Bab 20 Syair Tentang Cinta

Khu Hujin


 Cio San pergi pagi-pagi sekali. Memang ada kalanya dia pergi berbelanja bahan-bahan untuk Lai Lai setiap fajar menjelang. Tapi kali ini, dia telah menyiapkan pakaian yang ringkas. Di jalan, disebuah gang kecil dan sepi, dia telah berubah dari A San, menjadi Cio San.

Saat mengobrol kemarin, ia telah tau di mana Khu Hujin menginap. Tentunya di sebuah rumah miliknya sendiri di kota itu. Kesanalah Cio San pergi.

Begitu sampai di depan gerbang, beberapa orang sudah menghadangnya,

“Saudara ada keperluan apa pagi-pagi kemari?” tanya salah seorang

“Saya punya pesan yang harus disampaikan kepada Khu Hujin” kata Cio San

“Khu Hujin tidak menerima tamu sepagi ini. Apa pesanmu?, biar nanti kusampaikan kepada Hujin”

“Seseorang bernama Kam Ki Hsiang mengirim pesan. Jika beliau berkenan, saya akan datang kembali nanti malam. Jika nanti malam beliau tidak mau menemui, maka biarlah. Saya akan pulang saja”

“Baik. Pesanmu akan ku sampaikan kepada beliau. Siapa namamu, anak muda?”

“Nama siauw jin adalah Cio San”

Belum sempat orang itu kaget, Cio San sekejap mata sudah menghilang dari hadapannya.

Malamnya, sesuai janji Cio San datang lagi. Kali ini para penjaga di depan sudah bersiap-siap menunggu kedatangannya,

“Hujin sudah menunggumu” kata salah seorang

Cio San menjawabnya dengan tersenyum. Ia lalu diantar memasuki halaman rumah yang luas. Begitu luasnya sampai-sampai Cio San merasa sedang berada di sebuah hutan. Halaman itu memang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Rerumputan terpotong rapi. Bahkan kolam kolamnya pun terlihat seperti sungai.

Begitu masuk sampai ke rumah utama, Cio San lebih kagum lagi. Semua isi perabotannya terlihat sederhana namun sangat indah. Lukisan-lukisan tergantung di dinding. Bicara tentang lukisan. Cio San bukan seorang yang asing. Sejak kecil ayahnya sudah merngenalkannya dengan karya-karya pelukis terkenal. Maka tentu saja, Cio San kagum sekali melihat koleksi lukisan di dalam rumah ini. Senadainya beberapa koleksi lukisan ini di jual, mungkin bisa saja dipakai untuk membeli rumah semacam ini lagi.

Rumah ini pun walaupun terasa hening, sebenarnya ramai dengan banyak orang. Ada pelayan-pelayan, para penjaga, dan mungkin pegawai-pegawai. Cio San diantar ke dalam sebuah ruangan. Kelihatannya seperti sebuah ruang belajar pribadi.

Si pengantar mengetuk pintu dan memohon ijin untuk masuk. Setelah mengantar Cio San, ia sendiri pergi. Meninggalkan Cio San dan Khu Hujin sendirian di kamar belajar.

Khu Hujin memang sudah menanti. Beliau sedang duduk bermain khim (sejenis alat musik berdawai). Melihat kedatangan Cio San, beliau tersenyum.

Di hadapan Khu Hujin, berdiri seorang pemuda muda belia. Tampan. Pembawaannya gagah dan tenang. Bajunya ringkas dan sederhana, tapi justru menambah kegagahannya. Ramburnya tidak diikat rapi. Tapi justru menambah daya tariknya. Sekali pandang saja, Khu Hujin tau kalau Cio San bukan pemuda sembarangan.

“Selamat malam, Hujin” Cio San memberi salam

“Kau kah yang bernama Cio San?”

“Benar, Hujin”

“Kau mengenal Kam Ki Hsiang? Pesan apa yang kau bawa darinya?”

Cio San tersenyum, ia memberi hormat, dan berkata,

“Saya tidak tahu, apakah Kam Ki Hsiang yang saya maksud, adalah orang yang sama dengan yang Hujin kenal. Tapi saya harus mengambil resiko ini. Siapa tau dugaan saya memang benar adanya”

Khu Hujin tersenyum pula, lalu dengan lantang ia berkata,

“Kam Ki Hsiang yang kukenal, adalah seorang pria gagah, yang mati di tangan Thio Sam Hong di Butongpay”

Kata-kata itu diutarakan dengan lugas dan lantang. Tapi Cio San bisa melihat, walau hanya sekejap saja, bibir Khu Hujin sedikit bergetar ketika mengucapkannya.

