Sudah setahun lebih Cio San tinggal di dalam perut bumi. Ia terus berlatih silat, bukan karena ingin kuat, namun karena tiada hal lain yang bisa dikerjakannya. Akhirnya ia memeras otak dan keringat untuk melatih jurus-jurus silatnya, supaya bisa mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang menggelisahkannya.
Masalah kematian orang tuanya, kematian suhunya, kematian A Liang, peracunan Lau Ciangbunjin, dan hilangnya kitab sakti milik A Liang dari dalam kubur kosongnya di Butongsan. Adalah semua hal yang menggelisahkan hatinya.
Ia harus membersihkan namanya dari segala tuduhan. Ia yakin saat ini ia sudah dituduh berkomplot dengan A Liang membunuh suhunya, meracuninya Lau Ciangbunjin, serta mencuri kitab sakti itu. Itu adalah sebuah pekerjaan yang amat sangat berat baginya. Memikirkan hal ini ia malah lebih memeilih untuk tinggal saja di dalam goa itu selama-lamanya.
Suatu hari ketika sedang memakan ikan untuk sarapan paginya, telinga Cio San mendengar sesuatu. Suara air sungai berbeda dengan biasanya. Kini pendengarannya sudah sangat tajam, sehingga suara berbeda sedikit saja ia sudah bisa merasakan. Cio San memperhatikan ketinggian air dan tahulah dia bahwa banjir akan segera datang lagi.
Berbeda dengan dulu kini ia sudah lebih siap. Segera ia melompat tinggi lalu memukul langi-langit goa itu. Tidak begitu keras. Namun lubang yang ditimbulkan sebesar dua kali kepalanya. Ia lalu mengikat erat-erat semua peralatan yang dimilikinya seperti batu api, pisau, dan lain-lain ke tubuhnya. Lalu menunggu datangnya banjir itu.
Banjir yang datang memang agak berbeda kali ini. Kini datangnya bagai air bah. Cio San kaget juga. Karena banjir yang dulu dialaminya datang tidak secepat dan setiba-tiba ini. Secara kebetulan, timbul di pikirannya untuk mencoba ilmu yang selama ini dilatihnya. Ilmu itu adalah sejenis ilmu pemindahan tenaga. Yaitu jika mendapat serangan tenaga dari luar, tenaga itu bisa dihisap dan malah dipakai untuk menyerang lawan.
Begitu air bah datang, bhesi [kuda-kuda] Cio San sudah siap. Ia menyambut air bah itu dengan gerakan memutar ke belakang. Yaitu gerakan mengikuti arah air itu. Gerakan itu sangat cepat, secepat serangan air bahw di dalam terowongan itu.
Begitu Cio San berputar, secara aneh tenaga putaran tubuhnya membuat air bah itu ikut berputar mengitar tubuhnya. Pemandangan itu indah sekali. Air mengelilingi tubuhnya seperti sebuah lapisan yang menyelimuti sekujur badannya. Bentuknya berputar-putar sangat indah.
Cio San lalu memukulkan kedua tangannya. Pukulan itu ia lakukan sambil berputar. Ketika badannya berhenti berputar, air bah itu seperti mandeg dan malahan mundur ke belakang.
Betapa dahsyat tenaga itu sampai bisa memukul mundur air bah. Tiada seorang pun yang bisa melukiskannya. Seluruh isi gua bergetar. Bahkan dinding goa itu banyak yang pecah-pecah. Begitu air bah terpukul mundur, segera air bah itu maju kembali dengan lebih cepat karena mendapat dorongan dari deras air di belakangnya. Cio San segera bersiap-siap lagi menerimanya.
Saat air bah datang lagi, kembal Cio San melakukan hal yang sama. Ia berputar lagi, hanya satu putaran saja. Lalu memukulkan lagi tangannya. Air bah mundur lagi beberapa tombak. Suara ledakan terdengar lagi. Dinding batu pecah berantakan lagi.
Lalu air bah meluncur lagi lebih deras dari sebelumnya. Cio San melakukan hal yang sama lagi. Begitu terus sampai beberapa kali.
