EPISODE 2 BAB 59 DEWA MELAWAN DEWA



Cahaya emas bersinar di tengah malam!

Jika orang lain yang mendapatkan serangan seperti itu tentu akan bingung dan tak dapat menghindarinya. Tetapi Suma Sun bukan orang lain. Ia adalah Dewa Pedang!

Dalam sekejap mata tubuhnya sudah “terbang” ke atas. Dengan berpoksai (salto) satu kali, ia sudah dapat menghindari sebuah jurus telapak yang diakui sebagai jurus yang paling menakutkan dan yang paling dahsyat yang pernah diciptakan manusia!

Gerak Suma Sun sangat sederhana dan mudah. Tetapi untuk merasakan kemudahannya, kau harus menjadi Suma Sun. Tidak ada cara lain.

“Bunuh Suma Sun!” hanya bisikan itu yang terdengar dalam kepala Cio San. Dan hanya bisikan itu yang terucap dari bibirnya. Matanya kosong dan nanar. Suma Sun segera mengetahui apa yang terjadi. Meskipun ia tidak dapat melihat, ia dapat merasakan getaran aneh yang menyelimuti seluruh hawa yang dimiliki Cio San.

Getaran itu berasal dari dengung putaran tongkat Pek Kwi Bo, si nenek iblis!
Segera Suma Sun meluncur ke arah nenek iblis itu, tetapi langkahnya terhenti. Cio San telah menutup jalannya. “Naga Terbang Di Langit!” seruan itu muncul dari bibir Cio San tanpa dapat ia kendalikan.

Kembali cahaya emas bersinar di tengah malam. Tetapi cahaya itu datang berbarengan dengan luncuran badan Cio San pula. Kembali Suma Sun menghindari serangan itu dengan anggun.

Keanggunannya bukan bagaikan seorang anak perawan yang menari dengan indah. Keanggunannya bagaikan seorang ratu kekaisaran yang telah matang dan dewasa.

Tentu saja ia tidak dapat menggunakan pedangnya. Karena jurus pedang yang dipelajarinya sepanjang hidupnya adalah jurus pedang untuk membunuh orang. Bagaimana mungkin ia membunuh sahabatnya sendiri?

Suma Sun menancapkan pedangnya di tanah. Dalam sepersekian detik ia mengerahkan tenaga saktinya. Tahu-tahu bagian lengan bajunya kanannya kini bergerak bagaikan memiliki tangan.

Beberapa tahun yang lalu, Suma Sun mengorbankan tangan itu karena ia tidak ingin membunuh seorang Dewa Pedang yang lain. Apakah kini ia akan mengorbankan tangannya yang satunya lagi karena ia tidak ingin membunuh sahabatnya sendiri?

Tidak ada seorang pun yang dapat memahami isi hati seorang Suma Sun.

Cio San kembali bergerak, ia tidak menunggu lama dan membiarkan Suma Sun mengumpulkan tenaganya. Semua kejadian ini berlangsung dengan cepat dalam sekejap mata.

“Naga Bertempur di Alam Liar!’’ jurus ke-3 yang dikeluarkan Cio San. Suma Sun menerima cahaya emas itu dengan lengan bajunya. Ada tenaga sakti aneh yang terkumpul di lengan baju itu sehingga membuatnya terasa hidup bagaikan naga yang menari-nari.

Selama ini tidak ada satu senjata pun yang dapat digunakan cahaya emas yang lahir dari jurus 18 Tapak Naga. Tapi setiap hal pastilah memiliki “saat pertama”-nya. Dan malam ini adalah kali pertama jurus yang dahsyat itu ditangkis oleh sebuah lengan baju.

Hanya kain!

Tetapi kain itu berisi tenaga sakti yang lahir dari terbukanya titik-titik syaraf Suma Sun. Pengobatan yang dilakukan oleh Cio San terhadap Suma Sun telah membuka titik-titik tertentu di dalam tubuh dewa pedang itu sehingga tenaga saktinya muncul dan mengalir lebih deras. Hal ini tidak dapat terjadi jika sebelumnya Suma Sun tidak terluka dengan parah dan menjadi lumpuh.

Blaaaaaaaar!

