A Liang |
Setelah beristirahat beberapa menit lamanya, A Liang sudah merasa enakan,
“Hebat juga obatmu Cio San, kau bisa membuka usaha pertabiban jika tua nanti.” Katanya sambil tertawa.
“Nah sekarang kita jalan lagi, dan dengarkan aku bercerita dari awal”
“Biarlah lopek teecu gendong saja” pinta Cio San.
Mengetahui bahwa tubuhnya memang sudah tidak begitu kuat lagi, A Liang menurut saja. Sambil digendong, A Liang mulai bercerita,
“Tadi pagi Tan Hoat pulang setelah menunaikan tugas perguruan. Ia bertanya tentang Lau-ciangbunjin. Tapi kujawab Ciangbunjin sedang sakit.”
“Sakit? Apakah parah?” tanya Cio San kaget
“Parah sekali. Para totiang bahkan berkata beliau keracunan. Mungkin ada yang menyusupkan racun ke dalam makanan beliau”
“Ahhhhh....” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Cio San
A Liang melanjutkan “Tapi memang dia tidak mencari Ciangbunjin. Ia sebenarnya mencariku”
“Kenapa mencari lopek?”
“Karena kabar yang dibawanya sebenarnya berhubungan dengan aku dan kau” jawab A Liang.
Cio San baru akan bertanya sebelum akhirnya dipotong oleh A Liang “Dengarkan saja dulu dan jangan banyak bertanya...”
Lalu ia melanjutkan,
“Ia memintaku menemaninya ke atas gunung untuk mencarimu karena katanya aku adalah satu-satunya orang yang paling ia percayai.”
“Cio San, tahukah berita apa yang dibawanya itu?”
Cio San hanya menggeleng
“Dalam perjalanan ia tidak menceritakan kepadaku, dan aku hanya menebak-nebak saja. Menurut perkiraanku ia sudah tahu di mana letak kitab rahasia yang menjadi incaran kaum kang-ouw itu. Dan ia mencarimu karena hanya kaulah yang tau bagaimana cara membaca kitab itu”
“Karena kitab itu ditulis dengan menggunakan aksara kuno itu. Di Tionggoan tidak banyak orang yang mengerti arti huruf-huruf kuno itu. Aku saja terkaget-kaget ketika kau bilang kau bisa membaca huruf-huruf itu”
“Di Tionggoan hanya keluarga 10 jendral besar yang menguasai huruf-huruf itu”
[Catatan: Di jaman pengusiran penjajahan Goan {mongol} atas Tionggoan, terdapat jendral 8 besar yang membantu pemimpin utama pemberontakan itu. Pemimpin utama itulah yang menjadi kaisar pertama dinasti Ming. Kesemua jendralnya beragama Islam. Setelah kemenangan diraih dan perjuangan selesai, sang kaisar baru itu malah membunuh ke 8 jendral itu karena ia takut kekuasaannya direbut mereka]
“Setelah kau menyebut bahwa kakek dan ayahmu menguasai huruf-huruf itu, aku menduga bahwa kau adalah keturunan dari salah satu 10 jendral besar itu”
Cio San seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi akhirnya dia diam saja.
“Aku yakin Tan Hoat pun menyadari hal ini, lalu ia berusaha menjemput secepatnya. Kami berdua mendaki puncak, namun begitu sampai di pondok, kau tidak ada. Kami pun lalu berpencar untuk mencarimu. Aku sudah hampir putus asa dan kembali lagi ke pondok karena aku mengira kami terlambat menyelamatkanmu. Begitu aku kembali, aku menemukan Tan Hoat sudah sekarat, saat itu ia belum meninggal. Ia dengan terbata-bata mengatakan “Cio San....Cio San..., Lau ciangbunjin...Lau ciangbunjin...”
“Aku segera mengerti maksudnya, bahwa ia ingin aku menyelamatkanmu dan juga Lau-ciangbunjin. Aku lalu terus mencarimu. Saat aku meninggalkannya aku yakin ia masih hidup. Saat itu berat sekali pilihan yang harus aku ambil. Namun aku memilih untuk mendengarkan permintaannya untuk menyelamatkanmu dan Lau-ciangbunjin. Namun sayang aku hanya berhasil menyelamatkanmu...”
Teringat akan nasib Lau-ciangbunjin yang sekarang menderita keracunan, tak terasa mereka terharu juga.