Ia tertawa senang. Ia kini menemukan hal baru lagi. Jika seseorang di'keroyok' dari depan dan belakang, maka ia bisa menghasilkan tenaga serangan yang jauh lebih besar. Contohnya ada pada air bah itu.
Ketika air bah itu dipukul Cio San, air itu bergerak mundur. Tetapi karena menerima dorongan dari arus di belakangnya, maka air bah itu maju menjadi lebih cepat. Pemahaman ini hanya muncul sekelebat di dalam kepala Cio San, dan ia sangat senang menemukan lagi hal baru.
“Berdasarkan gerak air ini, aku bisa membuat jurus baru” Bagitu ucapnya dalam hati.
Karena khawatir goa ini bisa hancur karena perbuatannya menantang air bah, Cio San memilih untuk berhenti. Ia kini tak lagi berputar dan memukulkan tangannya kepada serangan air itu. Tapi ia kini berputar dan bergerak mengikuti arus air. Serangan air yang semakin lama semakin dahsyat itu malah membuat gerakannya menjadi lembut dan lentur.
Ia kini tidak lagi menantang air, namun bergerak mengikuti liukan itu. Malah kini Cio San merasa enteng dan ringan mengikuti alur tenaga air bah itu. Ketika hampir menabrak tembok, ia menggunakan tenaga arus itu untuk melompat tinggi.
Kali ini ia tidak perlu menggunakan tenaganya sendiri untuk melompat. Ia menggunakan kekuatan arus itu untuk melompat tinggi. Cio San kembali menemukan ilmu baru. Bergerak dan melompat menggunakan tenaga serangan dari luar.
Setelah melompat tangannya mencengkeram dinding batu. Ia lalu bergelatungan menggantung di langit-langit dengan menggunakan cengkeramanya. Ia mencari lubang yang sudah tadi dibuatnya. Lalu meletakkan mulut dan hidungnya di lubang itu. Kejadian yang dulu terulang kembali.
Ia harus bertahan bergelantungan lagi sampai air banjir itu berhenti.
Sesudah beberapa hari, air itu mulai surut dan semakin surut. Cuma kali ini lebih cepat surutnya daripada banjir yang pertama. Cio San menghitungnya hampir 7 hari. Begitu semuanya selesai ia kini merasa bahagia. Kedatangan air bah yang tiba-tiba itu memberinya ide-ide baru untuk menciptakan ilmu silat.
Bahkan secara tidak sengaja, ia juga telah melatih daya cengkeramannya. Tujuh hari bergelantungan melawan air bah hanya menggunakan cengkeramannya, membuat daya cengkeramannya meningkat berkali-kali lipat. Apalagi Cio San terus mengalirkan chi [tenaga dalam] nya kedalam kedua cengkeramannya itu sepanjang 7 hari ini.
Sungguh hebat Cio San, setiap kejadian yang terjadi padanya, bisa membuatnya menangkap intisari makna kejadian itu, dan malah menggubahnya menjadi ilmu silat.
Di dunia ini juga kau sudah ditakdirkan untuk melakukan sesuatu, maka pasti akan terjadi. Entah itu kau suka atau tidak. Sebaliknya, jika kau ingin sekali melakukan sesuatu, tetapi ternyata kau tidak ditakdirkan untuk itu, ya tetap tidak akan kejadian.
Kata orang bijak, manusia bisa menentukan takdirnya sendiri. Tetapi jika nasibmu memang bukan ditakdirkan menjadi kaisar, mau jungkir balik sampai kiamat pun kau tidak akan menjadi kaisar.
Begitulah rahasia Tuhan, yang kita sulit memahaminya. Tetapi harus disadari bahwa tugas manusia itu bukan untuk memahami Tuhan. Tetapi untuk menjalani apa yang sudah digariskanNya dengan penuh rasa syukur dan bahagia.
Bukankah jika kita sudah memahami ini, amka dunia akan lebih cerah?
Cio San tanpa disadarinya sebenarnya sudah mengerti tentang pemahaman ini. Ia menjalani semua kejadian dengan hati lapang dan pikiran terbuka. Akhirnya ia malah bisa mengambil makna dan menciptakan hal hal baru.
