Saat ini telah genap sebulan Cio San bekerja di restoran itu. Restoran tua yang kini telah di sulap bersih, dan menyenangkan. Mereka tidak merubah namanya. Tetap bernama “Lai Lai”. Perlahan-lahan dalam satu bulan, pelanggan sudah mulai ramai. Masakan Cio San yang memang nikmat, ditambah dengan keputusan untuk membagi-bagi masakan secara gratis dimana-mana, memang berbuah manis. Bahkan kini “Lai Lai” telah memiliki pelanggan tetap, yang datang tiap hari, untuk sekedar sarapan, atau makan siang.
Kwee Lai, si kasir sekaligus pemilik restoran, setiap hari berseri-seri wajahnya. Pemasukan restoran dari hari ke hari kian membaik. Walaupun perjanjiannya ia akan membayar gaji Cio San pada bulan ke empat, ia tidak melakukannya. Ia sudah membayar gaji Cio San sejak bulan pertama. Ia suka sekali dengan Cio San. Masakannya enak, tingkah lakunya sopan, tutur katanya halus. Yah, walaupun wajahnya sedikit pucat aneh.
Selama sebulan ini, Cio San telah masak berbagai macam masakan. Kesempatan bekerja jadi koki seperti ini digunakannya juga untuk mempelajari berbagi macam resep yang sempat dibacanya di buku pemberian Liang Lopek. Kadang-kadang Cio San malah menciptakan sendiri resep-resepnya. Dan herannya semua rasanya enak.
Bulan berikutnya, yang datang di Lai Lai semakin banyak lagi. Kali ini bukan hanya penduduk setempat, melainkan orang-orang dari luar. Mungkin karena posisi kota Liu Ya sebagai kota dermaga maka banyak orang luar kota yang datang, atau mungkin juga karena kabar kenikmatan masakan di Lai-Lai yang telah tersebar lewat mulut ke mulut.
Dalam dua bulan ini, terpaksa Kwee Lai menambah seorang koki lagi untuk membantu pekerjaan Cio San. Memang selama ini anaknya, si Kwee Mey Lan, juga ikut membantu Cio San memasak. Bahkan setelah diajari Cio San selama sebulan ini, masakan Kwee Mey Lan juga ikut-ikutan enak. Tapi berhubung jumlah pelanggan yang semakin banyak, akhirnya Kwee Lai memutuskan untuk menambah koki lagi/ Pelayan pun kini bertambah seorang.
Di bulan ketiga, yang datang makan di Lai Lai sudah bukan orang-orang biasa saja, tapi juga mereka dari kalangan Kang Ouw. Ini bisa dilihat dari dandanan serta senjata yang mereka bawa. Sebenarnya amat sulit untuk membuat kaum Kang Ouw menyukai sebuah restoran. Karena sifat mereka yang penuh gengsi. Maka restoran itu masakannya harus enak, tempatnya harus nyaman dan bersih, serta bangunannya harus megah.
Karena urusan makan sudah tidak lagi jadi urusan perut. Apa yang kau makan, dan di mana kau makan, akan menunjukkan jati dirimu. Atau setidaknya akan memberi gambaran yang kau inginkan kepada orang lain. Begitulah juga yang ada dalam pikiran orang Kang Ouw (kalangan persilatan).
Maka adalah suatu berkah bahwa Lai Lai menjadi tempat makannya orang kang ouw. Harganya yang murah, rasa masakannya yang nikmat, tempatnya yang menyenangkan menjadi nilai jual tersendiri. Cio San sendiri memang sengaja memilih masakan-masakan yang unik dan jarang ada. Ini juga yang menjadi daya tarik Lai Lai sebagai sebuah tempat makan. Masakannya unik-unik namun rasanya tidak kalah nikmat dari masakan umum yang sudah terkenal, bahkan mungkin jauh lebih enak.
Cio San sangat menikmati pekerjaannya itu. Dengan kemampuannya, ia bisa bekerja jauh lebih cepat. Jika tidak ada orang yang melihat, ia mampu memotong sayur dengan amat sangat cepat, menguliti dan memotong daging dilakukannya sekejap mata. Mey Lan dan koki satunya kadang-kadang heran melihat begitu cepat sayuran atau daging sudah terpotong-potong dengan rapi. Tetapi karena sibuknya pekerjaan, mereka tidak sempat memikirkan lebih jauh.
