Setelah tertidur pulas, ia akhirnya bangun. Cahaya kecil sudah muncul lagi dari “jendela air”, begitu Cio San sekarang menyebut lubang tempat keluarnya air sungai itu.
“Hey, bagaimana jika aku mencari ikan? Siapa tahu di dalam sungai ini ada banyak ikan”
Segera ia menyalakan api, dan mencari ranting-ranting lain. Kebetulan ia menemukan beberapa bilah bambu di sebuat tempat. Bilah-bilah ini memang tidak terlalu panjang, yang terpanjang hanya kira-kira 1 depa. Tapi itu sudah cukup membuatnya senang. Dengan pisau peninggalan A Liang, ia membuat berbagai keperluan dengan bambu-bambu itu. Seperti membuat tempat minum, dan juga tempat penyimpanan jamur-jamur, pisau, dan batu api.. Ia juga membuat tombak ikan.
Setelah tombaknya selesai, mulailah ia berburu ikan. Ternyata walaupun tidak banyak, ikan-ikan di dalam sungai lumayan besar juga. Cio San menangkap 2 ekor. Satu dimakannya pagi hari, satunya lagi ia simpan untuk malam hari.
Untuk siang hari Cio San memanggang jamur. Sedangkan jamur-jamuran yang beracun ia pakai untuk bahan bakar dan penerangan. Lumayan juga apinya malah menjadi besar. Cio san kaget juga. Tapi ia malah menganggapnya sebagai pertolongan Tuhan.Ternyata jamur-jamur beracun itu bisa dipakai sebagai alat penerang yang tahan lama.
Setelah makan Cio San pergi ke kuburan A Liang. Ia bertekad untuk setiap hari berdoa di kuburan itu.
“Liang lopek, hari ini aku memasak ikan. Rasanya enak sekali. Walaupun tidak ada bumbu, tapi rasanya jauh melebihi bumbu apapun. Ku harap Lopek mendapatkan makanan lezat di langit sana. Eh, ada kejadian ajaib. Tadi aku tidak sengaja membuang jamur-jamur beracun ke dalam api, ternyata apinya menjadi besar. Ku tunggu sekian lama ternyata api itu awet juga. Terima kasih Liang lopek, telah mengirimkan jamur-jamur itu untuk menerangi gua ini”
Cio San berbicara kepada A Liang seperti ketika orang itu masih hidup. Ini mungkin ia lakukan untuk mengusir rasa kesepiannya yang hanya ditemani suara gemericik air.
Ia lama sekali berada di kuburan A Liang. Perasaannya yang halus kembali membuatnya menangis mengingat A Liang. Cio San melamun dan berpikir,
“Aku tidak boleh terus diam saja dan melamun seperti ini, bisa-bisa aku jadi gila”
Ia akhirnya memutuskan untuk berlatih silat. Tempat dekat kuburan A Liang memang lumayan lebar sehingga cocok untuk berlatih silat.
Cio San lalu mengingat-ingat kembali jurus-jurus yang ia latih ketika berada di puncak Butongsan. Awalnya memang agak kaku, tapi tak sampai lama akhirnya ia bergerak dengan mantap dan lincah. Daya ingatnya memang sangat kuat sehingga ia tidak melupakan satu bagian pun dari jurus-jurus silat ataupun kata-kata di buku masak A Liang.
Ia bersilat cukup lama, menggabungkan silat Butongpay, petunjuk di buku masakan, serta permainan khim. Dari silat butongpay ia mengambil kuda-kuda, langkah, serta gerak silat tangannya. Dari buku masakan A Liang, ia mengambil bagian pengerahan energinya. Sedangkan dari permainan khim, ia mengambil bagian tentang penggunaan perasaannya.
Perasaan yang mengalun bagai lagu ini membuatnya menemukan jurus-jurus silat. Cio San hanya mengikuti perasaannya saja. Di dalam hati ia bernyanyi. Di dalam pikirannya ia merasa seperti sedang bernyanyi dan bermain khim.
