Bab 22 Sang Dewa Kematian


Cio San memandang Khu Hujin dengan penuh kekaguman. Belum pernah dia mendengar orang memberi wejangan padanya seperti itu. Begitu dalam. Begitu ringkas. Tetapi sangat membekas.

Angin bertiup menghembus sampai masuk ke dalam ruangan itu. Cio San pun tak tahu lagi, apakah sejuk di dadanya ini adalah karena angina, ataukah karena kata-kata Khu Hujin.

Itulah mengapa Khu Hujin menjadi begitu berhasil di dalam hidupnya. Menjadi wanita ‘terkuat’, tidaklah butuh ilmu silat yang hebat. Justru karena ia tidak mengandalkan ilmu silat maka Khu Hujin menjadi seperti itu. Seluruh perempuan di muka bumi ini, seharusnya paham. Bahwa mereka tercipta sebagai ‘makhluk terkuat’. Sudah terlalu banyak kisah yang menceritakan betapa wanita mampu menundukkan  laki-laki terhebat sekalipun.

“Cio San…..” sapaan lembut Khu Hujin membuyarkan lamunannya

“Apakah kau tahu apa-apa saja yang telah terjadi di dunia ini sejak engkau kabur dari Butongpay dahulu, sampai saat ini?” tanya Khu Hujin

“Eh, saya hanya mendengar beberapa kabar dari cerita-cerita orang bu lim (kaum persilatan) yang mampir ke Lai Lai. Tapi semua belum begitu jelas, karena mungkin hanya berupa kabar burung” jawab Cio San

“Ceritakan kepadaku”

“Beberapa tahun belakangan ini sering terjadi pembunuhan misterius. Pelakunya adalah beberapa orang bertopeng yang memiliki ilmu silat sangat tinggi. Mereka membunuh dengan sangat kejam. Dan banyak korban mereka yang merupakan terkemuka seperti ketua partai persilatan, pejabat Negara, dan masih banyak lagi”

Lanjut Cio San, “Kelompok pembunuh ini sangat rahasia. Tidak ada seorang pun yang tahu dari mana mereka. Asal usul ilmu silat mereka. Dan juga tujuan mereka. Saya sendiri berkesimpulan, pembunuhan keluarga besar saya, guru saya, dan juga peracunan ciangbunjin Butongpay juga ada hubungannya dengan kelompok pembunuh rahasia ini”


“Pada awalnya saya berfikir, mungkin pembunuhan-pembunuhan ini ada hubungannya dengan kitab-kitab sakti yang banyak dibicarakan orang. Tetapi jika dilihat dari banyaknya korban yang bukan hanya berasal dari kaum bulim. Saya mengambil kesimpulan bahwa tujuan kelompok pembunuhan ini bukan hanya sekedar mengesai ilmu-ilmu silat tertinggi. Melainkan juga mungkin hal yang lebih besar daripada itu”

“Seperti?” tanya Khu Hujin

“Mungkin mereka bertujuan untuk mengacaukan dunia kangouw, dan malah berusaha untuk menguasainya.”

“Kesimpulan yang bagus”, sahut Khu Hujin. “Tetapi karena belum ada perkembangan dan kabar yang jelas, maka kau jangan terlebih dahulu mengambil kesimpulan apapun. Karena kesimpulan yang terlalu cepat diambil, akan menjauhkanmu daripada kebenaran yang sebenarnya”

“Saya mengerti hujin. Terima kasih”

“Selain kabar ini, apalagi kabar yang kau dengar?” tanya Khu Hujin lagi.

“Saya mendengar kabar bahwa Butongpay masih tetap mencari saya. Bahkan orang-orang bu lim masih terus mencari keberadaan saya. Apalagi sejak kemunculan saya di Lai Lai tempo hari. Saya juga sudah tahu, bahwa Butongpay telah mengirimkan surat pengumaman ke berbagai kalangan yang memberitahukan bahwa saya sudah dipecat dari Butongpay, dan segala tingkah laku dan perbuatan saya, tidak ada hubungannya lagi dengan butongpay.”

“Apakah kau sedih, Cio San?”

“Sangat sedih hujin, tapi saya bisa mengerti keadaannya. Memang sudah seharusnya.”