Ledakan besar yang terjadi karena pertemuan tenaga sakti dua orang dewa. Masing-masing terlempar dengan mengeluarkan sedikit darah dari mulut mereka.

Cio San  hanya menguasai 3 jurus dari keseluruhan 18 Tapak Naga. Jurus-jurus berikutnya belum pernah dilihatnya, dan ia hanya mampu mengolahnya sesuai pemahamannya sendiri. Berhubung sekarang pikiran dan pemahamannya sedang dikuasai oleh si nenek iblis, maka jurus-jurusnya tak dapat dikeluarkan seutuhnya. Hanya berdasarkan nalurinya saja.

Kini nalurinya membuat Cio San melancarkan sebuah jurus lain. Jurus ular derik yang menakutkan! Telapak tangan kirinya bergetar mengeluarkan suara bagaikan ekor ular derik.

Mereka kembali beradu. Gerakan Cio San merupakan perpaduan gerak Thay Kek Koen (Tai Chi Chuan) dan gerakan ular sakti yang ditemuinya di dalam sebuah goa di bawah tanah. Gerakan Suma Sun adalah gerakan ilmu pedang keluarganya yang dilakukan dengan lengan baju di tangannya yang buntung.
Blaaaar! Blaaaaaar!

Tak ada orang yang sanggup melihat bagaimana mereka bergerak. Tak ada yang sanggup mengira-ngira sudah berapa jurus yang terlewati. Guntur dan kilat seperti lahir dari gerakan mereka. Setiap kali mereka beradu tenaga, kilatan cahaya dan gemuruh badai terdengar.

Rerumputan dan tumbuhan di sekitar mereka rontok bagaikan disapu musim gugur. Bebatuan dan debu berterbangan di udara. Bahkan di umur setua ini, di dalam pengalamannya bertempur ribuan kali, menggunakan ilmu tinggi yang dimilikinya, si nenek iblis ini belum pernah menyaksikan hal seperti ini.

“Dewa melawan dewa…..,” hanya itu yang muncul di dalam benaknya. Tanpa ilmu meraga sukma yang dimilikinya, bagaimana mungkin ia bisa mengalahkan salah seorang diantara mereka?

Tanpa tipu daya bagaimana seseorang dapat menguasai dunia?

Ilmu, niat baik, dan kerja keras saja tidak cukup. Seseorang harus lah mematikan hati nuraninya dan menjadi jahat agar ia bisa dapat menguasai dunia. Karena dunia sendiri adalah sebuah tempat yang kejam.

Apakah dunia membuat manusia menjadi kejam, ataukah manusia yang membuat dunia menjadi kejam?

Siapa pula yang mampu menjawabnya?

Dewa melawan dewa. Entah sudah berapa jurus. Entah sudah berapa banyak pukulan. Entah sudah berapa banyak tenaga terbuang.

Suma Sun tahu, ia tak dapat menyembuhkan Cio San jika ia tidak lebih dulu melumpuhkan nenek iblis itu. Tetapi ia pun tahu, ia tidak dapat melumpuhkan si nenek jika ia tidak melumpuhkan si nenek terlebih dahulu.

Perhatiannya terpecah dan ia menjadi bingung.

Jika menghadapi orang lain, ia bisa saja menyerang nenek itu dari jarak jauh, tetapi saat ini ia melawan Cio San. Tak ada satu kesempatan sekecil debu dan pasir yang bisa didapatkannya. Seluruh serangan Cio San teramat rapat. Tidak ada lubang sekecil apapun yang bisa ia manfaatkan. Jika bukan karena langkah-langkah jurus pedang keluarga Suma, tentu Suma Sun telah keok sedari tadi.

Ia hanya bisa menghindar. Menyerang pun adalah untuk membuat Cio San mundur sedikit. Jika Suma Sun “boleh” membunuh, mungkin ia tidak akan mengalami kesulitan seperti ini. Meskipun ia sendiri tidak yakin apakah ia dapat membunuh Cio San.