“Maafkan, saya lancang menggunakan namanya untuk bisa bertemu Hujin. Saya datang tidak membawakan pesan. Melainkan hanya memainkan sebuah lagu”

“Sebuah lagu?” sinar mata Khu Hujin mulai bersinar terang

“Bolehkah saya?” tanya Cio San sambil menunjuk Khim di depan Khu Hujin

“Silahkan” sahut Khu Hujin, ia lalu berdiri. Mempersilahkan Cio San memainkan khim.

Lagu yang ia mainkan adalah sebuah lagu yang dipelajarinya dari A Liang. Sebuah lagu sedih tentang perpisahan sepasang kekasih.


Jika musim berganti,
Rembulan menanti,
Untuk bersama kekasih yang di hati,

Siapa kah dia yang menanti di ujung malam?
Siapakah dia yang menangis di tepi telaga?

Jika kekasih pergi,
Kata perpisahan pun tak terucap,
Karena itulah yang paling menyakitkan jiwa,

Seandainya nanti kita tak bertemu,
Rembulan tau siapa kekasih sejati,


Lagu ini mengalun dengan tenang, dan lembut. Permainan khim Cio San indah dan sendu. Di luar langit menghitam. Bintang-bintang tak berani bersinar. Karena kilaunya kalah bercahaya, dengan butiran-butiran air yang menetas di pipi Khu Hujin.

Angin berhenti mendesah. Air kolam berhenti berdecik. Lagu ini sekali saja diperdengarkan, membuat dunia sepi dalam sekejap.

Cio San sendiri seperti enggan berhenti. Lagu seperti ini jika dinyanyikan bisa membuat jiwa merintih mengiba-iba. Tapi jika dihentikan, akan membuat langit bergetar merindukan suara.

Tapi Cio San berhenti. Segala sesuatu yang indah, ada saat menghilang. Seperti cinta.

Ia telah berhenti bernyanyi dan memainkan dawai. Tapi entah kenapa, lagunya masih terdengar di dalam hati.

Lama sekali mereka terdiam. Seperti masih menikmati lagu yang tadi. Di dalam kesunyian.

Terkadang kesunyian terdengar lebih indah dari lagu apa pun.

Khu Hujin lalu membuka mata. Sejak tadi jiwanya memang tidak berada di situ. Ia selama beberapa saat kembali ke sebuha masa. Masa yang indah puluhan tahun yang lalu.

Ia tersenyum. Walaupun air mata mengalir di pipinya. Jatuh membasahi ujung-ujung bibirnya. Seketika Cio San merasa wanita di hadapannya ini jauh lebih muda. Serasa seorang gadis yang tersenyum bahagia dengan pipinya yang kemerah-merahan. Dengan senyumnya yang indah.

Cio San seperti ingin berkata sesuatu, tapi ia memilih diam. Karena perempuan dihadapannya juga sedang diam. Kadang diam itu memang lebih bermakan daripada untaian kata-kata yang paling manis sekalipun.

Kadang tidak berkata apa-apa sama dengan mengungkapkan banyak hal.

Dan kadang, di hadapan perempuan yang sedang meneteskan air mata, diam adalah hal yang paling baik.

Khu Hujin, akhirnya berkata,

“Itu lagu terakhir yang kudengar darinya. Diakah yang mengajarkan lagu itu padamu?” tanyanya

“Benar” Cio San mengiakan.

“Apakah dia masih hidup? Bagaimana kabarnya sekarang?”

“Sayangnya Kam-suhu (guru Kam) telah meninggal nyonya”

“Ahhhhhhh,,,,,” Sang Hujin terlihat terpukul sekali.

“Padahal sejak kudengar bahwa kuburan Kam K Hsiang yang dibongkar ternyata kosong, aku berharap dia masih hidup” katanya sedih

“Pada waktu itu beliau memang masih hidup, Hujin” kata Cio San

“Apakah dia pernah bercerita tentang aku?” tanya sang Hujin

"Sayangnya tidak pernah Hujin. Saya baru tahu nyonya mengenalnya ketika nyonya menyinggung sahabat nyonya yang pintar masak yang meninggal di Butongsan”

“Maukah kau menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya pada dirinya?” tanya Khu Hujin.

Cio San lalu bercerita. Bagaimana orang yang bernama Kam Ki Hsiang kala bertarung dengan Thio Sam Hong. Lalu merubah nama menjadi A Liang. Dan mengabdi di Butongpay. Cio San juga menceritakan hukumannya di puncak gunung. Tapi ia tidak bercerita tentang buku masak A Liang. Ia hanya bercerita bahwa A Liang lah yang mengajarinya silat, dan juga bermain musik. Juga tentang tragedi kematian Tan Hoat, dan juga A Liang. Dan bagaimana ia hidup di dalam goa selama beberapa tahun.

