Cio San berjalan ke arah barat. Dari posisi bintang tadi malam, ia tahu bahwa ia sedang berada di timur. Entah bagaimana ia bisa sampai ke dalam terowongan itu 3 tahun yang lalu. Mungkin ia terjatuh di dalam pusaran air, yang membawanya jauh sampai ke dalam terowongan itu. Entahlah. Hanya Thian yang tahu.
Dunia berputar dan manusia terjebak dalam gelombangnya. Siapa yang mengikuti arus pastilah sampai tujuan. Siapa melawan arus pasti akan tenggelam oleh jaman. Kehidupan ini alurnya siapapun tiada yang tahu. Semua kejadian berhubungan dengan masa lalu dan masa depan.
Nasib Cio San ini, jelas dia sendiri tidak menyangka. Dari sebuah keluarga yang bahagia yang tinggal di kaki gunung Go Bi san. Lalu menjadi sebatang kara sampai kemudian diangkat menjadi murid Butongpay. Kemudian malah menjadi buronan Butongpay karena dianggap membantu pembunuhan gurunya. Sehingga terdampar dan hidup di dalam perut bumi. Bertahan hidup menghadapi keadaan hidup yang berat. Lalu berkelahi dengan ular, bahkan kemudian menjadi sahabat ular itu.
Lalu kini sang sahabat pun mati, sedangkan dia kini harus berkelana tanpa tujuan. Apa yang harus dilakukannya kini. Yang menderita adalah hidup tidak bahagia. Namun yang lebih menderita lagi adalah hidup tanpa tujuan.
Dengan tubuh terluka, bahkan dia sendiri tidak bisa menggunakan tenaga dalamnya. Apa yang bisa dilakukan di dunia kang ouw dengan keadaan seperti itu?. Cio San memutuskan untuk kembali ke dunia ramai, tapi dia tidak akan mencampuri urusan Kang-ouw. Ia ingin hidup tenang tanpa pertempuran. Tanpa perebutan kekuasaan.
Cio San memutuskan untuk menjadi juru masak saja. Ia memiliki sedikit pengetahuan tentang memasak. Ia pun sudah banyak menghafal resep-resep masakan yang enak-enak. Kini ia berjalan dengan mantap. Walaupun agak sedikit gontai karena terluka. Setidaknya ia kini mempunyai arah hidup.
Selama 2 hari Cio San menyusuri hutan itu. Ternyata ia telah berada jauh dari gunung Butongsan. Karena dari letaknya kini, ia bisa melihat gunung itu. Indah sekali. Cio San merasa beruntung bahwa ia terdampar cukup jauh dari Butongsan. Air sungai ternyata membawanya cukup jauh.
Dalam 2 hari ini, Cio San bertahan hidup dengan memakan buah-buahan dalam hutan, serta menangkap hewan buruan seperti kelinci dan ayam hutan. Ia juga tidak lupa mengumpulkan beberapa bahan yang bisa dipakainya untuk membuat bumbu masakan yang enak. Dari pengetahuannya, ia mengumpulkan banyak sekali bahan-bahan. Ia juga tak lupa mengumpulkan beberapa bahan yang bisa dijadikan sebagai obat-obatan. “Mumpung berada di hutan, dan banyak sekali bahan-bahannya” begitu pikir Cio San.
Perjalanannya dilakukan dengan riang. Walaupun hatinya sedih terhadap kematian si ular, ia bisa menerima kematian itu sebagai satu takdir. Cio San telah anyak mengalami kematian orang-orang terdekatnya. Ayah ibunya, keluarga besarnya, gurunya, sahabat terbaiknya, dan juga si ular.
Ayahnya mengajarkan bahwa kematian telah ditakdirkan. Tidak bisa dimajukan atau dimundurkan. Ayahnya memang menganut agama dari daerah barat, yang mengajarkan seperti itu. Walaupun bukan penganut yang taat dan keras, setidaknya banyak nilai-nilai ajaran agama itu yang ayahnya percayai. Bahkan ayahnya pun juga tidak memaksa Cio San untuk mengikuti agama itu. “Biarlah kau memilih sendiri mana yang kau percayai, jika kau dewasa nanti” begitu kata ayah Cio San waktu itu.
Memang di hati Cio San tidak ada dendam, bahwa ia harus membalas kematian-kematian ini. Tetapi jiwanya selalu menuntut keadilan nanti. Suatu hari kebenaran akan terkuak, dan keadilan akan ditegakkan. Siapa yang bersalah harus dihukum.