Baru kali ini ia meragukan kemampuannya sendiri. Memang betul kata Cukat Tong pada suatu hari, “Jika kau berhadapan dengannya, kau akan meragukan kemampuanmu sendiri. Beruntunglah siapa pun yang menjadi sahabatnya. Alangkah sialnya menjadi musuhnya. Untungnya ia bukan golongan orang yang suka mencari musuh. Sayangnya, orang yang suka bermusuhan dengannya jumlahnya tidak pernah bisa dihitung dengan mudah.”

Dalam hitungan Suma Sun, mereka telah melampaui 113 jurus. Jurus yang mereka kuasai dengan baik, ataupun yang tahu-tahu mengalir dikarenakan keadaan pertarungan. Jika ini terjadi saat latihan, tentu mereka berdua akan dengan bahagia menuliskan catatan-catatan tentang gerakan baru yang muncul karena pertarungan ini.

Suma Sun akhirnya mengambil keputusan. Hanya itu satu-satunya cara untuk menghentikan kegilaan ini.

Cio San melancarkan tapaknya yang mematikan. Gemuruh Guntur dan kilat muncul dari telapak itu. Entah penggabungan jurus dan tenaga sakti apa yang ia gunakan. Telapak ini malah terlihat lebih menyeramkan ketimbang cahaya yang lahir dari jurus 18 Tapak Naga.

Suma Sun mengadu tapak itu dengan telapak kirinya. Sejak tadi beradu tenaga dengan Cio San ia sudah memahami betapa hebatnya ilmu Cio San. Jika tenaga Cio San lebih kuat maka, telapaknya akan menyalurkan tenaga dalam besar untuk menyerang musuh. Tetapi jika telapaknya lebih lama, maka secara aneh, telapak itu akan menyedot tenaga lawan.

Sang dewa pedang tahu, jika ia beradu tenaga maka mereka berdua bisa saja terluka parah. Maka ia memilih untuk mengalah. Dengan segenap hati ia mengumpulkan seluruh tenaga saktinya dan menyalurkan seluruhnya ke telapak tangan kirinya.

Syuuuuuuuuuuuuuuuuuutttttttttttttt!

Blaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaar!!!!

Ketika ledakan besar itu terjadi, Suma Sun masih sempat berputar dan menggunakan lengan bajunya untuk menyerang si nenek iblis dari jarak jauh. Inilah tenaga simpanan terakhir yang ia tahan untuk dipergunakan menyerang si nenek.

Tenaga dalam jarak jauh yang tajam bagaikan pedang. Dapat memutus apa saja yang dilewatinya. Tajam dan tipis, seperti pedang. Dingin, seperti kekasih yang berubah hatinya.

Claaappp!!!

Tenaga dalam itu menembus kerongkongan si nenek iblis.

Tak ada suara. Tak ada darah.

Yang ada hanya kematian.

Suma Sun telah mampu menciptakan pedang dengan tenaga dalamnya yang terakhir. Ia bukan saja telah melewati taraf “tanpa pedang”, dan “kembali menggunakan pedang”. Ia telah mampu mencapai taraf “Menciptakan pedang dari ketiadaan”.

Siapa manusia di muka bumi dan di kolong langit ini yang telah mencapai taraf seperti lelaki tampan yang tenang ini?

Begitu si nenek mati, buyar lah pula seluruh pengaruh aneh yang emyelimuti pikiran Cio San. Sejak dikuasai oleh si nenek, Cio San dapat mengetahui apa yang terjadi, namun ia tidak dapat mengendalikan pikiran dan tubuhnya.

Air matanya mengalir deras. Dengan sigap ia menangkap tubuh Suma Sun yang jatuh lunglai tanpa tenaga.

“Aaaaaaaaaaaaaaarghhhhhhh!” teriakan kesedihannya bagaikan bergema di seluruh penjuru bumi. 

“Kenapa kau berkorban seperti ini, sahabat?” tangisannya tak dapat ditahan lagi.

Suma Sun masih sedikit memiliki kesadaran. Ia masih mampu tersenyum.

“Sahabat.”

Itulah kata terakhir yang keluar dari mulutnya. Matanya tertutup. Senyumnya masih mengambang. Tidak ada air mata perpisahan. Karena bagi Suma Sun, hal ini bukan perpisahan. Keadaan ini adalah pemberian terbaik seorang manusia kepada sahabatnya.