Kalau diibaratkan penyair, jika mengalami banyak kejadian, pastilah ia menangkap makna itu dn menjadikannya syair puisi.
Kalau diibaratkan pemain musik, pastilah ia menjadikan kejadian dan pengalamannya menjadi lagu yang merdu dan indah.
Kalau pesilat, maka pastilah juga ia menciptakan ilmu-ilmu silat melalui kejadian dan makna yang bisa ia tangkap. Karena itulah ilmu silat itu selalu berkembang semakin luas dan hebat. Karena ilmu silat tidak lahir dengan sendirinya. Ia harus diciptakan.
Memang banyak sekali orang yang beruntung belajar ilmu silat dari guru atau menemukan kitab-kitab sakti. Namun bukankah guru pun belajar dari gurunya. Gurunya pun belajar dari gurunya. Begitu terus runut keatas sampai pada pencipta ilmu silat itu.
Begitu juga dengan kitab sakti. Pastilah ada orang yang menciptakan ilmu-ilmu sebelum ia menuliskannya ke dalam kitab.
Manusia diberkati bakat oleh Tuhan agar mampu bertahan hidup, dan berguna bagi sesamanya. Tuhan memberkati manusia dengan kejadian-kejadian dan peristiwa agar manusia bisa terus belajar memperbaiki hidupnya agar menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Sudah hampir dua tahun Cio San hidup di dalam goa ini. Ilmu-ilmu yang ia ciptakan pun semakin banyak. Terkadang tanpa melalui sebuah peristiwa pun, Cio San bahkan bisa menciptakan jurus jurus. Mendengar arus air saja ia malah bisa menciptakan jurus. Melihat batu ia bisa menciptakan jurus.
Ini tidak lah mengherankan. Orang jika sudah tak ada lagi yang bisa dilakukannya selain hanya satu hal saja, pastilah akan mencurahkan hatinya ke satu hal itu.
Jika kau terdampar sendirian di pulau bersama sebuah seruling sudah pasti kau akan belajar memainkan seruling itu. Setelah bisa kau akan memainkannya terus menerus. Malahan kau akan menjadi hebat dalam bermain seruling. Karena seluruh hidupmu tidak ada yang kau kerjakan selain bermain seruling.
Begitu juga Cio San. Tidak ada lagi kegiatan yang bisa dilakukannya di dalam goa yang gelap gulita itu. Selain berlatih silat, dan mengembangkan kemampuan tubuhnya. Memang terkadang ada rasa bosan dan Cio San hanya malas-malasan dan tidur-tiduran saja. Tetapi panggilan hatinya selalu memberinya semangat bahwa ia bisa menciptakan banyak hal baru dan menggunakan sisa hidupnya untuk hal yang berguna.
Ia memang tidak ada keinginan untuk keluar dari dalam goa itu. Tetapi jika harus duduk diam saja tidak melakukan apa-apa juga malah membuat ia semakin bosan dan malahan ingin keluar. Cio San sudah memutuskan untuk tinggal saja di situ. Justru karena ada kegiatan belajar silatlah, ia betah tinggal disitu.
Dua tahun ini kekuatannya silatnya sudah sangat pesat. Gerakannya sangat lincah dan cepat. Kekuatan pukulannya sangat dahsyat. Bahkan jika ia mau ia bisa menghancurkan seluruh isi gua itu. Pendengarannya sangat tajam. Segala jenis suara kecil apapun itu bisa di dengarnya. Pandnagn matanya sudah sangat terbiasa di dalam kegelapan.
Kekuatan tubuhnya kini sanagt kuat. Khasiat jamur Sin Hong memang sangat dahsyat. Di umurnya yang kini sekitar 16 tahun, ia sudah menjadi orang yang sangat hebat ilmu silatnya. Jika ia turun ke dunia ramai, maka sebenarnya pantaslah nama Tayhiap disandangkan pada namanya.