“Kini ada sebuah rahasia besar lagi yang harus kau tahu. Bahwa aku pun sebenarnya mengerti di mana keberadaan kitab rahasia itu”
Bola mata Cio San membesar tapi dia tidak berani berkata apa-apa.
“Bukan saja mengerti di mana kitab itu berada, tapi aku lah pemilik yang sah dari kitab itu. Ketahuilah bahwa nama asliku adalah Kam Ki Hsiang!”
Agak lama ia terdiam, baru kemudian melanjutkan,
“Sebelum bertarung dengan Thio-thaysuhu, aku meminta syarat kepada beliau, bahwa jika aku mampu mengalahkan beliau, maka posisi sebagai ketua Butongpay harus diberikan kepadaku. Beliau hanya tersenyum dan menyetujuinya. Dan sebagai gantinya, aku sendiri yang memberi usul, bahwa jika aku kalah aku rela memusnahkan seluruh ilmu silatku dan seumur hidup mengabdi kepada Butongpay”
“Beliau pun hanya tersenyum saja. Kami pun bertempur. Dan pertempuran itu berlangsung tertutup di dalam ruang latihan pribadinya. Hampir 3 hari penuh kami bertarung. Bahkan tidak berhenti untuk makan dan minum. Aku sangat kagum bahwa dengan usia setua itu, tenaga dalam beliau tidak berkurang sedikitpun. Akhirnya harus ku akui kematangan ilmu beliau, aku pun kalah”
“Lalu ketika aku menyerahkan diri bagi beliau untuk memutuskan seluruh urat dan otot sebagai cara orang-orang Kangouw memunahkan ilmu silat. Beliau hanya tersenyum dan berkata bahwa janji itu bisa dilaksanakan tanpa harus memutuskan urat-uratku, karena beliau percaya aku adalah seorang lelaki sejati”
“Mendengar itu aku malu sekali sudah berani menantang beliau. Keluhuran budi pekertinya sungguh tidak ada yang menandingi. Padahal ketahuilah, bahwa aku juga sudah berhasil melukainya dengan berat. Namun saat aku kalah, beliau sama sekali tidak ingin membunuhku. Saat itu aku sadar bahwa aku bisa melukai beliau sesungguhnya karena beliau terus menerus mengalah. Sesungguhnya jika beliau menggunakan ilmu barunya itu, beliau bisa mengalahkanku dalam seratus jurus. Jadi sebenarnya beliau mengalahkan aku murni hanya dengan ilmu Thay Kek Kun nya yang terkenal itu”
“Tapi herannya, di luar banyak kabar yang berkembang bahwa beliau mengalahkanku dengan jurus barunya. Aku sendiri malah heran kenapa kabar itu bisa berkembang, dan Thio thaysuhu sendiri sepertinya tidak pernah meralat kabar itu. Belakangan aku baru tau bahwa niat beliau adalah untuk menjaga kehormatan dan namaku. Memang beliau sungguh mulia.”
“Dengan berkembangnya kabar seperti itu, maka namaku akan diakui sebagai salah satu orang yang sejajar dengan beliau”
Mata Kam Ki Hsiang terlihat berkaca-kaca,
“Aku lalu bersumpah untuk tidak lagi menggunakan ilmu silatku dan sepenuhnya mengabdi kepada Butongpay. Tapi kau tidak ingin menjadi murid Butongpay karena itu bukan merupakan perjanjianku dengan beliau. Melihat pengorbananku seperti itu, beliau memberikan pujian dan kekaguman”
“Maka untuk melindungiku dari dendam atas banyaknya korban yang terbunuh karena kesombonganku menantang semua ahli silat nomer satu, beliau memutuskan untuk 'mematikan' Kam Ki Hsiang. Sejak saat itu tersiar kabar bahwa Kim Ki Hsiang sudah mati, dan kuburannya berada di Butongpay.”
“Saat mendengar aku sudah mati, banyak tokoh silat yang punya dendam terhadapku naik ke Butongsan untuk menanyakan langsung kepada Thio thaysuhu apakah aku benar telah mati. Mereka tau bahwa Thio thaysuhu tak akan berbohong dan kata-katanya adalah emas”
“Thio thaysuhu tidak pernah berbohong sedikitpun, saat beliau berkata bahwa “Kim Ki Hsiang sudah mati” memang sebenarnya Kim Ki Hsiang yang sombong dengan silatnya itu sudah mati. Yang ada kini adalah A Liang si tukang masak.