“Tidak. Kau tidak boleh mati. Kau tidak kuijinkan mati!’’

Dengan segenap tenaga ia menyalurkan tenaga saktinya. Hal ini bukan dilakukan karena putus asa, melainkan ia tahu, Suma Sun sekarat bukan karena pukulannya melainkan karena merelakan seluruh tenaga saktinya terhisap oleh Cio San.

Kedua tangannya ditempelkan ke dada Suma Sun, dan ia mengalirkan tenaga dalamnya sendiri. Begitu lama ia mencoba tetapi Suma Sun tidak bergerak. Detak jantungnya pun sangat lemah.

“Kau adalah dewa kematian, mana mungkin kau mati?” Cio San tersenyum sedih. Ada begitu banyak senyum. Senyumnya kali ini bercampur kesedihan yang sangat dalam.

Suma Sun tetap tidak bergerak.

Hal ini amat sangat mengherankan bagi Cio San. “Bagaimana mungkin ini terjadi? Ia sudah tidak memiliki tenaga dalam sama sekali, tetapi tubuhnya menolak tenaga dalam pemberianku. Kenapa ini?”

Sambil terus berusaha menyalurkan tenaga dalamnya, Cio San menelusuri urat-urat darah dan titik-titik tenaga di tubuh Suma Sun. “Ah, titik-titik tenaganya telah terbuka semua sebelumnya. Mungkin karena pengobatan yang dulu pernah ku lakukan secara tidak sengaja membuka titik-titik ini. Tetapi kenapa aku tidak bisa menyalurkan tenaga dalamku? Padahal jika titik-titik ini telah terbuka, seharusnya dengan sangat mudah aku melakukannya.”

“Apakah…., apakah tubuhnya telah mampu menghasilkan sendiri tenaga dalam tanpa perlu dilatih? Bagaimana mungkin?”

Dengan penuh rasa ingin tahu, Cio San kembali memeriksa tubuh Suma Sun dengan cara menyalurkan saluran tenaga dalamnya. Dengan cara ini ia bisa lebih “melihat” seluruh keadaan urat syaraf Suma Sun. Bagian mana yang tertutup, bagian mana yang terbuka, dan lain-lain.

Ketika ia belajar ilmu pengobatan dari buku yang diberikan oleh tetua Kam Ki Hiang, Cio San mengetahui bahwa ilmu silat dan ilmu pengobatan di Tionggoan (China daratan) berasal dari negeri India. Dari buka ini pula Cio Sna membaca tentang 7 titik Chakra manusia. Tetapi ada banyak Chakra tersembunyi yang tidak diketahui manusia.

Seluruh titik Chakra Suma Sun telah terbuka. Bahkan titik Chakra yang tersembunyi pun telah terbuka. Dalam kitab yang dibacanya, ada penjelasan tentang Chakra ‘bertahan’ yang mengalir ke luar ‘menyerang’ yang justru bergerak ke dalam. Banyak ahli silat tingkat tertinggi yang berhasil menyelaraskan kedua Chakra ini. Namun yang berhasil menyatukannya belum pernah terdengar sejarah.

Mungkin ada, tapi tidak tercatat dalam sejarah.

Kedua Chakra ini amat sulit dipersatukan, dan hanya bisa digabungkan jika seluruh tenaga dihilangkan.

Dalam artian, kedua Chakra rahasia ini baru benar-benar bisa bersatu saat manusia mati, atau mencapai ‘moksha’ menuju Nirwana. Manusia hidup yang bisa melakukannya haruslah kehilangan seluruh tenaganya, kehilangan keinginannya, kehilangan nafsunya, bahkan kehilangan kehidupannya.

“Apakah ini yang dimaksud dengan Moksha itu? Tentu tidak. Detak jantungnya masih ada. Ia masih hidup. Ia mungkin hanya mencapai taraf ‘hampir’ Moksha?”
“Bukan main. Ia telah benar-benar hampir menjadi dewa dalam artian yang sebenarnya!”

Tenaga dalam yang disalurkan Cio San tertolak oleh tubuh Suma Sun yang sedang kosong oleh tenaga sakti. Hal ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Bagaikan mengisi air ke mangkuk kosong, tetapi air itu tidak dapat masuk dan airnya tetap kosong.

