Pagi-pagi benar Cio San sudah bangun. Ia membereskan kulit-kulit sang ular yang terkelupas. Saking beratnya sampai kulit-kulit itu tidak hanyut terbawa air sungai. Sang ular masih tertidur pulas. Karena khawatir terjadi sesuatu, Cio San meraba tubuh ular itu. Ia bersyukur bahwa keadaan ular itu sehat-sehat saja. Mungkin cuma agak lemah karena kejadian penggantian kulit itu.
Ia mengumpulkan kulit-kulit yang berserakan itu dan meletakkannya di tempat yang kering. Kulit-kulit itu sangat berat sehingga ia bahkan harus menggunakan tenaga dalamnya untuk bisa mengangkat kulit-kulit itu.
Tak berapa lama saat Cio San bekerja, ular itu pun terlihat telah bangun. Ia seperti mengerti akan apa yang dilakukan Cio San. Karena tubuhnya yang masih lemah, ular itu hanya memperhatikan saja. Lalu sang ular dengan mengunakan mulutnya menggali daerah berpasir yang ada di dekatnya. Setelah ada lubang, dengan kepalanya, si ular mendorong Cio San mendekati lubang itu.
“Eh kenapa Kim-ko? Kau ingin agar aku menguburkan kulit-kulit ini?” tanya Cio San
Si ular mengangguk-angguk.
“Baiklah, tapi ku kuburkan yang kecil-kecil dulu ya...” tukas Cio San
Ia kemudian mengumpulkan kulit-kulit kecil yang bisa dengan mudah dibawanya. Si ular membantu dengan membuat beberapa lubang dengan menggunakan mulutnya. Karena daerah bertanah yang ada disekitar situ hanya sedikit, maka Cio San hanya berhasil menguburkan sedikit.
“Kim-ko ayu kita ke daerah dekat air terjun. Di situ banyak daerah yang bertanah, tidak berbatu-batu seperti disini” ajak Cio San.
Si ular pun menuruti. Jalannya sangat pelan karena masih lemah. Dengan tubuh yang tidak terlindungi kulitnya, tentu saja sangat sakit jika harus menuyusuri batu-batuan seperti, Cio San yang mengerti keadaan si ular, lalu berkata, “Kau tunggu disini saja Kim-ko. Biar aku yang kesana menggali lubang-lubang disana”
Baru saja Cio San akan melangkah, terdengarlah suara ledakan yang amat sangat keras. Bllllaaaaaaaaaaararrrrrrrrrrrrrr..................
Seluruh gua serasa runtuh. Langit-langit pecah berjatuhan, dinding-dinding goa pun hancur. Air bah lalu menerobos masuk melalui dinding-dinding itu. Dalam kekagetannya Cio San menghalau semua bebatuan yang mengarah ke arah dirinya dan si ular.
Suasana di dalam terowongan itu menjadi terang benderang. Masuknya sinar ke dalam goa itu secara tiba-tiba langsung menyakiti mata Cio San. Setelah bertahun-tahun hidup di dalam kegelapan, dengan cahaya yang kecil sekali, matanya kini tidak dapat menahan sinar seterang itu.
Untungnya air bah yang mengalir bergerak ke segala arah sehingga tidak menyerang Cio San dan ular. Dengan menggunakan kelincahan tubuh, ilmu silat, serta pendengarannya yang tajam Cio San menghalau batu-batu yang menghujama pada dirinya dan ular. Tetapi tak urung beberapa bebatuan mengenai bagian tubuh ular itu. Sang ular menggeliat marah namun karena tubuhnya lemas, ia tidak bisa melakukan apa-apa.
Terdengar ramai suara manusia, “Berhasil...berhasil...Kim Liong Ong [raja naga emas]berada di dalam sini....”
Dengan telinganya Cio San bisa mendengar bahwa ramai suara itu berasal dari 6 atau 7 manusia. Dan ia pun bisa mendengarkan kekagetan mereka ketika melihat ternyata di bawah situ, di tempat ketika dulu ada gua perut bumi, si ular tidak sendirian. Melainkan ada seorang manusia yang hampir telanjang, hanya mengenakan cawat dari kulit kayu.
