Hampir tengah malam Lai lai baru tutup. Kwee Lai gembira sekali dengan pendapatan hari itu. Beng Liong sudah pergi, tentunya setelah menepati janjinya dengan membayari seluruh pesanan makanan yang ada dan kerugian yang dialami Kwee Lai. Entah berapa pemasukan semalam, Cio San tidak mau tahu. Yang penting ia bahagia karena telah bertemu Beng Liong lagi, suko (kakak seperguruan) nya yang dulu sangat baik kepadanya.
Tidak tahu Beng Liong kemana setelah bertarung tadi. Cio San menebak bahwa ia pasti pergi meneruskan urusannya. Sejauh yang Cio San dengar dari obrolan-obrolan tamu, Jiong Say Ong telah melakukan kejahatan. Ia dulu adalah seorang piawsu (pengantar/pengawal barang) yang lumayan ternama. Beberapa hari yang lalu, ia mendapat tugas mengawal sebuah keluarga yang akan pindah kota. Di tengah hutan, ia malah membunuh seluruh keluarga itu. Mungkin karena tertarik dengan harta kawalannya itu. Bahkan 2 orang anak gadis di keluarga itu pun ia perkosa dulu sebelum ia bunuh.
Urusan seperti ini walau bukan urusan yang terlalu menggemparkan bu lim (orang-orang yang berkecimpung di kang-ouw). Tapi tetap saja membuat orang-orang gemas. Kejahatan seperti apapun harus diberi keadilan, tidak perduli besar atau kecilnya. Para satria Butongpay yang memang terkenal karena kegagahannya tentu saja tidak bisa berpangku tangan melihat kejadian ini.
Untuk itulah memang Beng Liong datang ke kota Lau Ya. Dengan kepintaran dan pengetahuannya yang luas, ia menduga bahwa Jiong Say Ong berada di kota itu. Entah bagaimana ia bisa tahu kalau Jiong Say Ong akan mampir ke restoran Lai Lai. Itulah kenapa Beng Liong menunggu sekian lama di lantai atas Lai Lai. Mungkin selain pemandangannya yang indah, hampir seluruh isi kota Lau Ya bisa terlihat dari atap Lai lai yang tinggi. Memang lai Lai pun sendiri terletak di sebuah daerah yang cukup tinggi di bagian ujung pusat kota.
Dengan adanya kejadian pertarungan ini, Lai Lai justru semakin ramai. Orang kang ouw semakin banyak yang mampir, orang biasa pun banyak yang mampir. Selain makanan, dan pemandangan yang indah, siapa tahu ada “tontonan” dan “hiburan” gratis.
Ya memang ada beberapa pertarungan. Tapi kebanyakan pertarungan biasa antara orang bu lim kelas menengah ke bawah. Walaupun bukan pertarungan kelas tinggi, dengan jurus-jurus sakti, tak urung ya tetap ramai juga penontonnya.
Cio San memanfaatkan ini untuk mempelajari juus-jurus silat. Karena pertarungan ini memang bukan pertarungan dahsyat, justru semakin mudah bagi Cio San untuk mempelajari gerakan-gerakannya. Ia semakin menemukan banyak sekali kesamaan dalam dasar-dasar gerak dan berbagai macam aliran silat.
“Pada dasarnya ilmu silat hanyalah menyerang dan bertahan. Sehingga gerakan yang ada hanyalah kembangan dari kedua inti itu. Jika bisa mengenal gerakan inti dan gerakan kembangan, maka sebenarnya pada dasarnya seluruh ilmu silat itu sama”
Begitu pemahaman Cio San selama ia memperhatikan beberapa pertarungan yang terjadi di Lai Lai. Dari pemahaman ini semakin gampang ia menebak arah pertarungan silat. Jika ada dua orang bertempur, hanya dengan menggunakan daya pikirnya ia sudah tahu jurus-jurus apa yang akan dikeluarkan para petarungnya. Kapan memukul, kapan menendang, kapan menghindar, ke arah mana arah pukulan dan tendangan, semua bisa diduga Cio San dengan sekali melihat.
Ia sendiri heran betapa cepat ia paham akan ilmu silat ini. Betapa gampang ia mempelajarinya. Tapi Cio San segera sadar, bahwa ilmu-ilmu yang ia lihat itu hanyalah ilmu kelas rendahan yang ketinggalan beratus-ratus tingkat dengan ilmu-ilmu unggulan tokoh-tokoh nomer satu.
Namun Cio San sudah cukup senang. Baginya ilmu bisa datang dari mana saja. Baginya ini pelajaran yang bisa diambil hikmahnya. Keadaan Lai Lai yang sudah sangat maju dalam beberapa bulan saja, juga membuatnya senang.
Tidak ada yang tidak membuatnya senang di masa ini. Lai Lai makmur. Tubuhnya sehat. Sekarang ia sangat dekat dngan Kwee Mey Lan. Ah, mengingat Mey Lan membuat jantungnya berdebar. Cio San tetap tidak tahu mengapa.
