Episode 2 Bab 1: Jika Ingin Datang, Mengapa Pergi? Jika Ingin Pergi, Mengapa Datang?



Suasana di kedai kecil itu lumayan ramai. Di pagi hari orang sudah ramai memenuhi tempat minum arak itu. Mungkin karena musim dingin yang menusuk tulang, orang-orang memerlukan arak untuk menghangatkan tubuh. Walaupun kecil, kedai arak itu tertata rapi dan bersih. Terlihat para pelayan sibuk kesana kemari menerima dan mengantarkan pesanan.

Ada sekitar 6 meja yang ada di dalam kedai itu. Semuanya hampir penuh. Mereka yang memenuhi kedai itu rupanya sedang mendengarkan seseorang bercerita. Orang itu masih mudah. Ia berperawakan gagah. Ada beberapa bekas luka di wajahnya. Janggut dan kumisnya tipis. Matanya terang dan bersinar-sinar saat ia bercerita,

“Begitulah” katanya.

“Sejak kejadian di istana kaisar itu, selama 5 tahun ini, Cio San-tayhiap (pendekar besar) menebarkan nama harum di mana-mana. Beliau berkelana menegakkan kebenaran. Di usianya yang masih muda, perbuatan gagah yang dilakukannya sudah tak terhitung lagi. Menumpas kejahatan, menolong orang yang sedang kesusahan, dan segala macam perbuatan gagah yang kita saja tidak mampu membayangkan” kata orang itu.

“Jangan-jangan Cio San-tayhiap itu pula yang menumpas gerombolan perompak di hutan Liok Bin di luar kota ini beberapa waktu belakangan ini, kakak Ceng?” tanya salah seorang.

“Bisa jadi. Kejadian itu baru lewat setengah bulan, tapi orang-orang Kang Ouw (dunia persilatan) sudah ramai membicarakannya” kata si pencerita yang dipanggil kakak Ceng itu.

“Hebat benar ya” orang-orang ramai berdecak kagum.

“Alah, cuma pesilat kampung seperti Cio San itu mana mampu mengalahkan gerombolan orang-orang hebat di hutan Liok Bin?” suara itu datang dari sudut belakang kedai arak kecil itu.

Sontak semua orang menoleh ke sumber suara. Si pemilik suara ternyata seorang yang berpakaian lusuh. Wajahnya penuh cambang bawuk yang lebat. Ia duduk meringkuk di sambil memegang sebotol arak yang tampaknya sudah kosong.

“Jangan hiraukan dia, kakak Ceng. Dia sedang mabuk” kata salah seorang.
Tapi si kakak Ceng tidak perduli. Ia bangkit dari tempat duduknya, dan menggebrak meja,

“Kurang ajar! Siapa kau berani-beraninya menghina Cio-tayhiap (pendekar besar)!” bentaknya.

Orang bercambang yang lusuh itu seperti tidak perduli akan bentakan itu. Dengan santai ia menenggak isi botol araknya. Nampaknya ia kecewa karena isinya memang sudah habis.

“Kemari kau!” bentak si kakak Ceng lagi.

Si cambang tetap perduli. Ia malah menoleh ke salah seorang pelayan dan berkata, “Beri aku satu botol lagi”

Si pelayan agak ragu-ragu untuk bergerak.

Si kakak Ceng kini sudah beranjak dari tempat duduknya dan berjalan dengan pelan ke arah si cambang.

“Tarik kembali kata-katamu, atau kau kuhajar” bentaknya.

Si cambang tetap diam. Tatapan matanya kosong. Bibirnya sedikit tersenyum.
Marah karena merasa di remehkan, orang yang dipanggil kakak Ceng itu mencengkeram baju si cambang lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Dalam hatinya ia kaget juga ketika mengetahui tenaganya sangat kuat untuk mengangkat si cambang tinggi-tinggi.

Braaaaaaakkkk!

Ia lalu membanting si cambang ke sebuah meja.

“Kakak Ceng, jangan...jangan....” beberapa orang datang melerai.

Tapi dengan sekali dorongan, si kakak Ceng ini berhasil membuat mereka mundur.

“Minggir” bentaknya dengan marah.

Si cambang sudah terjengkang. Si Kakak Ceng ini kemudian menendangnya sampai ke pintu depan!

Dengan sekali tendang, si cambang terlempar sampai ke luar kedai arak kecil itu. Si kakak Ceng lalu mengejarnya sampai keluar, lalu ditendang dan di hajarnya berulang kali.

Tidak ada suara yang keluar dari mulut si cambang ia hanya tersenyum.
Senyum melambangkan banyak hal.

Dan senyumannya terlihat jauh lebih memilukan daripada tangisan yang paling sedih sekalipun.

Tapi ia tetap diam. Seolah-olah menikmati hajaran yang ditujukan kepadanya.
Sudah tak terhitung berapa pukulan yang mendarat di tubuhnya. Orang-orang berkerumun tapi tak ada seorang pun yang melerai.

Lalu suatu ketika, saat tangan si kakak Ceng sedang diayunkannya tinggi-tinggi untuk mendaratkan pukulan yang kesekian kalinya, tiba-tiba ada sebuah tangan yang datang menahan tangannya.

Tentu saja ia kaget. Selama menjadi guru silat di kota kecil itu, tidak ada seorang pun yang sanggup menahan tangannya. Ia menoleh.
Terlihat seseorang berambut kemerah-merahan.

Orang itu berkata, “Cukup. Pergilah”

Orang itu hanya memiliki satu tangan.

Sebagai orang yang mengerti ilmu silat, dan mengikuti perkembangan dunia persilatan, si kakak Ceng ini tahu ia berhadapan dengan siapa.

“Tuan...tuan..apakah Suma-tayhiap”

Orang yang ditanya itu mengangguk.

“Aih...maafkan saya Suma-tayhiap. Tapi..tapi..orang ini menghina Cio-tayhiap. Saya harus menghajarnya”

“Pergilah” hanya itu yang keluar dari mulut orang yang dipanggil Suma-tayhiap itu.

“Baik....baik. Saya mohon diri” si kakak Ceng segera mundur dari situ.

“Kau sudah datang” kata si cambang yang sekarang wajahnya berantakan penuh lumpur dan salju.

“Tentu saja aku sudah datang” kata orang she (marga) Suma itu. Ia berjongkok dan memandang si cambang. Ada perasaan sedih yang tak terungkapkan dari raut wajahnya.

“Mari, kawan. Kita pergi” ia lalu membantu si cambang berdiri.
Mereka berdua lalu beranjak dan pergi dari situ.
Kerumunan orang yang berada di sana tentu saja lalu membubarkan diri.
Setelah lama mereka berjalan, sampai lah mereka di sebuah bukit kecil.

