Cio San terus berlatih dengan giat, kini rasa lemas dan capek yang dirasakannya setiap berlatih silat telah menghilang seluruhnya. Tubuhnya terasa selalu segar. Apalagi ketika selesai berlatih, ia malah semakin merasa bugar. Sudah hampir sebulan ia berada di atas gunung ini, tidak terasa ilmu silatnya maju pesat seperti orang yang telah melatih silat selama 5 tahun.
Ia mengingat seluruh teori silat dan pernafasan yang diajarkan oleh gurunya. Walaupun hanya di tingkatan rendah, teori itu ia gabungkan dengan pengetahuan dari buku yang diberikan A Liang. Hasilnya, ia seperti menciptakan ilmu baru. Ada terasa gaya Butongpay dalam ilmu itu, tapi juga terasa berbeda karena sudah ia gabungkan dengan teori lain.
Ada rasa riang yang timbul karena tidak lagi ada rasa lemas dan capek. Cio San sudah hampir sembuh seluruhnya dari penyakit yang dideritanya sejak kecil. Memang rasa sakit kepala dan denyut jantung yang berdetak cepat kadang-kadang menyerangnya. Namun jika ia menyalurkan tenaga ke tempat-tempat yang sakit itu, perlahan-lahan ia bisa menghilangkan rasa sakit itu.
Selain melatih silat, Cio San kini mulai belajar memasak. Ia mencobai berbagai resep yang ada di buku itu. Mulai dari yang gampang-gampang dulu. Di atas puncak Butong San, hampir semua bahan untuk resep-resep bisa ditemukan. Memang tidak semua bahan itu memang ada-ada. Kadang-kadang, dengan daya pikirnya, Cio San bisa mengganti bahan masakan yang tidak ada dengan bahan-bahan lain.
Ia berburu rusa, dan kambing gunung. Juga berbagai jenis burung untuk di masak. Ia memetik daun-daun dan tanaman untuk bumbu masakan. Kadang malah ia mencampur-campur sendiri resepnya. Hasilnya kadang enak, kadang mengecewakan. Kalau sudah begitu Cio San hanya bisa tertawa-tawa sendiri memuntahkan hasil masakannya yang rasanya tidak karuan.
Selain memasak, ia juga belajar membuat resep-resep obat-obatan. Kadang-kadang ia malah mencampurkan resep obat dan resep masakan. Walaupun rasanya tidak begitu enak, Cio San percaya hal itu bisa membuat tubuhnya lebih sehat.
Dan memang benar, keberaniannya mencoba masakan dan obat-obatan membuat tenaga semakin bertambah kuat. Resep-resep kuno itu ternyata sangat berkhasiat sekali.
Beberapa hari kemudian A Liang datang lagi. Kali ini selain berbincang-bincang sambil makan, A Liang mengajarkan cara bermain Khim. Awalnya Cio San memang kesulitan, tetapi dasar berbakat, diajari sebentar saja sudah bisa. Bakatnya terhadap sastra dan musik mungkin memang menurun dari ayahnya, yang memang mahir sekali.
Sambil bernyanyi diiringi petikan khim dari Cio San, A Liang memberikan petunjuk dan pengarahan, “Nah di bagian ini jangan terlalu keras, lembutkan sedikit”, atau “Kurang cepat, ikuti hentakan iramanya”.
Setelah berjam-jam, akhirnya Cio San menguasai juga lagu yang diajarkan A Liang. “Aduh, susah sekali lagu ini lopek, kita beristirahat sebentar” keluh Cio San
“Haha, baiklah. Tapi permainanmu sudah lebih baik dibanding awal-awal tadi, pintar juga kau” puji A Liang.
“Yang pintar itu gurunya, mulai sekarang saya akan memanggil lopek sebagai 'suhu'..”
“Hush ngawur..murid Butongpay tidak boleh mengambil guru luar seenaknya. Walaupun aku sudah lama mengabdi di Butongpay, aku hanya tukang masak, mana boleh dipanggil guru” sahut A Liang.
“Tapi bukankah orang yang mengajarkan sesuatu kepada orang lain sudah sepantasnya dipanggil 'suhu'?” kata Cio San sambil tersenyum
“Halah, tidak mau. Aku tidak mau dipanggil suhu” kata A Liang ketus
“Baiklah, lopek. Tapi bagaimanapun, aku tetap menganggap lopek sebagai suhu, dan akan mengabdi layaknya murid terhadap suhu. Walaupun lopek tidak mau dipanggil sebagai suhu. Terimalah salam teecu yang tidak bisa berbakti ini....” dengan tulus Cio San berlutut dan sujud.