Kata orang ini cinta. Cio San pun sering mendengarkan kata “cinta” dalam lagu-lagu yang dinyanyikan A Liang dan ayahnya dulu. Juga pernah baca puisi dan tulisan-tulisan kuno tentang cinta. Tapi baru kali ini Cio San merasakannya benar-benar dalam hati.
“Inikah 'cinta'? pantas setiap orang menyanyikannya, pantas setiap orang menulis syair tentangnya”
Cio San sendiri belum paham benar. Usianya baru beberapa belas tahun. Mencapai umur dua puluh mungkin masih 2-3 tahun lagi. Tapi getaran hatinya yang tidak ia mengerti membuat ia menyimpulkan sendiri apa “cinta” itu.
Di dunia ini, seberapa banyak orang yang paham cinta? Apakah umur menambah pemahamanmu tentang cinta? Tidak sama sekali. Tidak ada satu orang pun yang paham apa itu cinta. Tua dan muda sama-sama bingung tentang cinta.
Orang muda jatuh dan menangis karena cinta. Orang yang sudah tua pun tidak sedikit yang jatuh dan menangis karena cinta. Apakah dengan banyaknya luka membuat orang semakin paham dengan cinta? Tidak juga. Banyak pemuda pemudi yang terluka dan menderita, terlihat bangkit kembali untuk menemukan cinta lagi. Dan tidak sedikit mereka yang sudah tua pun jatuh bangun berkali-kali dalam meraihnya.
Umur tidak akan membuatmu paham akan cinta.
Pengalaman bercinta yang kesekian kali, juga tidak akan membuatmu paham akan cinta, Orang yang pernah terluka mungkin akan berkata, “Cukup!, tidak lagi kubiarkan diriku jatuh cinta”. Tapi apa yang terjadi? Tak lama kemudian mereka akan menemukan cinta yang baru. Lalu ketika mereka terluka lagi, mereka akan mengatakan hal yang sama, untuk kemudian melupakan kata-kata itu jika telah menemukan cinta yang baru lagi.
Pengalaman bercinta yang kesekian kali, juga tidak akan membuatmu paham akan cinta, Orang yang pernah terluka mungkin akan berkata, “Cukup!, tidak lagi kubiarkan diriku jatuh cinta”. Tapi apa yang terjadi? Tak lama kemudian mereka akan menemukan cinta yang baru. Lalu ketika mereka terluka lagi, mereka akan mengatakan hal yang sama, untuk kemudian melupakan kata-kata itu jika telah menemukan cinta yang baru lagi.
Tak ada orang yang mengerti cinta.
Ketika ia berjanji untuk setia selamanya kepada kekasihnya. Ketika ia berjanji untuk menemaninya sampai tua, dan menggenggam tangannya ketika mereka telah rapuh. Ketika ia berjanji untuk menemani kekasihnya sampai maut memisahkan. Betapa lucu janji itu teringat kembali, ketika ternyata ia menemukan orang yang lebih menarik hatinya.
Maka semua kata-kata terlupakan, dan janji terbatalkan.
Lalu ketika luka menganga bagi mereka yang ditinggalkan dan dikhianati, luka itu cepat sekali sembuhnya ketika ada cinta baru lagi yang datang.
Cio San menjadi saksi dari semua pemahaman yang tertulis ini. Dari pendengaran dan pandangannya yang tajam, ia menjadi saksi betapa cinta adalah sesuatu yang aneh. Banyak pasangan kekasih yang datang ke Lai Lai. Mengucapkan berjuta kata mesra, dan janji sehidup semati. Lalu beberapa hari kemudian, mereka datang dengan kekasih yang lain pula. Untuk mengucapkan janji dan kata-kata manis yang sama.
Yang terjadi tidak cuma satu atau dua orang di Lai Lai. Bahkan mungkin di kolong langit ini, begitulah yang terjadi kepada setiap orang. Kau berjanji pada kekasihmu, mengucapkan kata cinta yang indah dan manis. Lalu ketika kau menemukan kekasih yang baru, janji dan kata manis yang sama itulah yang kau ucapkan juga.
Maka di sinilah Cio San. Sedang menjadi saksi dari kejadian ini. Seorang gadis sedang berlutut menangis, di hadapan sepasang kekasih. Si gadis ini menangis bahwa ia sedang hamil. Mengandung benih hasil hubungannya dengan laki-laki di hadapannya. Si lelaki itu dengan santainya tetap menggandeng wanita lain di lengannya dan acuh tak acuh saja dengan tangisan si gadis di depannya.
Apakah hati kedua pasangan itu sudah mati? Mengapa tidak tersentuh sedikitpun. Mengapa si lelaki tidak perlu menjelaskan hal ini kepada kekasih yang digandengnya? Mengapa si wanita ini tidak bertanya tentang asal usul gadis yang berlutut mengiba-iba itu?
Mereka hanya terdiam sambil menikmati arak dan makanan. Sedangkan si gadis masih berlutut dan menangis, kini bahkan sudah bersujud membenturkan dahi ke lantai.