Cerita sepanjang itu diikuti Khu Hujin dengan seksama. Ia lalu bertanya,

“Apakah Kam Ki Hsiang yang mengajarimu memasak juga?”

“Benar Hujin. Tentunya Hujin sudah bisa menduga siapa sebenarnya saya?”

“Kau adalah A San, tukang masak di Lai Lai, bukan?”

“Pandangan mata, keluasan pengetahuan, dan pemikiran hujin memang sukar dicari tandingannya” kata Cio San kagum.

“Sejak pertama Cio San muncul di Lai Lai, aku sudah curiga. Mengapa selama ini ciri-ciri orang seperti Cio San ini tidak ada anak buahku yang melaporkan sebelumnya.”

“Padahal anak buah hujin ada dimana-mana” sambung Cio San

Khu Hujin hanya mengangguk, ia lalu melanjutkan

“Apa yang terjadi di setiap kota, mestinya kami tahu. Siapa orang baru yang datang, apa tujuan mereka ke kota itu, kami pasti tahu. Kau pasti paham bahwa banyak orang yang iri dengan usaha dagang kami, maka kami harus melakukan banyak hal supaya bisa mempertahankannya”

Beliau melanjutkan lagi,

“Jika tidak ada yang pernah melihat Cio San sebelumnya, tentu ia datang di kota itu dengan menyamar. Kemudian dari kabar yang ku dengar dari Ling Ling, orang yang bernama Cio San ini menggunakan jurus dasar-dasar silat Bu Tong Pay, tapi kemudian dicampur dengan ilmu silat aneh yang belum pernah dilihatnya.”

“Menurut pemikiranku, mungkin saja orang ini adalah anak murid Butongpay yang buron itu. Karena tidak mungkin murid Butongpay mau merusak kemurnian ilmu silatnya dengan mencampurnya dengan yang lain.”

“Ditambah lagi namanya juga Cio San. Diukur dari usianya sudah cocok. Jadi kesimpulanku, pastilah pendekar muda ini adalah Cio San murid Butongpay yang buron dan akhirnya menyamar.”

“Yang paling penting kemudian adalah aku harus mencari tahu dia menyamar sebagai apa. Menurut laporan ia tiba-tiba menghilang di Lai-Lai. Tidak mungkin ada orang yang menghilang begitu saja di kota ini.”

Cio San kemudian memotong,

“Lalu Hujin mengirimkan orang untuk memperbaiki Lai lai, tujuannya untuk mencari tahu keadaan Lai-Lai yang sebenarnya bukan?”

“Benar. Hebat juga kau bisa menebaknya. Dari mereka, aku tidak menemukan berita apa-apa. Akhirnya aku memutuskan untuk datang sendiri memeriksa”

“Lalu ketika aku bertemu  A San si tukang masak. Tutur katanya sopan dan halus. Tidak seperti koki pada umumnya. Aku curiga dengan raut wajahnya yang pucat, namun memiliki sinar mata yang mencorong. Sadarlah aku bahwa A San pastilah menggunakan topeng. Kecurigaanku semakin terbukti, ketika dengan sengaja aku menyinggung Butongpay dan sahabatku yang meninggal, sinar matamu berubah sendu. Apalagi, rasa masakanmu memang mengingatkanku kepada Kam ki Hsiang. Dia telah mengajarimu dengan bagus sekali” Kalimat terakhir itu diucapkan Khu Hujin dengan sinar mata bersinar. Entah kenapa Cio San merasa sinar mata itu seperti sinar mata seorang mertua yang berbicara tentang menantu yang dibanggakannya

“Lalu bagaimana dengan kau, bagaimana cara kau menebak bahwa aku telah tau penyamaranmu?” tanya sang Hujin.

“Ketika saya berbicara dengan Hujin, dan hujin menyinggung tentang Butongpay dan sahabat hujin yang meninggal disana. Saya tahu bahwa sinar mata saya berubah. Masih banyak kenangan yang tidak bisa terlupa, sehingga saya tidak bisa menyembunyikan perasaan. Ketika saya merasa bahwa sinar mata saya berubah sendu, secepatnya saya tersadar, dan juga saya memperhatikan sinar mata hujin sendiri. Dan yang saya lihat, sinat mata hujin juga berubah. Mungkin lega, mungkin puas. Saya kurang tahu. Tapi saya waktu kecil kadang-kadang suka main tebak-tebakan. Sinar mata hujin, seperti sinar mata orang yang senang karena tebakannya benar” jelas Cio San panjang lebar.