“Si maling mengapa tidak bersamamu?” tanya si cambang.

“Ia akan datang tidak lama lagi” jawab orang she (marga) Suma.

“Ada masalah apa hingga kalian datang mencariku?” tanya si cambang.

“Seharusnya aku yang menanyakan hal itu kepadamu” jawab orang she Suma.

“Haha. Suma Sun memang Suma Sun. Suma Sun bukan orang lain” kata si cambang sambil tertawa. Herannya tawa itu terdengar memilukan.

“Selama beberapa tahun ini, walaupun kita sudah berpisah, aku selalu mendengar tindak tandukmu yang gagah. Lalu 5 bulan terakhir, aku sama sekali tidak mendengar apa-apa tentangmu” kata Suma Sun.

“Karena itu kau lalu mencariku?” tanya si cambang.

“Apa yang terjadi denganmu, Cio San?” Suma Sun malah balik bertanya.

Si cambang bawuk yang berpenampilan lusuh ini ternyata adalah Cio San. Pendekar besar yang namanya begitu diagung-agungkan karena kesaktian dan perbuatannya yang gagah, ternyata sekarang berpenampilan seperti ini.

Orang yang paling polos pun tak akan percaya jika mendengar cerita seperti ini.

Cio San tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Senyum itu lagi.
Senyum yang terlihat sangat memilukan.

“Kita tunggu si raja maling datang, aku kan menceritakan semuanya” kata Cio San.

“Ia sudah datang” tukas Suma Sun.

Mendengar kata-kata Suma Sun, Cio San segera menengadah memandang langit. Ia lalu tersenyum. Dari kejauhan terlihat titik hitam yang cukup besar.
Tak berapa lama titik hitam itu semakin besar. Membentuk puluhan burung. Cukat Tong, si raja maling bergelayutan pada burung-burung itu.

Terdengar teriakannya, “Kuharap kalian berdua belum begitu mabuk, karena aku membawakan arak terbaik untuk kalian”

Sahabat sudah bertemu. Arak harus segera disajikan.

Ia lalu bersalto dan melompat turun. Burung-burung itu lalu menghilang entah kemana.

Begitu mendarat, ia menghampiri mereka. Begitu kagetnya ia ketika melihat penampilan Cio San seperti itu. Ia hampir-hampir tak mengenal sahabatnya itu. Tapi berbeda dengan Suma Sun, ia tak bertanya apa yang telah terjadi terhadap sahabatnya itu.

Ia telah tahu jawabannya.

Di dunia ini, hanya ada satu hal yang mampu merubah laki-laki yang begitu gagah menjadi begitu menyedihkan.

Dan ia tahu apa jawabannya. Karena ia sendiri pernah mengalaminya.
“Arak apa yang kau bawa?” tanya Cio San sambil tersenyum.
“Tentu saja arak kesukaanmu” tukas Cukat Tong sambil tertawa, mencoba menyembunyikan rasa prihatinnya.

“Semua arak adalah kesukaanyaa” timpal Suma Sun sambil ikut tertawa juga.
“Karena itu kubawa arak apa saja tentu saja ia akan senang” kata Cukat Tong sambil mengeluarkan beberapa guci arak dari buntalan di punggungnya
“Eh, sudah ada arak, mengapa kalian masih saja berbicara. Cepat tuangkan” kata Cio San, ia lalu duduk di tanah dengan hati gembira.

Satu-satunya hal di dunia yang bisa membuat hati sedih menjadi gembira adalah arak. Semua peminum arak paham teori ini.

Mereka minum.
Amat aneh perasaan di hati mereka. Sedih dan gembira bercampur menjadi satu.

Jika kau sudah lama tidak bertemu dengan sahabatmu, lalu saat bertemu ternyata keadaan sahabatmu serupa dengan Cio San saat ini, tentu saja kau akan memiliki perasaan seperti ini.

Arak dan sahabat sejati. Mereka yang paham betapa berharganya kedua hal ini, tentu akan mengerti cara menghargainya.

Setelah arak-arak itu habis mereka tenggak, mereka berbaring di rerumputan.
Cio San yang pertama-tama membuka suara,
“Bagaimana kabar adik Ang Lin Hua? Apakah ia memperlakukanmu dengan baik?” tanyanya kepada Suma Sun.
“Ya sejak kau pergi beberapa hari setelah pernikahan kami, hidupku menjadi lebih teratur. Ia tidak pernah lagi memarahiku karena tidak ada lagi orang yang mengajakku mabuk setiap hari” tukasnya sambil tersenyum.
Mereka tertawa bersama.

“Aku justru khawatir ia tidak tidur dengan istrinya, malah tidur dengan pedang” seloroh Cukat Tong.
Kembali tawa terdengar memenuhi bukit kecil itu.
“Bagaimana dengan kakak Bwee Hua? Sehat-sehat kah?” kali ini Cio San bertanya kepada Cukat Tong.
“Ya tentu saja. Kami membuka beberapa usaha kecil. Sekarang malah sudah menjadi cukup besar. Aku yang pusing mengatur waktu”
“Kau buka usaha apa?” tanya Cio San.
“Penginapan dan kedai makan” jawab si raja maling.
“Wah, berarti sekarang aku sedang berhadapan dengan seorang wangwe (hartawan)” tukas Cio San sambil tertawa.
“Bagaimana dengan kau?” tanya Suma Sun.
“Aku?” Cio San tersenyum.
“Ya beginilah keadaanku. Tambah tampan bukan?” ia tertawa, namun matanya berkaca-kaca.
Suma Sun juga cuma tersenyum. Tapi ia tidak bertanya lagi.
Cukat Tong pun hanya diam memandang langit kelabu di atas sana.
Lama mereka terdiam.
“Beberapa bulan yang lalu aku menerima surat”
Semua masih diam.
Ia lalu melanjutkan, “Dari Khu Ling Ling”
“Ia memutuskan hubungannya denganku, perkawinan kami batal”
“Ia memutuskan hubungan hanya melalui surat?” tanya Cukat Tong.
“Ya. Aku mencoba mencarinya. Tapi sampai saat ini belum ketemu” kata Cio San.
“Perkawinan kalian bukankah akan dilakukan 7 bulan lagi? Semua orang sudah ramai membicarakannya. Bahkan aku pun sudah menyiapkan hadiah. Ah....” Cukat Tong tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

Tak ada yang sanggup bersuara.

Di saat-saat seperti ini, saat seorang sahabat menceritakan kepedihan hatinya, lebih baik kau tidak bersuara. Biarkan ia bercerita sampai selesai. Hal itu akan membuatnya lebih tenang.