Cio San tak sabar melihat dan mendengar ini. Segera ia ke ruang sebelah ingin menghardik pasangan kekasih itu, tapi sebelum ia mengucapkan kata pertama, terdengar suara seorang wanita,
“Keparat cabul, jika kau tidak segera menghampiri gadis itu dan meminta maaf padanya, segera ku tebas lehermu”
Suara ini datang dari seorang wanita di lanta atas. Cio San menoleh ke atas. Tapi tidak terlihat siapa-siapa. Karena dari lantai bawah, hanya sebagian lantai atas yang kelihatan. Rupanya pemilik suara tadi sedang duduk di pojok ruangan, atau di teras lantai atas.
Dari suaranya Cio San tahu, pemiliknya adalah seseorang yang memiliki tenaga dalam tinggi. Getaran suara dari pemilik tenanga dalam tinggi atau rendah, dapat dibedakannya. Kini ia penasaran seperti apa pemilik suara itu.
Dari pendengarannya Cio San tahu bahwa si pemilik suara ini berdiri dari tempat duduknya. Dan sekali lompat, ia sudah sampai ke lantai bawah. Si pemilik suara ini adalah seorang gadis yang cantik. Rambutnya di kepang dua di belakang. Kepangan itu melewati kuping belakang, dan jatuh dengan anggun di kedua bahunya. Anggun sekali. Tapi pandangan matanya tajam. Ia memakai baju merah jambu. Ringkas dan sederhana, tapi membuatnya malah bertambah cantik. Di punggungnya terdapat buntelan. Munkin berisi baju-baju dan peralatan perempuan. Ia menjinjing sebuah pedang yang indah.
Cio San paham, pastilah ini gadis yang berkelana di dunia kang-ouw.
“Cici (kakak perempuan) berdirilah dan jangan menyakiti dirimu sendiri” si gadis merah jambu berkata sambil memeluk gadis yang tadi menangis mengiba-iba itu. Si gadis masih menangis, namun tidak lagi membenturkan dahi di lantai.
“Mengapa kau diam saja, kura-kura?” Tanya si merah jambu kepada lelaki itu.
Ternyata yang menjawab adalah pasangan wanitanya,
“Siapa kau? Apa urusanmu dengan hubungan suamiku? Ini urusan dia, kau tidak perlu ikut campur”
Si gadis merah jambu sedikit terhenyak,
“Apakah kau sama sekali tidak cemburu, suamimu menghamili gadis lain?” Tanya dia
“Dia menghamili gadis lain, itu urusannya dengan gadis itu” si wanita malah menjawab sambil minum arak.
Dari seluruh permasalahan cinta antara kekasih yang pernah mampir di Lai Lai, baru kali ini Cio San menemukan urusan seperti beginian.
Dan nampaknya si merah jambu juga baru bertemu urusan beginian.
“Ini memang bukan urusanku, tapi sebagai orang yang punya hati, setidaknya kalian bisa menunjukkan belas kasihan. Dan kau kura-kura, seharusnya bertanggung jawab” hardik si merah jambu
Si laki-laki nampaknya risih juga dipanggil kura-kura,
“Aku dan A Yong melakukannya atas dasar suka sama suka. Kalaupun dia hamil, belum tentu aku pelakunya. Dia sudah bukan gadis ketika tidur dengan aku”
Di jaman ini, kata-kata yang keras dan membuka aib seperti ini hampir tidak mungkin diucapkan orang di muka umum. Jika sampai si kura-kura berani bicara seperti ini, berarti dia terlalu banyak minum arak. Atau bapaknya adalah seekor singa.
Maka bisa dibayangkan bagaimana perasaan si gadis itu ketika mendengar ucapan demikian, tangisannya tambah hebat, ia meraung-raung di lantai. Ucapannya yang keluar dari mulutunya sudah tidak jelas lagi, karena bercampur teriakan, tangisan, dan makian.
Ia malah bergerak menyerang sepasang kekasih itu.
Si merah jambu juga tidak merintanginya. Nampaknya memang setuju dengan tindakan si gadis. Tapi begitu si gadis menghampiri si kura-kura untuk menamparnya, justru tubuhnya sendiri yang terlempar kena tendang wanita pasangan si kura-kura.
Tak sedikitpun Cio San, si merah jambu dan orang-orang disitu yang menyangka bahwa wanitanya kura-kura itu bisa ilmu silat. Ia terlihat lemah gemulai dan sedikit mabuk. Tidak ada yang menyangka bahwa ilmunya tinggi juga.
Untunglah si merah jambu sempat menangkap si gadis agar tidak terhempas lebih jauh.
Dengan marah kini si merah jambu menyerang si wanita.
Serangannya dahsyat namun tertata rapih. Gerakannya indah bagaikan burung merak. Cio San hafal sekali ilmu itu. Itu jurus “Menari di bawah Rembulan”. Ibunya dulu sering berlatih jurus itu.
“Kau anak murid Go Bi pay? Hmmm, boleh juga” si wanita kini sudah bangkit dari duduknya dan menghindari serangan-serangan itu.