Belum sampai kepalanya menyentuh tanah, A Liang sudah menghalanginya, “Hey jangan terlalu banyak aturan seperti inilah, terserahlah kau menganggapku apa. Tapi ku minta, jangan berlaku seperti ini jika ada orang lain. Hukuman Butongpay bisa membuatmu tinggal selamanya di sini” Ia berkata sambil tersenyum, tapi matanya sudah berkaca-kaca.
Entah kenapa, A Liang suka sekali dengan anak ini. Cio San memang memiliki watak yang menyenangkan. Yang menyebabkan ia dibenci oleh murid-murid Butongpay yang lain, sebenarnya bukanlah karena wataknya. Melainkan posisinya sebagai anggota 15 naga muda Butongpay lah yang membuatnya dicemburui. Murid-murid lain menganggap kemampuan silatnya tidak pantas untuk menjadi anggota 15 naga muda.
Cio San sendiri memang bisa membawa diri. Tutur katanya sopan dan menyenangkan. Ironisnya, sering kali tutur kata kita yang sopan bisa membuat orang lain yang sudah tidak suka kepada kita, akan semakin tidak suka.
A Liang yang sederhana dan tidak memiliki prasangka apa-apa terhadap ini menjadi sayang, dan menganggapnya sebagai cucu sendiri. Walaupun mereka baru-baru saja akrab akhir-akhir ini, tapi A Liang serasa memiliki cucunya sendiri. Ia memang tidak pernah menikah sepanjang hidupnya. Sehingga keberadaan Cio San, mungkin membawa perasaan tersendiri di hatinya yang tidak pernah memiliki anak atau cucu.
Setelah beristirahat cukup lama, mereka berdua mulai bermain khim lagi. “Kali ini kau harus memperhatikan syair yang kunyanyikan. Konsentrasi kini harus kau bagi untuk memainkan khim, dan mendengarkan syair. Ini lebih susah, tapi nanti kau pasti bisa” kata A Liang
“Baiklah lopek”
A Liang lalu bernyanyi. Cio San mulai mengiringi, kali ini ia memperhatikan liriknya. Pertama-tama petikannya menjadi kacau saat ia membagi konsentrasi. Tapi lama kelamaan ia sudah mulai bisa mengiringi. Saat mendengarkan syair, tak terasa air matanya mulai meleleh.
Lagu itu sungguh sedih. Menceritakan kesepian seseorang. Entah siapa yang dirindukan. Tak terasa perasaan rindu itu menyusup ke hati Cio San. Ia teringat kedua orang tuanya. Air matanya pun meleleh.
Petikan khim dan suara nyanyian yang syahdu di atas gunung. Daun-daun berguguran. Suara pohon bergesek-gesek. Timbul keheningan dari suara-suara ini.
Entah tebing terjal ini memang sepi atau hati yang sepi. Dua orang berhadap-hadapan namun pikiran dan kenangan bergerak sendiri.
Seorang tua, dan seorang anak belasan tahun. Masing-masing meneteskan airmata karena kenangan yang berbeda. Entah apa yang mereka pikirkan.
Ketika nyanyian dan petikan berhenti. Maka serasa pohon dan angin juga ikut berhenti.
Kedua orang ini tersenyum. Ketika air mata telah habis dijatuhkan, maka yang tersisa adalah senyum ketulusan. Mereka berdua tidak sedang saling tersenyum. Mereka berdua sedang tersenyum kepada kenangan-kenangan mereka.
Jika kesepian datang melanda di tengah dinginnya puncak tebing yang tinggi, maka apa lagi yang bisa menghangatkan hati kecuali kenangan indah.
Cio San sedang mengenang ayah bundanya. Terngiang ia atas petikan lagu indah, dan tiupan seruling yang merdu sang ayah. Teringat dia kepada belaian lembut ibundanya. Yang menyuapinya, yang menggendongnya, yang menghiburnya.
Entah A liang teringat kepada siapa atau apa. Namun 70 tahun hidupnya jelas tidak mungkin tidak terisi oleh kenangan indah.
Lama sekali kedua orang ini terdiam. A Liong lah yang memecah kebisuan, “Aku belum pernah mendengar permainan khim seindah ini. Kau mungkin ditakdirkan menjadi ahli khim nomer satu. Baru belajar beberapa jam saja, kau sudah bisa membuat orang lain menangis mendengar petikanmu”
“Menangis karena terlalu jelek, lopek?” Cio San bercanda namun air matanya masih tetap mengalir.