Khu Hujin mengangguk sambil tersenyum, “Baiklah, malam sudah larut dan aku pun butuh beristirahat. Kau pulanglah. Dan lakukanlah hal yang harus kau lakukan. Aku sangat berterima kasih atas apa yang kau lakukan hari ini. Ingat-ingatlah dengan kata-kataku tadi. Jadilah manusia terbaik, Cio San”

“Terima kasih Hujin. Apa yang sudah Hujin berikan kepada juga sangat tak ternilai. Segala perkataan, djuga hadiah dari hujin, amatlah sangat berharga bagi saya. Terima kasih Hujin sudah meluangkan waktu. Terima kasih banyak Hujin” sambil berkata begitu, Cio San memberi salam hormat.

Ia lalu pulang.

Ia pulang dengan hati yang lapang. Karena beban di hatinya sedikit lebih ringan. Karena perkataan Khu Hujin yang sangat membekas di hatinya.

Cio San kini berjalan dengan tenang. Rembulan bersinar dengan terang. Jalanan kota walaupun sudah mulai sepi, masih terasa hiruk pikuknya. Cio San saat ini, bukanlah Cio San beberapa jam yang lalu. Sepertinya ia telah menemukan semangat tambahan, bagi perjalanan hidupnya yang masih panjang.

Perjalanan hidup manusia, adakah mahkluk apapun di dunia ini yang bisa mengerti?

Langkahnya lebih ringan. Hatinya lebih mantap. Pandangan matanya lebih bersinar. Rembulan, jika dibandingkan dengan sinar mata Cio San saat ini, seharusnya merasa malu menjadi rembulan.

Dan karena matanya ini jugalah, Cio San segera sadar.

Ada sesuatu yang sedang terjadi. Memang telinganya dari tadi sudah paham bahwa ada suatu keramaian di depan sana. Ia masih belum tahu keramaian apa. Ternyata banyak orang sedang menonton ‘pertunjukan’.

Di malam seperti ini, memangnya ada pertunjukan?

Jika ada, itu pasti hanya satu.

Pertunjukan ‘manusia membinasakan manusia’.

Dan ia benar. Sedang ada pertarungan di depan sana.

Namun ini pertarungan yang aneh. Banyak mayat bergelimpangan. Dan hanya satu orang yang berdiri tegak. Yang membuat aneh adalah, mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Tak satupun dari mayat itu yang mengeluarkan darah.

Yang mati sudah pasti kalah. Yang menang sudah pasti yang masih hidup.

Dan yang masih hidup ini berdiri dengan tenang. Ia tegak bagai karang. Orang-orang yang menontonnya pun sepertinya ikut tersihir dengan ketenangannya. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara saat ini.

Dia berdiri gagah.

Bajunya putih. Di malam yang gelap seperti ini, bajunya seperti memantulkan cahaya rembulan. Rambutnya merah menguning. Wajahnya sangat tampan. Saking tampannya sampai-sampai orang-orang mengira ia bukan manusia.

Matanya. Berwarna biru.

Walaupun terkesan asing, garis-garis wajah orang Han (orang china asli) masih terlihat jelas dalam raut mukanya yang tampan.

Jika ada orang setampan ini, kalau bukan manusia yang sangat baik. Pastilah manusia yang sangat jahat.

Ia tidak berkata apa-apa. Hanya berdiri di sana. Tidak mengeluarkan suara apapun. Tidak berkata apapun. Bahkan raut wajahnya pun tidak mengatakan apa-apa.

Kosong. Seperti padang pasir di tengah sunyinya malam. Sepi dan dingin.

Cio San seumur hidupnya baru pertama kali melihat pemandangan seperti ini. Ia tertarik sekali. Sekali pandang ia tahu, semua mayat ini mati karena sebuah tusukan pedang di dahi mereka. Tapi tidak ada darah setetes pun yang mengalir dari luka itu.

Sebuah tusukan pedang. Tidak ada darah. Dan nyawa pun melayang. Penulis yang paling pandai pun mungkin tidak bisa menggambarkan betapa hebatnya ilmu pedang ini.

Cio San akhirnya memberanikan diri untuk bersuara,

“Tayhiap (pendekar besar) yang terhormat, apakah salah belasan orang ini sampai mereka harus mati?” sambil bicara ia memberi hormat ala kaum bulim.