Tapi Cio San sama sekali tidak menyadari bahwa kehebatan ilmunya sudah sangat pesat sekali. Ia hanya menikmati saja waktunya saat berlatih. Menikmati kesehatan tubuhnya.
Menikmati. Bukankah kata itu jarang sekali kita rasakan? Kita bekerja siang malam, namun hasilnya jarang sekali kita nikmati.
Hari ini Cio San sedang membuat pedang-pedangan dari ranting kayu yang ditemukannya. Ia ingin belajar memainkan pedang. Saat ini ilmu yang ia ciptakan melulu adalah pukulan dan tendangan. Saat sedang membuat pedang ia mendnegarkan suara aneh lagi.
Kali ini bukan deras air bah. Bukan juga suara ikan-ikan di dalam sungai. Sesuatu bergerak di dalam sungai. Bentuknya sangat besar. Ia bergerak dari arah air terjun menuju kemari.
Apakah ada orang yang datang? Cio San lalu berlari menuju arah suara itu, Gerakannya lincah. Ia melompat-lompat bagai terbang. Hatinya senang sekali jika ia bisa bertemu manusia lagi.
Alangkah kagetnya ketika ia sampai pada sumber suara itu. Ternyata itu adalah sebuah ular yang sangat besar. Panjangnya mungkin sepuluh tombak. Kepalanya sebesar tubuh laki-laki dewasa.
Bulu kuduk Cio San berdiri. Baru kali ini ia bertemu ular sebesar ini. Dulu saat di 'pengasingan' di atas puncak Butongsan ia sering menangkap ular untuk dijadikan santapannya. Namun bertemu ular sebesar ini........
Sekujur tubuh Cio San serasa lemas. Ular itu pun kaget melihat kedatangan Cio San. Ia lalu memasang posisi menyerang. Kepalanya berdiri tegak. Tubuhnya meliuk-liuk. Ekornya mengeluarkan suara derik yang sangat bising.
“Masa aku harus mati dibunuh ular. Aku tidak mau menjadi makanan ular”
Pikiran seperti itu memberinya semangat baru. Ia lalu menyalurkan chi ke sekujur tubuhnya bersiap-siap menghadapi segala yang terjadi.
Ular itu lalu menyerang. Ia mamatuk cepat sekali. Cio San kaget sekali. Inilah awal pertama kali ia bertarung dengan menggunakan ilmunya. Musuh pertamanya pun tidak tanggung-tanggung, sebuah ular raksasa.
Cio San berhasil menghindari patukan itu dengan bergerak ke samping. Kepala ular hanya mematuk tanah. Namun segera ekornya menyerang pula. Suara bising dari ekornya membuat Cio San sudah mengerti gerak serangan itu. Tapi tak urung dia kewalahan juga.
Ia seperti melawan dua kepala ular. Yang satu kepala sebenarnya, yang satunya lagi ekornya. Serangan ekor dan kepala itu oun sangat cepat. Cio San hanya menghindar-menghindar saja.
Setelah merasa mampu menghindari serangan ular itu, kini timbul kepercayaan diri yang besar di dalam dirinya. Ia malah tertarik untuk mempelajari gerakan ular itu. Cio San terus menghindari serangan kepala dan ekor sambil memperhatikan gerak tubuh ular.
Ada kekaguman tersendiri yang ditimbulkan oleh ular itu. Kulitnya berwarna emas yang sangat indah. Gerakan tubuhnya lincah dan gesit untuk tubuh sebesar itu. Bahkan gerakan serangannya pun menyerupai serangan-serangan dalam teori ilmu silat.
Ketika diserang, Cio San mencoba menghindar lagi ke samping dan memukul leher ular itu. Gerakan serangan ular dan pukulan balasan Cio San ini sangatlah cepat, bahkan mata seorang ahli silat pun susah untuk melihat ini.
Kaget sekali Cio san ketika mengetahui bahwa kulit ular itu sungguh keras seperti logam. Cio San bergerak menggunakan tenaga dorongan dari ular itu untuk membumbung tinggi. Ia melesat ke arah kepala ular itu. Sebuah tendangan berputar yang ama cepat dilakukannya ke arah kepala, namun ular itu berhasil menghindar.