“Teruslah belajar, tak berapa lama kau akan menjadi ahli khim ternama. Kau mungkin akan dipanggil ke istana hanya untuk bermain khim” kata A Liong
“Benarkah, lopek? Wah teecu (murid) akan berusaha sebaik mungkin lopek”
“Jika saat itu tiba, aku akan senang sekali jika bisa berada disana menontonmu bermain. Hahaha” ia melanjutkan, “Ingat, jangan sebut dirimu 'teecu' kalau ada orang lain ya. Bahaya” mimik mukanya bersungguh-sungguh.
“Baik, lopek”
“Sudahlah, aku mau pulang. Dalam beberapa hari ini aku akan datang lagi. Kita belajar lagu baru. Siap?”
“Siap, lopek” jawab Cio San.
“Baiklah, sampai jumpa” A Liang pergi dengan riang.
Petikan khim dari puncak gunung terdengar semakin indah dari hari ke hari. Cio San nampaknya memang memiliki bakat yang besar dalam bermain khim. Bosan memainkan lagu yang diajarkan A Liang, ia malah menciptakan lagu sendiri. Sudah ada 2 lagu yang ia ciptakan. Indah sekali. Walaupun nadanya tidak begitu rumit, namun justru karena kesederhanaan itulah lagu-lagu itu terdengar lebih indah.
Kadang-kadang petikannya terdengar riang, terkadang terdengar syahdu. Kadang juga terdengar sedih dan menyayat hati. Begitu besar bakat Cio San dalam bermain khim sehingga dalam beberapa hari saja permainannya sudah mencapai tahap ini. Seandainya bakat silatnya sebesar ini, tentunya ia sudah jauh lebih hebat dari Beng Liong, sang murid paling berbakat dari Butongpay.
Hanya 2 bulan dia di puncak Butongsan, kemajuan dirinya sudah sangat mengherankan. Kepandaian silatnya sudah maju pesat. Tubuhnya bertambah sehat dan kuat. Dia pun memiliki kepandaian memasak. Juga membuat obat-obatan. Dia pula telah pandai bermain khim.
Kemajuan seperti ini memang agaknya tidak dirasakan oleh si bersangkutan. Namun seringkali orang lain lah yang bisa melihat kemajuan ini. Terkadang sering kita melihat orang yang ahli melakukan sesuatu. Dan menganggapnya hebat. Tapi jarang sekali kita sadar bahwa orang yang ahli itu telah melewati latihan dan tempaan yang keras. Juga kedisiplinan yang tinggi.
Untuk menjadi seorang ahli silat, tentulah harus memiliki hal-hal seperti itu. Kemauan keras, kerja keras, dan sikap diri yang disiplin. Bagi orang lain ini seperti sesuatu yang susah. Tapi bagi mereka yang mencintai apa yang didalaminya, maka semua dilakukan dengan riang.
Belajar silat, memang sukar. Harus melatih tubuh dan pikiran dengan keras. Orang lain yang tidak mengerti silat akan merasa ngeri dan beratnya latihan itu. Tapi bagi mereka yang mencintai ilmu silat, latihan berat dan keras, serta pengorbanan seperti itu adalah hal yang sangat kecil. Bahkan ada sebagian orang yang merasa latihan keras dan berat itu bagaikan sebuah kesenangan.
Maka bagi orang yang sudah mencintai sesuatu, tidak ada lagi yang namanya susah payah, pengorbanan, atau kerja keras dan berat. Yang ada hanyalah kecintaannya terhadap sesuatu hal itu.
Begitu pula jika kita mencintai seseorang. Semua akan kita lakukan demi cinta terhadap orang itu. Tidak ada lagi pengorbanan. Karena mereka menganggap pengorbanan itu adalah cinta.
Jadi, sesungguhnya kita belum bisa dibilang mencintai sesuatu atau seseorang sebelum kita bisa menganggap pengorbanan yang kita lakukan sebagai sebuah kesenangan. Jika seseorang masih merasa 'berkorban' maka sesungguhnya dia belum mencintai. Karena dalam cinta tidak ada pengorbanan. Yang ada hanya ketulusan.
“Berkorban” berarti merelakan sesuatu yang dianggap penting demi sesuatu hal. Namun “mencintai” berarti menganggap tidak ada yang lebih penting dari yang dicintai itu.
Cinta tidak memerlukan pengorbanan, karena sesungguhnya cinta hanya memerlukan ketulusan.
Dalam apapun di dalam hidup ini, sepertinya itulah yang sering dilupakan orang. “Ketulusan”.
Bahkan dalam ilmu silat pun, ketulusan ini sering dilupakan. Cio San merasa ketika dulu berlatih di perguruan, ia harus mengorbankan waktu dan tenaganya untuk bisa menguasai ilmu silat yang diajarkan. Oleh sebab itu kemajuannya sangat sedikit sekali.