Ia hafal betul lagu-lagu yang ia mainkan bersama A Liang di puncak Butongsan. Ada lagu yang sedih dan sendu, ada lagu yang riang gembira. Ketika sedang membayangkan lagu sendu, langkah-langkahnya berat namun mantap. Ketika sedang memikirkan lagu riang, geraknya cepat dan lincah.
Ia menutup matanya. Tubuhnya bergerak seperti mengikuti irama lagu. Hatinya bernyanyi dengan sepenuh hati.
Bagi Cio San, ia bergerak sekenanya saja. Hanya mengikuti aliran lagu yang ada di dalam kepalanya. Namun jika ada orang lain yang melihatnya, mereka akan kagum dengan gerakan-gerakan silat yang dimainkan oleh Cio san.
Ia sedang memainkan sebuah ilmu silat yang baru.
Lama ia bersilat. Ia tidak sadar bahwa saat itu sudah melewati tengah hari. Bergegas ia pulang untuk makan siang. Jamur panggang adalah santapan siang harinya. Setelah menyantap jamur-jamur itu, tubuhnya menjadi semakin segar, dan kuat.
“Heran, setiap aku selesai makan jamur-jamur ini, tubuhku terasa sangat enteng, dan segar sekali. Mungkin jamur-jamur ini memang punya khasiat yang sangat tinggi” pikir Cio San
Dan memang tebakannya itu sungguh tepat. Cio San tidak tahu bahwa jamur yang dijadikannya sebagai santapan siang sehari-hari itu adalah sebuah tumbuhan yang dijadikan bahan rebutan oleh kalangan kang ouw.
Jamur itu bernama jamur “Sin Hong”. Jamur itu hanya tumbuh di daerah tertentu di Tionggoan dan sangat langka sekali. Belum tentu dalam seratus tahun, jamur itu akan muncul. Itulah sebabnya jarang ada orang yang tahu tentang jamur itu.
Kalangan kang-ouw saja juga hanya mendengar-dengar saja tentang jamur sakti itu, namun jarang ada dari mereka yang pernah memakannya. Jika memakan satu lembar daun jamur itu, orang akan menjadi sehat dan panjang umur. Jamur itu mampu menghilangkan segala macam penyakit dan racun-racun di dalam tubuh.
Bayangkan jika jamur-jamur itu dimakan setiap hari?
Cio San yang tidak tahu tentang jamur itu malah menjadikannya sebagai santapan sehari-hari seperti sayur biasa. Sayangnya ia tidak tahu bagaimana cara mengolah jamur itu sehingga khasiatnya tidak bisa berfungsi sepenuhnya.
Jamur Sin Hong haruslah direndam di dalam arak khusus selama 3 hari. Barulah kemudian dimakan dan arak rendamannya juga diminum. Begitulah baru khasiatnya bisa diperoleh sepenuhnya.
Cio San memakannya setelah dipanggang, tentulah khasiatnya tidak sebanding dengan jika diolah dengan benar. Namun Cio San memakan jamur itu setiap hari. Bisa dibayangkan betapa sehat tubuhnya. Bahkan secara tidak sengaja tubuhnya pun menjadi kebal dari segala racun.
Ia pun seperti memperoleh tenaga sakti di dalam tubuhnya. Namun Cio San tidak menyadarinya. Yang ia rasakan, ia merasa tubuhnya selalu terasa segar dan enteng setiap hari.
Begitulah kegiatan Cio San sehari-hari di dalam goa. Hampir satu bulan lamanya ia berlatih jurus-jurus gubahannya sendiri itu. Lalu memakan jamur jamur Sin Hong setiap hari. Cio San bahkan menciptakan jurus-jurus baru.
Jurus-jurus itu ia ciptakan, setelah secara iseng menciptakan lagu baru. Ia memang memiliki bakat musik yang kuat dari ayahnya, sehingga ia bisa menciptakan lagu hanya dengan menggunakan pikiran tanpa harus menggunakan alat musik.