Kagum sekali Cio San. “ular ini seperti mengerti ilmu silat” pikirnya. Ia malah senang sekali. Akhirnya menemukan juga lawan latih tanding. Walaupun itu sebuah ular besar yang menakutkan.
Begitu ular itu berhasil menghindar, ia malah memutur tubuhnya kebelakang, dan kini menggunakan ekornya untuk menyerang Cio San. Melihat datang serangan ekor itu, Cio San berfikir untuk mencoba menangkisnya. Cio San menyerang tepat pada bagian tubuh yang mengeluarkan suara derik.
Getaran suara derik itu bertubrukan dengan tenaga tangkisan yang dilakukan Cio San. Ia malah terlempar ke belakang dengan tubuh tergetar.
“Sungguh hebat sekali” gumamnya. Ia tidak terluak dalam karena ada tenaga sakti yang melindunginya. Melihat serang ekor derik itu, Cio San sekali lagi mendapatkan ide baru.
“Serangan yang cepat ditambah getaran yang sangat kuat bisa menimbulkan serangan yang dahsyat”
Berdasarkan pemikiran yang timbul di kepalanya itu, Cio San langsung menciptakan pukulan baru. Ia menyalurkan tenaga dalam ke telapak kanannya. Segera ia bergerak mencari kepala ular itu. Cio San berada di udara dan langsung berhadap-hadapan dengan ular itu.
Saat di udara memang sangat sulit bergerak, karena tidak memiliki pijakan. Tapi entah bagaimana bagaimana Cio San bisa berputar bagai gasing. Ketika ular itu menyerang gerak gasing itu seperti bergerak ke samping karena dorongan patukan kepala ular.
Begitu posisinya sudah berhasil berada disamping, Cio San melepaskan sebuah pukulan telapak. Namun pukulan ini tidak hanya berisi tenaga dalam semata. Cio San juga menggetarkan tangannya mengikuti derik ekor ular itu. Jadi di dalam serangan telapak itu, berisi juga serangan berupa getaran yang menyerupai derik ekor ular.
Cio San sengaja tidak mengincar mata ular itu, walaupun ia bisa. Ada perasaan kasihan terhadap ular yang indah itu. Ia memukul daerah di atas mata luar itu. Hasil pukulan itu sungguh hebat. Kepala itu terpukul mundur 2 tombak.
Melihat jurus pukulan 'baru'nya ini berhasil Cio San semakin bersemangat. Ular yang kena pukul itu kini semakin marah. Kepalanya mematuk-matuk dan ekornya menyerang secara bersamaan. Cio San yang melihat ini memperhatikan dengan seksama gerakan ular itu.
Ia ingin mempelajari gerakan serangan ular itu. Sambil menghindar Cio San memperhatikan terus serangan ekor dan kepala ular itu. Sungguh dahsyat. Air berdeburan dimana-mana. Suara derik ekor ular ditambah suara deburan air terjun semakin membuat suasana di dalam terowongan itu hingar bingar.
Cio San bergerak lincah ditengah liukan tubuh ular. Kadang ia menangkis serangan dengan pukulan barunya itu. Sang ular terpukul mundur untuk kemudian menyerang lebih ganas lagi. Cio San masih menikmati pertempuran ini. Kali ini seluruh pukulan dan tendangannya penuh terasa tenaga dalam yang dahsyat sehingga membuat sang ular kesakitan.
Walaupun memiliki kulit yang sangat keras, ular itu tetap tidak bisa meredam tenaga dahsyat Cio San. Bahkan bebatuan saja akan hancur terpukul pukulan itu. Cuma memang karena kasihan dengan ular itu, Cio San tidak mengerahkan seluruh tenaganya.
Setelah lama mempehatikan gerak serangan ular itu, kini Cio san mencoba menirunya. Ujung telapak tangannya kini membentuk seperti moncong ular. Telapak tangan kirinya berada disamping perut menghadap ke depan, sedangkan jari-jarinya menghadap ke tanah. Namun telapak kiri itu walaupun terlihat diam namun menyimpan getaran yang sama dengan derik ekor ular. Bahkan telapak tangan itu kini berdengung juga seperti suara derik ular karena bergetar hebat.