Cio San melanjutkan,
“Dalam suratnya ia berkata, ia masih belum bisa melupakan kekasihnya yang lama. Aku...aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya ingin mencarinya dan ingin mendengarkan sendiri kata-kata itu. Aku tak akan memaksanya untuk membatalkan keputusannya”

Perempuan sangat sulit mengambil keputusan. Namun jika ia sudah mengambil keputusan, tak akan sanggup dirubah. Bahkan jika bumi hancur dan langit runtuh pun, keputusan itu tak akan berubah. Orang yang ingin merubahnya hanya akan menghadapi kesulitan dan kesedihan yang lebih dalam.

“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Cukat Tong
“Seperti yang kubilang tadi, aku hanya ingin mencarinya untuk mendengar keputusan itu dari bibirnya sendiri. Rasanya sangat tidak enak, hubungan ini diakhiri hanya lewat surat” jawab Cio San.
“Apakah keluarga besar Khu sudah tahu tentang hal ini?” tanya Suma Sun.
“Begitu menerima surat itu, aku langsung pergi mencarinya ke rumah orang tuanya. Walaupun aku tak bertemu dengan Ling Ling, aku sempat bercerita tentang hal ini kepada orang tuanya” jawab Cio San.
“Apa kata mereka?” tanya Suma Sun.
“Tentu saja mereka kaget mendengar hal ini. Mereka sendiri tidak tahu di mana Ling Ling berada. Tapi beberapa hari kemudian Ling Ling mengirimkan surat pula kepada orang tuanya mengenai hubungan kami. Ia juga berkata ia sedang berkelana, dan akan pulang jika urusannya sudah selesai” kata Cio San.
“Aih, perempuan. Mengapa mereka begitu sukar dipahami?” Cukat Tong seperti berbicara pada diri sendiri. “Jika ia tidak menyukaimu, mengapa ia mau bertunangan denganmu?”
“Entahlah. Pastinya ada alasan tersendiri. Untuk itulah aku mencarinya” ujar Cio San.

Perempuan.
Jika mereka ingin datang, mengapa mereka pergi?
Jika mereka ingin pergi, mengapa mereka datang?

“Kau sudah menemukan jejaknya?” tanya Suma Sun.
“Sudah. Ia berada di Lembah Naga”
“Ahhhh” Suma Sun dan Cukat Tong menghela nafas.
Semua orang Bu Lim (kaum persilatan) tahu tentang Lembah Naga. Tapi keberadaan lembah itu sendiri bagai cerita dongeng. Tak ada seorang pun yang tahu letak persisinya. Konon di lembah itu tinggal sebuah keluarga maha sakti yang tindak tanduknya penuh rahasia. Mereka memiliki ilmu silat hebat yang hanya diturunkan turun menurun dalam keluarga itu.
“Apakah Lembah Naga itu berada di sekitar sini?” tanya Cukat Tong.
“Ya. Lembah itu berada di puncak salju gunung Tian Shan” jawab Cio San.
“Ayo kita pergi. Kami akan menemanimu” tukas Suma Sun.
“Buat apa harus kalian temani? Apa kau takut di tengah jalan aku akan dihajar orang sampai mampus?” kata Cio San sambil tertawa.
“Aku sama sekali tidak khawatir kau dihajar orang, yang tidak dapat kuterima adalah jika kau dihina orang” kata Suma Sun ketus.

Tubuh dan raga seorang pendekar seperti Cio San telah terlatih dengan ilmu silat maha hebat. Tapi hatinya? Memangnya di dunia ini ada ilmu untuk melindungi hati dan perasaan manusia?

“Orang yang sanggup menghajar dan mengalahkanmu belum lagi dilahirkan di dunia ini. Tapi jika kau seperti ini, aku sungguh khawatir kau dihina orang” kali ini Cukat Tong yang berbicara, “Ayolah kita pergi bersama-sama.”
“Halah, memangnya aku anak kecil yang harus pergi diantar ke pasar?”
“Kau tahu tidak? Bahkan jika kau mencambukku dan menyuruhku pergi, aku akan tetap bergelayut di tanganmu seperti perawan tua menggandeng tangan perjaka” tukas Cukat Tong sambil tertawa.

Mereka lalu pergi.

Perjalanan telah memakan waktu 4 hari. Mereka hampir sampai di puncak Tian Shan. Gunung ini ditutupi salju yang sangat tebal. Untunglah ketiga orang ini memiliki tenaga sakti yang sangat tinggi sehingga cuaca dingin tidak begitu mengganggu perjalanan mereka.

Dalam perjalan mencari jejak orang, hanya ada satu orang di kolong langit ini yang bisa diandalkan. Tentu saja orang ini adalah Suma Sun.

Dengan segala pengetahuan, naluri, dan pengalamannya, mencari Lembah Naga tidak terlalu sukar. Tentu saja juga tidak terlalu gampang.

“Lembah Naga pasti berada di sana” kata Suma Sun sambil menunjuk lembah gelap yang berada di bawah sana.

“Baiklah. Kalian tunggu di sini. Aku akan kesana” kata Cio San.
“Dengan apa kau turun ke sana?” tanya Cukat Tong.
“Melompat. Memangnya kau pikir aku punya sayap?” tukas Cio San sambil tertawa.
“Kau gila. Dengan ketinggian seperti ini, mengandalkan ginkang tingkat dewa sekalipun kau akan mati terhempas angin kencang dan batu-batu yang mungkin ada di dasar jurang” kata Cukat Tong.
“Apakah burung-burung peliharaanmu bisa digunakan?” tanya Suma Sun.
“Tidak. Burung-burung itu akan mati terkena cuaca dingin seperti ini. Angin sekencang ini pun akan menghempaskan mereka”
Begitu Cukat Tong selesai bicara, Cio San sudah melompat ke dalam jurang.
“Yihaaaaaaa” teriak Cio San senang.
“Orang ini bodoh atau sudah gila?” kata Cukat Tong.

Meski berkata begitu, ia pun ikut meloncat turun ke dalam jurang gelap itu.
Suma Sun pun tentu saja sudah melompat pula.

Perbuatan bodoh seperti ini, hanya 2 golongan manusia yang sanggup melakukannya.

Manusia yang patah hatinya.

Atau manusia yang menganggap dirinya sebagai seorang ‘sahabat’.

Manusia-manusia seperti ini bodohnya melebihi orang yang paling bodoh, dan gilanya melebihi orang yang sudah gila.
Tapi hati manusia-manusia seperti ini biasanya dipenuhi ketulusan yang amat sangat dalam.