Si manusia, yang adalah Cio San, sedang sibuk menangkis batu-batuan besar yang mengarah kepadanya. Ledakan dalam goa itu sangat dahsyat sehingga menghancurkan seluruh terowongan. Untunglah dengan ilmu silatnya ia berhasil 'menghadapi' bebatuan-bebatuan itu.
Apalagi kini Cio San 'buta' karena cahaya matahari yang menerobos masuk. Terowongan itu kini telah menjadi lapangan terbuka. Dan sinar matahari yang tajam itu telah menyilaukan mata Cio San. Ia menutup matanya sekuatnya. Tetapi sakit yang muncul akibat cahaya yang masuk tiba-tiba membuatnya merasa tersiksa sekali.
“Ada manusia aneh...lihat ada manusia aneh....” terdengar seruan orang-orang itu.
Begitu batu-batu berhenti berhamburan dan air telah surut, Cio San dengan geram bertanya,
“Siapa kalian? Dan apa yang telah kalian perbuat?” ia masih tidak dapat membuka matanya.
“Justru kami ingin bertanya siapa kau? Bagaimana bisa berada di dalam sini?” tanya salah seorang dari rombongan itu.
Cio San ingat bahwa ia telah menjadi kejaran orang-orang Butongpay. Oleh karena itu ia menjawab, “Aku tidak tahu siapa namaku, tetapi aku tinggal di dalam goa itu sudah lama sekali sejak aku kecil. Dan ular ini adalah sahabat baikku” Cio San sengaja berkata bahwa ular itu adalah sahabatnya karena tadi ia mendengar mereka menyebut-nyebut tentang Kim Liong Ong [raja naga emas]. Pastilah yang mereka maksud adalah Kim-ko nya itu.
“Kau tidak tahu siapa kami?” tanya salah seorang, tapi segera ia sadar bahwa orang yang ditanya telah hidup sekian lama di dalam goa. Tentulah tidak tahu keadaan dunia luar. Segera ia menyambung lagi, “Kami adalah Tionggoan Ngo Koay [5 orang aneh tionggoan]” jawabnya dengan bangga.
“Kenapa kalian membongkar tempat tinggalku?” Cio San bertanya dengan polos.
Sebenarnya kelima orang itu adalah orang-orang yang sangat ganas dari kaum Hek-to [golongan hitam]. Akan tetapi melihat keanehan bahwa ada orang yang tinggal bersama perut bumi bersama seekor ular, mau tak mau mereka agak heran juga. Sehingga kegarangan mereka agak berkurang.
“Kami telah mengincar ular itu sejak lama. Kami menyelidiki jejak-jejaknya. Dan mengubernya sampai kemari. Tak tahunya ia tinggal disini bersama seorang manusia” jawab salah seorang.
“Buat apa kalian mengincarnya?” tanya Cio San lagi.
“Kau pasti tak tahu. Kulitnya sangat mahal. Jauh lebih mahal daripada emas. Isi jeroan tubuhnya sangat berkhasiat menambah tenaga dalam.” jawab salah seorang
“Kau mnggirlah dari situ, dan biarkan kami menghabisi ular itu” sambil berbicara begitu, salah satu yang berbicara itu lalu lompat menyerang Cio San.
Menerima serangan ini, Cio San bersikap tenang. Ia menghadapinya dengan telapak tangan kanannya. Pertemuan kedua telapak itu sangat dahsyat sehingga keduanya mundur beberapa tombak. Namun sang penyerang mundur sambil memuntahkan darah sedangkan Cio San hanya mundur selangkah, sambil tersenyum pula.
Ia senang karena ilmu yang dilatihnya di dalam goa ternyata hebat juga. Ia lalu berkata, “takkan kubiarkan kalian mengganggu sahabatku walau seujung kuku saja” katanya kereng.
Sebenarnya penyerang itu bukanlah orang yang lemah. Justru ia sangat kuat, dan silatnya tergolong kelas atas. Hanya saja ketika menyerang Cio San ia menggunakan ¼ tenaganya karena ingin cepat-cepat membunuh Cio San. Dengan ilmunya, Cio San bisa membalikan tenaga penyerang itu kepada dirinya sendiri.