“Lalu di dalam makam palsuku itu, aku kubur semua yang berhubungan dengan Kam Ki Hsiang. Termasuk juga kitab-kitab sakti yang aku miliki itu”
“Kelanjutan cerita ini tentu kau tahu, bahwa rahasia ini sudah bocor dan orang-orang Kangouw sekarang tahu bahwa isi kuburan itu adalah kitab-kitab sakti milik Kam Ki Hsiang.”
“Sesungguhnya aku kebetulan saja menemukan kitab itu di suatu tempat. Dan kebetulan bisa menguasainya. Ketika kuburanku dibuat, Thio Thaysuhu sendiripun tidak tahu bahwa aku menyimpan kitab-kitab itu disana. Karena kitab yang dimaksud orang itu sebenarnya bukan kitab namun berupa kain sutra. Kain itu aku jadikan lapisan dalam bajuku sehingga tidak ada yang tau jika aku membawanya kemana-mana”
“Dan kau tak tahu betapa kagetnya aku ketika melihat engkau sanggup memainkan jurus pertama dari kitab sakti itu, Cio San...”
Cio San heran namun tetap diam saja.
A Liang melanjutkan,
“Aku mengira kau mempelajarinya dari buku masakan yang kuberikan kepadamu itu. Ternyata setelah kuselidiki, kau hanyalah mencampurkan ilmu Butongpay dengan petunjuk-petunjuk ketabiban di dalam buku itu.”
“Aku pikir hanya kebetulan belaka bahwa engkau sanggup menciptakan jurus-jurus itu. Tetapi setelah lama kupikir, aku merasa ilmu di dalam kitab yang kupelajari itu sebenarnya mempunyai sumber yang sama dengan ilmu-ilmu Butongpay sehingga mempunyai beberapa kemiripan”.
“Kau adalah anak kecil yang sangat berbakat Cio San....” ucapannya tidak dilanjutkan karena A Liang kini terbatuk-batuk.
“Turunilah terus lembah ini, mudah-mudahan kita segera bisa lolos dari kejaran murid-murid Butongpay. Kau harus terus hidup Cio San, supaya kau bisa membersihkan nama kita dari fitnah besar ini. Aku yakin kematian orang tuamu juga ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa ini”
“Iya lopek, teecu akan terus berusaha..., lopek beristirahatlah sebentar menyimpan tenaga dalam gendongan teecu...”
Walaupun tenaganya semakin terus terkuras karena berjalan tanpa henti sambil mengendong A Liang, Cio San yang sekarang ini tidak lagi cepat kelelahan dan kehabisan tenaga. Latihannya yang hampir 3 bulan diatas puncak Butongsan sudah bisa membuatnya disebut pendekar muda berbakat. Walaupun umurnya hanya baru belasan tahun.
Ia terus berjalan menuruni tebing hutan yang terjal itu. Pikirannya menerawang dan terus berfikir. Tentang nasib dirinya, dan Lau-ciangbunjin yang mungkin saja sudah terbunuh. Juga tentang pengorbanan besar A Liang menyelamatkan dirinya.
Tak terasa ia berjalan terus sehingga hampir pagi. Ia beristirahat sebentar dan memeriksa keadaan A Liang. Ia memegang nadi tangan A Liang. Ternyata nadi itu sudah berhenti berdetak. Tak percaya, ia mencoba lagi. Kali ini memegang dada A Liang untuk memeriksa detak jantungnya. Ternyata memang tidak ada detakan di sana. A Liang sudah tewas.
Ingin rasanya Cio San berteriak melepaskan seluruh penderitaannya. Namun ia menahan diri karena tahu teriakannya mungkin akan terdengar oleh para pengejarnya. Ia hanya bisa meneteskan airmata dengan deras, menahan kepiluan hatinya.
Ia paham bahwa A Liang telah berkorban besar baginya, dan juga untuk mempertahankan sumpah A Liang sendiri.
Jika seorang pendekar bersumpah untuk tidak mempergunakan ilmu silatnya lagi selamanya, maka janji itu harus dipegang walau nyawa taruhannya. Itulah sebabnya A Liang hanya bisa menghindari pukulan dan keroyokan para murid Butongpay tanpa bisa membalas atau bahkan menangkisnya. Padahal jika ia mau, dengan ilmu yang dimilikinya, ia bisa saja mengalahkan atau bahkan membunuh mereka semua.