Begitu mereka melompat, ternyata mereka disambut sejenis tumbuh-tumbuhan yang hidup hanya di daerah seperti ini. Batangnya yang tipis dan kokoh membuat laju turun mereka melambat. Rupanya inilah salah satu rahasia Lembah Naga.
Butuh waktu cukup lama hingga mereka bisa sampai ke dasar jurang. Jurang itu sangat gelap dan dingin. Tapi Cukat Tong punya obor untuk dinyalakan. Ia selalu punya apa saja yang bisa digunakan di saat-saat tak terduga.
“Wah, indah sekali pemandangan di sini” kata Cio San.
Balok-balok es memantulkan cahaya obor. Menciptakan sebuah pemandangan yang hanya bisa ditemukan di tempat ini.
“Lihat itu ada pintu kecil” tunjuk Suma Sun.
Mereka semua bergerak ke sana.
Tiba-tiba dari mulut goa muncul seorang anak kecil.
Gadis kecil ini mungil dan menggemaskan. Pipinya kemerah-merahan. Ia memakai baju berwarna merah pula. Di tangannya ada pula sebuah obor
“Keluarga Lembah Naga memberi salam pada Cio-tayhiap, Suma-tayhiap, dan Cukat-tayhiap. Ada keperluan apa hingga mampir ke mari?” kata anak kecil itu.
Ketiga orang ini kagum juga.
“Anak ini apakah setan penjaga lembah?” bisik Cukat Tong kepada Cio San.
Cio San hanya tersenyum, lalu katanya “Adik kecil, hebat sekali engkau bisa mengenal kami. Kami sedang dalam perjalanan mencari sahabat kami bernama Khu Ling Ling. Apakah egkau pernah mendengar namanya?” Cio San bukan orang yang bertele-tele, dan tidak begitu perduli dengan adat kesopanan.
Rupanya gadis kecil itu pun demikian,
“Khu-siocia (nona Khu) memang berada di sini. Cio-tayhiap ada keperluan apa ingin bertemu dengan calon enso (kakak ipar) ku?”
Mendengar ini Cio San terhenyak, ia lalu berkata,
“Aku hanya ingin berbicara beberapa patah kata dengannya. Apakah adik kecil mengijinkan?”
Anak kecil itu hanya diam lalu memandang kepada Cukat Tong dan Suma Sun, “Lalu tuan berdua ada keperluan apa?”
“Kami hanya mengantarkan Cio San” jawab Cukat Tong.
Setelah berpikir sebentar, gadis kecil itu berkata, “Baiklah. Cio San-tayhiap boleh masuk. Tetapi tuan berdua harap tunggu di sini”
Selesai berkata begitu ia pun berbalik masuk ke dalam goa.
“Kalian tunggulah di sini. Paling lambat sebelum malam aku sudah kembali” kata Cio San.
Kedua orang itu hanya mengangguk.
Cio San mengikuti bocoh itu. Cahaya obor yang berada di tangan bocah itu menuntun mereka menyusuri dalam goa. Di ujung sana terlihat setitik cahaya kecil.
Tak lama kemudian mereka telah sampai. Ternyata goa itu menuju ke udara terbuka.
Sebuah lembah yang sangat indah!
Cio San seperti berada di dunia lain. Dunia yang terbentuk dari balok-balok es yang sangat indah, seolah-olah berlian dan permata yang bercahaya. Penataan lentera yang tepat membuat tempat itu terang benderang penuh keindahan.
Tak jauh dari sana terlihat bangunan mirip istana yang dibangun dari es pula. Sangat mengagumkan.
Anak kecil itu kemudian berbalik menghadap Cio San dan berkata,
“Kakak pertama sudah datang”
Cio San menatap ke depan.
Sang kakak pertama datang dan berjalan dengan santai. Gerak geriknya sangat ringan. Orangnya berumur sekitar 30 tahun lebih.
“Salam tayhiap”  katanya sambil menjura.
Cio San balas menjura, “Salam tuan. Apakah cayhe (saya) sedang berhadapan dengan Liong Kim Sa-tayhiap yang terkenal?”
Ternyata Cio San kenal nama ini.
“Ah, cayhe (saya) belum pernah keluar rumah. Bagaimana tayhiap mengenal nama cayhe?” tanyanya sopan.
“Orangnya tidak pernah keluar rumah, tapi namanya sendiri sudah harum tersebar di penjuru dunia” kata Cio San tersenyum.
“Aih, mana berani cayhe (saya) menerima pujian Hongswe (jenderal phoenix)?” kata Liong Kim Sa tersenyum.
Sebutan Hongswe adalah sebutan yang langsung diberikan oleh kaisar kepada Cio San. Hampir seluruh orang Bu Lim (kaum persilatan) memanggilnya dengan sebutan itu.
Dengan sebutan itu, seluruh orang Bu Lim memang akan hormat kepadanya.
“Hongswe ada keperluan apa datang kemari?” tanya Liong Kim Sa ramah
“Cayhe datang hendak mencari Khu-siocia (nona Khu)” jawab Cio San
“Oh begitu. Ada keperluan apa Hongswe terhadap calon adik iparku?” tanya Liong Kim Sa.
Sebutan ‘ipar’ ini sejak tadi menghujam jantung Cio San.
“Cayhe hanya ingin berbicara beberapa patah kata kepadanya. Mohon Liong-tayhiap mengijinkan. Setelah itu cayhe akan pergi” kata Cio San.
“Pergi? Memangnya hongswe pikir Lembah Naga adalah kedai arak? Bisa datang dan pergi sesuka hati” kata Liong Kim Sa, masih dengan senyumnya yang ramah.
Tiba-tiba Cio San merasa keluarga ini sungguh tidak ramah.
“Apa yang harus cayhe lakukan agar dapat bertemu dengan Khu-siocia (nona Khu)?” tanya Cio San.
“Tidak ada” jawab Liong Kim Sa pendek. Lanjutnya,
“Kami menerimamu datang ke sini dengan ramah, karena kaisar sendiri menganggapmu tinggi. Tapi jika kau datang untuk mencari masalah, aku tidak segan-segan mengusirmu pergi”
“Aku datang tidak ingin mencari masalah. Hanya ingin bertemu dengan Khu-siocia dan berbicara barang sebentar” ujar Cio San.
“Apa yang ingin kau katakan kepada calon adik iparku, bisa kau katakan kepadaku” kata Liong Kim Sa.
Cio San tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Memaksa bertempur pun bukan jalan terbaik. Ia datang dengan baik-baik. Bukan untuk mencari masalah.
Tapi herannya masalah selalu datang kepadanya.
“Bisakah aku bertemu dengan adik anda? Calon suami nona Khu....”
“Tidak” jawaban pendek itu kembali muncul.
“Tuan, aku menempuh perjalan berbulan-bulan untuk sampai ke tempat ini, mohon beri sedikit kelonggaran” kata Cio San.