Melihat kenyataan bahwa sahabat mereka terluka hanya dalam satu jurus saja, ke empat orang lainnya langsung menyerang mereka dengan menggunakan serangan-serangan yang ganas. Cio San kini hanya dapat mengandalkan pendengarannya saja, dan hanya bisa bergerak menghindar. Ia memang belum mau menghadapi langsung serangan-serangan itu karena ingin mempelajari dulu. Memang ada sebuah sifat 'aneh' di dalam diri Cio San. Ia kini menjadi sangat tertarik mempelajari ilmu silat.
Setelah 5 jurus, Cio San sudah paham seluruhnya. Ia kini balik menyerang dengan menggunakan jurus-jurus mereka sendiri.
“Gila...darimana anak ingusan ini mencuri jurus-jurus kita?”
Tionggoan Ngo Koay yang malang melintang di dunia hitam, kini malah dihajar seorang anak ingusan dengan menggunakan jurus mereka sendiri.
Dari 5 jurus yang Cio San perhatikan, ia malah bisa mengembangkannya menjadi jurus-jurus lain. Bahkan ada yang digabungkannya dengan jurus-jurus Butongpay.
Keempat orang yang mengeroyok Cio San itu semakin terbelalak matanya, “bagiamana mungkin” seru mereka.
Akhirnya karena putus asa, mereka sepakat untuk menggunakan jurus pamungkas mereka, “Memindahkan Gunung Bersama-sama”. Jurus ini sangat dahsyat jika dilakukan oleh mereka berlima. Tetapi walaupun kini berempat, karena salah satu anggotanya dilukai Cio San, ilmu itu tetap dahsyat juga.
Cio San dengan ilmu-ilmu ciptaannya di dalam goa menerima serangan gabungan itu dengan percaya diri. Ia menghadapinya seperti menghadapi serangan air bah ketika di dalam goa. Ketika serangan itu tiba tubuhnya berputar. Ketika putaran itu kembali ke posisi semula tangannya telah menyambut kedelapan telapak itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi 'braaaaaakkkkk' yang keras, dan kata-kata “mampus kau ular jelek”
Seketika itu pemusatan pikiran dan tenaga yang dilakukan Cio San buyar. Ia tahu bahwa ada orang yang telah menyerang dan membunuh ular sahabatnya itu di belakangnya. Ketika pemusatan itu buyar, kedalapan tapak yang menyalurkan tenaga itu menghantam tubuhnya.
Padahal sebenarnya keempat orang itu telah terhisap tenaganya oleh Cio San. Justru ketika keempat tenaga yang baru terhisap itu akan dilepaskan kembali oleh Cio San untuk menyerang mereka sendiri, konsentrasinya pecah. Maka dengan dahsyat keempat tenaga dalam yang sudah dilatih bertahun-tahun itu menghantam tubuh Cio San.
Memang ilmu silat Cio San sudah sangat hebat. Tetapi pengalamannya dalam pertarungan masihlah sangat sedikit. Karena kurang pengalaman inilah Cio San menjadi kurang perhitungan dan kurang awas.
Tubuhnya mencelat beberapa tombak, ia pun muntah darah. Karena walaupun tubuhnya memiliki tenaga sakti hasil latihan dan khasiat jamur Sin Hong, justru tenaga itu menghantamnya balik karena salah perhitungan. Ia terkapar dari mulutnya keluar darah segar.
“Mampus kau anak ingusan. Susullah temanmu si ular ini menghadap langit barat [mati]” kata salah seorang.
“Untung kau cepat turun tangan Yap-heng, kalau tidak kami semua ini sudah jadi santapan ular juga”
Yang tidak Cio San ketahui, dan juga kebanyakan orang-orang Kang-ouw, ialah bahwa Tionggoan Ngo Koay ini tidaklah berjumlah 5 seperti julukan mereka. Melainkan 6. Orang yang dipanggil Yap-heng itu adalah anggota mereka yang tersembunyi, dan tidak pernah terlihat. Ia selalu mengiringi Tionggoan Ngo Koay itu. Dan akan bergerak membantu mereka jika mereka terdesak. Intinya tugas utama orang she [marga] Yap itu adalah untuk membokong musuh-musuhnya.