Hanya itulah yang ada di hatinya. Oleh sebab itu dia bisa berjalan dengan ringan dan menikmati hidup. Apa yang terjadi telah ditakdirkan. Apa yang belum terjadi harus diusahakan. Jika ingin kebenaran berjuanglah. Jika ingin keadilan berjuanglah. Itulah yang selama ini diajarkan ayah ibunya.
Teringat ia akan ayah ibunya, Cio San merasa bersalah. Selama ini ia tidak pernah mengunjungi makam mereka. Cio San memutuskan untuk mengunjungi mereka ketika ia sudah mampu membeli kuda. Karena letk kuburan ayah ibunya jauh sekali. Dan untuk membeli kuda yang bagus, ia harus bekerja.
Cio San telah memutuskan bahwa ia tidak akan menggunakan uang pemeberian orang yang menolongnya itu, jika benar-benar tidak penting. Jika masih bisa bekerja, maka ia lebih baik bekerja saja.
Saat menjelang siang hari, akhirnya ia bisa keluar dari hutan itu. Tak lama berjalan, ia melihat sebuah rumah. Ternyata rumah seorang petani. Si petani itu baru saja selesai menggarap sawahnya dan kini sedang beristirahat. Petani itu sudah tua, namun tubuhnya masih terlihat segar dan kokoh. Hanya wajahnya saja yang sudah terlihat keriput-keriputnya.
“Selamat siang lopek,...bolehkah saya numpang istirahat sebentar, saya tersesat beberapa hari di hutan” kata Cio San dengan hormat.
“Oh..tersesat? Memangnya anak ini mau kemana dan dari mana?” tanya si petani itu ramah namun sedikit kaget juga.
“Mmmm....saya sedang berkelana lopek. Tapi karena tidak tahu jalan, saya tersesat..” ujar Cio San sambil malu-malu.
“Wah ternyata anak ini dari kaum bu-lim [persilatan] ya? Mari-mari silahkan istirahat disini...” jawab si petani ramah.
Jaman itu kaum persilatan memang dihormati dan dikagumi rakyat jelata, karena terbukti mampu membebaskan tanah air dari penjajah Mongol. Sehingga rakyat biasa jika bertemu dengan orang-orang kang-ouw pasti akan hormat dan kagum.
Si kakek petani yang merasa senang mendapat tamu orang kalangan Kang-ouw itu malah bersemangat sekali untuk bercerita,
“Dulu sering sekali orang-orang kang-ouw lewat sini. Apalagi jaman peperangan dengan penjajah mongol dulu. Daerah sini banyak dilewati pahlawan-pahlawan. Saat itu aku masih kecil. Setelah peperangan, daerah ini jarang dilewati orang kang-ouw selama puluhan tahun. Baru beberapa tahun yang lalu ini, tempat ini mulai ramai lagi...” cerita si kakek.
“Mulai ramai? Apa sebabnya lopek?” tanya Cio San
“Orang-orang kang-ouw itu ramai-ramai mengejar buronan. Katanya buronan ini adalah murid Butongpay yang murtad. Menurut cerita yang kudengar, ia bersekongkol dengan seorang tukang masak. Mereka membunuh salah seorang guru di Butongpay, lalu mencuri kitab sakti milik Butongpay. Bahkan ia sempat juga meracuni Ciangbunjin nya partai Butong itu” kata si kakek.
Seketika itu juga Cio San terhenyak. Untuknya ia sedang memakai topeng sehingga perubahan raut mukanya tidak terlihat. Ia lalu bertanya,
“Lalu apakah buronan itu sudah ditemukan?”
“Selama hampir 2 tahun orang-orang kang-ouw mencari-cari namun katanya tiada hasil. Akhirnya setahun ini daerah ini sudah sepi lagi...eh, anak sendiri ini ke daerah sini apa mencari buronan itu juga?”
Cio San cepat menjawab,
“Ah sebenarnya tidak mencari, hanya mau melihat-lihat keramaian. Tapi karena saya ini masih hijau, sering-sering tersesat. Dan juga banyak hambatan di jalan. Akhirnya baru sekarang sampai kemari...”
“Ooo begitu, anak ini asalnya darimana? Dan namanya siapa?” tanya si kakek lagi.
Sadar bahwa dari tadi ia belum meperkenalkan, Cio San malah merasa kurang sopan
“Ah maaf lopek sejak tadi saya lupa memperkenalkan diri. Saya berasal dari sebuah desa di dekat Kanglam.Hanya desa kecil tidak terkenal. Sejak kecil saya suka belajar silat. Setelah dewasa ingin berkelana...”
Si Kakek tersenyum, cerita seperti itu memang sering terjadi, pikirnya.