Beng Liong mungkin berbeda. Ia sudah terlanjur jatuh cinta dengan ilmu silat, sehingga berlatih silat sudah merupakan kesenangan dan kebahagiannya. Dia tidak lagi harus merasa berkorban. Karena tenaga yang dikeluarkan, serta waktu yang digunakan untuk berlatih, bukanlah sebuah pengorbanan. Tetapi merupakan kecintaan.
Ketika diatas gunung, Cio San mulai mengutak-atik sendiri ilmu silatnya. Digabungkannya ilmu itu dengan bacaan yang ia baca. Ketika timbul suatu hasil, maka kegembiraan lah yang muncul. Kegembiran itu menimbulkan kesenangan. Kesenangan bisa menimbulkan cinta.
Maka jika kecintaan terhadap silat sudah tumbuh, bakat menjadi hal yang tidak penting. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih tanpa perduli ia akan bisa atau menjadi mahir atau tidak. Ia berlatih demi kesenangan dan kegembiraan bukan untuk BISA.
Sesungguhnya pemahaman seperti inilah yang akan membuat seseorang mencapai tahap tertinggi dalam apapun yang dijalaninya.
Sudah tak terasa berapa banyak tenaga, pikiran, dan tenaga yang dia curahkan. Kemajuannya pun ia sendiri tidak tahu. Namun satu yang ia tahu, ia kini sangat senang belajar silat. Bukan karena ingin menjadi hebat dan sanggup mengalahkan A Po yang dulu sempat membuatnya 'menangis'. Tapi karena ia merasa bahagia dan senang melakukan gerakan-gerakan itu. Mencurahkan pikirannya untuk menemukan hal-hal baru dari ilmu silat itu.
Itulah keunikan ilmu silat. Kadang-kadang kau harus mempelajari semua gerakan dan teorinya. Namun kadang-kadang justru dengan melanggar teori dan rumusnya, malah kau bisa menemukan ilmu yang lebih hebat. Cio San di umurnya yang baru belasan tahun malah sudah bisa menciptakan variasi dari ilmu Butongpay. Bahkan bisa dibilang juga ia telah menciptakan ilmu silat baru. Kejadian seperti ini memang bukan barang langka di dalam dunia kang ouw, tapi juga bukan kejadian yang sering terjadi.
Beberapa hari kemudian, A Liang datang lagi. Sesuai janjinya ia mengjarkan lagu baru kepada Cio San. Kali ini lagunya bernada riang gembira. Mereka bermain musik sambil bernyanyi dan tertawa. Siang itu memang cerah. Membuat suasana hati senang dan bahagia.
“Eh Cio San, aku membawa sesuatu untukmu...” kata A Liang
“Wah apa lagi lopek, kalau dihitung-hitung dengan barang-barang pemberian lopek ini, sudah cukup untuk modal buka toko. Hihihi” canda Cio San
“Ah bisa saja kau, aku membawa ini” sambil berkata begitu ia mengeluarkan sesuatu dari dalam bungkusan. Sebuah guci dari bahan porselen. Ia lalu membuka tutup guci itu dan menghirup udara yang keluar dari dalamnya
“Hmmm, bukankah itu arak Kim Lin dari daerah Nanking?” kata Cio San
“Hey kau tau juga tentang arak Cio San?”
“Kalau perkara arak, sejuk kecil teecu sudah paham. Ayahanda teecu adalah pecinta arak. Tapi beliau minum bukan untuk mabuk, melainkan untuk dinikmati cita rasanya. Beliau memperkenalkan teecu kepada berbagai macam arak. Hingga dari baunya saja, teecu sudah tahu arak apa itu”
“Heh? Wah hebat juga kau” A Liang berkata sambil geleng-geleng kepala. Dalam hatinya dia kagum juga dengan bakat dan kecerdasan Cio San. Namun memang tidak mengherankan. Ayah Cio San adalah sastrawan terkemuka. Kecerdasan ini pasti saja menurun kepada anaknya. Apalagi ibu Cio San adalah juga salah seorang pendekar terkemuka Gobipay.