Itulah sebabnya Kelima orang aneh berkibar namanya dalam dunia persilatan. Mereka menggunakan kelengahan musuh untuk memenangkan pertarungan. Ketika melihat bahwa walaupun membokong Cio San pun, ia tidak bisa mengalahkannya, orang she Yap itu menggunakan ular sebagai titik kelemahan Cio San. Dan benar saja, saat konsentrasi Cio San buyar ketika mengetahui bahwa ular itu terbunuh, tenaganya kini membalik menyerang dirinya sendiri.
Urusan-urusan licik seperti ini adalah memang keahlian orang she Yap itu. Dan Cio San yang polos dan berhati jujur seperti itu adalah korbannya yang kesekian ratus.
Cio San yang terlempar beberapa tombak dan bahkan tubuhnya menghujam ke bebatuan itu memang seperti telah mati. Ia tidak sanggup bergerak lagi. Tetapi kesarannya masih pulih seutuhnya. Ia bisa tahu apa yang telah terjadi. Keempat tenaga musuh dan juga tenaga dalamnya sendiri telah menyerang tubuhnya. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa selamat dari hal sedahsyat itu. Memang ternyata khasiat jamur Sin Hong itu adalah melindungi seleuruh organ tubuh. Tapi Cio San sendiri tidak paham akan hal itu.
Walaupun kini tubuhnya tak mampu digerakkan sama sekali, Cio San berusahan keras 'menjinakkan' tenaga yang sekarang berada di dalam tubuhnya. Beruntunglah Cio San ia pernah belajar Thay Kek Kun. Ilmu inilah yang juga melindungi dirinya dari serangan tenaga dahsyat tadi. Tetapi karena Cio San menggabungkannya dengan ilmu silat Tionggoan Ngo Koay tadi, maka Thay Kek Kun menjadi tidak murni dan kotor, Apalagi ilmu silat Kelima orang aneh itu adalah ilmu silat golongan hitam. Thay Kek Kun menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Padahal walaupun pemusatan pikirannya buyar, denga Thay kek Kun yang telah dipelajarinya, seharusnya otomatis melindungi tubuhnya, dan mampu menghalau tenaga serangan keempat orang itu. Cio San dengan kecerdasaannya akhirnya memahami hal ini.
Di dalam kondisinya yang kritis itu, pikiran dan kecerdasannya tidak hilang. Ia lalu mengererahkan tenaganya yang tersisa untuk mengatur jalan darah dan jalan nafas. Ini ia lakukan sambil tergeletak, karena memang ia tak mampu bergerak sama sekali.
Orang yang dipanggil Yap-heng itu memriksa tubuh Cio San. Rupanya ia berfikir bahwa Cio San telah mati, ia lalu berkata, “Bangsat ingusan ini sudah mati. Ayo kita garap ular itu”
Mereka kemudian berduyun-duyun mulai bekerja memotong-motong ular itu. Dagingnya mereka ambil. Darahnya mereka tampung. Lalu organ bagian dalam ular itu juga mereka ambil. Cio San walau tak dapat melihat, tapi ia bisa mendengar semuanya.
Memang setelah ledakan besar yang menghancurkan goa itu, pendengarannya agak tidak berfungsi dengan semestinya. Ini mungkin karena telinganya yang terlalu peka menjadi terluka, karena ledakan sebesar itu. Itulah sebabnya kenapa Cio San tidak bisa mendengar bahwa ada orang lain selain kelima orang musuhnya itu. Apalagi ditambah dengan 'tugas' orang ke enam itu adalah untuk bersembunyi dan membokong secara tiba-tiba sehingga ia memang harus bergerak dengan sangat hening.