Dalam 3 bulan ini, Cio San memang selalu bekerja sama dengan Mey Lan. Ini membuat mereka berdua juga semakin akrab. Pembawaan Cio San yang ramah membuat Mey Lan merasa senang dekat-dekat dengannya.\
Ada cerita suatu kali jari Mey Lan terluka karena melamun saat memotong sayuran. Dengan sigap Cio San mengobati luka itu. Hanya dengan menggunakan beberapa bumbu dapur, luka di jari Mey Lan itu langsung kering dalam beberapa menit.
Mereka pun melakukan apa-apa selalu berdua. Saat bekerja dan beristirahat pun mereka selalu berdua. Seperti di hari ini. Lai Lai sedang memasuki jam sepi, sudah lewat jam makan siang. Memasuki waktu sore. Walaupun sepi, tapi memang masih ada sekitar 10 sampai 15 orang yang makan di situ.
“San-ko (kakak san), marilah beristirahat dulu, sejak jam makan siang tadi, kau belum beristirahat sejenakpun” kata Mey Lan.
“Tunggu sebentar lagi meymey, ini ku siapkan dulu bahan-bahan untuk masakan malam” jawan Cio San sambil tersenyum.
“Baiklah, ku bantu saja kau San-ko, biar cepat selesai”
“Ah, tidak usah meymey, ini sudah hampir selesai, kok” Cio San masih tersenyum.
Entah kenapa Mey Lan suka melihat senyum itu. Pada awalnya terasa aneh. Wajah Cio San pucat seperti orang sakit. Rautnya pun kaku. Kalau tersenyum seperti orang menahan sakit perut. Tapi lama-lama, Mey Lan malah suka melihat senyuman itu.
Di pihak lain, Cio San pun suka sekali melihat Mey Lan tersenyum. Walaupun tidak ada lesung pipit, pipinya selalu memerah segar. Hidungnya mancung. Dagunya indah sekali. Belum lagi bicara tentang alis, bulu mata, dan sinar mata itu sendiri. Yang paling indah memang adalah bibirnya. Bibirnya itu jika dimiliki oleh orang yang wajahnya paling jelek di dunia, akan membuat orang itu menjadi orang paling cantik yang kau temui. Apalagi jika berada di wajah Kwee Mey Lan yang memang sudah cantik dari sononya.
Kalau tersenyum sepertinya selalu bagian dari wajahnya itu tersenyum. Alisnya tersenyum, dahinya tersenyum, hidungnya tersenyum. Cio San suka khawatir jantungnya copot. Karena setiap kali Mey Lan tersenyum, jantung Cio San selalu berdebar-debar.
Setelah menyelsaikan pekerjaannya, mereka berdua kini makan siang. Lebih tepatnya makan sore. Mey Lan memang belum makan dari tadi siang, ia sengaja tidak makan supaya bisa makan bersama Cio San. Ia suka sekali makan bersama Cio San. Biasanya Cio San pasti punya cerita-cerita lucu dan menarik hatinya.
Ketika sedang asik makan di ruang belakang, terdengar suara dari ruang depan, tempat makan para tamu Lai Lai, “Selamat siang juga, siapkan saya makanan apa saja, jangan lupa seguci arak”
Di ruang belakang, hanya kuping Cio San yang mendengar ini. Seluruh suara orang mengobrol dari ruang depan, mampu di dengarnya. Pujian terhadap masakannya, cemoohan orang terhadap orang lain, masalah di tempat kerja, masalah cinta antar kekasih. Dan semua perkara yang orang obrolkan saat makan di ruang para tamu, semua mampu di dengarnya di dapur tempat ia bekerja.
Kini telinganya yang tajam dan telah terlatih bertahun, mendengar sebuah suara. Di saat ramai saja, ia mampu membedakan suara-suara. Kini saat Lai Lai sepi, alangkan mudah ia membedakan suara itu. Suara yang pemiliknya ia kenal bertahun-tahun.
Raut mukanya pun berubah. Tapi tidak ada orang yang bia melihat karena ia memakai topeng kulit ular.
“Meymey. Tunggu sebentar ya, ada yang lupa kulakukan” kata Cio San kepada Mey Lan. Yang dijawabnya dengan mengangguk dan tersenyum.
Cio San segera ke dapur.