Cukup dengan membayangkan saja, ia bisa mendengar nada-nada itu di dalam kepalanya. Ia lalu menggabungkan jurus-jurus silat dengan lagu baru itu.
Cio San bersilat dengan riang gembira seperti menemukan suatu hal yang baru. Sungguh ia tidak sadar bahwa ia sedang menciptakan jurus-jurus silat yang sangat dahsyat.
Berhari-hari ia di dalam perut bumi itu, ilmu silatnya semakin hebat. Itu dikarenakan karena ia selalu rajin melatihnya, dan juga karena kecerdasannya sehingga ia bisa menciptakan ilmu baru dari hal-hal sederhana.
Adanya jamur Sin Hong menambah tenaga dalam yang sangat dahsyat di dalam tubuhnya. Dalam kurun waktu sebulan lebih, kepandaian silatnya sudah jauh melebihi kebanyakan orang di dunia Kang ouw.
Suatu hari ketika selesai menggoreskan penanda di dinding goa, Cio San termenung. Tanda yang ia goreskan di tembok menggunakan pisau A Liang sudah berjumlah 50. Itu berarti sudah hampir 2 bulan ia berada di dalam perut bumi.
Betepa mengherankannya nasibnya. Mampu bertahan hidup di tengah kegelapan dan kesepian. Namun begitulah takdir. Cio San pun tak pernah lupa bersyukur kepada Thian (langit), bahwa ia masih dinaungi keselamatan dan perlindungan.
Ketika sedang asik melamun, Cio San seperti merasa ada yang aneh. Ia merasa bahwa air di dalam terowongan ini semakin meninggi. Biasanya air tidak pernah menyentuh kakinya jika ia duduk di tempat biasanya ia duduk.
Lama ia menunggu dan memperhatikan. Ternyata memang benar air semakin mulai meninggi.
Terkejutlah Cio San. Jika air semakin meninggi tanpa henti, maka bisa-bisa ia mati tenggelam. Apa yang harus diperbuatnya?
Ia mencoba untuk berpikir tenang. Pertama-tama ia mengambil bambu tempat penyimpanan pisau dan batu apinya. Ia ikat erat-erat dan pastikan ikatan itu tidak mungkin lepas dari tubuhnya. Selama ini Cio San jarang memakai bajunya karena sayang cuma itu baju satu-satunya yang ia miliki. Kini ia memakai kembali baju itu.
Ia memeriksa memang benar air semakin meninggi. Ia mencari tempat yang lebih tinggi sebagai pijakannya. Tapi tak berapa lama air itu kini sudah menyentuh ujung jarinya.
Kini tak ada lagi tempat kering. Semakin lama air naik, dan kini menyentuh lututnya.
Cio San panik. Tapi ia tetap mencoba tenang. Ia telah berusaha keras mencari pemecahannya, tapi ia tetap tidak bisa juga.
Tak berapa lama air telah menyentuh dadanya. Cio San kini malah harus berenang. Ia kini pasrah. Jika memang harus mati tenggelam biarlah nanti ia mati tenggelam. Tapi sekarang setidaknya ada hal yang bisa ia lakukan.
Tekanan air pun semakin deras. Ia kini merasa dadanya dihempaskan air. Untuk menahan hempasan itu ia mengerahkan tenaga dalamnya ke seluruh tubuhnya. Dorongan air itu sangat kuat dan ia terhempas ke dindng goa. Untunglah tenaga dalamnya mampu melindunginya sehingga ia tidak terluka sedikitpun.
Air kini telah mencapai lehernya, dan Cio san terus berenang.
“Tak lama lagi, jika air menyentuh langit-langit maka tamatlah riwayatku”
Dan air memang akhirnya menyentuh langit-langit. Cio San akhirnya mengalirkan tenaga dalamnya ke paru-parunya. Hasilnya ia bisa menyelam lama sekali, karena tenaga dalamnya menyediakan udara yang cukup banyak bagi paru-parunya.
