Bab 6 Berlarilah Mencari Kebenaran




Cio San rasa-rasanya sangat menikmati keberadaannya di puncak Butongsan ini. Pemandangannya indah sekali. Udara yang sangat segar membuatnya semangat berlatih dan belajar. Malah ia sudah mulai mengembangkan ilmu baru lagi.

Suatu saat ketika ia bermain khim, ia mengingat semua ajaran pemainan khim dari A Liang. Ingatan tentang permainan khim ini secara tidak sengaja muncul pada saat ia berlatih silat. Bukan gerakan tangan dalam bermain khim yang diingatnya, melainkan teori teori bermain khim. Seperti bagaimana mengalunkan perasaan, dan lain-lain.

Tak terasa Cio San bersilat sambil mengingat perasaan itu. Pikirannya dan perasaannya seperti bermain khim, namun tubuhnya bersilat. Sambil bersilat kadang ia menangis, kadang ia tertawa, kadang ia riang gembira. Jika ada orang yang melihatnya, Cio San mungkin akan dianggap gila. Lama sekali Cio San bersilat seperti itu. Tak terasa sudah berapa jurus yang disilatkannya.

Sampai akhirnya ia berhenti sendiri. Cio San berdiri dengan diam. Ia kagum atas apa yang terjadi.

“Apa yang terjadi ini? Darimana semua gerakan ini berasal?” ia bertanya di dalam hati.

“Aku sempat mengalami hal seperti ini ketika berlatih di perguruan beberapa waktu yang lalu. Mengapa setiap aku bersilat tapi tidak berfikir tentang ilmu silat, aku malah bisa menghasilkan gerakan-gerakan aneh seperti ini?”

Pikirannya bekerja. Memang daya pikirnya luar biasa sekali. Tuhan sungguh adil dengan segala kekurangan fisik Cio San, Tuhan memberkatinya dengan daya pikir yang cerdas sekali.

Cio San menyadari bahwa ia bisa memainkan gerakan-gerakan yang tadi jika ia mengacuhkan segala teori tentang ilmu silat. Justru dengan berfikir sederhana dan mengalirkan segala pikirannya ke satu fokus, maka ia bisa memainkan jurus-jurus itu.

“Hmmmm..., apakah gerakan-gerakan ini akan berguna di pertarungan yang sesungguhnya? Ataukah ini hanya gerakan biasa yang timbul karena aku mengosongkan pikiran. Jika ini hanya gerakan biasa, mengapa tubuhku serasa dipenuhi oleh chi (energi)?”

Ia lalu memutuskan untuk mencoba lagi. Pada awalnya susah untuk mengosongkan pikiran dan melakukan hal yang sama. Karena gerakan-gerakan tadi mengalir dengan spontan tanpa dipikrkan sebelumnya. Jika dipikirkan sebelumnya malah gerakan itu tidak akan mengalir keluar. Cio San rupanya paham dengan teori ini.

Dengan segala upaya dia mengosongkan pikiran dan mencoba untuk melakukan hal yang seperti tadi. Akhirnya setelah mencoba ia berhasil menemukan gerakan-gerakan itu kembali. Chi-nya mengalir dengan lancar, tubuhnya terasa kuat lagi.

Senangnya Cio San menemukan jurus-jurus baru itu, “Sayang Liang-lopek tidak bisa datang akhir-akhir ini. Ia pasti senang melihat jurus-jurus ini.” pikirnya.

Cio San lalu menghabiskan waktunya berhari-hari untuk membiasakan diri dengan jurus-jurus baru itu. Kadang ia gagal, kadang ia berhasil. Ternyata jurus-jurus itu tidak boleh diingat. Semakin diingat, ia malah semakin bingung dan gerakannya tidak mengalir dengan lancar.