Cio San bisa melihat bahwa serangan si merah jambu sungguh dahsyat, tapi si wanita itu malah menerimanya dengan santai dan tersenyum.
Mereka bersilat dengan indah. Masih menggunakan jurus tangan kosong. Serangan itu sungguh dahsyat. Angin pukulan meraka terasa sampai ke “penonton”. Suara ketika tangan mereka beradu pun terdengar sangat keras.
Ini bukan pertarungan dua perempuan cerewet. Ini pertempuran pendekar kelas atas.
Jurus-jurus silat si merah jambu tidak cuma dari Go Bi Pay, tapi dari berbagai macam aliran. Cio San melihat gerakan Bu Tong Pay, jurus-jurus Kay Pang, bahkan beberapa jurus aneh yang tidak dikenalnya. Si merah jambu ini jelas bukan murid Go Bi Pay.
Si wanita itu juga serangannya tidak kalah dahsyat. Dari pola gerakan dan sasaran serangan yang dituju, jelas sekali kalo ini ilmu silat golongan hitam, alias golongan Liok Lim.
“ini bukan ilmu silat kacangan, ini serangan-serangan dahsyat” batin Cio San.
Hatinya malah gembira melihat pertarungan ini. Jika diibaratkan orang yang suka mancing, begitu melihat sungai yang isinya ikan-ikan besar, pasti jiwanya akan ‘gila’. Begitulah juga Cio San, ia yang dulu tidak bisa silat dan bahkan membenci ilmu silat, sekarang malah jadi penggemar nomer satu.
Ia mendalami dan mempelajari setiap gerakan yang ada. Setiap serangan, setiap tangkisan, setiap hindaran. Kembangan pola serang kedua orang ini sungguh bermacam-macam. Pukulan tipuan juga cerdik sekali. Tapi bicara tentang serangan tipuan, memang masih lebih dahsyat punya si wanita.
Lima belas jurus berlalu, dan tidak kelihatan siapa yang menang dan kalah. Memang sudah lima belas jurus, namun waktu yang berlalu mungkin cuma baru beberapa ratus detik. Kecapatan serangan mereka mungkin cuma Cio San yang bisa melihat. Orang selain dia cuma bisa melihat bayangan merah jambu dan hijau muda, warna pakaian si wanita.
Cio San baru teringat si gadis yang ditendang tadi. Sejak tadi perhatiannya tertuju pada pertarungan dahsyat ini, ia lupa terhadap nasib si gadis. Secepatnya ia menuju ke arah gadis itu, yang sekarang sedang tertelungkup di lantai menahan perih. Cio San memegangnya dan mengangkatnya, tubuhnya panas sekali, dan wajahnya pucat. Darah mengalir dari bibirnya. Yang lebih mengagetkan lagi, darah juga mengalir lewat pahanya.
“Ya Tuhan, bukankah dia hamil? Jangan…jangan..” Cio San kaget dan menyesal sekali, mengapa ia baru teringat nasib gadis ini.
Segera ia membawa gadis ini ke ruang belakang, langsung masuk ke kamarnya. Cio San sudah tidak perduli aturan kesopanan lagi. Nyawa seseorang dalam bahaya. Aturan bisa dikesampingkan. Seluruh mata sedang tertuju ke pertempuran. Hanya Mey Lan saja yang menemani cio San masuk ke dalam kamar.
“Meymey, tolong kau siapkan beberapa bahan untuk mengobati nona ini” dengan sigap meymey segera ke dapur. Cio San meneriakkan bahan-bahan apa saja yang harus disiapkan Mey Lan. Dan berhubung Mey Lan tidak melihatnya, kesempatan itu dipakainya untuk menyalurkan tenaga dalam kepada si gadis.
“Selamatkan bayiku..selamatkan bayiku….” Begitu rintih si gadis
Cio San tidak berkata apa-apa karena ia tahu si “calon” bayi tidak mungkjin tertolong lagi. Ia hanya berkata,
“Bertahanlah cici, kami akan berusaha sekuat mungkin, bertahanlah…bertahanlah….”
Si cici itu tersenyum, airmatanya masih mengalir. Darahnya juga terus mengalir. Lalu ia terdiam. Nafasnya berhenti.
Cio San tahu ia tidak bisa apa-apa lagi. Beberapa organ dalam si gadis sudah terluka. Bahkan mungkin sudah hancur.
Ia berkali-kali melihat kematian. Tapi itu tidak mampu mengeraskan hatinya. Ia tetap menangis.
Mey Lan datang dengan membawa bahan-bahan yang sudah disiapkannya. Ia segera tahu apa yang sudah terjadi. Ia hanya bisa menyentuh pundak Cio San, “Sabarlah koko,,,sabarlah…”
Di saat seperti ini, memang tiada kata lain yang paling pas selain kata “sabar”. Semua orang tahu itu. Tapi jika mengalami sendiri, tak urung justru kata “sabar” yang paling terlupa.
Untungya Cio Sa memang bisa bersabar. Ia memang terlatih menahan diri dan perasaan.
Sebuah pelajaran baru baginya:
Jika dua orang perempuan berkelahi, secepatnya kau pisahkan.