Sekarang ia harus memusatkan pikiran untuk membagi jalannya tenaga dalamnya itu. Sedangkan arus yang deras itu ters menghempaskannya ke dinding goa yang terasa tajam dan sangat dingin.
Cio san mencoba untuk terus bertahan. Bermenit-menit lamanya ia berada di dalam keadaan seperti itu. Pasokan tenaga dalam ke dalam seluruh organ tubuhnya pun masih banyak. Cio San mencoba untuk tetap tenang, namun tak urung dia merasa panik juga.
Ia tidak yakin sampai berapa lama ia bisa bertahan dengan hanya menggunakan tenaga dalamnya. Akhirnya ia menemukan suatu ide. Dengan mengumpulkan segenap tenaga di ujung kepalannya, ia memukul langit-langit goa itu.
Cio San memukul keras-keras. Ia tidak tahu bahwa kini kekuatannya sudah sangat dahsyat. Sebuah lobang yang sebesar kepalan tangannya muncul di langit-langit. Ia senang sekali usahanya ini berhasil. Di dalam lubang itu ia meletakkan mulut dan hidungnya. Walaupun kecil, lubang itu membantunya untuk menarik nafas.
Kepalanya sudah tidak bisa ia munculkan lagi diatas permukaan air, hanya lubang dilangi-langit goa inilah, ia bisa meletakkan hidung dan mulutnya untuk mengambil nafas. Tangannya mencengkeram langit-langit goa agar bisa tetap meletakkan hidung dan mulutnya di dalam lobang itu.
Entah sudah berapa lama ia berada dalam posisi seperti itu. Cio San terus mencoba bertahan. Ia melihat “jendela air” sekarang sudah tak ada cahaya lagi dari situ, berarti sudah malam.
Lama sekali ia berada dengan posisi seperti itu. Rasa lapar pun muncul. Untunglah jamur-jamur pun tumbuh di langir-langit sehingga Cio San bisa memakannya.
Hari berganti hari tak terasa sudah 5 hari ia bertahan dengan kondisi seperti itu. Cio San tak menyadari bahwa ia sebenarnya mengalami latihan yang amat berat. Kekuatan dorongan air, udara yang sangat tipis, dan khasiat jamur Sin Hong membuatnya seperti mengalami tempaan 10 tahun.
Dalam 5 hari saja, pernafasannya kini sangat kuat. Ini sebenarnya berguna saat ia menghimpun kekuatan tenaga dalam. Kulitnya pun kini sangat kuat karena derasnya dorongan air, tidak hanya membawa batu-batu yang menghujam tubuhnya, tapi juga karena air sungai itu juga telah merendam banyak sekali jamur Sin Hong. Air yang sudah mengandung khasiat jamur sakti itu membuat tubuh luarnya seperti mata, kulit, daging dan rambut mulai kebal dengan racun-racun.
Baru pada hari ke 7, air mulai perlahan-lahan menurun. Cio San senang sekali. Tapi memang surutnya tidak secepat naiknya. Butuh 3 hari baru seluruh air dalam terowongan itu menyurut. Itupun masih tersisa setinggi lutut Cio San.
Dengan lega ia menghempaskan tubuhnya. Ia merasa letih sekali. Mengerahkan tenaga dalam selama hampir sepuluh hari di tengah kuatnya dorongan air serta hujaman batu-batuan, membuat ia letih sekali.
Cio san akhirnya pingsan.
Setelah sadar dari pingsannya ia mencoba mengerahkan energi ke seluruh organ tubuhnya. Ternyata cepat sekali badannya terasa segar kembali. Cio San lalu mengisi perutnya dengan jamur-jamuran yang tumbuh lebat di dinding. Untungnya, walaupun air banjir sangat deras, tidak mengikis seluruh jamur-jamuran yang ada di dalam terowongan goa itu.