Kini telapak tangannya bergerak-gerak menyerang dan mematuk bagai kepala ular. Dengan berani ia menggunakan telapak tangan kanan itu menyongsong serangan kepala ular yang ganas. Begitu kepala ular itu dekat dengan tangan kanannya, secara tiba-tiba Cio San berputar sehingga kini posisinya dibawah kepala ular.
Ternyata tangan kanannya itu hanya tipuan. Begitu ular bergerak mundur menarik kepalanya, dengan secepat kilat tangan kiri Cio San mengirimkan pukulan bergetar. Daya dorongnya, ditambah lagi dengan posisi ular yang menarik mundur kepalanya, membuat hasil dari gerakan itu berlipat-lipat.
Kepala ular yang besar itu terlempar ke belakang sampai menabrak dinding goa. Saat ketika kepala itu tertabrak dinding goa, bersamaan dengan itu Cio San sudah melancarkan tendangan dahsyatnya. Kepala ular itu mengalami goncangan yang sangat berat karena empat hal. Pertama, pukulan getaran tangan kiri Cio San. Kedua, tabrakan dangan dinding goa. Ketiga. Tendangan keras Cio San, dan keempat, tabrakan lagi dengan dinding goa.
Semua itu membuat dinding goa hancur berantakan.
Herannya ular itu seperti tidak merasakan apa-apa. Serangannya tetap ganas, walaupun sudah tidak secepat awal-awal. Mungkin ular itu sudah mulai takut dengan lawan di depannya itu.
Di dalam goa yang gelap itu, bagi mata orang biasa, mungkin hanya bisa melihat cahaya mata ular yang berwarna kuning. Memang ada sedikit cahaya dari api unggun yang dibuat Cio San. Tapi tak akan mungkin bisa melihat gerakan-gerakan yang dihasilkan kedua makhluk yang berbeda ini.
Bahkan sekalipun di tengah lapangan yang disinari cahaya matahari siang bolong pun, tidak banyak orang yang bisa melihat gerakan-gerakan itu. Sungguh aneh, ketika kedua 'makhluk' itu saling menyerang. Terlihat seperti mereka adalah ahli-ahli silat paling ungkulan. Padahal mereka hanyalah seorang anak muda belasan tahun, dan seekor ular raksasa.
Jika gerakan ular semakin perlahan dan terkesan hati-hati, sebaliknya gerakan Cio San sangat cepat dan percaya diri. Dia telah memahami segala bentuk serangan ular itu sehingga dengan mudah membaca arah gerakan serangan.
Selama ini memang serangan sang ular hanyalah berupa 'tipuan' yang dilakukan kepala, dan 'serangan utama' yang dilakukan ekor. Kadang-kadang sang ular menukar-nukarnya saja, yaitu kepala menjadi 'serangan utama' dan ekor menjadi 'tipuan'. Tetapi hanya dengan beberapa kali menghindar saja, Cio San sudah bisa membaca 'maksud' ular ini.
Lama kelamaan Cio San bingung juga. Memang dia sudah bisa menguasai keadaan. Memberikan serangan-serangan dahsyat. Tapi semua itu tidak bisa melemahkan sang ular. Pada dinding goa yang berupa batu karang dan batu-batuan perit bumi yang sangat keras, telah hancur di sana-sini.
Cio San tidak tega untuk memukul mata ular itu dan membutakannya. Dia telah memutuskan untuk membiarkan ular itu hidup-hidup. Entah kenapa, ada perasaan 'kasihan' yang timbul di hatinya melihat ular itu.
Melihat Cio San yang diam saja tidak melakukan gerakan apapun, ular itu pun diam saja. Namun kepalanya tetap dalam posisi menyerang. Lidahnya kadang terjulur keluar dari mulutnya. Cio San tahu ular ini bukan ular berbisa, karena sejak dulu ia telah diajarkan bagaimana cara membedakan ular yang beracun dengan yang tidak.