“Apakah mungkin ada tenaga sakti lain yang tidak terasa dan tidak terlihat? Wah, sungguh tidak masuk akal.”

Di dalam kepasrahannya, di dalam ketulusan hatinya, Suma Sun mengorbankan seluruh tenaganya untuk disedot oleh Cio San. Ia telah siap mengorbankan jiwa raganya bagi salah satu sahabat terbaiknya itu. Tetapi keadaan ini tidak membunuhnya, malahan membuat Suma Sun berada pada sebuah keadaan tertentu yang belum pernah diketahui dan dialami orang sebelumnya.

Kini dari seluruh titik Chakranya baik yang tersembunyi maupun tidak, muncul getaran-getaran kecil yang bisa dirasakan Cio San. “Tubuhnya menciptakan tenaga tanpa perlu dilatih? Bagaimana mungkin?”

Tetapi kemudian ia teringat jamur sakti yang dimakannya di dalam gua. Jamur itu sebenarnya mungkin tidak memberinya tenaga sakti. Melainkan berkhasiat untuk membuka titik-titik Chakra tersembunyi yang ada di dalam tubuhnya tanpa diketahuinya!

“Terima kasih, Thian (Tuhan)! Kau memberikan keajaiban kepada sahabatku!” dalam tangisnya Cio San berseru dengan bahagia.

Ia dapat merasakan getaran-getaran kecil dari titik Chakra itu telah membuat detak jantung Suma Sun mulai bergetar dengan semestinya. Aliran darah yang tadinya berhenti kini mulai mengalir lagi dengan lancar. Wajahnya yang pucat bagaikan mayat kini mulai merona kembali. Tubuhnya yang dingin membeku kini sudah mulai menghangat lagi.

Cio San kini terduduk dengan lega. Seluruh bebannya terasa terangkat seluruhnya.

“Kau masih di sini?” tiba-tiba suara yang lemah terdengar dari bibir Suma Sun.
“Kau masih hidup? Kenapa masih belum mampus juga?’’ canda Cio San. Sungguh bahagia hatinya melihat sahabatnya kembali sadar.

“Aku masih belum bisa bergerak. Sepertinya aku tak akan bisa bergerak selamanya,” kata Suma Sun.

“Kau mungkin akan lumpuh dalam beberapa bulan. Tetapi jika kau sembuh, kau akan menjadi manusia yang paling menakutkan di bumi dan langit,” kata Cio San. Matanya masih mengalirkan air mata mengingat betapa dalamnya pengorbanan Suma Sun.

“Memangnya aku belum pernah menjadi manusia yang menakutkan?”

“Haha. Betul juga. Dalam keadaan apapun kau adalah manusia yang menakutkan,” jawab Cio San.

“Nah, jika sudah tahu, mengapa tidak segara kau bawa pergi pantat busukmu dan segera mengejar penjahat busuk yang melarikan diri?”

“Pantat busuk dan penjahat busuk jika bertemu, akan membuat dunia bertambah busuk,” tawa Cio San.

“Pergilah,” kata Suma Sun tersenyum sambil menahan sakit.

“Jika aku pergi, siapa yang akan menjagamu di sini?”

“Aku!’’ tahu-tahu Cukat Tong muncul di situ. Ia datang bersama seorang gadis cantik. Cio San mengenalnya. Lim Siau Ting. Murid wanita dari Lama jahat yang menyakiti sahabatnya, sang pangeran terbuang.

“Kau?” segera ia menyadari Lim Siau Ting ini adalah Bwee Hua!

“Jadi selama ini kau adalah Lim Siau Ting? Jadi kejadian di masa lalu itu adalah kau?” tanya Cio San.

“Hahahaha,” Bwee Hua hanya tertawa. Tawanya sungguh indah. Padahal di sekeliling mereka terdapat banyak mayat yang mati menggenaskan. Begitu Bwee Hua tertawa, entah bagaimana pemandangan mayat itu justru terasa indah.

“Kau kan lelaki yang pintar, masa tidak bisa memikirkan?” tukas Bwee Hua.