Perempuan yang lemah lembut, justru kadang lebih ganas dari lelaki jika sedang marah atau mengamuk. Laki-laki yang terlihat ganas, justru mungkin akan jadi lemah lembut jika melihat perempuan yang lemah lembut mengamuk.
Kenyataan ini sedikit banyak tidak bisa kau pungkiri.
“Meymey, lekas kau cari tahu siapa keluarga perempuan ini, lewat pintu belakang saja. Biar aku yang mengurus keramaian di depan”
Kwee Mey Lan mengangguk dan bergegas ke luar.
Cio San memandang wajah gadis yang baru saja meninggal itu. Entah kenapa malah terlihat seperti tersenyum. Mungkin dia sedang bertemu bayinya disana. Cio San malah tersenyum juga,
“semoga engkau damai di sana, cici” katanya dalam hati.
Ia lalu bergegas ke ruang depan lagi. Kini pertempuran sudah semakin dahsyat. Meja kursi sudah berjumpalitan. Ruang itu sudah bukan seperti ruang makan restoran, karena lebih mirip kapal karam.
Kwee Lay hanya geleng-geleng kepala. Pelayan yang lain tidak bisa berbuat apa-apa. Pengunjung yang tidak bisa silat berlarian ke luar, dan hanya berani menonton dari luar. Pengunjung yang bisa silat malah bertepuk tangan dan memuji-muji tontonan seru ini.
Pertarungan ini sudah bukan perkelahaian dua orang perempuan. Ini sudah menjadi pertempuran hidup dan mati dua ahli silat. Si merah jambu telah menggunakan pedangnya. Si wanita sudah menggunakan sebuah cambuk berwarna emas
Sinar perak yang ditimbulkan pedang, dan sinar emas yang ditimbulkan cambuk membentuk cahaya-cahaya yang indah sekali. Seperti lukisan lukisan pepohonan yang daunnya berguguran di musim gugur. Sinar pedang bagai hujan menghujam dari segala arah. Sinar cambuk meliuk-liuk bagai angin puting beliung.
Cio San baru sekali ini menyaksikan pertarungan sedahsayat itu. Walaupun matanya bisa melihat segala gerakan yang ada, tak urung ia kagum juga. “Betapa dalam ilmu silat, betapa indah karya yang menciptakannya” Ia hanya bisa berucap itu dalam hati. Masih belum tahu apa yang harus dilakukannya.
Tiba-tiba sebuah pikiran timbul di hatinya.
Segera dengan sangat cepat ia berlari ke kamarnya. Ia bergerak sangat cepat masuk kembali ke kamarnya. Ia mencopot topengnya, dalam mengganti bajunya. Beberapa saat yang lalu ia memang membeli beberapa baju yang baik. Ia memilih sebuah baju yang polos dan warna yang tidak mencolok.
Semua di lakukannya dalam waktu beberapa detik saja.
Kini Cio San berganti rupa menjadi seorang pemuda tampan, dengan baju putih polos yang ringkas, serta rambut menjuntai tidak di ikat. Gagah sekali.
Cio San |
Secepatnya ia terbang keluar dari kamarnya
Menuju pertarungan hidup mati dua orang wanita sakti.
Dalam sekejap mata, Cio San telah berada di tengah pusaran pedang dan cambuk. Tidak ada seorang ahli silat pun yang berani melakukan hal gila semacam itu. Tapi Cio San melakukannya. Dengan menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari gerakan ular sakti di dalam goa, tubuh Cio San kini meliuk dengan indah. Bayangan pedang seperti ada ratusan. Bayangan cambuk seperti ombak yang menghempas. Tapi tidak ada satu pun yang mampu menyentuh tubuhnya.
Dengan tangan kiri yang bergetar hebat mengikuti derik ekor ular, Cio San menghantam pedang. Dengan kelincahan dan ketepatan matanya, ia bisa memukul badan pedang yang perak berkilau, tanpa terpotong mata pedangnya.
Dengan tangan kiri yang meniru moncong ular, ia berhasil menangkap ujung cambuk.
Gerakan ketiga orang yang bagai badai berputar0-putar menghancurkan apa saja itu, terhenti dalam sekejap. Tangan dan cambuk telah berada dalam genggaman kedua tangan Cio San.
Semua ini ditulis dengan memerlukan waktu beberapa saat, tapi kejadian aslinya berlangsung hanya sekejap mata.
Kedua wanita yang bertarung itu membelalakkan mata. Tidak menyangka di muka bumi ini ada orang yang mampu menangkap senjata mereka dengan tangan kosong dalam sekali gerakan.
Memang pada hakekatnya di kolong langit ini cuma Cio San yang bisa!
Semua mata terpana pada lelaki tampan yang berdiri gagah memegang ujung pedang dan cambuk. Rambutnya terurai tidak di ikat. Padangan matanya tajam namun hangat. Mulutnya mengulum senyum. Dadanya tegap. Tubuhnya tinggi.