“Itu bukan masalahku” jawab Liong Kim Sa.
“Aku dulu adalah calon suami nona Khu juga, setidaknya tuan bisa mengerti” kata Cio San.
“Aku tidak mengerti” jawab Liong Kim Sa ketus.
“Baiklah. Jika begitu, mohon maaf jika aku memaksa” kata Cio San.
“Silahkan”
Liong Kim Sa lalu memasang kuda-kuda.
Cio San tidak memasang kuda-kuda. Ia tidak perlu kuda-kuda.
Begitu ia bergerak, terdengar seruan seseorang, “Tahan!”
Ia melihat seorang laki-laki tampan bertubuh tegap sedang dipapah seseorang.
“Seseorang” itu tentu saja sosok yang dicari-carinya selama ini.
Ia begitu indah, begitu bercahaya.
Hati Cio San mencelos.
Akhirnya.
“Ling-mey” bisiknya.
“Aku Liong Tay Ping, calon suami nona Khu” kata pria yang dipapah itu.
“Salam. Cayhe she (marga) Cio bernama San” kata Cio San sambil menjura.
“Ah, Cio-Hongswe (Jenderal Phoenix Cio) memang segagah berita yang cayhe dengar” kata Liong Tay Ping.
“Tidak berani...tidak berani. Liong-enghiong (ksatria Liong) apakah menderita sakit?”
Liong Tay Ping hanya tersenyum.
“Bolehkah cayhe memeriksa Liong-enghiong? Cayhe memiliki sedikit pengetahuan tentang pengobatan” kata Cio San.
Liong Tay Ping hanya tertawa dan berkata,
“Siapa yang tidak pernah mendengar tentang ilmu pengobatan Cio-Hongswe. Tapi, cayhe sungguh tidak enak hati jika merepotkan......”
Cio San sudah maju, lalu ia memegang urat nadi Liong-tayhiap. Terbayang sedikit kekagetan.
“Nadi enghiong sungguh kacau. Menurut pandangan cayhe, anda kehilangan banyak sekali tenaga dalam. Urat jantung juga sangat kacau.”
Cio San seperti hendak menyalurkan tenaga dalam, tetapi Liong Tay Ping mencegahnya, “Tidak perlu, Hongswe. Cio-hongswe pasti tahu bahwa nadi dan urat jantung cayhe walaupun sangat kacau, kini sudah membaik dan mulai wajar kembali, bukan?”
“Iya benar. Beberapa bulan yang lalu pasti enghiong sangat menderita sekali dan bahkan hampir mengalami kematian. Untunglah kesehatan enghiong berangsur-angsur pulih. Bolehkah cayhe tahu enghiong beradu tenaga dengan siapa hingga menderita seperti ini?” tanya Cio San.
Liong Tay Ping terlihat canggung. Ia berkata,
“Masalah ini, sebaiknya kita bicarakan berdua saja. Mari”
Dengan tertatih ia mengajak Cio San pergi dari situ. Khu Ling Ling yang selama ini diam saja pun tak berkata apa-apa ketika Liong Tay Ping melepas pegangannya dan berjalan tertatih-tatih.
Ingin rasanya Cio San memegang tangan Liong Tay Ping dan membantunya berjalan, tapi ia segera sadar bahwa perbuatan itu malah akan merendahkan Liong Tay Ping.
Ingin juga ia menyapa Khu Ling Ling, menggenggam tangannya, atau bahkan memeluknya. Tapi gadis cantik itu bahkan menoleh pun tidak. Ia membuang muka dan hanya menatap punggung kekasihnya, Liong Tay Ping.
Cio San tak tahu harus bersikap bagaimana. Ia akhirnya berbalik badan dan mengikuti langkah Liong Tay Ping.
Dengan pelan mereka berdua berjalan memasuki sebuah daerah yang sangat indah. Cahaya lampu yang ditata sedemikian rupa di dalam tempat itu membuat suasana dan pemandangan bagaikan bermandikan cahaya berwarna-warni.
Jika tidak sedang dalam masalah, Cio San tentu akan sangat menikmati keberadaannya di situ.
“Mari silahkan duduk, Hongswe” kata Liong Tay Ping mempersilahkan.
Cio San mengangguk dan membiarkan Liong Tay Peng duduk lebih dahulu.
Setelah duduk, pendekar berwajah tampan itu lalu berkata,
“Kita berdua sama-sama laki-laki, dan laki-laki seharusnya tidak banyak berbasa-basi” katanya pelan.
Cio San hanya mengangguk dan tersenyum.
Liong Tay Ping berkata, “Hongswe pasti tahu bahwa sebelum menjalin hubungan dengan hongswe, Khu Ling Ling pernah menjalin hubungan dengan cayhe”
Cio San menggeleng,
“Nona Khu tidak pernah bercerita”
“Aaaah” Liong Tay Ping mengangguk perlahan.
Jika wanita tidak pernah menceritakan tentang kekasihnya yang lama, itu bisa berarti ia sudah benar-benar melupakannya. Namun bisa juga berarti bahwa ia benar-benar masih mengenangnya.
“Walaupun belum resmi bertunangan, kami memang pernah menjadi sepasang kekasih” jelas Liong Tay Ping.
Ia melanjutkan, “Saat itu, dikarenakan usia kami yang masih muda dan terlalu terbawa emosi, hubungan kami berakhir. Beberapa bulan kemudian cayhe mendengar bahwa Khu-siocia (nona Khu) telah menjalin hubungan dengan Hongswe”
Cio San menyimak dengan seksama.
Lanjut Liong Tay Ping,
“Setelah mendengar kabar itu, cayhe baru sadar bahwa cayhe masih, dan sangat mencintainya. Tak berapa lama kemudian cayhe jatuh sakit. Sakit yang cukup aneh karena tak ada satu pun tabib yang sanggung mengobatinya”
Ia melanjutkan,
“Berbagai macam tabib sudah pernah dipanggil kesini. Bahkan sampai mendatangkan seorang tabib sakti dari kuil Buddha di Tibet”
“Apakah tabib itu bernama Su Hai-lama yang berjulukan tabib dewa bermuka muram?” tanya Cio San.
“Benar sekali, pengetahuan Hongswe sungguh luas”
“Aih, jika tabib dewa itu sudah turun tangan, tentu saja kesehatan enghiong segera membaik” kata Cio San.
“Sayangnya tidak. Justru tabib dewa itu hanya menggelang-gelengkan kepala dengan sedih dan berkata bahwa penyakit cayhe sudah sangat parah, beliau sendiri tak mampu menyembuhkan”
Cio San kaget juga. Jika tabib dewa bermuka muram saja sudah angkat tangan, orang di seluruh dunia ini pun pasti akan angkat tangan pula.
“Lalu bagaimana keadaan enghiong bisa membaik?” tanya Cio San.
“Beliau berkata penyebab penyakit hamba cuma satu, dan obat penyembuhnya juga cuma satu. Bahkan penyebab dan penyembuhnya pun merupakan hal yang sama”