“Kalau ayah lebih hebat lagi lopek, beliau bisa mengetahui berapa usia arak itu hanya dengan baunya saja. Beliau juga mengajarkan kepada teecu khasiat arak-arak itu. Memang beliau juga tidak lupa mengingatkan bahwa terlalu banyak arak justru malah berbahaya jika kita tidak mempunyai chi (tenaga dalam) yang tinggi”
“kau hafal khasiat segala arak?” Tanya A Liang
“Hafal lopek, bahkan ayah juga mengajarkan bahwa masing-masing arak harus diminum dengan cara berbeda. Masing-masing arak jika diminum sesuai takaran, dan caranya akan membawa khasiat yang sempurna”
“Bagaimana itu cara minum arak? Bukankah hanya tinggal buka mulut dan telan saja? Hahahaha”
“Masing-masing arak punya kecocokan dengan bahan penyimpanannya. Ada arak yang rasanya lebih enak jika disimpan di guci porselen. Ada yg lebih enak jika disimpan di guci dari tanah liat. Ada juga yang lebih enak jika disimpan dalam guci batu atau juga tembaga dan emas.” jelas Cio San
“Hah, lama-lama aku yang memanggilmu lopek. Cara bicaramu ini membuat rasa-rasanya kau jauh lebih tua dari aku. Hahaha” tawa A Liang
“Kebetulan saja teecu memang punya ayah yang punya kesenangan seperti itu. Jika tidak, mana mungkin teecu bisa, lopek”
“Jadi, kau mau menemani aku minum?” tanya A Liang
“Teecu sebenarnya kurang suka arak lopek, tapi ini merupakan suatu kehormatan bisa menemani lopek minum arak”
Sepertinya aneh anak berusia belasan sudah minum arak. Tapi memang di jaman itu, apalagi di dalam dunia Kang Ouw, arak tidak dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Apalagi budaya Tionggoan di jaman memang tidak “melarang” arak untuk di minum anak kecil. Biasanya sehabis makan, atau di malam hari, arak disajikan dalam porsi yang sangat sedikit untuk anak-anak. Biasanya untuk menghangatkan badan dan juga untuk kesehatan.
Yang aneh justru dari cara kedua orang itu berbicara. Tata krama Tionggoan sangat ketat. Dan dalam dunia Kang Ouw, justru lebih ketat lagi. Jika Cio San membahasakan dirinya sebagai “teecu” (murid), maka ia harus memanggil A Liang sebagai “Suhu”(guru). Tapi ia justru memanggilnya sebagai “Lopek” (orang tua). Hal ini bisa dianggap sebagai kekurangajaran besar. Tapi A Liang sendiri memang tidak mau dipanggil sebagai “suhu”.
Kedua orang itu minum arak dengan khidmat dan tenang. Udara meskipun cerah, namun tetap terasa dingin karena mereka berada di puncak tertinggi gunung Butongsan. Dengan arak yang menghangatkan dan persahabatan yang sejati, apalagi yang dicari seorang laki-laki di dunia ini?
Sebenarnya orang hanya mencari “kehangatan” di dalam hidup ini. Anak mencari kehangatan dari kedua orang tuanya. Kekasih mencari kehangatan dari pasangannya. Maka segala masalah di dunia ini, bukankah disebabkan oleh hilangnya “kehangatan” itu?
Anak yang besar di dalam rumah yang penuh kemarahan, penuh pertengkaran orang tua, kemungkinan besar akan tumbuh menjadi anak yang penuh kemarahan juga. Kemarahan ini akan ia tularkan kepada siapa saja.
Begitu juga hati yang patah karena kehilangan kehangatan cinta. Ia akan menjadi pendiam dan sedih. Bahkan yang dipenuhi kebencian. Di atas bumi ini yang bisa membuat kasih berubah drastis menjadi benci tak lain hanyalah cinta belaka.
Cinta ada untuk menghangatkan. Maka ketika ia pergi, teramat sering hati menjadi rapuh, lunglai, dan bahkan mati. Orang yang tubuhnya masih hidup tapi hatinya mati, apakah masih pantas disebut sebagai manusia?
Cinta itu menghidupkan. Tetapi teramat jarang cinta itu hidup lama. Ia bagai hujan. Datang setelah ditandai mendung. Namun juga sering sekali datang tiba-tiba. Berhenti dan pergi juga dengan tiba-tiba.
Cinta, sedemikian juga hujan, adalah perkara yang hanya Tuhan bisa mengerti.
Manusia hanya meraba-raba dalam ketidakpastian. Apa itu cinta? Apa itu kasih?. Manusia sebenarnya buta. Dan dalam kebutaannya, ia mencari sesuatu yang sama sekali tidak ia pahami. Akhirnya timbul lah luka dan duka karena cinta.
Maka bukankah bisa dibilang segala macam perkara di muka bumi ini terjadi karena cinta?
Tapi mereka yang telah menemukannya dan memahaminya, akan terus bahagia. Cinta tak harus terhadap kekasih. Cinta bisa terhadap siapa saja, terhadap apa saja.
Cinta A Liong dan Cio San ini bukan saja cinta orang tua kepada anak, dan anak kepada oprang tua. Tapi cinta diantara sahabat. Jika sahabatmu bisa menjadi seperti orang tuamu, dan orang tuamu bisa menjadi sahabatmu, maka boleh dibilang kau adalah orang yang paling beruntung di dunia ini.