“Jadi kau tahu bahwa aku telah membongkar penyamaranmu, hanya dari sinar mataku yang berubah karena melihat perubahan sinar matamu sendiri?” Khu Hujin bertanya, matanya memancarkan kekaguman.

“Benar sekali hujin.”

“Hanya dengan perubahan mata, berani sekali engkau mengambil kesimpulan, Cio San”

“Kadang beberapa hal memang harus dilakukan dengan nekat.” Katanya tersenyum

“Bagaimana jika kau salah?” tanya Hujin.

“Jika saya salah, paling-paling saya akan jadi buronan lagi. Itu bisa saya hadapi dengan mudah. Tinggal menggunakan topeng, dan lari ke kota lain.” Katanya tersenyum.

Dalam masalah lari, memang hanya sedikit orang di dunia ini yang bisa mengejarnya

Lalu ia menyambung,

“Jika saya benar, maka setidaknya saya telah melakukan hal yang baik. Yaitu menceritakan kisah yang sebenarnya terjadi di ButongPay. Ini untuk membersihkan nama Kam-suhu (guru Kam), dari tuduhan fitnah. Dengan pengaruh dan kekuasaan Hujin. Rasa-rasanya hal ini bukan hal yang tidak mungkin.”

“Bagus sekali Cio San. Aku kagum kepadamu yang masih muda tapi sudah memiliki pikiran yang cemerlang. Eh, masih ada lagi yang ingin kutanyakan. Jika ia tidak pernah bercerita kepadamu tentang aku, dank au bilang kau baru tahu tentang itu, bisakah kau tebak bagaimana hubunganku dengannya”

Cio San terdiam sebentar. Lalu menjelaskan,

“Pada awalnya saya pikir mungkin hubungan saudara. Tapi sudah jelas tidak mungkin karena she (marga) berbeda. Lalu saya pikir mungkin hubungan saudara seperguruan, tapi itu juga tidak mungkin karena nyonya tidak bisa silat. Kemudian saya sampai kepada kesimpulan akhir bahwa kalian, maaf sebesar-besarnya, adalah sepasang kekasih?”

Hujin tersenyum, “Kau memang cerdas Cio San”

Ia melanjutkan, “Maukah kau mendengar kisah kami dahulu?”

Cio San mengangguk.

“Beberapa puluh tahun yang lalu, kami merencanakan untuk menikah. Tapi kecintaannya terhadap petualangan dan juga ilmu silat, membuat rencana itu tertunda terus menerus. Suatu hari ia pulang setelah berkelana lama. Tubuhnya kurus sekali. Tapi wajahnya cerah dan terlihat sangat sehat. Ia bercerita kepadaku bahwa ia menemukan sebuah kitab sakti yang akan membuatnya menjadi ahli silat paling hebat di seluruh tionggoan.”

“Ia berlatih siang malam, dan dalam setahun saja, ia menjadi sangat hebat. Ia kemudian berkelana lagi untuk menantang jago-jago silat ternama. Semua dikalahkannya. Setahun kemudian dia pulang lagi ke desa kami, dan bilang jika kali ini ia mungkin tidak akan kembali lagi.

“Ia bilang jika ia akan menantang pendekar terhebat sepanjang masa Tionggoan, yaitu Thio Sam Hong. Aku menangis memintanya untuk mengurungkan niatnya. Tapi niatnya sudah bulat. Sebelum pergi, ia menciptakan aku sebuah lagu. Lagu itulah yang kau mainkan kepadaku tadi”

“Kemudian kudengar ia telah tewas di Butongsan sana. Berulang kali aku berusaha meminta jenazahnya untuk dipindahkan, namun pihak Butongpay selalu menolaknya. Aku heran kenapa jasadnya tidak diperabukan saja. Tapi beberapa tahun yang lalu kudengar jasad Thio San, setelah diperabukan, juga dikubur di dekat kuburannya?”

Cio San mengangguk

Hujin lalu melanjutkan,

“Lalu kudengar ada kejadian besar di Butongpay. Seorang murid membunuh gurunya, membawa kabur kitab sakti, dan kabur dengan temannya seorang juru masak yang sudah tua. Ditambah lagi bahwa ada kabar kalau ternyata kuburan Kam Ki Hsiang ternyata kosong. Semakin membuatku ada banyak rahasia yang tersembunyi”

“Ketika kau datang pagi tadi dan bilang bahwa kamu membawa pesan dari Kam Ki Hsiang, sukamku bagai melayang. Aku benar-benar berharap dia masih hidup”

Cio San merasa tidak enak dengan ini, tapi kemudian dia teringat sesuatu.