Ia mulai melihat ke sekeliling mencoba melihat keadaan 'rumah'nya itu. Cio San tak sadar bahwa perlahan-lahan ia sudah mulai bisa melihat di dalam kegelapan. Kehidupannya yang prihatin di dalam goa itu membuatnya harus menghemat segalanya. Mulai dari makanan, ranting-ranting untuk bahan bakar, serta penggunaan batu api. Dia malahan kadang bertelanjang untuk menghemat penggunaan bajunya. Karena bila terlalu sering dipakai akan cepat rusak. Apalagi jika dipakai untuk berlatih silat.
Peristiwa banjir tadi malah semakin merusak bajunya. Cio mencari cara untuk mencari pengganti bajunya itu. Akhirnya ia menemukan ide untuk menggunakan kulit kayu yang dianyam sebagai pakaian. Cio San lalu bergegas mengumpulkan kayu-kayuan. Banjir membawa banyak sekali kayu-kayuan. Setelah lama sekali mengumpulkan kayu-kayu itu, ia lalu mengulitinya satu persatu, lalu menganyam kulit-kulit itu.
Cio San bekerja dengan riang. Setelah lolos dari maut beberapa kali, ia akhirnya lebih menghargai hidup. Ia merasa ia harus menikmati segala detik dalam kehidupannya, karena kematian bisa datang kapan saja. Jika kita suatu saat pasti akan mati, mengapa hidup dalam kesedihan dan keputusasaan?
Toh pada akhirnya akan mati juga. Kenapa tidak menjalani hidup dengan riang gembira? Begitu pikir Cio San.
Akhirnya selesai juga anyaman kulit kayu yang ia jadikan celana setinggi lutut. Sisanya akan ia simpan untuk membuat baju. Cio San terkagum-kagum sendiri dengan celana anyaman buatannya. Sangat tidak rapi, namun ia tetap saja bangga.
Ia langsung memakainya. Rasanya agak kebesaran. Tapi dia lalu mengambil lagi satu lembar kulit kayu yang agak panjang untuk dijadikan ikat pinggang. Pas lah sudah. Sambil tersenyum-seyum ia menggerak-gerakan pinggulnya untuk melihat apakah celana itu tidak akan melorot lagi.
Beberapa hari dilalui Cio San di dalam terowongan itu dengan tentram. Tak lupa ia memberi tambahan goresan penanda hari waktu hidupnya di dalam goa itu. Sudah 3 bulan lebih. Ia sudah merasa nyaman. Bahkan ia sudah melihat dengan jelas di dalam kegelapan. Hanya sekali kali ia menggunakan penerangan. Itu pun hanya disaat ia memasak, atau pun mengerjakan hal-hal yang butuh ketelitian seperti membedakan jamur.
Cio san tidak lupa berlatih ilmu silatnya. Sekarang sudah 6 bulan di dalam goa, Cio San malah menemukan jurus-jurus baru lagi. Kejadiannya, seperti biasa, adalah berawal dari ketidaksengajaan. Karena hidup di dalam gelap, dan terus menerus mendengar suara aliran air yang deras, pendengaran serta perasaan Cio San berkembang sangat pesat. Ini juga mungkin dikarenakan khasiat jamur Sin Hong juga.
Jika dulu ia menangkap ikan harus menggunakan penerangan, kini ia bisa menangkap ikan hanya dengan menggunakan pendengarannya saja. Awalnya ia merasa telinganya mulai bisa membedakan sura-suara yang ada di dalam air. Lama-lama ia malah bisa mendengarkan suara-suara yang ditimbulkan ikan-ikan saat berenang. Mulanya memang hanya ikan ikan besar saja, namun akhirnya ia bisa juga membedakan suara yang ditimbulkan ikan kecil di dalam air.
Suara itu jelas memang bukan suara dari mulut ikan, melainkan kepakan sirip dan ekor ikan-ikan tersebut. Memang dibutuhkan pemusatan pikiran yang cukup berat. Tapi karena memang Cio San sering melakukannya, maka tak lama kemudian ia bisa menentukan posisi ikan-ikan itu di dalam air.