Cio San hanya bisa meneteskan air mata menghadapi kenyataan ini. Ia telah kehilangan sahabat baik untuk kali kedua. Dibunuh karena ketamakan manusia. Mendengar suara daging diiris-iris, serta suara tertawa keenam orang itu, hati Cio San semakin sedih.
Bahkan mereka memasak daging itu pun disitu. Sambil makan mereka mengobrol,
“Ah memang nikmat daging ini. Walaupun tipis, rasanya mungkin yang paling enak di dunia. Apalagi darahnya sudah dicampur dengan arak....Hmmm lezaaaaatttt....”
“Iya memang tak percuma jerih payah kita melacak jejak ular ini bertahun-tahun. Sulit sekali menangkapnya”
“Eh Yap-heng, coba ceritakan apa saja khasiat ular ini...”
Orang yang dipanggil Yap-ko itu lalu berkata,
“Khasiatnya banyak sekali. Dagingnya menambah kekutan tubuh bagian luar Gwa-Kang. Bagian orang yang seperti kita, Gwa kang ini berguna untuk meniduri perempuan”
Terdengar suara tawa bergema
Ia melanjutkan lagi, “Darahnya jika dicampur arak khusus yang kubawa ini, bisa untuk menyembuhkan segala penyakit. Bagian jeroan tubuhnya, terutama jantungnya akan menambah tenaga dalam kita berlipat-lipat. Sedangkan empedunya akan membuat kita kebal dengan berbagi jenis racun. Dan tak ketinggalan adalah kulitnya. Kulitnya ini jauh lebih mahal daripada emas. Karena selain sangat indah, juga tahan segala macam jenis senjata. Bahkan juga tenaga dalam sekalipun. Ada lagi yang unik. Dibagian dalam kulitnya itu, ada sebuah lapisan kulit yang sangat tipis. Sangat berguna untuk membuat topeng yang sangat halus.”
Terdengar suara salah seorang menimpali,
“Oh jadi itulah sebabnya engkau menyuruh kita untuk bersabar menangkapnya, Yap-heng? Sampai ia berganti kulit?”
“Benar sekali. Jika ia berganti kulit, maka yang seluruh tubuhnya menjadi lemah dan tak terlindungi. Itulah sebabnya aku menyuruh kalian menunggu bertahun-tahun. Karena ular ini hanya berganti kulit 5 tahun sekali setiap musim gugur. Ia selalu mencari tempat yang dingin, karena saat berganti kulit, tubuhnya akan menjadi panas sekali. ia bisa mati jika berganti kulit saat terkena sinar matahari” jawab orang she Yap itu.
Mendengar itu Cio San menjadi paham. Ternyata ular itu mmasuk ke dalam terwongan goa itu untuk mencari tempat yang aman untuk tinggal. Juga sebagai persiapan untuk mengganti kulit. Karena saat mengganti kulit ia berada di dalam keadaan yang sangat lemah sehingga tidak bisa melindungi diri sendiri. “Sungguh kasihan engkau Kim-ko....” Cio San hanya bisa menangis.
Entah berapa jam lamanya keenam orang itu makan dan mengobrol disitu. Akhirnya setelah puas mendapatkan apa yang mereka cari, mereka pun pergi dari situ. Nasib Cio San pun sudah tidak mereka perdulikan, karena menganggapnya sudah mati. Mereka bahkan tidak memeriksanya, karena telah terdorong untuk segera menikmati dan merasakan khasiat ular itu.
Cio San masih belum sanggup untuk menggerakkan tubuhnya. Ia akhirnya tertidur pulas di situ sampai keesokan paginya. Saat ia tersadar matahari sudah tinggi. Rasa sakit di matanya sudah berkurang. Ia pelan-pelam membuka matanya. Masih dengan hati-hati karena khawatir akan silau dan sakit lagi. Ketika perlahan-lahan ia sanggup membuka matanya, ia senang sekali. Walaupun masih agak silau, dan perih setidaknya ia kini bisa melihat walaupun masih terbatas.
Ia mencoba menggerak-gerakan tubuhnya. Tubuhnya kini sudah mulai bisa ia gerakkan namun rasanya masih sakit sekali. Luka dalamnya pun masih belum sembuh. Dengan perlahan ia bangkit. Berjalan dengan gontai menuju letak si ular sahabatnya tadi.