Dan Cio San yang dirundung kesedihan setelah ditinggal mati seluruh keluarganya dan cara yang tragis, dimusuhi oleh teman-teman seperguruannya, dan di hukum oleh gurunya, bukankah bisa sedikit berbahagia?. Karena memang di muka bumi ini, jika ada sahabat yang menemanimu dalam suka dan duka, maka kau memang bisa harus berbahagia.
Setelah selesai minum arak mereka bercakap-cakap tentang dunia Kang Ouw. A Liang yang walaupun tidak pernah berkecimpung dalam dunia Kang Ouw dan belajar ilmu, rupanya memiliki banyak cerita menarik. Ini wajar karena ia telah puluhan tahun hidup di Butongpay. Segala sesuatu yang terjadi di dunia kangOuw tentu menjadi bahan pembicaran di Butongpay.
“Lopek, menurut lopek, siapakah yang paling hebat di dunia Kang Ouw?”
“Sebenarnya tidak ada yang bisa dibilang paling hebat, karena masing-masing orang punya ehebatannya sendiri. Tetua-tetua jaman dulu adalah orang-orang yang hebat. Masing-masing hebat di masanya. Kwee-Tayhiap, Yo-Tayhiap. Di jamanku dulu yang paling hebat adalah Thio Sam Hong-thaysuhu. Ilmu silat dan tenaga dalamnya, serta pengetahuannya yang luas tidak ada bandingannya. Cucu murid beliau, yang bernama,...ah kita tidak boleh menyebut namanya, adalah yang paling berbakat. Di usianya yang semuda itu, dia adalah pesilat yang paling hebat. Namun ia pergi mengasingkan diri beserta istrinya. Sampai sekarang tidak tahu lagi dimana ia berada.”
“Kenapa kita dilarang menyebut namanya lopek?” tanya Cio San
“Dulu Thio-thaysuhu melarang kita menyebut namanya karena beliau selalu sedih jika teringat cucu murid yang paling disayanginya itu. Sekarang walaupun beliau telah meninggal, kita tetap menghormati beliau dengan tidak menyebut-nyebut hal hal yang membuat beliau sedih”
“Keagungan, kehalusan budi, perilaku dan wibawa beliau memang tiada yang bisa menandingi Teecu walaupun tidak pernah bertemu, mendengar cerita orang-orang saja, sudah menunduk hormat. Apalagi jika bertemu langsung...” kata Cio San. Matanya menerawang mencoba membayangkan seperti apa Thio Sam Hong itu.
“Ilmu Thay-kek kun beliau sudah mencapai tahap sempurna. Bahkan dengan ketinggian ilmu silatnya, bisa memanjangkan umur beliau.” lanjut A Liang
“Menurut lopek, ilmu-ilmu apa saja yang paling hebat dalam dunia Kang Ouw?” tanya Cio San
“Di dunia Kang Ouw, banyak sekali ilmu hebat. Karena setiap ilmu sebenarnya memiliki inti yang sama saja. Itu kata para ahli silat jaman dulu. Yang membuat ilmu itu hebat adalah yang menggunakannya. Tapi di jaman dulu ada ilmu yang sangat hebat seperti “18 Tapak Naga” milik mendiang Kwee-tayhiap. Atau “Tapak Duka Nestapa” milik mendiang Yo-taihiap. Sayangnya kedua ilmu itu belum pernah di adu sehingga kita tidak tahu mana yang lebih kuat. Tetapi seperti yang kubilang tadi, bukan ilmu yang kuat melainkan penggunanya.”
Ia melanjutkan lagi, “Setelah Kwee-tayhiap dan Yo-tayhiap meninggal, kedua ilmu hebat itu juga ikut menghilang dari dunia Kang-ouw. Sekitar seratus tahun kemudian ada seorang murid murtad Butongpay yang menguasai “18 Tapak Naga”, namun ia mati terbunuh di pertarungan. Lalu setelah itu tidak ada lagi yang menguasai ilmu itu.”
“Nah beberapa tahun kemudian setelah pengkhianat itu meninggal, Thio-thaysuhu baru berhasil menyempurnakan ilmu Thay Kek Kun nya. Sehingga kedua ilmu itu, “18 Tapak naga” dan “Thay Kek Kun” belum pernah 'bertemu'”.
“Dunia Kang-ouw mulai terasa sepi semenjak saat itu, karena kita berhasil mengusir penjajah Goan dari tanah air kita. Saat itu dunia Kang-ouw hampir seluruhnya bersatu.”
“Lalu beberapa tahun kemudian, secara tiba-tiba muncul seorang tokoh muda baru yang ilmunya sangat tinggi. Ia menantang banyak ahli silat kelas dan mengalahkan mereka semua. Malah yang lebih gila lagi, ia naik ke puncak Butongsan, dan menantang Thio-thaysuhu. “
“Apa? Lalu bagaimana kemudian?” Cio San kaget.