Saking kagetnya tidak ada orang mengeluarkan suara apapun. Bahkan kedua wanita yang bertarung seperti hampir lupa bahwa beberapa detik yang lalu mereka sedang mengadu nyawa.
Pikiran semua orang yang ada disitu hanya satu,
“Apakah orang ini malaikat?’
“Sudahlah ji-wi siocia (kedua nona) nona jangan berkelahi lagi. Kasihan pemilik restoran seluruh isinya hancur porak poranda”
Suaranya dalam.
Semua orang tahu lelaki di depan ini masih muda belia. Tapi entah kenapa wibawanya justru seperti pendekar unggulan yang banyak memakan asam garam kehidupan.
Si wanita cambuk emas yang pertama kali mengeluarkan suara,
“Siapa kau?”
“Cayhe bukan siapa-siapa. Hanya pengunjung yang sekedar lewat. Mohon ji-wi siocia (kedua nona) berhenti bertarung. Kasihan para pengunjung yang lain”
Kedua wanita yang bertarung ini jelas mengerti kalau ilmu mereka masih dibawah pria tampan yang aneh dihadapan mereka ini.
“Baiklah” herannya mereka menjawab bersamaan.
“Jika ada permasalahan harap diselesaikan di luar. Jangan mengacau di tempat usaha orang”
Maka Cio San kini terbang ke luar. Tangannya masih menggenggam cambuk dan pedang. Tentu saja kedua wanita itu juga menggenggam senjatanya masing-masing. Herannya mereka mau saja di tarik Cio San.
Memang ada sebagian perempuan, jika kau meminta baik-baik, mereka malah tidak mau mendengar. Tapi jika kau paksa, mereka malah menurut dengan aleman.
Perempuan mana saja kalau ditarik tangannya oleh Cio San, mungkin yang menolak bisa dihitung dengan jari.
Kini mereka bertiga telah berada di luar Lai Lai.
Cio San telah melepas pegangannya.
Lalu berkata kepada wanita cambuk emas,
“Tendanganmu telah membunuh seorang gadis. Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu” kata Cio San dengan tajam.
“Aku memang selalu bertanggung jawab atas perbuatanku. Lalu kau mau apa? Urusan bunuh membunuh bukan hal yang terlalu luar biasa dalam kang ouw” si wanita menjawab tidak kalah tajamnya.
“Tapi yang kau bunuh adalah wanita biasa bukan golongan kang ouw” Cio San marah sekali. Matanya malah berkaca-kaca.
Biasanya orang kang ouw bisa menyimpan perasaan. Tapi Cio San tidak, Belum. Ia belum pernah terlibat langsung dalam kang ouw.
“Siapa suruh dia menyerang suamiku. Aku kan hanya membela diri dan kehormatan suamiku” sambil berkata begitu si wanita mengerling kepada suaminya yang berada di dalam. Herannya si suami masih tetap duduk sambil minum arak, masih di tempat yang sama.
“Kau…kau…tidak cemburu suamimu main gila dengan wanita lain?” Tanya si merah jambu.
“Oh tentu tidak. Semakin dia main gila, aku semakin suka”
Gemparlah semua “penonton” yang ada di sana. Mereka tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti ini.
Kali ini Cio San bertanya,
“Kau senang di main gila, karena dengan demikian kau pun bisa main gila juga, bukan?”
“Tidak ada yang lebih menyenangkan bertemu dengan laki-laki muda yang tampan, dan cemerlang otaknya” sambil bicara itu si wanita cambuk emas matanya menjadi sayu, pipinya memerah, dan ia menjilati bibirnya.
Cio San bergidik. Di dunia ini, ada juga pasangan kekasih seperti ini?
“Ah aku tau, siapa kau, sejak tadi aku sudah curiga!” tiba-tiba si merah jambu berkata
“Kau dan suamimu, bukankah Sepasang Iblis Pemabuk Cinta?”
Mendengar nama itu disebut, si wanita itu tersenyum. Dagunya terangkat, dadanya membusung.
“Nama itu selalu menggelitikku kalau diucapkan orang” katanya.
Cio San belum pernah dengar nama ini. Tapi dari namanya saja, ia tahu kedua pasangan suami istri ini pasti bukan orang baik-baik.
“Kau tidak takut, tampan?” Tanya si wanita cambuk emas kepada Cio San.
“Takut? Tidak. Aku malah tertarik sekali. Sangat tertarik” ia menjawab sambil tersenyum. Ia sudah mampu mengusai perasaannya. Kini ia malah terlihat tenang.
Kenapa Cio San menjawab seperti ini tidaklah mengherankan. Ayahnya, adalah seorang lelaki yang tampan sekali. Dan juga seorang yang romantis. Sang ayah suka membuatkan syair cinta dan lagu-lagu cinta kepada ibunya. Cara bersikap ayahnya yang mesra, dan suka merayu ibunya itu sangat membekas dalam diri Cio San. Walaupun kadang-kadang ibunya suka mendidiknya dengan sangat keras dalam hal adat istiadat dan kesopanan, tak urung sikap ayahnya yang romantis ini juga menurun kepadanya.