Tapi ia menjadi sedikit ragu, karena ia belum pernah membaca tentang ular jenis ini. Segala ciri-ciri ular ini menunjukkan bahwa ia tidak berbisa. Tetapi ekornya yang berderik membuatnya menjadi berbeda, karena tidak ada ular berderik yang tidak berbisa. Bahkan bisanya pun ganas sekali.
Cio San berpikir keras mencoba mencari jalan untuk menaklukan ular itu. Akhirnya dia memutuskan untuk 'bertaruh' saja. “Jika nanti aku mati karena ular ini ya sudahlah. Bisanya pasti akan mematikanku dalam beberapa detik”
Dia sesungguhnya tidak tahu bahwa tubuhnya kini kebal segala jenis racun, karena khasiat jamur Sin Hong.
Ular itu mulai bergerak sedikit demi sedikit. Ekornya pun mulai berderik mengeluarkan suara bising yang menakutkan. Cio San membuka kuda-kudanya. Gaya kkuda-kuda Thay kek Kun, adalah menggunakan kuda-kuda agak rendah, tubuh tegak, tangan kanan mengambang kedepan, dan telapak tangan menghadap ke wajah sendiri. Sedangkan tangan kiri mengambang agak tinggi ke belakang. Telapak tangan agak dibengkokan ke bawah. Gaya ini melambangkan Im dan Yang.
Tapi dengan kecerdasan Cio San dengan cepat gaya bhesi [kuda-kuda] Thay Kek Kun itu digabungnya dengan jurus ularnya yang baru itu. Tangan kanan kini membentuk kepala ular. Sedangkan tangan kiri yang mengambang tinggi di belakang, kini mulai bergetar dan menimbulkan suara seperti ekor ular derik.
Suara itu sebenarnya ditembulkan dari getaran jari bertemu dengan jari. Namun karena dilakukan dengan cepat, gerakan itu hampir tidak terlihat.
Sang ular tidak paham apa yang dilakukan Cio San. Nalurinya berkata bahwa ia harus 'menerkam' Cio San. Kepalanya bersiap-siap. Cio San pun menunggu. Ia tahu dengan pasti kapan ular itu akan mematuk. Karena sebelum mematuk ular itu akan mengambil ancang-ancang dulu ke belakang.
Sebenarnya ancang-ancang itu cepat sekali, dan tidak terlihat. Namun mata dan telingan Cio San yang sudah terlatih mampu memperhatikannya.
Ular itu lalu 'menerkan'. Cio San sudah melihat gerakan ancang-ancangnya itu. Tapi Cio San tidak bergerak. Ia malah menunggu kepala itu.
Kepala itu cepat sekali menyambar. Tak terlihat mata. Lalu ketika sudah dekat dengan tubuh Cio San, ular itu membuka mulutnya. Memperlihatkan taringnya yang panjang. Tapi Cio San tidak bergerak.
Hanya kurang beberapa jengkal dari kepala ular itu, baru tubuh Cio San melesat kencang. Tidak ke samping, tidak ke belakang. Tapi langsung menuju mulut ular itu dan masuk di dalamnya.
Dengan kelincahannya Cio San berhasil mengelak dari gigi-gigi ular itu ia masuk ke daerah di belakang gigi itu.
Semua ini dituliskan dengan begini runut, namun pada kenyataannya gerakan-gerakan tadi jauh lebih cepat dari saat kita mengedipkan mata.
Ular yang kaget dan merasa Cio San menginjak bagian dalam mulutnya, dengan serta mengatupkan rahangnya erat-erat untuk melumat tubuh Cio San. Tetapi itu adalah sebuah kesalahan besar yang sudah ditunggu-tunggu oleh Cio San.
Begitu ular mengatupkan rahangnya, Cio San menggunakan kedua telapak tanggannya untuk menyerang dua bagian berbeda dari ular itu. Yaitu langit-langit mulut, dan lidahnya. Hasilnya dhsyat sekali karena ketika ular itu mengatupkan rahangnya, ia juga menggunakan tenaga yang besar.
