PRAKATA


Iseng banget ya bikin cerita silat. Tapi saya udah suka ama cerita silat sejak masih kecil. Mulai dari video VHS, ama buku saku kecil yang disebut orang “Kho Ping Hoo”. Padahal salah kaprah banget, Kho Ping Hoo itu nama salah seorang penulis cerita silat.

Awal mula punya ide untuk menulis cerita silat, adalah ketika saya tahu nenek saya dari pihak ibu, adalah orang cina asli. Marganya Tjio [dalam Ejaan Yang Disempurnakan: Cio]. Seru juga. Dari ibu saya, saya baru tahu lagi kalo nama buyut saya adalah Abdullah Tjio. Dia seorang keturunan Cina muslim. Saya kemudian tertarik untuk mempelajari asal-usul silsilah keluarga saya. Siapa tahu buyut saya itu adalah jagoan Baijiquan [nama salah satu cabang bela diri kungfu yang awalnya hanya dipelajari komunitas Cina muslim]. Iseng-iseng saya browsing di internet, gak nemu juga keturunan Cina lain yang marganya Tjio juga. Adanya cuma Tjio Wie Tay, beliau ini salah satu tokoh keturunan Cina yang berjasa juga bagi Indonesia. Hmmm, siapa tahu, aku ada hubungan saudara dengan beliau.

Dari asal-usul inilah, saya jadi mengkhayal. Siapa tahu nenek moyang saya dulu di Cina adalah tokoh-tokoh silat super sakti dan keren. Punya ilmu meringankan tubuh kelas atas, pukulan sakti maha dahsyat, dan lain-lain. Akhirnya lahirlah seorang tokoh fiktif dalam benak saya yang saya namain Cio San.

Saya gak tau cerita silat yang saya buat ini bakalan kayak gimana. Semua mengalir saja. Menulis cerita ini pun pada saat saya membuat blog ini. Jadi iseng-iseng aja. Tapi walaupun iseng, saya tetap akan bertanggung jawab atas apa yang saya tulis. Entah ada yang mau baca atau tidak, saya tetap akan menghormati 'kontrak tidak tertulis' antara pengarang dan pembaca.

Sekedar informasi saja, cerita-cerita silat di Indonesia awalnya adalah terjemahan dari cerita silat pengarang China [dan Taiwan atau Hongkong]. Penjualan buku terjemahan ini termasuk fantastis di era tahun 70an, akhirnya merangsang pengarang lokal Indonesia untuk menulis cerita silatnya sendiri. Lahirlah legenda pengarang cersil bernama Kho Ping Hoo. Saking ngetopnya dia, hampir semua buku silat dinamaiin Kho Ping Hoo, padahal ada yang bukan karangannya. Ini sama dengan kebiasaan kita menyebut “Honda” untuk segala jenis sepeda motor.

Di Indonesia, penerjemahan buku silat ini masih mempertahankan idiom-idiom bahasa aslinya. Misalnya seperti nama orang, nama jurus, atau nama tempat dan lain-lain masih disebutkan dalam bahasa aslinya . Tapi berhubung orang-orang keturunan cina yang tinggal di Indonesia itu menggunakan dialek Hokkian, maka idiom-idiom yang digunakan juga menggunakan dialek Hokkian, dan bukan Mandarin sebagai dialek resmi China. Perlu diketahui, ada 3 dialek utama dalam bahasa China, yaitu Mandarin, Hokkian, dan Kanton. Jadi, walaupun seumpama huruf-hurufnya sama, cara bacanya agak berbeda, menurut dialek masing-masing.

Ambil contoh kata “Wo” yang dalam dialek Mandarin berarti saya, dalam dialek Hokkian berbunyi “Gua”. Atau kata “Jin” yang berarti emas, dalam dialek hokkian menjadi “Kim'. Begitulah. Hal ini menjadi membingungkan ketika banyak orang awam menganggap bahasa China itu cuma dialek Mandarin saja. Padahal di Indonesia, dialek yang umumnya digunakan adalah dialek Hokkian. Nama-nama orang pun masih menggunakan dialek Hokkian ini, seperti Kwik Kian Gie, Soe Hok Gie, dan lain-lain.

Karena itulah, saya juga tetap mempertahankan 'tradisi' ini dengan tetap menggunakan idiom-idiom Hokkian dalam cerita silat karangan saya. Contoh seperti kata “Thay-Kek Kun”, yang dalam mandarinnya disebut “Tai Chi Cuan”, dan lain-lain. Dalam perjalanan mempelajari dialek hokkian ini, saya malah menemukan banayk juga kata-kata bahasa Indonesia yang berasal dari dialek Hokkian, seperti “Gua/saya”, “Lauteng/Loteng”, “Lie Hay/Lihay”. Dan masih banyak lagi. Ternyata juga, dialek hokkian itu deket banget dengan bacaan Kanji cara Onyomi dari Jepang. Misalnya kata Hokkian “Kiam-Sian” itu hurufnya sama dengan kata Jepang “Ken Shin” yang artinya sama: Dewa Pedang. Seru kan?

Btw, Selain karena mempertahankan tradisi, ternyata memang membaca cerita silat itu lebih enak ketika kita menggunakan dialek Hokkian. Entah kenapa. Dulu di awal tahun 2000an sempat digalakkan lagi penerbitan cerita silat, namun kali ini menggunakan dialek Mandarin. Ternyata banyak pembaca yang protes, karena merasa kesan 'silat'nya hilang.

Ok, moga-moga ada yang mau baca. Karena ini adalah hal baru buat saya. Semoga hasilnya gak mengecewakan. Saya benar-benar membuka pintu kritik dan saran untuk penulisan ini. Karena bagi saya ini bukan sekedar iseng. Saya gak mau terlalu ge-er dengan mengganggap cersil karangan saya sebagai “titik kebangkitan cersil”, karena sungguh masih jauh banget. Tapi amat sangat menyenangkan jika kita menggalakkan lagi penulisan seperti ini oleh penulis-penulis muda. Karena terus terang, walau banyak yang mengganggap cersil sebagai sampah, saya menganggapnya sebagai KARYA SASTRA.

Related Posts:

0 Response to "PRAKATA"

Posting Komentar