Alangkah sedihnya ketika melihat yang tersisa hanya tulang belulang sang ular belaka. Cio San jatu berlutut menangis tersedu-sedu. Hatinya sedih sekali melihat kenyataan ini. Lama ia duduk terpekur memandangi tulang belulang itu. Bau amis yang ditimbulkan sudah tak diperdulikan Cio San lagi.
Daerah yang dulunya berupa terowongan dalam perut bumi, kini sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya berupa daerah lapang yang kini dialiri sungai kecil. Cio San lalu berusaha menguburkan tulang belulang itu. Lama sekali baru ia berhasil menggali lubang dan mengumpulkan tulang-tulang itu.
Itu dikarenakan kondisi tubuhnya yang sangat lemah, dan ia tak sanggup mengerahkan tenaga dalamnya. Ketika akan meletakan tulang itu ke dalam lubang, ia menemukan sepotong kulit sang ular yang nampaknya tidak terbawa oleh Tioanggoan Ngo Koay.
“Hanya ini yang tersisa dari tubuhmu Kim-ko...Bolehkah aku menyimpannya sebagai kenang-kenangan?” tanya Cio San pelan sambil mengelus-elus tulang tengkorak kepala sang ular.
Alangkah kagetnya Cio San ketika terdengar suara derik ular itu berbarengan dengn hembusan angin. Cio San terhenyak dan melihat bahwa suara itu keluar dari derik ekor si ular. Segera didekatinya bagian ekor itu dan melihatnya. “Apakah masih bergerak? Tidak mungkin kalau masih hidup....” pikir Cio San dalam hati.
Lama ia memperhatikan akhirnya Cio San tahu. Ternyata suara derik itu lahir dari hembusan angin yang melewati ronga-rongga bagian ekor ular itu.
“Terima kasih Kim-ko.....” Cio San menganggap suara derik itu sebagai bentuk ijin yang diberika sang ular kepada Cio san untuk membawa kulitnya yang tersisa sebagai kenang-kenangan.
Cio San baru berhasil menguburkan tulang sang ular ketika sudah hampir sore hari. Ia lalu bersujud 3 kali, dan mendoakan ular itu. Kemudian ia teringat dengan kuburan A Liang. Cio San lama mencari-cari ternyata kuburan itu tidak ia temukan. Mungkin telah ikut hancur bersama runtuhnya goa itu. Hatinya sedih sekali.
“Apa yang kini harus kulakukan? Tempat tinggalku sudah hancur berantakan. Nampaknya Thian tidak ingin aku hidup tenang, dan harus menghadapi dunia ini?” tanyanya dalam hati.
“Bagaimana aku bisa hidup tenang, sedangkan aku sedang menghadapi fitnah, dan juga kejaran murid-murid Butongpay?. Apakah aku harus tinggal disini selamanya? Itu juga tidak bijaksana karena pasti akan ada orang yang datang kesini.Bagaimana cara terbaik supaya aku bisa tenang?”
Ia lalu teringat perkataan orang she Yap, bahwa bagian dalam kulit sang ular terdapat lapisan yang bisa digunakan sebagai topeng. Ia tidak tahu bagaimana caranya, tetapi ia ingin mencoba saja dulu. Jika ia bisa memiliki topeng yang bagus untuk melindungi jati dirinya, ia bisa tetap bersembunyi dari kejaran orang-orang Butongpay.
Cio San memperhatikan kuliat ular itu. Di bagian dalamnya memang terdapat sebuah lapisan yang tipis sekali. Pelan-pelan Cio San mengelupasnya. Ia memperhatikan lapisan itu, memang seperti kulit manusia. Cio Saan kaget sekali ketika kulit itu lengket dijari-jarinya dan tak bisa dilepaskan.