Teringat dia akan segala kebaikan dan ketulusan A Liang. Hanya dia dan Beng Liong yang mau bersahabat dengannya. Di dalam perguran sebesar Butongpay yang berisi hampir seribu orang, mungkin hanya suhunya, Tan Hoat, A Liang, dan Beng Liong yang baik kepadanya. Ia juga mengingat jasa dan kebaikan Lau-ciangbunjin, sang ketua Butongpay. Hanya orang-orang inilah yang baik terhadapnya.
Kini mereka semua telah tiada. Hanya Beng Liong saja tersisa. Itupun mungkin sekarang Beng Liong memusuhinya juga karena peristiwa yang baru saja terjadi ini.
Cio San melanjutkan perjalanan dalam kesedihan. Ia tak ingin meninggalkan jasad A Liang sendirian di hutan itu. Ia bertekad membawa jasad itu ke tempat yang aman, lalau akan ia kuburkan dengan khidmat.
Ia terus berjalan dan berjalan. Entah sudah berapa lama, entah sudah berapa jauh. Tenaganya telah habis terkuras, kesadarannya pun sudah mulai berkurang.
Langkah demi langkah ia jalani. Di dalam kegelapan seperti ini mau pergi kemana? Ia hanya tau bahwa ia harus terus berjalan, terus menelusuri hutan ini. Entah akan sampai dimana.
Tiba-tiba langkahnya gontai dan ia terjatuh. Di dalam gelap, di tengah kesadaran yang berkurang, serta tenaga yang hampir habis, Cio San terjatuh. Ia tidak tahu lagi ia terjatuh di mana. Cio San pun kehilangan kesadarannya.
Ketika ia tersadar, hari telah semua masih terlihat gelap. Cio San tahu kini berada di mana. Ia menunggu sebentar agar kesadarannya pulih sempurna. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia berdiam diri lama sekali. Mencoba mengalirkan chi ke seluruh tubuhnya. Lama-lama tubuhnya mulai terasa segar. Perlahan-lahan kesadarannya pulih seluruhnya. Cio San kini sadar bahwa separuh tubuhnya terendam di dalam air.
Kiranya dia kini berada di tepian sungai. Tapi mengapa semuanya gelap. Apakah ia kini telah menjadi buta? Ia menjadi panik, namun berusaha untuk tetap tenang. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan apakah ia benar-benar buta.
Tak sengaja ternyata ia melihat titik cahaya tak jauh dari tempatnya berbaring. Ia lalu menuju ke titik itu dengan cara merangkak. Seluruhnya sangat gelap sehingga ia harus berhati-hati. Apalagi pijakannya sangat licin karena berupa batu-batuan dan air sungai.
Akhirnya setelah berjuang ia mencapai juga sumber titik cahaya itu. Ternyata aliran sungai keluar lewat situ. Titik cahaya itu ternyata adalah terowongan tempat keluarnya aliran air sungai.
Cio San lega. Ternyata ia tidak menjadi buta.
Mata manusia secara spontan ternyata menyesuaikan diri dengan kegelapan. Begitulah juga dengan mata Cio San. Lambut laun ia akhirnya mulai bisa melihat sedikit di dalam kegelapan. Ia ternyata berada dalam sebuah goa di dalam perut bumi. Entah bagaimana ia bisa berada di dalam satu. Mungkin ia terjatuh di dalam sungai, lalu air sungai membawanya masuk ke dalam perut bumi. Ia tidak tahu pasti.
Tiba-tiba ia teringat akan jasad A Liang yang digendongnya. Apa yang terjadi dengan jasad itu?. Cio San memberanikan diri untuk mencari jasad A Liang itu.
Tak berapa lama akhirnya ia menemukan jasad A Liang. Dibawanya jasad itu ke lubang terowongan air, agar bisa melihat dengan jelas menggunakan cahaya yang masuk dari situ. Ternyata jasad A Liang sudah rusak. Sebagian tubuhnya remuk.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Ternyata ketika mereka terjatuh dari puncak tebing, jasad A Liang lah yang secara tidak sengaja menyelamatkan Cio San. Jasad itu menjadi sejenis tameng yang menjaga Cio San dari batu-batuan sungai. Jasad itu jugalah yang mungkin menjaga agar Cio San tidak tenggelam.
Sungguh beruntung.Keputusan Cio San untuk teras menggendong jasad A Liang ternyata membawa kebaikan bagi dirinya sendiri. Begitulah. Jika orang melakukan sesuatu penuh ketulusan, maka yang ada hanyalah balasan yang baik.