Cio San sudah tahu jawabannya.

Tentu saja “Cinta”

Di dunia ini, jika ada hal yang begitu indah namun pada saat yang bersamaan terasa menakutkan itu hanyalah cinta. Hanya cinta yang mampu melukai dengan sangat dalam, namun cinta jualah yang mampu menyembuhkan dengan sangat cepat.

Hanya cinta yang membuat orang waras menjadi gila, dan orang gila menjadi waras. Membuat perempuan baik-baik berubah menjadi nakal, dan permpuan nakal menjadi wanita baik-baik.

Hanya cinta yang mampu membuat laki-laki gagah menjadi lunglai, lesu, dan kehilangan semangat. Hanya cinta pulalah yang membuat lelaki pemalas dan awut-awutan berubah menjadi rajin, tampan, dan begitu mempesona.

Hanya cinta.

Hanya cinta yang punya kekuatan begitu besar yang mampu menghancurkan manusia terkuat yang paling berkuasa sekalipun. Hanya cinta pulalah yang mampu mengangkat seorang manusia biasa saja menjadi manusia yang paling dikenang.

“Cinta” kata Liong Tay Ping.

Karena cinta pula maka seorang pria yang sakit sekarat hampir mati menjadi tersembuhkan dan kembali menjalani hidup.

Apakah karena ‘cinta’ pula sehingga Khu Ling Ling meninggalkan kekasih yang baru dan pulang kepada kekasih yang lama?

Cinta bisa membuat seseorang berbuat apa saja.

Cinta bisa mendatangkan yang baru, atau mengembalikan yang dulu hilang.

Cio San mengerti.

Khu Ling Ling mungkin masih mencintai lelaki di hadapannya ini. Begitu mendengar lelaki ini sakit parah dan sekarat, segera Khu Ling Ling datang menemuinya. Hadir di sampingnya, merawatnya hingga sembuh.

Kekuatan seorang wanita itu begitu dahsyat. Biasanya seorang laki-laki baru akan mengerti kekuatannya saat wanita itu sudah begitu jauh menghilang.
Wanita memang selalu seperti itu. Mereka selalu pergi menghilang.

Tetapi jika mereka kembali, yang mereka bawa adalah harapan yang cerah.
Cio San dan Liong Tay Ping hanya duduk saling berhadapan dalam diam. Dua orang laki-laki yang begitu berseberangan tetapi saling mengerti.

Begitu lama mereka larut dalam pikiran masing-masing. Hingga kemudian Cio San mengangguk sambil tersenyum,

“Baiklah. Cayhe (saya) dapat menerima keadaan ini. Cayhe berharap enghiong segera sembuh dan segera dapat menikahi nona Khu” katanya tulus.

Ia bangkit dari duduknya lalu menjura, “Cayhe (saya) mohon diri untuk pulang”
Liong Tay Ping pun bangkit dari duduknya dan menjura,
“Atas pengertian Hongswe ini, cayhe sungguh berterima kasih. Jika ada hal yang sanggup cayhe lakukan.....” segera ia menghentikan ucapannya.

Ia sadar, tak ada hal yang sanggup ia lakukan untuk Cio San.

Tak ada hal yang dapat dilakukan seorang laki-laki kepada lelaki lain yang telah direbut kekasihnya.

Kecuali meminta maaf.

Dan itulah yang dilakukannya,

“Cayhe sungguh meminta maaf atas kejadian ini” katanya sambil menjura.
Cio San dengan mata bersinar-sinar dan senyum yang pahit, berkata
“Tidak ada yang salah dalam cinta, enghiong. Karena cinta tak pernah salah”
Mereka berdua hanya mengangguk lalu kemudian beranjak dari situ.

Sambil berjalan, Liong Tay Ping bertanya,

“Apakah Cio-hongswe ingin berbicara dengan Khu-siocia (nona Khu)?”
Cio San mengangguk.

Walaupun perpisahan ini menyedihkan, ia harus tetap menghadapinya. Ia harus mampu mengucapkan selamat tinggal. Ia harus mampu mengerti jalan yang diambil nona itu.

Liong Tay Ping dan Cio San telah sampai di tempat mereka bertemu pertama kali. Khu Ling Ling masih di sana. 

Sendirian.

Liong Tay Ping pun memilih melanjutkan berjalan masuk ke sebuah ruangan. Meninggalkan Cio San dan Khu Ling Ling di sana.
“Ling-mey (adik Ling), aku pulang”
Khu Ling Ling hanya mengangguk.

Wajahnya begitu kosong.

Tapi begitu cantik.

Cio San mencoba meraih tangannya. Ia ingin menyentuhnya sekali saja.

Sekali saja.

Untuk kemudian tak akan lagi menyentuhnya selama-lamanya.

Tapi gadis itu menarik tangannya.

Perempuan.

Jika ia sudah tidak cinta, bahkan untuk menyentuh tangannya saja terasa mustahil.

Cio San mengangguk mengerti.

“Pergilah” kata Khu Ling Ling. Kata-kata ini lembut. Bahkan ada senyuman lembut dan indah di bibirnya.

Seperti kata-kata seorang istri yang melepas suaminya berangkat kerja.
Matanya masih seperti yang dulu.

Berbinar-binar seolah-olah cahaya seluruh bintang di langit telah dikumpulkan di matanya.

Perempuan.

Jika mereka sudah tidak cinta, mengapa masih bisa tersenyum dengan begitu indah?

Cio San berbalik punggung.

“Selamat tinggal” katanya

“Selamat jalan” jawab gadis cantik itu.

Cio San berjalan terus tanpa menoleh. Jika ia menoleh, bisa saja ia akan berlari memeluk gadis itu. Memeluknya erat-erat dan membawanya pergi dari sana.

Khu Ling Ling pun berjalan pergi.

Laki-laki dan perempuan yang pernah saling mencinta, kini berjalan pergi berlawanan arah.

Mendengarkan cerita seperti ini saja sudah membangkitkan perasaan yang menyakitkan.