“Pada awalnya Thio thaysuhu tidak meladeni. Namun si tokoh muda itu sanggup mengalahkan murid-murid golongan satu. Melihat ilmunya yang hebat, serta tindak tanduknya yang berbahaya, Thio thaysuhu akhirnya menerima tantangannya itu”
“Lalu, Thio thaysuhu pasti menang bukan?”
“Beliau memang menang, tapi pertarungan itu sendiri tidak jelas. Karena pertarungan itu dilaksanakan di ruang latihan pribadi Thio thaysuhu sendiri. Dan tidak boleh disaksikan orang lain.”
“Mengapa begitu lopek?”
“Menurut kabar, ternyata Thio thaysuhu sedang menciptakan ilmu baru yang lebih hebat dari Thay Kek Kun. Dan karena belum sempurna, beliau tidak ingin memperlihatkannya di depan orang lain.”
“Lalu kenapa lopek bilang hasil pertarungan itu tidak jelas?”
“Karena walaupun Thio Sam Hong thay suhu sendiri memang menang, kabarnya beliau sangat kagum dengan ilmu silat si tokoh muda itu. Konon katanya jika Thio thaysuhu tidak memiliki ilmu Thay Kek Kun yang sempurna dan digabungkan dengan ilmu baru ciptannya itu, belum tentu Thio thaysuhu bisa mengalahkannya. Dan beliau sangat menyesal terpaksa harus membunuh anak muda itu. Padahal sudah puluhan tahun beliau tidak pernah membunuh orang.”
Lanjutnya lagi, “Saking kagumnya, beliau membuatkan kuburan khusus untuk anak muda itu di tanah pekuburan Butongpay. Kuburan anak muda itu bahkan hampir berdekatan dengan lahan kuburan yang disiapkan Thio-thaysuhu untuk dirinya sendiri”
“Hmmm, sebegitu kagumnya Thio-thaysuhu terhadap pemuda itu sampai-sampai memberikan penghormatan setinggi itu terhadap. Lalu siapa nama sebenarnya pemuda berilmu tinggi itu, lopek?” tanya Cio San
“Aku masih ingat nama pemuda itu, Kam Ki Hsiang” ada cahaya kagum di mata A Liang ketika menyebut nama itu.
“Apakah lopek sudah ada di Butongpay ketika kejadian itu berlangsung?” tanya Cio San lagi
“Tidak. Aku datang beberapa hari ketika mayat Kam Ki Hsiang dikuburkan”
“Sebenarnya asal-usul Kam Ki Hsiang itu darimana? Di mana dia belajar ilmu yang hebat itu?”
“Menurut kabar yang beredar, dan itu diakui Thio thaysuhu sendiri, ternyata Kam Ki Hsiang telah menemukan sebuah gua kuno. Dan di gua itu ia menemukan berbagai kitab kuno yang sangat tebal. Kitab-kitab itu berisi ilmu silat yang sangat sakti. Karena kabarnya kitab itu ditulis sendiri oleh pencipta ilmu silat, rahib Tat-Mo” jawab A Liang, lalu ia melanjutkan,
“Kitab itu juga kini tidak diketahui keberadaannya setelah Kam Ki Hsiang meninggal. Dunia kang ouw sejak beberapa tahun yang lalu diributkan dengan pencarian kitab itu, tapi tidak ada seorang pun yang tahu keberadaannya yang sebenarnya”.
“Aaaahhh...begitu rupanya” Cio San menjadi teringat ucapan Tan Hoat, Gihu sekaligus suhunya, yang ditugaskan mencari kitab tulisan Tat-Mo itu. Rupanya kitab itu adalah kitab yang membuat Kam Ki Hsiang seperti tidak terkalahkan.
“Kau pernah mendengar kitab itu, Cio San?” tanya A Liang
“Teecu sempat mendengar sekilas dari suhu bahwa memang ada kitab semacam itu. Teecu pikir itu hanya kabar legenda di dunia kang-ouw, ternyata memang benar-benar ada”
“Di dunia ini banyak sekali kitab-kitab sakti yang menjadi rebutan dunia kang ouw. Mulai dai kita “9 matahari” dan “9 Bulan” yang katanya pernah tersimpan di dalam perut kera dan di dalam pedang, atau juga kitab “Pedang sakti” yang membuat pemakainya berubah dari laki-laki menjadi perempuan, dan masih banyak lagi. Pesanku padamu, kau tidak usah ikut-ikutan mencari-cari kitab-kitab semacam itu. Hanya akan membuat dunia kang-ouw kacau balau. Hiduplah biasa-biasa saja. Gunakan ilmu silatmu untuk kebaikan. Menolong sesama.” ujar A Liang
“Teecu akan mengingat baik-baik pesan lopek. Memang teecu sendiri juga tidak terlalu berminat dengan ilmu silat. Hanya saja ketika teecu berlatih silat akhir-akhir ini, teecu merasa tubuh teecu semakin sehat dan rasa letih dan lemas yang biasa teecu rasakan semakin menghilang”
“Bagaimana bisa begitu?” tanya A Liang heran. Ia memang sudah tahu bahwa Cio San memiliki kekurangan pada fungsi organ tubuh bagian dalamnya.