Dalam kebingungannya, Cio San mendengar sebuah benda jatuh. Ketika ia menoleh ke sumber suara, ternyata ada sebuah bungkusan tepat diatas kuburan sang ular. Ia melihat ke sekeliling mencoba mencari tahu siapa pelempar bungkusan itu. Tetapi ia tidak menemukannya. Lama ia berkeliling di daerah sekitar situ untuk mencari tahu, tetapi ia tidak dapat menemukan siapa-siapa.
Cio San memutuskan untuk melikat isi bungkusan itu. Siapa tahu ada jati diri pelakunya di dalam bungkusan itu. Cepat-cepat Cio San membuka bungkusan itu dengan menggunakan tangan kirinya, karena jari tangan kanannya telah tertempel lapisan kulit itu.
Ternyata bungkusan itu berisi sebuah surat dan satu setel pakaian. Cio San membuka surat itu, dan membacanya:
“Jika kau ingin menggunakan lapisan kulit itu sebagai topeng, gunakan tenaga api untuk membentuknya. Jika terkena daging makhluk hidup maka lapisan itu akan menempel dengan kuat. Sifat lengketnya akan hilang jika kau mengunakan panas. Jika kau ingin membentuknya sesuai keinginanmu, gunakanlah api untuk membentuknya,
Aku kirimkan juga sebuah pakaian yang pantas kau pakai. Selamat datang di dunia Kang-ouw”
Salam”
Hanya itu saja isi surat itu. Cio San yakin pasti ada seorang sakti yang ingin menolongnya. Akhirnya ia memutuskan untuk percaya saja kepada surat itu. Siapapun yang ingin menolongnya pasti mempunyai maksud yang baik terhadapnya.
Cio San akhirnya membuat api dengan menggunakan batu-batuan dan ranting kayu yang berserakan di sekitar situ. Benar saja ketika didekatkan kepada api, daya lengket lapisan kulit itu pun berangsur-angsur menghilang.
Setelah itu dengan berani Cio San meletakan lapisan itu ke wajahnya setelah terlebih dulu membuat lubang untuk kedua matanya dengan menggunakan ujung kayu yang terbakar api. Ketika melihat pantulan bayangan wajahnya di sungai, Cio Sa kagum sekali. Wajahnya sudah berubah. Kini seperti lebih tua 10 tahun.
Lapisan itu seperti merubah bentuk tulang Cio San, dan juga warna kulit wajahnya. Dengan kayu terbakar tadi, ia juga membuat lubang hidung, serta mulut. Sisa-sia lapisan yang ada, dipotongnya juga dengan menggunakan kayu terbakar itu.
Ia kini telah berbeda wajah. Memang lebih jelek daripada wajah aslinya. Hidungnya sedikit bengkok. Bahkan ada kantung mata yang terbentuk di bawah wajahnya. Kulit wajahnya pun pucat sekali, seperti orang berpenyakitan.
“Memang hebat sekali ciptaan Tuhan ini...” pikirnya dalam hati.
“Terimakasih tuan penolong, cayhe [saya] akan selalu mengingat pertolongan tuan” teriak Cio San. Dia lalu bergegas menggunakan pakaian yang ada dalam bungkusan itu. Pakaian itu lengkap ada baju panjang, celana, dan juga pakaian dalam. Bahkan ada juga sekantong uang.
Walaupun tidak ada sepatu, Cio San bersyukur juga diberi pakaian berwarna biru muda itu. Cocok sekali ketika ia pakai. Tubuhnya yang tegap dan tinggi, membuat ia terlihat gagah sekali. Namun jika orang memperhatikan wajahnya, akan terlihat rupa yang kusam dan pucat seperti orang berpenyakitan.
Karena hari sudah sore, Cio San memutuskan untuk besok pagi saja ia pergi dari situ. Ia membuat api unggun di dekat kuburan si ular sahabatnya. Dan tidur di situ.
Besok pagi-pagi ia sudah bangun dan bersiap-siap untuk pergi. Dia memberi hormat 3 kali di depan kuburan ular itu, dan juga di sebuah tempat yang dulunya berupa makam A Liang. Setelah itu dia berangkat. Entah kemana. Manusia datang dan pergi. Itulah kehidupan.
0 Response to "Bab 11 Kedatangan dan Kepergian"
Posting Komentar