Cio San mengambil tombak ikannya lalu mencoba 'ilmu' barunya itu. Menombak ikan dengan hanya menggunakan pendengaran saja. Tak lama mencoba ia berhasil menangkap beberapa ikan besar. Hari demi hari ia lalui untuk melatih kemampuannya ini.
Hingga suatu saat ia mencoba menggabungkan keahlian menombak ikan ini dengan gerakan silat. Ia duduk bersila di dalam sungai. Jika bersila maka air sungai akan setinggi lehernya. Dengan menggunakan gerak tangan Thay kek dari Butongpay, Cio san mencoba meyelaraskankannya dengan pendengarannya.
Ia berkonsentrasi penuh. Tak terasa gerakan tangannya malah kini mengikuti gelombang air. Lembut, namun mengalir kuat dan pasti. Thio Sam Hong memang menciptakan Thay Kek Kun dari gerakan-gerakan alam yang selaras. Gerak air, udara, awan, dan lain-lain. Cio San secara tidak sengaja, justru menemukan inti ajaran Thio Sam Hong itu. Makna utama Thay Kek Kun memang menselaraskan diri dengan alam. Maka ketika Cio san berhasil mengosongkan pikirannya, lalu gerak tubuhnya mengikuti gerak air, maka secara tak sengaja ia sudah menguasai inti dari Thay kek Kun itu.
Ia mulai bersilat. Tangannya membentuk sebuah gerak lingkaran di atas air di depannya. Gerak lingkaran itu mulanya perlahan-lahan dan lembut. Tapi lama-lama gerakannya semakin cepat dan kuat. Lalu semakin kuat, semakin kuat, dan semakin kuat. Lalu dengan kecepatan tinggi, Cio San memukulkan kedua telapaknya diatas air yang bergolak itu, dan bllaaaaarrrrrr....... Cipratan air itu sungguh dahsyat sehingga membuat dinding di samping kiri kanan, juga atasnya bergetar hebat, menimbulkan suara yang keras sekali.
Cio San malah terkaget-kaget dengan hasil perbuatannya tadi. Sungguh dahsyat tenaga yang ia hasilkan. Itu bahkan tidak menggunakan seperduapuluh tenaga dalamnya. Jika digunakan semua, pasti ia mampu menjebol dinding-dinding goa itu.
Memikirkan itu ia senang sekali. Tapi kemudian ia berfikir lagi, “Jika aku keluar dari sini, pasti aku akan difitnah dan dikejar-kejar lagi. Lebih baik tinggal disini selama-lamanya saja. Toh aku bisa bertahan hidup dengan apa yang ada disini. Aku pun bisa menemani A Liang”
Teringat akan A Liang, ia lalu berkunjung ke kuburannya. Untungnya walau banjir sangat deras, tidak begitu merusak kuburan A Liang, karena sebelumnya Cio San sudah menumpuk beberapa batuan besar diatas kuburan itu. Walaupun begitu, ternyata batu-batu bergesar juga, meskipun tidak jauh. Cio San lalu mengembalikan batu-batu itu ke posisi semula, dan membersihkan kotoran berupa ranting-ranting dan tumbuh-tumbuhan yang terbawa oleh banjir itu.
Ia lalu 'bercerita' kepada A Liang bahwa ia baru saja menemukan ilmu baru yang sangat dahsyat. Lama bercerita akhirnya ia kembali ke 'tempat tinggalnya' di dekat 'jendela air'. Hari sudah malam rupanya.
Begitulah Cio San melewati hari-harinya dengan melatih ilmu barunya itu. Jika dulu ia berlatih di dalam air kini ia memutuskan untuk berlatih di air terjun, untuk melatih kekuatan ilmunya itu. Bergegas ia ke air terjun tempat masuknya aliran air ke dalam terowongan itu. Cukup lama juga perjalanannya di dalam terowongan itu.