“Teecu belajar sedikit ilmu organ tubuh di dalam buku yang lopek pinjamkan. Di situ dijelaskan cara mengalirkan chi. Ternyata setelah teecu coba gabungkan dengan ilmu silat perguruan, rasa letih dan lemas teecu hilang semua. Padahal biasanya baru beberapa jurus saja, teecu sudah lemas” jelas Cio San
“Hey hebat sekali kau bisa menngabungkan seperti itu. Kau harus hati-hati, karena tidak boleh sembarangan menggabungkan ilmu. Karena bisa berbahaya”
“Teecu mengerti lopek. Terima kasih atas peringatannya. Setelah teecu baca dan pikirkan, ternyata ilmu di dalam buku itu sejalan dengan ilmu Butongpay sehingga tidak bertabrakan”
“Kau ternyata sangat berbakat dan cerdas Cio San. Orang-orang di perguruan salah mengerti terhadapmu” puji A Liang sambil mengelus-elus kepala Cio San
“Teecu tidak berani lopek...” Cio San tertunduk.
“Hey aku ingin melihat engkau bersilat. Walaupun tidak mengerti silat. Tapi mata awamku ini juga sudah bisa membedakan silat Butongpay yang mahir dengan yang tidak”
“Ah ilmu silat teecu memalukan lopek,...”
“Sudahlah jangan terlalu banyak adat. Ayo tunjukan...” perintah A Liang
“Baik Liang-lopek...”
Setelah berkata begitu Cio San mulai bersilat. Gerakannya tidak begitu indah, malah terlalu sederhana untuk ukuran silat Butongpay. Tapi A Liang melihatnya dengan mata kagum dan keheranan. Mungkin karena keawamannya, ia sudah menganggap jurus-jurus yang diperagakan Cio San itu sebagai ilmu yang hebat.
“Kau..kau, darimana kau mempelajari jurus-jurus itu?” tanyanya dengan rasa heran bercampur kagum.”Apakah dari buku yang kuberikan kepadamu itu?”
“Kalau dari buku tidak ada jurus-jurus silatnya lopek. Hanya ilmu tentang sedikit pengobatan, pengetahuan tentang tubuh manusia, dan juga pengaliran Chi. Jurus-jurus silat ini hanyalah jurus Butongpay yang teecu sederhanakan menurut kebutuhan dan pengetahuan teecu saja.” jawab Cio San
“Luar biasa...luar biasa...Kau benar-benar berbakat....” Ia berkata begitu sambil meneteskan air mata.
Melihat A Liang meneteskan airmata, Cio San juga ikut-ikutan meneteskan airmata. Hatinya memang halus. Ia mengerti bahwa dalam ketidakpahaman A Liang terhadap ilmu silat, A Liang menganggap bahwa jurus-jurus sederhana Cio San tadi sudah sangat hebat. Padahal bagi Cio San, ilmu itu sangat sederhana sekali, bahkan mungkin tidak ada apa-apanya dibanding dengan jurus-jurus pemula Butongpay.Cio San merasa terharu juga melihat ketulusan A Liang ini.
“Terima kasih lopek. Teecu akan belajar lebih keras supaya bisa membuat lopek bangga dan senang” katanya sambil tersenyum.
A Liang menatap Cio San lama sekali.
Lalu kemudian dia tersenyum dan berkata, “Jika ada yang bisa membuat Butongpay berjaya kembali, pastilah kau orangnya, Cio San:”
Setelah itu mereka bercakap-cakap lagi sebentar. A Liong sekalian pamit dan berkata bahwa ia akan turun gunung Butongpay. Karena beberapa minggu lagi akan ada perayaan beberapa tahun meninggalnya Thio Sam Hong, sehingga perguruan akan menerima kunjungan tamu-tamu dari golongan Kang-ouw. Jadi mungkin dalam beberapa hari ini ia tidak akan mengunjungi Cio San
0 Response to "BAB 5 Pelajaran di Puncak Gunung"
Posting Komentar