Cio San hanya bisa bersedih menyadari ini semua. Tapi paling tidak ia masih hidup, dan masih punya semangat untuk terus hidup.
Ia lalu teringat bahwa di kantongnya terdapat batu api yang diberikan oleh A Liang. Begitu dicarinya, ternyata batu itu masih ada, namun basah.
Tiba-tiba muncul dalam pikirannya untuk memeriksa kantong baju di jasad A Liang juga. Setelah mencari, ternyata ia menemukan pisau. Pisau itu memiliki sarung yang terbuat dari kulit hewan.
“Betapa mulianya Liang lopek”, pikir Cio San.”Bahkan saat sudah meninggal pun, ia masih memberi pertolongan kepadaku. Memang sebagai tukang masak, A Liang selalu membawa batu api dan pisau.
Cio San lalu meletakkan pisau dan batu api tadi di tempat yang kering. Lebar terowongan itu memang cukup besar. Dan ada terdapat beberapa bagian yang sama sekali kering dan tidak dialiri aliran sungai.
Ia lalu memutuskan untuk beristirahat sebentar. Kejadian yang baru saja dialaminya memang sangat menguras tenaga dan pikiran.
Lama ia tertidur pulas. Begitu bangun, ia terpikir untuk menguburkan jasad A Liang. Cio San mencari-cari pijakan yang agak lembek yang bisa digali menjadi kuburan A Liang. Lama ia berputar-putar namun tidak ditemukannya. Dengan berat hati ia memutuskan untuk membakar saja jasad A Liang. Tetapi setelah ia berfikir, ia khawatir asap yang ditimbulkan malah memenuhi goa itu dan tidak bisa keluar. Ia terus memutar akal bagaimana cara mengurusi jenazah orang yang sangat dihormatinya itu.
Karena masih bingung, untuk sementara Cio San mencoba melupakannya. Ia lalu memeriksa batu api yang tadi dikeringkannya. Nampaknya sudah mulai kering. Ia lalu mencoba membuat api. Cio San berjalan mengelilingi terowongan itu mencari kayu-kayuan yang mungkin saja hanyut terbawa aliran sungai.
Dasar beruntung, tidak lama kemudian kayu itu ditemukannya. Malah lumayan banyak. Ada yang kering ada yang basah. Ranting-ranting itu ia kumpulkan di suatu tempat. Dengan hati-hati Cio San mencoba membuat api.
Lama ia mencoba akhirnya batu api memercik juga. Lalu dibakarkannya ke kayu dan berhasil. Gua itu lumayan terang sekarang. Cio San lalu memandang ke sekelilingnya. Memandang dindin-dinding gua itu.
Ternyata tembok itu di penuhi tanaman sejenis lumut dan jamur. Cio San mendekati tanaman itu dan memeriksa apakah lumut dan jamur itu bisa dimakan. Kesenangannya membaca buku, ternyata berbuah manis. Pengetahuannya tentang tumbuh-tumbuhan ternyata sangat berguna sekarang.
Dari buku masak A Liang, Cio San belajar bagaimana cara membedakan jamur yang beracun dengan yang tidak. Cara ini bahkan pernah ia coba ketika tinggal di puncak Butongsan saat menjalani hukuman.
Ia memetik berbagai macam jamur yang tumbuh disitu. Sebagian jamur ada yang dikenalnya. Ada yang beracun dan ada yang tidak beracun. Masing-masing ia kelompokkan sendiri-sendiri. Jika ia menemukan jamur yang belum pernah dikenalnya. Ia melakukan uji coba untuk mengetahui jenis jamur itu.
Menurut kitab yang dibacanya, cara mengetahui kandungan racun dalam sebuah jamur adalah dengan merendamnya di dalam air untuk beberapa lama. Jika kemudian jamur itu berwarna keungu-unguan, maka jamur itu beracun. Jika tidak, maka jamur itu aman.
Begitulah, akhirnya Cio San menemukan makanan. Dengan mengguhakan beberapa batu-batuan serta ranting-ranting kayu, Cio San akhirnya memanggang jamur-jamuran itu. Rasanya nikmat juga setelah dimakan.
Setelah kenyang. Cio San beristirahat sebentar. Ia merasa sangat segar dan seperti mendapat kekuatan baru. Ia mulai memikirkan lagi bagaimana cara menguburkan A Liang.