Cio San bepikir sejenak. Lalu katanya, “Ah. Aku tau. Kau baru menjadi Lim Siau Ting malam ini. Setelah kami memintamu lewat surat.’’

Bwee Hua hanya tersenyum.

“Bagaimana nasib raja Miao?’’ tanya Cio San kepada Cukat Tong.

“Saat aku datang, seluruh rombongan mereka telah mampus seluruhnya. Istriku telah meracuni mereka dengan perbekalan yang ada,” jelas Cukat Tong. “Aku kaget sekali saat ia berdiri sendirian sambil tersenyum menungguku di sana.’’

Cio San hanya mengangguk dan tersenyum. Dalam hatinya ia tidak sanggup membayangkan betapa mengerikannya Bwee Hua berdiri dengan cantiknya di sana menanti suaminya datang sementara puluhan mayat bergelimpangan. Hanya Bwee Hua yang mampu melakukan segala kengerian ini dengan indah. Dan hanya Bwee Hua lah yang mampu melakukannya dengan sangat halus.

“Lalu Lim Siau Ting?” tanya Cio San.

“Tentu saja dia sudah mampus pula sebelumnya. Eh, kau perduli sekali padanya. Memangnya kenapa?’’ tanya Bwee Hua.

Cio San hanya melengos. Kelak jika bertemu sahabatnya, bagaimana ia harus menjelaskan semua ini?

“Bisakah kalian mengantarkan Suma Sun pulang?”

“Eh, kau tidak ingin tahu siapa pelaku seluruhnya kejadian ini?” tanya Bwee Hua. Lalu ia segera menyambung, “Oh, tentu kau sudah tahu. Jika tidak kau pasti akan menyalahkan aku kenapa aku membunuh gerombolan itu tanpa menanyai mereka lebih dulu.”

“Ya, aku sudah tahu.” Kata Cio San sambil menghela nafas. “Kalian sudah tahu pula, kan?”

Cukat Tong mengangguk, “Tadi istriku menceritakan seluruhnya kepadaku.”

Suma Sun ingin bertanya lebih jauh, tetapi memikirkan keadaan tubuhnya sendiri, ia memutuskan untuk memberitahukan sesuatu yang lebih penting.

“Ada 3 bau tubuh di dalam tenda itu selain bau kalian berdua. Bau yang 2, sangat pekat. Bau yang 1 tidak begitu pekat.’’

“Bau 1 yang tidak begitu pekat adalah bau kaisar. Dua Bau yang pekat adalah 2 orang pelaku kejahatan ini.’’ Jelas Cio San.

“Pelakunya ada dua?’’ tanya kedua suami istri berbarengan.

“Yang 2 bau pekat kemudian berpisah. Yang satu pergi menggunakan kuda ke arah utara. Aku dapat mencium bau kudanya tadi di sana. Yang satu lagi pergi membawa kaisar ke arah timur sana,” tunjuk Suma Sun.

Laut! Ia menggunakan kapal untuk melarikan diri membawa kaisar!

Cukat Tong duduk di sebelah Suma Sun dan memperhatikan keadaannya. “Suma-tayhiap lumpuh lagi? Mengapa kau tidak segera menyalurkan tenaga kepadanya?” tanyanya kepada Cukat Tong.

Cio San menjelaskan seluruh kejadian dan memberi pengertian kepada Cukat Tong. Sang Raja Maling itu mendengarkan sepenuh hati. Tak terasa air matanya menetes pula.

Tahu-tahu Bwee Hua menyahut, “Seluruh tenaga saktinya hilang, dan seluruh titik Chakranya terbuka?”

Cio San mengangguk.

“Jangan-jangan ia sudah menguasai ilmu itu tanpa ia sadari?” tanya Bwee Hua.

“Ilmu Baju Pengantin. Khia Ih.’’


Cio San dan Cukat Tong saling menoleh. Sepanjang hayat mereka belum pernah mendengar nama ilmu selucu itu.



Daftar Isi

Related Posts:

1 Response to "EPISODE 2 BAB 59 DEWA MELAWAN DEWA"

  1. ini ada sambungannya kan suhu? setahu saya alur cerita terakhir cio san ada di lembah dimana bibi lung atau yoko kl tidak salah..

    BalasHapus