Jika ia mengosongkan pikiran dan tidak memikirkan tentang gerakan-gerakan itu, malah jurus-jurusnya akan semakin mengalir lancar. Pengertian ini akhirnya semakin dipahaminya. Sehingga ia merasa cara terbaik untuk melatih jurus-jurus itu adalah dengan tidak mengingat-ingatnya sama sekali.

Tak terasa waktu hukumannya dipuncak Butongsan sudah mendekati selesai. Dalam beberapa hari lagi, ia sudah diperbolehkan turun gunung. Setelah berhari-hari melatih jurus silat barunya itu, ia memutuskan untuk berburu rusa. Ia ingin memasak enak, sekaligus mencoba resep-resep baru yang  pernah ia baca di buku A Liang itu.

Ia lalu berkeliling hutan di sekitar situ. Hutan di situ memang penuh dengan berbagai macam hewan yang bisa diburu. Lama mencari tak terasa Cio San sudah jauh dari gubuknya. Berburu rusa seperti ini dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan tersendiri. Untung setiap murid Butongpay sudah diajari berburu hewan sejak awal mereka masuk perguruan.

Hampir 3 jam ia berburu, tidak satupun rusa atau hewan buruan yang bisa ditemuinya. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang, dan menangkap ikan saja untuk makan siangnya.

Di tengah jalan, ia malah bertemu A Liang, “Lopek, kenapa disini? Bukankah 3 hari lagi sudah perayaan peringatan mendiang Thay suhu?” Cio San heran bertemu A Liang dalam perjalanannya pulang ke gubuk.

“Sudah hampir 2 jam aku mencarimu, cepat kita turun gunung sekarang...”

“Ada apa lopek?” tanya Cio San keheranan,

“Sudahlah, ayo ikuti aku. kita harus cepat, nanti aku jelaskan semuanya” kata A Liang

Cio San menurut saja. Agak kaget juga ketika A Liang memegang tangannya dan mengajaknya berlari. Kencang sekali larinya A Liang bagaikan terbang. Seperti seorang ahli silat kelas atas. Banyak sekali pertanyaan yang timbul di hati Cio San, namun ia menahan diri. A Liang pasti akan menjelaskan semuanya.

Mereka berlari tanpa berhenti menuruni gunung. Hampir separuh perjalanan, mereka dikagetkan oleh bunyi petasan diatas langit. Ada warna merah yang terang sekali. Padahal saat itu siang hari. Cio san mengetahui bahwa itu adalah tanda bahaya khusus bagi perguran Butongpay. Jika berwarna merah berarti yang menyalakannya adalah murid golongan ketiga.

Cio San melihat ke langit dan merasa bahwa tanda bahaya itu berasal dari puncak gunung. Siapa sebenarnya yang menyalakannya? Ada kejadian apa di puncak gunung sana? Apakah A Liang mengajaknya turun dengan terburu-buru ada hubungannya dengan kejadian di sana?

Cio San tidak mau bertanya karena ia yakin sepenuhnya pada A Liang. Pasti ada alasannya. Mereka berdua terus berlari turun. Tapi jiwa pendekar yang tumbuh di hatinya itu sudah tidak tahan lagi, “Lopek, tanda bahaya sudah dibunyikan, kita seharusnya pergi kesana. Ada murid Butongpay yang membutuhkan pertolongan” kata Cio San.

“Percayalah kepadaku Cio San. Akan ku jelaskan semua” jawab A Liang

Mereka terus berlari namun tidak berapa lama kemudian, mereka berpapasan dengan puluhan murid Butongpay yang naik ke puncak gunung.

Rupanya 2 orang dari 4 tetua Butongpay sendiri yang memimpin rombongan itu Oey Tang Wan yang wajahnya ramah dan sabar, dan Yo Ang yang tubuhnya kecil namun bermata mencorong.

Yo Ang yang menegur mereka berdua lebih dulu, “Kalian mau kemana? Siapa yang menyalakan tanda bahaya?”

A Liang yang menjawab, “Kami tidak tahu siapa yang menyalakannya, totiang..”