Cio San terus berjalan, ia kembali bertemu anak kecil itu lagi.
“Bisakah aku pulang melewati jalan yang lain?” tanyanya.
“Tayhiap tidak ingin bertemu teman-teman tayhiap di depan sana?”
Cio San menggeleng. Untuk kali ini, dalam sepanjang hidupnya ia tidak menunaikan janjinya terhadap sahabat-sahabatnya.
Ia tidak sanggup menemui mereka.
“Baiklah” jawab anak kecil itu.
Mereka pun beranjak dari situ.

Suma Sun dan Cukat Tong masih menanti di depan dengan sabar. Mereka percaya penuh terhadap Cio San. Jika Cio San bilang akan kembali, ia akan kembali tepat sesuai janjinya. Apapun yang terjadi di dalam sana, mereka yakin Cio San akan kembali.

Alangkah kagetnya mereka ketika ternyata yang muncul adalah anak kecil itu lagi!

“Cio-hongswe sudah pulang” katanya “Harap tuan-tuan sekalian juga segera meninggalkan tempat ini” kata-katanya sungguh tidak sopan, namun diucapkan dengan riang gembira khas anak-anak.
“Eh, kau mengusir?” tanya Cukat Tong.
“Tentu saja. Ini rumahku, aku berhak mengusir tuan sekalian. Hihihi.” katanya sambil tertawa, ia lalu maju ke depan sambil menyerahkan sebuah surat.
“Ini surat dari Cio-Hongswe kepada tuan”

Cukat Tong membukanya dan membaca.

“Aku pergi. Aku perlu menenangkan pikiran dan melupakan segala yang terjadi. Kalian tidak usah mencariku, aku akan datang membawa ratusan guci arak saat aku kembali. Sampaikan salamku kepada Bwee-cici dan Lin Hua.”
Terdapat stempel bergambar burung Hong (Phoenix) di bagian bawah surat itu.

Stempel itu langsung diberikan oleh kaisar kepada Cio San, sebagai bentuk rasa terima kasih atas jasa-jasa Cio San.

“Nampaknya ia memang tak ingin bertemu dengan kita” kata Cukat Tong kepada Suma Sun yang disambut dengan anggukan kepala oleh Suma Sun.
“Eh adik yang baik” kata Cukat Tong kepada anak kecil itu “Bolehkah kami pulang dengan melalui jalan yang sama dengan jalan yang dilalui Cio-hongswe?”

“Tentu saja. Memangnya tuan-tuan ini ingin memanjat ke atas?”

Kedua orang ini tersenyum melihat tingkah anak kecil ini. Walaupun kata-katanya tak tahu aturan, tapi diucapkan dengan wajar dan menyenangkan. Mau tak mau Cukat Tong dan Suma Sun tersenyum saja menyaksikan tingkah polah anak ini.

Mereka berjalan melewati berbagai daerah lembah es itu. Pemandangan yang menakjubkan membuat Cukat Tong acap kali berdecak kagum.
“Kau dari tadi berdecak terus. Jangan-jangan sudah banyak barang yang masuk ke dalam saku bajumu?” canda Suma Sun.
“Haha, walaupun aku dijuluki raja maling, untuk mengambil barang dari sini, setidaknya aku harus berpikir seribu kali” tukasnya
“Memangnya kenapa?” tanya Suma Sun.
“Ada nona cilik galak yang siap menerkam” sindiran ini tentu saja dipahami oleh anak kecil yang berada di depan.
“Eh, tuan raja maling ini masih sakit hati gara-gara ku usir pergi ya?” tawanya.
Suma Sun tertawa ewa.
Cukat Tong tertawa pula, katanya “Jadi anak gadis jangan galak-galak, jika kau seperti ini terus anak laki-laki tak akan mau mendekatimu”
“Eh jangan salah, justru anak gadis bawel seperti aku, selalu menarik di hadapan anak lelaki” jawab si gadis kecil sambil tertawa.
“Untuk ukuran anak seusiamu, kau rupanya punya banyak pengalaman juga” sahut Cukat Tong sebal. Sejak tadi ia kalah bicara terus dengan anak kecil itu.
“Memangnya tuan pikir berapa usiaku?”
“Paling tak lebih dari 12 atau 13 tahun”
“Haha. Usiaku 40 tahun” jawab anak itu.
“Empat puluh?! Selain suka bergurau kau juga punya bakat tukang bohong” kata Cukat Tong tertawa.
“Memangnya apa gunanya aku bohong? Kau toh tak memberiku uang jika berhasil ku bohongi. Memangnya kau tak pernah dengar ada manusia-manusia dengan keadaan tubuh seperti aku? Di dunia ini kan banyak pula perempuan-perempuan tua tapi kecantikannya masih seperti nona-nona remaja. Heran, bagaimana mungkin orang yang dijuluki raja maling bisa punya pandangan dan pengetahuan yang sedemikian sempit” cerocos anak itu panjang lebar.
Merasa kalah bicara, Cukat Tong hanya bisa mengangguk-angguk membenarkan.
“Wah, kalau begitu engkau harus kupanggil apa?” tanya Cukat Tong.
“Panggil aku cici (kakak perempuan)” jawab si gadis kecil.
Tapi Suma Sun segera memotong, “Jika kau berumur 40 tahun, bagaimana mungkin kau memanggil Khu-siocia sebagai kakak ipar?”
“Ah, kau masih ingat saja perkataanku tadi. Dia kan jelas-jelas calon istri kakak ku, tentu saja ku panggil sebagai kakak ipar”
“Memangnya kakakmu umur berapa tahun?” tanya Suma Sun.
“Tahun ini genap 58”
“Heh? Mengapa ia memilih jodoh setua itu?” tukas Cukat Tong.
“Hey, terserah nona Khu lah! Mau tua kek, mau remaja kek, memangnya apa urusanmu?” tukas gadis kecil itu sengit.
Suma Sun hanya tertawa.
Si gadis melanjutkan, “Tempat tinggal kami ‘Lembah Naga Es’ memiliki cuaca yang berbeda dengan dunia luar, memiliki tumbuh-tumbuhan yang berbeda dengan dunia luar. Cara hidup kami pun berbeda dengan dunia luar. Itulah sebabnya tubuh kami pun berbeda dengan dunia luar. Kalian mengerti tidak?”
Bagai kerbau yang dicocok hidung, kedua pendekar besar itu hanya mengangguk-anggukan kepala dituturi oleh seorang gadis kecil.
“Nah!”
Katanya sambil melipat tangan di dada dan menunjukkan wajah angkuh.
Tak lama kemudian mereka sampai di mulut goa. Cahaya dunia luar telah menembus masuk. Lembah itu ternyata memang tertutupi berbagai jalan rahasia yang hanya diketahui oleh penghuni lembah itu.
“Aku hanya bisa mengantar kalian sampai di sini” kata si gadis kecil.
“Baiklah. Terima kasih, cici (kakak perempuan)” tukas Cukat Tong.
“Hati-hati di jalan ya!” katanya sambil berbalik badan dan tersenyum riang. Ia lalu pergi dengan ringan.
Suma Sun dan Cukat Tong tersenyum.
Mereka berjalan dan keluar dari goa.
Dunia luar yang menantang!
Hembusan angin dingin, rengkuhan salju, dan alam yang ganas. Serasa mereka berpindah dunia dalam sekejap.
“Bau Cio San terhenti sampai di sini” kata Suma Sun.
“Kau tidak bisa mengendusnya lagi? Masa ia hilang begitu saja di telan bumi?” tanya Cukat Tong.
“Ia memang hilang. Tapi bukan di telan bumi, melainkan di telan sungai yang membeku itu” kata Sum Sun sambil menunjuk sebuah sungai  yang membeku.
“Maksudmu, Cio San tenggelam?”
“Tidak. Ia memang sengaja masuk ke sungai beku itu. Sungai ini hanya bagian atasnya saja yang beku, bagian bawahnya masih mengalir”
“Memangnya  untuk apa dia sengaja mengambil resiko ini?”
“Ia tidak ingin ditemukan” jawab Suma Sun.
“Tapi seorang Suma Sun kan masih tetap dapat menemukannya” ujar Cukat Tong.
“Jika ia tak ingin ditemukan, bahkan apabila seluruh manusia ini berubah menjadi Suma Sun pun, tentu saja tak akan dapat menemukannya”
Cukat Tong menggeleng-gelengkan kepala,