Maka Cio San menirunya. Mencoba bersikap tenang. Setenang ayahnya dalam menghadapi ibunya yang marah-marah atau merajuk.
Maka Cio San menirunya. Mencoba bersikap tenang. Setenang ayahnya dalam menghadapi ibunya yang marah-marah atau merajuk.
Maka kalimat-kalimat ayahnya yang menggoda ibunya, yang merayu, yang menenangkan hati, pasti membengkas dalam diri Cio San. Mengalir dengan alami dan tidak dibuat-buat.
Cio San tidak tahu, bahwa semakin lelaki bisa membuat seorang wanita penasaran, maka semakin menariklah lelaki itu di mata perempuan. Semakin misterius seorang lelaki, maka daya tariknya pun semakin meningkat.
Maka bisa dibayangkan betapa daya tarik Cio San yang tampan dan misterius ini membuat perempuan cabul semacam wanita cambuk emas tergoda hatinya.
“Jika kau menemaniku berduaan saja selama satu malam saja, aku akan memberikan apa yang kau mau” goda si wanita cambuk emas.
“Benarkah?”
“Kau ini…..” si wanita cambuk emas tambah bernafsu
“Kalau aku menemanimu semalaman, kira-kira apa yang akan kita lakukan?” Tanya Cio San. Pertanyaan ini jika diucapkan orang lain akan terdengar mesum. Tapi mungkin karena keluguan dan kepolosan Cio San, ucapan ini terdengar hangat dan menggoda sekali.
Si wanita tidak menjawab, hanya matanya yang membesar, dan ia menggigit bibirnya. Kemudian berkata,
“Apa yang kau minta semalaman itu, pasti ku beri semua. Kau minta diriku, kau minta jiwaku, semuanya kuberi”
Cio San tidak menjawab, hanya tersenyum. Di mata orang, pastilah dia pemuda yang sangat berpengalaman dalam wanita. Tapi sesungguhnya dia hanya meniru tingkah pola ayahnya saja dalam menggoda ibunya.
Senyum ini, adalah senyuman seorang lelaki matang, yang paham seluk beluk perempuan. Yang tahu cara tarik ulur dengan perempuan. Karena perempuan, semakin gampang kau beri hatimu, semakin cepat juga ia merasa kau membosankan.
Tapi semakin susah kau dikuasainya, semakin menarik juga kau bagi hatinya.
Cio San sebenarnya belum paham hal ini semua. Dengan tidak sengaja, ia telah membuat wanita-wanita terpesona. Karena wanita yang menonton kejadian ini bukan cuma si wanita cambuk emas. Masih banyak wanita yang menonton, termasuk si merah jambu.
“Sudah jangan berlama-lama lagi, peluk dia erat-erat, cari kamar, dan telan ia bulat-bulat” teriakan itu terdengar dari dalam. Sudah pasti itu suara suami si wanita cambuk emas.
Orang-orang yang mendengar banyak yang jengah dan malu. Tapi banyak juga yang tertawa-tawa. Ucapan seperti itu memang tidak pantas di muka umum. Lebih tidak pantas lagi jika itu ucapan suami kepada istrinya.
“Jika kau dapat mengalahkan aku dalam 10 jurus, sudah pasti aku ikut padamu” kata Cio San.
“Kalian lelaki maunya curang saja. Sudah jelas ilmu silatku kalah jauh denganmu. Masih kau tantang silat juga. Bertempur silat aku pasti kalah, tapi kalau bertempur lain, belum tentu” si wanita tersenyum genit.
Si merah jambu tidak tahu lagi harus berkata dan bersikap apa. Ucapan mesum seperti ini jelas membuatnya mati sikap. Dengan malu dan wajah bersemu merah, dia beranjak dari situ, “Kita selesaikan urusan kita lain kali, wanita iblis. Kau silahkan berursan dengan kekasih barumu”
Ia lalu menyarungkan pedang, dan masuk ke dalam untuk mengambil buntelan tasnya yang tadi ia letakkan saat akan bertempur.
Cio San, tidak tahu harus berkata apa hanya tersenyum saja. Memang ayahnya jika menghadapi ibunya yang sedang merajuk, pasti hanya tersenyum saja. Di dunia ini memang hal terbaik yang bisa dilakukan laki-laki terhadap perempuan yang merajuk, hanyalah tersenyum. Jika kau buka mulut maka semua urusan jadi lebih berbahaya.
Lalu Cio san berkata kepada si wanita cambuk emas,
“Begini saja, bagaimana jika kau dan suamimu bergabung bersama menempur aku. Jika aku kalah, aku turut apa kalian. Jika kalian kalah, ku serahkan kalian kepada petugas kota untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kalian”
Seumur hidup pasangan iblis ini merajalela, baru kali ini mereka mendengar ada ucapan seberani ini. Semua orang di dunia kangouw tahu, jika ilmu “Pengantin Neraka” mereka mainkan, maka lawan yang mampu menghadapi mereka ini dunia ini bisa dihitung dengan jari. Memang jika mereka bertarung sendirian, ilmu mereka cukup tinggi. Malah masuk dalam 50 besar tokoh Liok Lim (dunia hitam) terhebat. Tapi jika mereka bertarung bersama memainkan ilmu “Pengantin Neraka”, maka nama mereka langsung masuk jajaran 20 besar tokoh sesat terhebat.