“Maafkan kesalahanku itu Khu Hujin, itu adalah kesalahan yang tidak bisa saya perbaiki. Tapi saya ingin memberitahu Hujin, Kam-suhu menciptakan lagi sebuah lagu tentang Hujin saat kami berada di puncak Butongsan”

“Benarkah? Mainkanlah!”

Di bawah mentari
Di bawah langit biru
Di temani rumput-rumput dan angina barat

Aku memandangimu dari puncak bukit,
Dari menara tertinggi, ku sebut namamu

Tahukah kau aku lebih terluka daripada engkau?
Tahukah perpisahan denganmu jauh lebih tajam dari mata pedang?

Tapi aku justru bahagia di dalam kesedihan,
Karena ku tahu ciintamu takkan berubah
Karena setiap detik jantung mendetakkan namamu,
Setiap saat angina menghembuskan bisikanmu
Setiap malam bintang meminjam cahaya matamu
Setiap pagi mentari meminjam kecerahan wajamu


Jika orang berkata, maut kan memisahkan,

Bahagialah, karena bagiku maut kan mempertemukan,

Sampai nanti, ku tunggu kau di ujung jalan
Tempat telaga kesukaanmu
Tempat dimana kau suka memetik bunga Tho
Dan berlari mengejar kupu-kupu

Sampai nanti kita bertemu kembali


Mata Khu Hujin berbinar-binar. Ia menangis terharu, lalu tersenyum simpul ketika Cio San menyanyikan lirik “tempat telaga kesukaanmu, tempat dimana kau suka memetik bunga Tho, dan berlari mengejar kupu-kupu”

Saat ini memang hanya mata yang berbicara. Cio San bisa menangkap sinar yang begitu bahagia di mata yang teduh dan berbinar itu. Seperti sinar mata anak gadis sedang kasmaran!

“Apakah kau tau judulnya, Cio San?”

“Tentu saja Hujin, judulnya “Salam Untuk Ting Ai”

Khu Hujin tersenyum, “Tahukah kau siapa Ting Ai?”

“Tentunya itu adalah nama gadis hujin, Khu Ting Ai”

Hujin tersenyum sambil berkata,

“Lagu itu menceritakan bahwa ia tidak lupa padaku. Bahwa ia masih mencintaiku dan berharap bertemu denganku suatu saat ini. Ahhhhhh,,,Cio San mendengar ini saja betapa gembira hatiku”

“Aku yakin benar itu lagu ciptaannya. Karena nada-nadanya khas sekali. Ia juga bercerita tentang telaga tempat biasa kami bertemu. Dan juga kesukaanku memetik bunga Tho dan mengejar kupu-kupu”

Wajah Khu hujin ketika bercerita tentang ini memang seperti anak perawan sedang kasmaran.

“Kau telah memberiku kebahagiaan yang sangat besar, Cio San. Untuk itu aku harus memberimu hadiah. Mintalah apa yang kau mau, jika mampu niscaya ku beri” kata Khu Hujin serius.

“Saya datang tidak dengan maksud apa-apa Hujin. Saya hanya berharap Hujin mampu membersihkan nama Kam suhu dan saya. Itu saja.”
“Kalau itu sudah pasti akan kulakukan Cio San. Aku mohon padamu, mintalah padaku apa saja. Jangan sampai kau menolak. Bagiku kau sudah seperti cucu sendiri”

Cio San berpikir sejenak, lalu berkata

“Baiklah hujin. Maafkan saya yang lancang, bolehkah saya meminta sebuah kitab? Kitab apa saja. Saya suka membaca, tapi di Lai Lai tidak ada yang bisa saya baca”

Khu Hujin tertawa terbahak-bahak sambil menutup mulut dengan tangannya. Anggun sekali.

“Kau hanya minta itu saja? Baiklah. Kuberikan kau sebuah kitab bagus. Bahkan mungkin kitab terbaik yang pernah kubaca. Kulihat kau memiliki bakat yang besar dalam bidang ini juga, selain bermain musik, silat, dan memasak”

Khu Hujin beranjak dan memilih-milih buku yang tersusun rapi di rak buku. Jika mau menghitung memang ada ratusan buku di dalam kamar belajar pribadi ini.

“Nah ini dia”

Related Posts:

0 Response to "Bab 20 Syair Tentang Cinta"

Posting Komentar