“Lalu kenapa kalian malah turun dan bukan memeriksanya?” kata Yo Ang ketus, “Ayo kalian berdua ikut rombongan dan naik ke atas!”

A Liang tidak menjawab dan hanya diam, nampaknya ia ragu-ragu untuk mengikuti perintah Yo Ang. Yo Ang pun mengetahui keraguan itu. Ia lalu berkata, “Kenapa ragu, ayo ikut sekarang” perintahnya dengan mata yang semakin mencorong.

Malah Cio San yang gantian memegang tangan A Liang untuk mengajaknya ikut rombongan. “Ayo lopek, kita ikut saja, Jangan membuat Yo totiang marah.”. Akhirnya A Liang menurut saja diajak Cio San.

Mereka semua berlari ke atas. Yo Ang dan Oey Tang Wan berada paling depan karena ilmu meringankan tubuhnya paling hebat. Kemudian diikuti beberapa murid.lain. Cio San merasa heran ternyata ia bisa mengikuti kecepatan murid-murid yang lebih tinggi tingkatannya dari dirinya sendiri.

A Liang sendiri agak tertinggal di belakang sehingga Cio San harus memperlambat larinya untuk bisa bersama dengan A Liang.

Sesampai di puncak gunung, terlihatlah pemandangan yang mengerikan. Sebuah tubuh terpisah dari kepalanya. Letaknya persis di depan gubuk. Masih belum ketahuan siapa pemilik tubuh nahas itu.

Ketika didekati, jelaslah sudah. Itu tubuh Tan Hoat!

Semua berteriak penuh kekagetan. Cio San yang baru tersadar atas apa yang terjadi, dan siapa mayat itu langsung jatuh lunglai dan menangis. Gihu sekaligus suhunya itu memang sangat disayanginya. Ia menangis dan meratap. Memanggil-manggil nama gihunya.

“suhu...suhu....” hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya. Bersama air mata yang mengalir deras di kedua pipinya.

Semua orang yang menyaksikan kejadian ini semakin bersedih. Memang siapapun yang melihat kejadian seperti ini dan tidak menangis, boleh dibilang bukan manusia.

“A Liang apakah kau tahu apa yang terjadi disini?” selidik Yo Ang.

“Tidak totiang...” jawab A Liang

“Bukankah hanya kalian berdua yang ada di atas sini? Mengapa bisa tidak tahu? Mengapa juga kalian lari tergesa-gesa menuruni gunung?

A Liang tidak bisa menjawab apa-apa. Ia hanya terdiam.

“Ayo jawab!” bentak Yo Hang.

Lanjutnya, “Atau jangan-jangan kau ada hubungannya dengan pembunuhan ini?” tanya Yo Hang, tangannya sudah mulai mengambang, akan ada jurus yang ia keluarkan melalui tangan ini.

“Percayalah, saya tidak ada hubungannya dengan ini semua totiang...” jawab A Liang.

Suasana mulai menegang. Oey Tang Wan, orang yang paling sabar dari keempat totiang Butongpay lalu berkata; “Murid-murid Butongpay, kalian berpencar. Cari apakah ada orang lain di atas bukit ini. Seujung rumput pun jangan kalian biarkan tidak terperiksa. Ayo laksanakan” Begitu perintahnya keluar seluruh murid yang ada disitu bergerak dengan ringkas.

Sedangkan Yo Ang berkata, “A Liang kau tetap disini sampai semua murid kembali lagi”

Para murid mencari. Hampir satu jam mereka menyebar dan memeriksa tidak ada satu pun petunjuk yang mereka temukan.

Dengan marah Yo Ang berteriak, “Ayo A Liang cepat katakan mengapa kau lari turun dengan terburu-buru?”

Melihat A Liang diam saja, memuncaklah kemarahan Yo Ang. Ia lalu menyerang tukang masak Butongpay itu.

Dan yang mengherankan adalah A Liang bisa menghindari serangan itu hanya dengan satu gerakan.