“Lalu nama anak siapa?” tanyanya lagi
Agak gelagapan juga Cio San menjawabnya,
“Mmmm...nama...saya Tan Liang San....” jawabnya terbata-bata. Cepat juga ia berfikir tentang nama ini. Sebenarnya itu di ambil dari she [marga] gurunya Tan Hoat, nama A Liang, dan juga namanya sendiri. Akhirnya terciptalah nama Tan Liang San.
“Oooo,..she Tan ya. Kalau aku she Oey bernama Hoa.” kata si kakek.
“Senang berkenalan dengan Oey-lopek” kata Cio San sambil memberi hormat ala kaum bu-lim.
Si kakek senang sekali menerima penghormatan seperti itu, ia pun membalasnya. Selama ini orang-orang kangouw yang berkeliaran di daerah situ tidak ada satupun yang memberi hormat seperti itu kepadanya. Karena memang dalam pandangan kaum kangouw, orang-orang seperti petani tua ini adalah kaum rendahan yang tidak perlu diberi hormat seperti itu.
Mereka ngobrol lama sekali. Bahkan Cio San pun bahkan membantu kakek itu bekerja mengurusi sawahnya. Sambil bekerja, mereka tetap ngobrol-ngobrol dengan riang. Dari obrolan itu setidaknya Cio San bisa mengerti perkembangan yang terjadi di dunia Kangouw.
Ternyata perguruannya, Butongpay telah mengeluarkan pengumuman bahwa ia telah dipecat dari Butongpay. Perbuatannya telah membawa kegemparan di dalam dunia kangouw, sehingga banyak dari golongan Kangouw ini pun yang mengejar dan mencarinya.
Tapi Cio San paham bahwa sebenarnya bukan dirinyalah yang diincar melainkan kitab silat sakti yang diduga telah dibawa olehnya. Karena dibawah kolong langit, hanya 3 hal lah yang paling menarik bagi orang kangouw. Kitab silat sakti, senjata pusaka, atau harta karun.
Sedih juga Cio San mendengar bahwa ia telah dipecat oleh Butongpay. Bahkan kini telah menjadi incaran orang-orang kangouw.”Suatu saat nanti, aku harus membersihkan namaku” begitu pikirnya.
Si kakek menawarkan untuk bermalam di gubuknya. Cio San dengan senang hati menerima tawaran itu. Semalaman mereka pun bercerita pula. Cio San sangat senang mendengarkan karena ia sudah lama tidak mengobrol dengan manusia. Sampai larut malam akhirnya mereka tertidur.
Pagi-pagi sekali Cio San sudah bangun. Ternyata si kakek sudah bangun lebih dulu. Sempat membantu si kakek membuat sarapan, kemudian Cio San pergi mandi. Selsai mandi baru mereka berdua makan. Lalu Cio San berpamitan.
Si kakek memberikan sepasang sepatu miliknya. Cio San sudah berkali-kali menolak tetapi si kakek terus memaksa. Akhirnya agar tidak mengecewakan sang kakek, ia menerima juga sepatu itu. Ada rasa haru juga di hati Cio San ketika mereka berpisah. Padahal baru kenal sehari. Tapi Cio San memang orang yang halus hatinya.
Ia kini berjalan menyusuri jalanan yang menuju kepada sebuah desa terdekat. Si kakek yang menunjukkan jalan itu kepadanya. Kata si kakek jalan itu menuju desa terdekat. Jaraknya lumayan jauh, mungkin tengah hari baru sampai ke desa itu. Tapi di sepanjang jalan Cio San bertemu dengan beberapa rumah penduduk. Nampaknya itu rumah para petani, karena di sekitar rumah itu pun terlihat banyak sawah. Cio San kadang berpapasan dengan orang. Mereka menyapa dengan ramah. Rupanya daerah situ sering didatangi orang asing sehingga mereka tidak terlalu curiga kepada Cio San.
Sampai tengah hari baru akhirnya desa itu kelihatan. Kelihatannya memang desa yang ramai. Melihat keadaan seperti itu, Cio San lantas teringat desa tempat ayahnya berasal. Dulu waktu kecil sering sekali ia berkunjung kesana.
Ketika sampai ke desa yang ramai ini. Cio San senang namun juga khawatir. Ia senang karena sudah lama memang tidak bertemu manusia. Dulu ia memutuskan untuk hidup saja di dalam goa adalah bukan karena ia tidak suka untuk hidup lagi di tengah keramaian. Melainkan karena ia khawatir. Khawatir terseret oleh banyak sekali kepentingan orang-orang kangouw.
Sejak kecil, ia sudah merasakannya. Kedua orang tuanya dibunuh, keluarga besarnya, gurunya, sahabatnya. Semua terbunuh karena begitu banyak kepentingan orang-orang kangouw ini. Ia masih belum tahu apa penyebabnya semua orang-orang yang dekat dengannya terbunuh. Tapi ia yakin pasti suatu saat ia akan mengetahuinya.