“Wah, sudah selesai makan siang A San? Ada tamu lagi. Ia meminta makanan apa saja. Kau ada siapkan masakan apa tadi?” Tanya pelayan yang tadi menerima tamu di depan. Cio San kini memakai nama A San. Sebuah nama yang umum pada waktu itu.
Tiba-tiba timbul sebuah ide di benak Cio San. Ia akan membuatkan masakan yang pasti disukai tamu di depan itu, “Aku akan memasak sesuatu yang khusus. Kau bawakanlah seguci arak ini, biar dia tidak bosan menunggu”
“Dari mana kau tau di memesan seguci arak juga?” Tanya si pelayan
“Ah bukankah biasanya jam segini, memang biasanya orang pesan arak?” jawab Cio San
“Betul juga, arak apa yang paling cocok untuk sore seperti ini?”
“Arak Ciu Pek, pasti enak” katanya sambil tersenyum
(Arak Ciu Pek dibuat dari susu sapi yang diasamkan, dan dicampur dengan beberapa sari bauh. Rasanya segar. Manis, sedikit asam, dan sedikit pahit. Warnanya hampir seperti susu. Jika terlalu banyak juga akan memabukkan)
(Arak Ciu Pek dibuat dari susu sapi yang diasamkan, dan dicampur dengan beberapa sari bauh. Rasanya segar. Manis, sedikit asam, dan sedikit pahit. Warnanya hampir seperti susu. Jika terlalu banyak juga akan memabukkan)
Si pelayan menyuguhkan arak, Cio San memasak. Ia memasak ang sioa bak. Karena ia tahu, itulah makanan kesukaan si “tamu” di depan.
Cio San pun kembali ke Mey Lan, yang menyambutnya dengan pertanyaan, “Ada tamu lagi ya?”
“Iya, ku masakkan Ang Sio Bak”
“Tidak usah kau bilang, baunya saja sudah tercium. Heran kenapa setiap mencium bau masakanmu, lantas aku menjadi lapar. Padahal ini sedang makan”
“Karena ku tau kau pasti pengen, makanya ku sisakan sedikit” Cio San tersenyum sambil menyodorkan piring berisi ang sio bak panas.
“Memangnya kau pikir aku wanita gembul tukang makan??” matanya melotot tapi bibirnya tersenyum
“Haha, tidak mau makan ya sudah, sini aku saja yang makan” goda Cio San
“Siapa bilang aku tidak mau, sini dagingnya” sambil bilang begitu, seluruh isi piring sudah Mey Lan tumpahkan ke mangkoknya.
Siapapun yang cukup sering kumpul perempuan, sepertinya memang harusnya tahu, bahwa kalau perempuan bilang “tidak mau”, itu bisa saja berarti “Mau”. Cio San walaupun baru kali ini dekat dengan perempuan, sedikit banyak sudah paham.
“Hey sisakan sedikit untukku” kata Cio San dengan padangan mata memelas
Mey Lan menjawabnya dengan menjulingkan mata, dan mengeluarkan lidah. Entah kenapa ada sebagian perempuan yang jika mereka menjelekan raut wajahnya, justru membuat mereka terlihat tambah cantik dan menggemaskan. Mey Lan jelas masuk golongan ini.
Cio San hanya bisa tersenyum
“A San, kemarilah sebentar” terdengar panggilan dari ruang dapur
“Tepat seperti yang kuduga” kata Cio San dalam hati, ia pun bergegas ke dapur, sambil bilang “Tunggu sebentar” ke Mey Lan. Yang dijawab Mey Lan dengan senyuman.
“Itu, tamu di depan, suka sekali dengan masakanmu, ia membayar banyak sekali, ketika diberi kembalian ia malah menolak.” kali ini si Kasir sendiri yang datang ke dapur.
“Lalu?” Tanya Cio San sambil tersenyum
“Ia meminta dikenalkan dengan yang memasak, makanya kau kupanggil. Segeralah kau menemuinya” kata si kasir.
“Baiklah”
Ketika Cio San memasuki ruang para tamu, ia sudah tahu siapa tamu itu. Suaranya, harum tubuhnya yang tercium. Kini begitu melihat orang itu, yakinlah dia dengan hasil tebakannya.
Orang itu tersenyum dan berkata,
“Selamat siang, nama saya Beng Liong, dari Bu Tong Pay”
Beng Liong |
0 Response to "Bab 16 Pertemuan Setelah Perpisahan"
Posting Komentar