Bertambah marahlah Yo Ang, dilancarkannya jurus-jurus Butongpay. Serangannya semakin menghebat dari jurus ke jurus. Namun kesemuanya bisa dihindai oleh A Liang.

“Katakan siapa kau sebenarnya? Mengapa tukang masak seperti engkau bisa menghindari pukulan-pukulanku?” kalimat ini diucapkan berbarengan dengan puluhan pukulan hebat. Namun A Liang terus menghindarinya.

Murid-murid Butongpay yang terheran-heran dengan kejadian ini tidak berani membantu Yo Ang, karena mereka tahu bantuan mereka dalam pertempuran tingkat seperti itu hanya akan mengacaukan jurus orang yang mereka bantu.

Melihat kehebatan A Liang dalam menghindari jurus-jurus itu, Yo Ang mulai mengeluarkan jurus andalan Bu Tong pay. Jurus-jurus hebat itu walaupun lembut namun sebenarnya sangat ganas. A Liang walau bagaimanapun juga akhirnya terdesak juga, karena ia tidak pernah membalas atau menangkis satu pukulan pun.

Jurus-jurus gubahan Thio Sam Hong itu sangat hebat sehingga A Liang akhirnya terdesak terus. Ia hanya menghindar dan menghindar.

Selain itu semakin banyak juga murid yang berdatangan dari bawah gunung memenuhi gunung dan menutupi ruang gerak A Liang. Bahkan salah satu murid dari bawah gunung membawa berita baru yang sangat menggemparkan, “Totiang, kuburan Kam Ki Hsiang telah terbongkar. Bahkan mayatnya pun kini hilang”

Mendengar ini kagetlah semua orang.
Jika A Liang mengaku tidak membunuh Tan Hoat, apakah arwah Kam Ki Hsiang bangkit dari kubur dan kini membalaskan dendamnya dengan membunuh murid-murid Butongpay?

Pikiran seperti ini timbul dalam benak Yo Ang, sehingga ia agak mengendurkan serangannya.

Tapi setelah berfikir lagi, ia merasa teorinya tentang arwah membalas dendam itu mengada-ada. Iya malah semakin yakin bahwa A Liang ada hubungannya dengan kejadian itu. Serangannya semakin ganas, hingga suatu saat ia mengeluarkan jurus andalah Butongpay “Naga Meminta rembulan”.

Jurus ini sangatlah hebat sehingga mereka yang menonton pertarungan itu saja bisa merasakan angin pukulannya. A Liang sudah terdesak mundur sehingga tidak ada jalan keluar lagi, karena di belakangnya murid-murid Butong sudah mengerumuninya dengan hunusan pedang.

Ia menanti saja datangnya pukulan itu.

Tepat ketika pukulan itu akan mengenai dadanya, seseorang menangkisnya.

Tapi bukan A Liang atau Oey Tang Wan karena merekalah orang yang paling mampu ilmunya untuk menangkis pukulan itu.

Tapi Cio San lah yang menangkisnya.

Bahkan tangkisan itu mampu membuat Yo Ang terlempar beberapa tombak, dan memuntahkan darah.

Semua orang terbelalak kaget. Tidak menyangka anak sekecil itu bisa menangkis pukulan “Naga Meminta Rembulan” yang sangat dahsyat itu. Apalagi bisa sampai menghempaskan Yo Ang dan melukainya.

Cio San sendiri terkaget-kaget dengan hasil tindakannya tadi.

Puluhan murid yang ada di situ dalam kekagetan mereka membuat mereka menjadi ganas. Dalam pikiran mereka, Cio San yang sudah berani melukai totiang Butongpay, pastilah juga berani membunuh Tan Hoat. Mereka dengan berbarengan menyerang dengan bersama-sama.

Cio san yang kebingungan menerima serangan ini sudah hampir pasrah dengan nasibnya. Tak disangka A Liang menariknya dan membawanya terbang. Gerakannya ini sangat cepat sehingga membuat semua yang ada di situ terkesima.