“Mungkin jika kutelusuri terus awal mengalirnya sungai ini, aku bisa menemukan jalan keluar”
Ia lalu menyalakan api yang ia gunakan sebagai penerang. Lalu menuyusuri sungai itu. Ia ingin mencari dimana sumber air itu. Jalan itu ternyata panjang sekali. Bahkan kira-kira sepembakaran hio (sekitar 15 menitan), ia belum menemukan sumber air itu.
“Panjang juga terowongan ini” pikirnya.
Tapi di sepanjang perjalanan ia menemukan bahwa ternyata pijakannya tidak hanya berupa bebatuan keras saja, namun juga ada yang berupa tanah.
“Hmmm...daerah yang diliputi tanah ini bisa dijadikan sebagai kuburan Liang-lopek. Syukurlah”
Walaupun sudah menemukan tempat yang baik untuk kuburan A Liang, Cio San memutuskan untuk terus menyusuri jalan itu. Sampai kira-kira sepeminum teh baru akhirnya ia mendengar suara bising yang cukup keras.
Cio San bergegas ke arah suara itu, ternyata suara itu berasal dari deburan air terjun.
“Ah ternyata ada sebuah air terjun yang muncul dari dinding gua. Indah sekali”
“Mungkin dari dalam air terjun inilah aku bisa masuk ke dalam terowongan ini.”
Cio San lalu memeriksa air terjun itu. Walaupun tidak cukup besar, air terjun itu lumayan deras. Cio San lalu memeriksa lubang tempat keluar air terjun itu. Ternyata cukup untuk dilewati orang dewasa, tapi dengan cara berbaring.
“Bagaimana mungkin aku bisa melawan kekuatan air terjun itu dengan cara berbaring? Berenang jelas tidak mungkin karena untuk lubang itu tidak cukup lebar saat aku merentangkan tangan. Sungguh suatu keajaiban aku dan jasad A Liang bisa melewati lubang ini dan sampai disini”
Jika bisa berenang pun tentulah sangat kuat, karena kekuatan dorongan air itu sungguh dahsyat. Cio San meletakan tangannya di air terjun itu mencoba merasakan kekuatan hempasan airnya.
“Wah sungguh dahsyat sekali air terjun ini. Kekuatannya bahkan mungkin bisa memecahkan buah kelapa jika kuletakan buah itu dibawahnya” pikir Cio San
Agak kecewa juga Cio San melihat kenyataan bahwa ia tidak mungkin keluar melewati sumber air terjun itu. Ia lalu melihat ke sekeliling mencoba untuk mencari tempat lain yang bisa ia gunakan sebagai jalan keluar.
Tetapi setelah lama mencari ia akhirnya putus asa juga. Ada rasa takut yang hinggap dalam dirinya bahwa ia mungkin harus tinggal di dalam goa itu. “Tapi tampaknya itu lebih baik daripada hidup terus dikejar-kejar orang”
Berfikir seperti itu, rasa takutnya perlahan-lahan menghilang.
Cio San lalu kembali ke tempat ia meletakkan jasad A Liang. Dibawanya jasad itu ke tempat dimana ia tadi menemukan daerah yang bertanah. Ia lalu menggali tanah itu dan menguburkan jasad A Liang.
“Terima kasih lopek. Walaupun aku ingin sekali memanggilmu ‘Suhu’, namun engkau pasti akan marah jika kupanggil suhu. Persahabatanmu begitu tulus, engkau pun lelaki sejati yang memegang janji sampai mati. Semua pertolongan, kebaikan, dan segala yang engkau ajarkan kepadaku tidak akan pernah kulupakan”
Setelah berdoa lama sekali, Cio San mekakukan kow tow (sujud) sebanyak tiga kali. Matanya basah mengingat sosok A Liang. Memang persahabatan mereka hanya sebentar saja, namun cukup memberi bekas yang amat dalam bagi Cio San.
Ia kini sendirian. Kembali duduk di tempat tadi ia memasak. Karena hanya dari situlah ada sedikit cahaya yang masuk dari luar. Namun cahaya itu perlahan-lahan meredup. Nampaknya malam telah datang.
Sekali lagi Cio San memanggang jamur-jamuran untuk makan malamnya. Setelah makan ia lalu tertidur pulas.
0 Response to "Bab 7 Kebenaran di dalam Kegelapan"
Posting Komentar