata Cukat Tong tersenyum.
“Dan sangkar burung itu?” tanya Cio San penuh arti.
“Tempat sang kurir surat beristirahat” Cukat Tong pun tersenyum.
Lanjutnya,
“Diakah si otak besar?”
Cio San hanya tersenyum penuh arti.
0 Response to "Bab 60 Rahasia Mengejutkan di Butong Pay"
Posting Komentar