Mereka berdua lalu melarikan diri menuruni lereng gunung.

“Ayo kejar” terdengar perintah Oey Tan Wang. Mereka semua lari mengejar kedua orang itu. Gerak A Liang ternyata cepat sekali. Tak ada seorang pun yang menyangkanya. Ia bagai terbang menuruni tebing-tebing gunung yang terjal itu.

Pengejaran berlangsung terus. Cio San bahkan kini sudah digendong di pundak A Liang. Ia mendengar A Liang berkata, “Percayalah padaku Cio San...”


Cio San pun memang ingin sekali percaya kepada A Liang. Saat kejadian tadi di atas tebing, otaknya pun berpikir. Apakah A Liang yang melakukan semua itu, membunuh suhunya, Tan Hoat, dengan cara yang kejam, lalu mengajaknya lari turun gunung sebelum 'tertangkap' rombongan murid Butongpay yang naik ke atas.

Melihat kenyataan bahwa ternyata A Liang menyembunyikan kemampuan silatnya selama puluhan tahun. Apa maksudnya? Apakah selama ini A Liang adalah mata-mata musuh Butongpay? Ataukah dia bermaksud menyusup ke Butongpay dengan maksud mencuri ilmu Butongpay?. Tapi menyadari kenyataan bahwa A Liang telah tinggal di Butongpay hampir selama setengah abad, Cio San masih tidak bisa memahaminya. Pikiran anak sekecil Cio San yang bisa menjangkau sejauh itu adalah sebuah keanehan yang nyata. Memang banyak sekali anak-anak cerdas yang hidup di antara manusia.

Dan saat ia melihat A Liang diserang terus menerus oleh Yo-totiang tanpa membalas, hati Cio San mulai berbisik bahwa A Liang telah berkata sebenarnya. Itulah sebabnya hatinya menyuruhnya bergerak untuk menangkis serangan dahsyat Yo Ang kepada A Liang.

Mimpi pun Cio San sendiri tidak pernah menyangka bahwa akibat tangkisannya bisa sedahsyat itu. Saat itu ia bergerak secara spontan dan hanya mengikuti kata hati. Hasil latihan jurus-jurus baru ciptaannya itu terlihat sangat jelas. Dia sendiri terheran-heran. Padahal usahanya menangkis pukulan itu sudah dibarengi dengan niat mengorbankan diri. Ia tahu bahwa ia tidak mungkin menangkis pukulan itu. Bahwa ia pasti akan mati. Tapi kenyataan berkata lain. Yo Ang sendiri terlempar dan muntah darah.

Rasa percayanya terhadap A Liang jugalah yang menyebabkan ia mau saja dibawa lari oleh A Liang. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pasti ada rahasia di balik semua itu. Apalagi saat itu terdengar berita kuburan Kam Ki Hsiang baru saja dibobol orang. Kejadian di puncak Butongsan itu pasti ada hubungannya dengan pencurian mayat itu.

Dan jika A Liang adalah pelakunya, buat apa dia menanti sampai 50 tahun hanya untuk mencuri mayat itu. Padahal setiap saat dia bisa saja melakukannya.

Cio San juga sadar bahwa tindakannya menangkis pukulan Yo Ang dan secara tidak sengaja malah melukainya juga adalah pelanggaran yang berat. Hal inilah yang menyebabkan ia hampir dikeroyok oleh puluhan murid Butongpay tadi. Pada  keadaan yang terjepit seperti itu, tidak ada jalan lain selain melarikan diri untuk sementara.

Pelarian itu terasa lama sekali padahal A Liang sudah seperti terbang saja. Para pengejar malah sudah tidak keliahatan. Hanya gema suara mereka saja yang ramai terdengar.