Kenyataan bahwa ia harus terseret dalam pusaran kepentingan orang-orang kangouw inilah yang membuat ia khawatir. Cio San memang mewarisi sifat ayahnya yang penyabar, penyayang, dan romantis. Sifat ayahnya yang tidak suka berkelahi, lemah lembut, dan tenang itu memang mengalir ke dalam dirinya.
Ia memang kini senang sekali belajar silat. Tetapi itu bukan karena akan ia pakai untuk berkelahi, melainkan semata-mata karena ia menyukai silat. Ibarat orang yang menyukai mancing, ikan yang ia tangkap bukan untuk ia makan, melainkan ia lepas kembali. Proses menunggu, memancing, dan tarik ulur dengan ikan lah yang dicari oleh orang yang suka mancing. Begitulah pula Cio San dengan kesukaannya terhadap ilmu silat.
Akan tetapi Cio San pun mewarisi kegagahan dan rasa keadilan dari ibunya, yang adalah pendekar ternama Gobi-pay. Cio San tidak suka melihat ada orang yang ditindas, dicurangi, atau dirampas haknya. Dalam hati kecilnya ia selalu ingin membela atau melakukan sesuatu.
Bukannya ia pendendam, tetapi ia merasa orang harus mendapatkan apa yang diusahakannya. Jika yang diusahakannya itu kebaikan, maka kebaikan pula yang ia dapat. Jika kejahatan, maka kejahatan juga yang ia dapat. Dorongan inilah yang membuat muncul suatu tekad di dalam hati Cio San untuk membersihkan namanya, dan nama A Liang. Dan juga untuk mencari keadilan atas kematian keluarganya, dan juga gurunya.
Akan tetapi Cio San memutuskan untuk melakukannya dengan tenang dan perlahan, agar semua permasalahan menjadi jelas dan terang benderang. Rupanya sifat ayahnya ini yang mendorongnya untuk bersikap seperti itu.
Sifat orangtua ini memang selalu mengalir kedalam anak-anaknya. Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Benar juga pameo ini. Gabungan antara sifat pendekar Gobipay yang gagah dan benci dengan ketidakadilan ditambah dengan sifat seorang sastrawan yang halus, lemah lembat, namun tajam dalam berfikir inilah yang menjadi sifat Cio San sekarang.
Sambil berjalan kaki, Cio San menikmati segala pemandangan yang terhampar di depan matanya. Selama sekitar 3 tahun ia telah terperangkap di dalam kegelapan. Ada perasaan suka cita yang timbul juga di dalam hatinya ketika melihat segala pemandangan ini.
Akan tetapi pikirannya pun juga tak berhenti berfikir tentang bagaimana ia harus menghadapi dunia ini. Saat ini posisinya telah menjadi buronan. Bahkan telah menjadi buruan kaum kangouw karena disangka ialah yang telah mencuri kitab sakti itu.
Cio San memutuskan bahwa untuk sementara ia harus berdiam dulu di suatu tempat. Tempat itu harus ramai oleh banyak orang sehingga cerita dan kejadian-kejadian yang terjadi di dunia Kangouw dapat diketahui dan dipahami olehnya secara keseluruhan.
Ia merasa sangat beruntung bahwa saat ini ia memakai topeng dari kulit ari ular. Entah siapa yang telah menolongnya dan memberikan ide kepadanya. Dalam hatinya Cio San pun memutuskan untuk mencari tahu siapa orang yang telah membantunya itu.
Dari pemikiran itu, Cio San mengambil keputusan bahwa ia harus bekerja dulu di sebuah rumah makan. Karena itulah keahlian yang dimilikinya selain kemampuan silat. Banyak sekali resep-resep masakan yang dikuasainya, yang pasti akan membantunya agar bisa diterima di sebuah rumah makan.
Rumah makan adalah tempat semua orang berkumpul. Dari sanalah ia bisa mendengar cerita-cerita dan kejadian dunia kangouw. Mungkin langkah-langkah selanjutnya akan bisa ia putuskan setelah mengetahui apa-apa saja kabar dan berita dunia kangouw. Karena baginya, ia harus mengetahui segala sesuatunya dulu sebelum mengambil langkah apapun.
Tersenyum dia memikirkan semua ini. Akhirnya ada jalan juga baginya untuk mengetahui kebenaran. Walaupun jaraknya masih jauh sekali, tetapi langkah pertama akan dijalaninya. Cio San menatap ke depan dengan gagah.
“Dunia, aku datang.......”
0 Response to "Bab 12 Dunia Baru Yang Tidak Asing"
Posting Komentar