Orang tampan berbaju putih itu menoleh ke asal suara,

Ia memandangi Cio San. Tatapan mata biasa. Tidak ada yang bisa membaca arti pandangan itu. Memandangi wajah orang itu, seperti memandang lukisan kosong berupa kertas putih.

Lama baru ia menjawab,

“Lima orang yang di sebelah sana, adalah Tionggoan Ngo Koay (5 orang aneh tionggoan). Mereka pantas mati karena banyak memperkosa perempuan.”

Cio San terhenyak. Bukankah mereka itu yang dulu membunuh Kim Coa (ular emas), sahabatnya.

Si Baju putih melanjutkan lagi,

“Yang di dekat kakimu adalah Sie Kow Lam. Yang berjulukan Beruang dari Barat. Pantas mati karena membunuh pejabat Kho An Gan.”

Sie Kow Lam, Cio San tidak pernah dengar. Tapi siapa yang tidak kenal Kho An Gan? Pejabat Negara yang dikenal sangat jujur dalam pekerjaannya.

“Enam orang yang mati di sebelah sana, adalah Enam Bersaudara Berbau Darah. Siapapun tahu mereka pantas mati”

Memang Cio San tahu 6 Bersaudara Berbau Darah sudah sangat dikenal perbuatan sesatnya.

“Dan 3 sisanya adalah 3 orang mantan anggota perguruan Kun Lun Pay yang kedapatan merencanakan pembunuhan ketua mereka sendiri.”

Si Baju putih selesai bicara. Ia tetap menatap Cio San. Tetap tanpa apapun dalam raut wajahnya. Tidak ada kebanggan bahwa ia baru saja membunuh orang-orang berilmu tinggi yang namanya lumayan ditakuti dalam kalangan Bu Lim.

Membunuh belasan orang-orang hebat ini dengan sebuah tusukan pedang. Bahkan cerita kuda masuk lubang jarum pun rasa-rasanya jauh lebih masuk akal ketimbang mempercayai ada orang sehebat itu ilmu pedangnya.

“Kau tidak terima?” Ia bertanya. Masih dengan pandangan yang sama.

Cio San tersenyum, lalu berkata, “Semua orang tahu mereka memang pantas dihukum. Tayhiap beruntung sekali menemukan mereka semua sekaligus disini. Tapi memang untuk mencari bajingan-bajingan seperti mereka, rumah bordil macam Teng Teng ini adalah tempat yang cocok”

Ada sedikit perubahan di wajah si Baju Putih. Matanya bersinar sekilas. Dan bibirnya sedikit tersenyum. Hanya sedikit. Senyum itu pun hilang secepat datangnya. Tapi Cio San bisa melihat itu dengan jelas.

Wajah si baju putih sudah kembali seperti sedia kala, saat ia berkata,

“Pikiran tuan cukup cerdas. Memang tidak salah dugaan tuan. Aku mengejar Sie Kow Lam sampai ke rumah bordil ini. Tak tahunya secara tidak sengaja bertemu dengan bajingan lain.”

“Perkenalkan nama cayhe (saya) Cio San. Bolehkah cayhe mengetahui nama tayhiap yang terhormat?” tanya Cio San sopan sambil memberi hormat.

“Aku tidak suka bersahabat dengan manusia.” Jawaban itu datang dengan dingin dan menusuk. Ia berbalik dan berjalan dengan tenang.

Cio San tetap tersenyum, lalu berkata,

“Cayhe mengerti, memang pedang jauh lebih berharga untuk dijadikan sahabat. Tidak mengenal nama pun tak mengapa. Toh manusia dikenal karena perbuatannya. Terima kasih untuk kehormatan ini. Cayhe sungguh kagum”

Si baju putih tetap melangkah pergi. Sekali meloncat ia sudah berada diatas rumah Teng Teng. Cio San dan para hadirin yang berada di sana hanya menatap punggungnya saja. Seumur hidupnya, baru pertama kali ini ia bertemu orang sehebat ini. Bahkan sikapnya saja sudah setajam pedang, bagaimana pula dengan permainan pedangnya?

Cio San bergidik. Alangkah sialnya orang-orang yang dimusuhi oleh si baju putih ini!


Related Posts:

0 Response to "Bab 22 Sang Dewa Kematian"

Posting Komentar