Sampailah Cio san di sekitar air terjun itu. Bentuk nya sungguh indah namun menyimpan kekuatan alam yang sangat dahsyat. Cio San menjadi teringat dengan ilmu Thay Kek Kun ciptaan mahagurunya, “Ternyata thaysuhu menciptakan ilmu-ilmu hebatnya dari alam ini. Orang yang pikirannya terbuka, pasti bisa menangkap ilmu apapun dari alam”
Memang benar. Semua ilmu manusia berasal dari alam. Alam memperolehnya dari Tuhan. Namun Tuhan menggunakan alam sebagai media pengajarannya. Dari alam lah manusia belajar untuk bertahan hidup dan menyesuaikan diri. Dari alamlah manusia bisa menjadi 'manusia'. Maka manusia yang meninggalkan alam, pasti dialah manusia bodoh yang suatu saat akan dimangsa oleh alam itu sendiri.
Cio San selain otaknya cerdas, bakat silatnya ternyata sangat besar sekali. Dengan sedikit memperhatikan, ia bisa menangkap makna-makna. Ia bahkan menciptakan ilmu silat berdasarkan pengamatan-pengamatan dan uji cobanya. Beruntunglah dia dibantu oleh segala kejadian-kejadian yang membuatnya bertemu dengan segala macam peristiwa yang menambah pengalaman dan mengasah pikirannya.
Peristiwa itu sambung menyambung dari awal hingga detik ia berada disini.Hingga nanti mungkin saat ia mati, peristiwa sambung menyambung ini akan bersambung kepada anak cucunya. Begitu terus sampai kiamat nanti. Tuhan begitu perkasa, sehingga kejadian sambung menyambung ini tiada henti.
Siapa yang menyangka seorang anak kecil yang lemah, karena lahir tidak genap sembilan bulan di dalam kandungan, bisa menjadi murid Butongpay? Siapa yang menyangka anak kecil yang seluruh organ dalamnya berfungsi tidak semestinya mampu bertahan hidup di dalam perut bumi seperti ini?
Siapa yang menyangka anak kecil yang dianggap sangat tidak berbakat dalam ilmu silat, malah mampu menciptakan jurus-jurus sakti yang dahsyat?
Hidup sebenarnya memang selalu seperti itu. Bukankah teramat sering kau menyaksikan ada seorang anak ketika kecil berwajah biasa-biasa saja, namun setelah dewasa ia berubah menjadi cantik jelita? Bukankah sudah sering kau lihat ada anak yang sangat cantik dan lucu ketika kecil, namun saat dewasa ia malah menjadi jelek dan tidak menarik?
Atau bukankah sudah sering kau lihat anak yang dianggap bodoh dan malas oleh guru dan teman-temannya malah berubah menjadi orang yang paling berhasil dan kaya raya dibanding teman-temannya?
Begitu juga sebaliknya sering kau lihat anak yang dulu pintar dan rajin hanya menjadi pegawai rendahan di desanya?
Kehidupan selalu bagaikan roda. Tuhan menggilirkan kenikmatan diatas penderitan. Saat Tuhan memberimu banyak penderitaan, sesungguhnya Tuhan sedang melatih dan mempersiapkanmu untuk menerima banyak anugrah dan kenikmatan'Nya.
Itulah juga yang terjadi pada Cio san. Sejak kecil ia sering sakit-sakitan, karena terlahir tidak normal. Seluruh keluarganya dibunuh orang. Lalu saat belajar di perguruan pun ia sering menerima perlakuan buruk dari sesama murid, bahkan juga dari beberapa suhu-nya.
Lalu ia difitnah ikut serta dalam pembunuhan gurunya sendiri. Ia lalu dikejar-kejar bagai maling. Kehilangan sahabat terbaiknya, dan malah hidup di dalam perut bumi seperti sekarang ini.
Kalau mau dipikir-pikir, tidak ada orang yang akan tersenyum memikirkan hal ini.
Cio San kini sedang tersenyum. Tapi bukan tersenyum karena alasan tadi. Ia tersenyum karena ia merasa mendapat tantangan baru. Melawan tekanan air terjun yang dahsyat. Air terjun itu tingginya kira-kira 5 tombak. Dengan kepercayaan diri yang penuh Cio San memasuki air dan berjalan ke bawah air terjun itu.