Begitu sampai di perguruan, sudah terlihat banyak murid Butongpay yang bersiaga. Mereka yang menunggu dibawah ini masih belum tahu apa yang terjadi. Suara dan teriakan dari atas yang memerintahkan para murid untuk menangkap A Liang dan Cio San juga tidak terdengar jelas.

Murid-murid yang kaget hanya melihat bayangan seorang yang terbang tanpa bisa melihat jelas wajahnya. Ada yang berinisiatif menangkap ada juga yang duduk bengong diam saja. Baru setelah bayangan A Liang meninggalkan mereka jauh sekali, mereka baru mendengar suara-suara para pengejar yang memerintahkan mereka untuk menangkap 'bayangan' itu.

Tapi itu semua sudah sangat terlambat. Bayangan itu sangat cepat bahkan sudah keluar dari gerbang depan Butongpay. Gerbang 'Tanpa Senjata”. Karena siapa yang melewati gerbang itu, tidak boleh membawa senjata apapun.

Beberapa ratus tombak dari gerbang itu ada sebuah hutan yang sangat lebat. A Liang memilih memasukinya, walaupun sering tersiar kabar bahwa hutan itu sangat angker. Bahkan para murid Butongpay saja jarang ada yang berani memasuki hutan itu.

Setelah memasuki hutan itu, A Liong lalu menurunkan Cio San, kemudian berkata, “Cio San, terima kasih telah menolongku. Percayalah aku tidak ada hubungannya dengan kematian suhumu. Justru aku datang bersama suhumu mencarimu”

“Ada apa lopek dan suhu mencariku?” tanya Cio San

“Aku tidak bisa menjawab sekarang, ini permasalahan yang rumit yang tidak bisa dibicarakan sambil lalu. Sekarang ini bahkan mungkin pohon-pohon bisa mendengar” jawab A Liang. Lanjutnya, “Mari kita cari tempat yang aman untuk membicarakannya”

Cio San mengangguk tanda mengerti. Menghadapi hal-hal rahasia semacam ini dia jelas mengerti. Ia telah mengalami hal ini saat kecil dulu. Saat orangtuanya dibantai. Kini dia diam dan tak bertanya-tanya lagi.

Mereka berdua memasuki hutan dengan tetap berlari. Tak lama kemudian hari menjadi gelap dan malam pun menjelang. Sayup-sayup masih terdengar suara-suara para pengejar. Dari jauh terlihat mereka telah menyalakan obor.

Kedua orang pelarian mulai masih tetap berlari walaupun sudah tidak sekencang tadi. “Jangan pernah berhenti Cio San”

Tiba-tiba setelah berkata seperti itu A Liang jatuh tertelungkup,

“Ah racunnya sudah menyebar...” A Liang berkata dengan lirih.

“Lopek keracunan? Sejak kapan? Bagaimana bisa?Apakah karena makanan” tanya Cio San dengan panik.

“Waktu kita hampir dikeroyok, seseorang  melemparkan Am Gi (senjata rahasia) ke punggungku.” jawab A Liang dengan lemah

“Tidak tahu malu. Masa ada murid Butongpay yang berbuat memalukan seperti itu...” Cio San marah sekali. Membokong lawan memang adalah tindakan memalukan di kalangan Kang Ouw yang hanya pantas dilakukan kaum Hek (hitam). Partai lurus seperti Butongpay amat sangat mengharamkan cara-cara seperti itu.

“Mari kuperiksa lopek lukanya” dalam hutan gelap di tengah malam seperti itu mana bisa memeriksa luka. Bahkan melihat tangan sendiri pun tidak bisa.

“Di kantongku ada batu api Cio San.” Memang seorang ahli masak tidak jauh dari pisau dan api.

Setelah menyalakan api, Cio San lalu memeriksa punggung A Liang. Ia meminta A Liang membuka baju agar lebih leluasa memeriksa.  Tidak usah lama mencari karena punggung A Liang yang terkena senjata beracun sudah terlihat sangat menghitam. Hitam yang pekat. Lalu tepat di tengah-tengah bagian yang menghitam itu terdapat satu titik perak yang memantulkan cahaya dari api yang dipegang Cio San.