Pertemuan tenaga telapak Cio San, serta kuatnya tenaga katupan rahang sang ular mengeluarkan suara yang keras sekali. Bruuuaaaaaaaaakkkkkkkkkk......
Tulang rahang ular itu patah.
Cio San pun keluar dari mulut ular.
Tenaga hasil serangan tadi berkali kali lipat. Selain rahangnya patah, tenaga besar yang dihasilkan itu menggetarkan pula isi dalam tengkoraknya. Ular itu langsung lulai dan pingsan. Bagian dalam mulutnya hancur pula.
Darah pun ada dimana-mana. Bahkan Cio San pun bermandikan darah sang ular. Ada perasaan bersalah di hati Cio San melihat nasib ular itu. Awalnya dia senang bahwa serangan yang sudah direncanakannya itu berhasil. Tetapi saat melihat keadaan ular itu, ia malah menangis.
“ Maafkan aku Sin Coa [ular sakti]....maafkan aku....”
Cio San buru-buru memeriksa keadaan ular itu. Tulang rahangnya patah dan malahan ada yang hancur. Bagian dalam mulutnya pun berlinangan darah.
Bagaimana cara menghentikan pendarahan itu? Cio San mengerti tentang pengobatan manusia seperti yang telah ia baca di dalam buku pemberian A Liang. Tetapi ia sama sekali belum pernah menyembuhkan orang kecuali menyembuhkan racun A Liang. Itu pun tidak berhasil karena beberapa saat setelah itu, A Liang meninggal.
Apalagi kini yang mengalami luka berat adalah seekor ular raksasa, yang bentuk tubuh, aliran darah, serta titik-titik pusat tenaganya berbeda dengan manusia. Di dalam kebingungannya, Cio Sa teringat dengan jamur yang setiap hari ia santap.
Cio San ingat bahwa setiap menyantap jamur itu tubuhnya langsung segar, bahkan luka-luka luar seperti teriris atau lecet pun sembuh dengan cepat. Segera dikumpulkannya jamur-jamur itu dari dinding goa, karena disepanjang terowongan goa itu jamur itu tumbuh dengan lebat.
Setelah jamur-jamur itu terkumpul banyak sekali, dijejalkannya gumpalan kumpulan jamur itu kedalam bagian mulut ular yang terluka. Cio San pun membubuhkan jamur-jamur itu di tulang rahang ular yang patah.
Tak berapa lama darah pun berhenti mengalir, dan daerah yang patah itu sudah mulai menghangat, tanda bahwa tubuh ular itu sendiri pun membantu penyembuhannya dari dalam. Dengan berani Cio San tetap berada di dalam mulut ular yang lunglai dan 'pingsan' itu.
Ia menyalurkan tenaga dalamnya kepada ular itu melalui mulutnya. Karena Cio San tahu, percuma menyaluirkannya melalui tubuh, karena kulit ular itu tebal sekali, dan sepertinya mampu meredam tenaga dalam.
Berjam-jam Cio San mengalirkan tenaganya. Berangsur-angsur ular itu pulih. Memang tubuh ular berbeda dengan tubuh manusia. Apalagi ini tergolong ular sakti yang langka, sehingga serangan dahsyat tadi tidak sampai membuatnya mati.
Perlahan-lahan kesadaran ular itu pulih. Dia merasakan sakit sekali pada mulut dan rahangnya. Kekuatannya seperti terserap habis, tubuhnya lunglai. Tetapi dia juga merasakan kehangatan yang nyaman di dalam mulutnya. Lama kelamaan rasa nyaman itu berhasil mendorong pergi rasa sakitnya.
Cio San tahu bahwa ular itu sudah mulai pulih. Ia lalu memberhentikan penyaluran tenaganya, dan keluar dari mulut ular. Lalu mengelus-elus kepala ular. Sang ular sepertinya paham bahwa musuhnya baru saja menolongnya. Ia pun diam saja dan tidak berusaha melakukan apa-apa.
Cio San pun mengelus-elus ular itu dengan lembut.
0 Response to "Bab 9: Tahun Berikutnya Di Dalam Goa"
Posting Komentar