Dengan berani disambutnya curahan air yang menghujam itu. Amat sangat berat dan juga tajam. Cio San mengerahakan segala tenaganya. Ia menggunakan seluruh tenaganya yang disalurkan melalui telapak-telapaknya untuk melawan derasnya air itu. Dadanya seperti terjepit oleh hempasan air dan dorongan tenaga dalamnya sendiri. Ia bertahan cukup lama, tapi keadaan ini sungguh amat dhsyat. Tak terasa darah mulai mengalir dari mulut dan hidungnya. Pertempuran manusia melawan alam sudah pasti akan dimenangkan alam. Kecuali jika manusia menggunakan senjata utamanya, yaitu akalnya.
Begitu teringat kata-kata ini, yang seingatnya pernah diucapkan ayahnya, membuat ia seperti mendapat ide baru. Ia tidak lagi melancarkan serangan melalui telapak tangan, namun menerima deras air itu dengan cara berputar putar. Namun perputaran itu dilakukan saatnya tubuhnya melayang secara sejajar dengan bumi. Gerak putaran itu sangat dahsyat. Ia bahkan melayang terus di udara. Tenaga hujaman air, dan tenaga dalamnya sendiri membuatnya tetap melayang sambil berputar-putar ditengah-tengah air terjun itu.
Ia lalu mengumpulkan tenaganya di dalam dada. Tenaga yang terkumpul itu bergerak bagaikan magnet yang menghisap segala dorongan derasnya air terjun. Kekuatan air terjun itu seperti terhisap ke dalam tubuhnya. Lalu ketika kekuatan itu semakin membesar dan memenuhi tubuhnya, Cio San merasa tak tahan lagi. Ia lalu menyalurkan energi yang terkumpul itu ke telapak tangannya, lalu memukulkannya ke atas menghadapi air terjun, dan Blllaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrr........
Kembali suara dentuman itu terdengar, namun jauh lebih keras dan lebih dahsyat. Dinding-dinding banyak yang hancur berantakan. Bahkan lubang air tempat keluarnya air terjun itu kini menganga semakin besar.
Memang dahsyat sekali kekuatan yang ia hasilkan. Dengan cara mengikuti aliran tenaga dorongan air terjun, Cio San malah berhasil mengumpulakn tenaga itu di dalam dirinya. Lalu dengan kemampuannya mengarahkan tenaga, kekuatan dahsay itu ia jadikan kekuatannya sendiri. Hasilnya sangat dahsyat. Jika ini dipukulkan pada seratus orang, maka bisa dipastikan mereka semua akan mati dengan tubuh hancur luluh.
Menyadari hal ini, Cio San ngeri. Ia menjadi sangat takut. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa memiliki kekuatan sebesar ini? Jika ada orang punya kekuatan sebesar ini, pastilah nafsunya akan menyuruhnya untuk mengalahkan siapa saja. Pantas saja ahli-ahli silat gemar sekali bertarung. Adalah untuk memuaskan nafsu bertarung ini.
Cio San menjadi sangat takut jika nanti ia akan berakhir seperti Liang-lopeknya. Sang lopek di masa mudanya telah melatih ilmu hebat, dan sanggup mengalahkan jagoan-jagoan kelas satu. Bahkan menantang tokoh paling terkemuka di dunia kang-ouw sehingga akhirnya kalah dan terpaksa memenuhi janjinya menjadi pengabdi dan kacung di Butongpay.
Ia lalu berlari-lari ke makam Liang lopek-nya. Menangis dan berdoa, agar diberi kekuatan untuk menahan dorongan nafsu bertarung itu. Pada dasarnya Cio San memang anak yang perasa dan halus. Ia tidak ingin menyakiti siapapun. Jika seorang anak sangat takut kepada pisau, maka jika kau memberinya golok untuk ia pegang, ia pasti akan sangat ketakutan.
0 Response to "Bab 8 Kehidupan Cio San di dalam Goa"
Posting Komentar