“Hmmmm...jarum beracun...” gumamnya.

“Aku bisa mengeluarkan jarum itu dengan dorongan tenagaku Cio San, awas kau jangan sampai terkena” kata A Liang. Setelah Cio San mengambil posisi yang aman, baru A Liang mengeluarkan jarum itu dengan dorongan tenaganya sendiri.

Kenapa tidak sejak tadi saja A Liang tidak mengeluarkan jarum itu dengan cara ini, itu disebabkan karena ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk terbang seperti itu. Di dunia ini mungkin hanyalah A Liang yang bisa berlari seperti tadi. Dan itu membutuhkan pengarahan tenaga yang besar. Ditambah lagi ia harus menggunakan Chi nya untuk melindungi supaya racun itu tidak menyebar luas.

Jika A Liang masih berumur 40 atau 50 tahun, mungkin perjuangannya menggunakan chi seperti itu akan sangat gampang. Tetapi dia kini sudah berusia 70 tahunan. Ahli silat manapun pasti akan mengalami penurunan tenaga. Apalagi mungkin selama puluhan tahun ini, A Liang tidak pernah melatih atau menjaga chi-nya.

Cio San yang mengetahui banyak tentang penyembuhan dan obat-obat berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengingat-ingat tindakan apa yang harus dia lakukan. Di tengah kejadian seperti ini, ditinggal mati salah satu orang yang disayangi, lalu dituduh terlibat dalam kematian itu, lalu dikejar-kejar, lalu harus menyembuhkan racun...Semua itu memang terasa terlalu berat untuk anak seumur dia, se”ajaib” dan secerdas apapun anak itu.

Untung ingatannya masih tajam sehingga dia ingat dengan jelas tumbuhan-tumbuhan apa saja yang harus ia cari untuk menetralkan racun. Inipun masih penuh tanda tanya, karena Cio San sendiri tidak paham jenis racun apa yang menyerang A Liang.

Memang di buku yang diberikan A Liang itu terdapat banyak jenis obat untuk melawan hampir segala macam racun. Namun di situ tidak dijelaskan begaimana mengetahui jenis racun yang menyerang itu. Dan Cio San sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang ketabiban.

Hanya dengan menerka-nerka saja ia mengumpulkan beberapa tanaman yang ada dalam hutan yang lebat itu. Itu pun seadanya saja, karena sungguh amat sukar mencari sesuatu di dalam hutan lebat segelap ini.

Setelah mencamuprkan daun-daun obat itu dengan batu, dan sedikit membakarnya untuk memanaskan daun itu, Cio San menempelnya di bagian tubuh A Liang yang menghitam itu. Sebagian obat itu ia berikan kepada A Liang untuk ditelan.

“Jangan terlalu mengerahkan tenaga dulu lopek, takutnya malah nanti racun itu menyebar”. Katanya

Sebenarnya ucapan ini sangat terlambat, karena racun sudah menyebar. Penggunaan tenaga besar untuk 'terbang' tadi malah membuat racun itu bekerja semakin cepat. Untunglah sisa chi yang ada di dalam tubuh A Liang masih mampu menahan racun itu, walaupun akhirnya gagal juga.

Ditambah lagi dengan pengerahan tenaga untuk mendorong keluar jarum itu. Semakin membuat racun itu menyebar.

Pengetahuan Cio San tentang penggunanaan chi (tenaga dalam) untuk pengobatan juga sudah lumayan berkembang. Tapi ia tidak berniat menggunakannya, karena menurut sepengetahuannya sebagian racun ada yang berkembang cepat karena penggunaan tenaga dalam dari luar tubuh sang pengidap racun.

Related Posts:

0 Response to "Bab 6 Berlarilah Mencari Kebenaran"

Posting Komentar