“Cinta”

Hanya itulah yang terucap dari bibirnya.

Tapi maknanya begitu mendalam.

Ada saat di mana ketika seorang lelaki harus menjalani hal dalam hidupnya sendirian. Tak seorang pun sahabat yang mampu menemaninya, dan mampu meringankan penderitaan hatinya.

Cio San benar-benar harus sendirian.
Ia butuh sendirian.

Manusia butuh waktu untuk melupakan dan menyembuhkan kesedihan.
Sebenarnya keberadaan sahabat-sahabat akan jauh lebih menenangkan, tapi tetap saja, manusia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri.

Dan Cio San adalah manusia.

Manusia biasa.

Yang memiliki hati dan perasaan.

Sehebat apapun seorang pendekar dalam ilmu silatnya, tetap saja ia tak akan sanggup melindungi hatinya. Karena tak ada satu pun ilmu di dunia ini yang mengajarkan cara untuk melindungi dan membentengi hati dari luka kesedihan.

Cukat Tong sangat mengerti hal ini. Karena ia sendiri telah mengalaminya.
“Biarkan ia sendiri. Hanya dirinya sendirilah yang bisa mengobati luka-lukanya”

Jika orang-orang berkata bahwa hanya cinta baru yang mampu menyembuhkan luka atas cinta lama, mereka salah. 

Yang mampu menyembuhkan itu hanyalah diri sendiri. Bukan orang lain. Hanya mereka yang mau berdiri kembali yang sanggup berdiri. Jika ia tidak memiliki tekad untuk berdiri, jangan harap akan bisa berdiri walaupun ada ratusan orang yang membantunya berdiri.

“Bagaimana hasil penyeledikanmu tadi terhadap tempat itu?” tanya Suma Sun.
“Dari mana kau tahu aku tadi menyelidiki tempat itu?” Cukat Tong balik bertanya.
“Kau sengaja bercanda dengan anak kecil itu adalah sengaja untuk mengalihkan perhatian, kan?” ujar Suma Sun.
“Tampaknya cara berpikirmu sudah ketularan Cio San” tawa Cukat Tong. Sambungnya, “dari hasil pengamatanku, penghuni lembah itu totalnya tak lebih dari 20 orang. Sebagian menempati pos masing-masing. Cio San memang sudah tidak berada di tempat itu. Khu Ling Ling memang di sana. Dan tempat itu menyimpan banyak tempat pusaka”
“Ada pedang yang bagus di sana?”
“Ada” tukas Cukat Tong
“Berarti setidaknya ada seorang pendekar pedang di sana”
“Kau tidak tertarik menantangnya?”
“Ia masih belum pantas menantangku” jawab Suma Sun.
“Mengapa demikian?”
“Jika pantas, sudah sejak tadi ia muncul”
“Bisa saja tempat itu menyimpan ‘Harimau mendekam, Naga sembunyi’ (tempat tenang yang menyembunyikan bahaya besar)
“Kau tidak mengerti isi hati para pendekar pedang. Mereka berbeda dengan pendekar umumnya. Sifat selalu ingin menjadi nomer satulah yang membuat mereka menjadi seperti itu”
Cukat Tong mengangguk-angguk. Katanya,
“Mari kita pulang. Tidak ada yang dapat kita perbuat di sini”
Suma Sun pun mengangguk pula. “Sebelum pergi, bisakah kau menjelaskan apa yang sebetulnya tengah terjadi dengan Cio San?”
“Aih, pendekar pedang seperti kau tak akan mengerti” rupanya ia ingin membalas perkataan Suma Sun tadi.
Suma Sun pun hanya tersenyum saja.
Urusan perasaan manusia memang tidak mudah ia pahami.
Kedua pendekar sakti itu berjalan jauh dan menghilang di tengah derasnya salju.


Khu Ling Ling memandang mereka dari kejauhan. Hatinya seperti melayang entah kemana. Liong Tay Ping datang dan menyentuh pundaknya dengan halus,
“Apa yang sedang kau pikirkan memey (adik)?”
Khu Ling Ling hanya menggeleng. Air mata menggenang di sudut pipinya.
“Ini adalah jalan yang harus kau ambil, demi kebaikan bersama. Demi kebaikan semua orang. Umat manusia akan mengenang pengorbananmu” kata Liong Tay Ping menenangkan.

“Sungguh malang nasibnya” kata Khu Ling Ling.

Liong Tay Ping hanya bisa menggeleng-geleng.

“Tidak adikku sayang, justru nasibmu yang sungguh malang”

Khu Ling Ling hanya bisa diam, lalu ia memeluk Liong Tay Ping.

“Terima kasih atas apa yang sudah engkau lakukan untukku” katanya nona cantik itu.

Air matanya tak berhenti mengalir dengan derasnya.











Related Posts:

0 Response to "Episode 2 Bab 1: Jika Ingin Datang, Mengapa Pergi? Jika Ingin Pergi, Mengapa Datang?"

Posting Komentar