Karena itulah mereka tertawa mendengar tantangan Cio San.
Karena itu jugalah si merah jambu tidak jadi pergi. Ia kagum sekali mendengar keberanian Cio San. Ia lalu berkata,
“Kau ini sangat hebat atau sangat bodoh?”
Cio San tersenyum lagi. Sambil memegang rambut yang terurai melewati belakang telinganya. Kebiasaan ayahnya yang kini secara tidak sengaja menurun juga kepadanya. Ini pertama kali ia mengelus elus rambutnya terurai itu. Cio San sadar itu. Tapi rasanya menyenangkan!. Pantas ayahnya sering melakukannya.
Si suami lalu terbang keluar. Setelah di lihat lebih dekat, memang ia sebenarnya sudah cukup umur. Tapi dandanannya serta gerak geriknya seperti seorang pemuda bau kencur.
Si suami ini juga penasaran dengan ilmu silat Cio San. Apa yang terjadi semua disaksikannya. Kehebatan Cio San yang mampu menangkap senjata tadi bukan kepandaian sembarangan. Maka itu dia bertanya,
“Apakah anda Butong-enghiong (satria Bu Tong) Beng Liong?”
“Bukan, punya bapak seorang naga pun, cayhe tidak berani mengaku sebagai Butong-enghiong (satria Butong) Beng Liong”
Liong memang artinya naga.
“Di dunia persilatan ini, orang muda gagah setampan engkau hanya Beng Liong dan Kay Pang-Pangcu (ketua perkempulan pengemis) Ji Hau Leng. Kau sudah jelas bukan Ji Hau Leng.” sahut si suami.
“Cayhe tidak seberuntung itu punya nama besar dan kehebatan seperti mereka” jawab Cio San.
“Lalu boleh ku tahu nama enghiong yang terhormat?” Tanya si suami lagi.
“Nama siauw ceng (panggilan untuk merendahkan diri) tidak penting”
“Hmmmm,,seorang satria yang menyembunyikan nama. Jangan salahkan aku jika nanti kamu mati tidak ada orang yang menguburkanmu, karena tidak ada yang tau asal-usulmu”
Sambil berkata begitu ia langsung menyerang. Ia telah melolos sebuah pedang lemas dari pinggangnya.
Begitu cepat begitu lihay. Si istri pun ikut menyerang. Mereka ini golongan hitam yang tidak suka tata aturan bertarung. Tentu saja mencari jalan agar cepat menang dan cepat selesai.
Menghadapi ini Cio San sudah gentar. Ia sudah faham gerakan silat si istri, alias wanita cambuk emas. Namun saat keduanya menyerang bersama-sama, baru terasa benar dahsyatnya ilmu mereka.
Tubuh Cio San bergerak sangat lincah. Tubuhnya meliuk-liuk. Ilmu gabungan antara gerak langkah sakti Bu Tong pay, digabung dengan kelincahan tubuh ular sakti. Menjadi sebuh ilmu baru yang licin, gesit, namun lembut dan bertenaga.
Semua penonton yang paham ilmu silat matanya melongo melihat gerakan Cio San. Belum pernah dari mereka ada yang melihat atau mendengar tentang ilmu ini. Cio San bergerak dengan bebas dan lincah mengikuti aliran serangan cambuk emas dan sebuah pedang lemas milik si suami,
Gerakan serang Pangenatin Neraka ini sangat genas. Keduanya bergerak saling mengisi, saling menutupi kekurangan. Yang satu menyerang, yang satu menjaga. Yang satu menendang yang satu menangkis.
Pada awalnya Cio San kelimpungan juga. Tapi ia segera paham.
Teringat dia dengan latihannya di dalam goa, Saat air banjir dengan menyerangnya bertubi-tubi. Seperti inilah pola serangan ilmu Pengantin Neraka. Mengalir dan saling mengisi tempat kosong. Pedang dan cambuk bergantian menyambar. Cio San seperti dikelilingi banjir bandang!
Tapi tidak percuma ia latihan di dalam goa. Semua di hadapinya dengan gerakan berputar seperti gasing yang amat cepat. Ia tidak mungkin menangkap cambuk dan pedang saat seperti pertama kali tadi memisahkan si merah jambu dan wanita cambuk emas.
Karena saat bertarung tadi, serangan mereka tujukan kepada lawan. Dan mereka tidak menyangka ada orang lain yang kana masuk memotong gerakan mereka. Oleh karena itulah Cio San bisa mengambil posisi dan sudut yang pas untuk menangkap senjata.
Sekarang Cio San lah yang berada di posisi bertarung. Sehingga inti gerakan serangan ditujukan kepadanya. Dia tidak punya posisi yang pas untuk menangkap senjata. Karena setiap posisi kosong, pasti sudah berisi serangan juga. Tidak ada lagi posisi kosong yang bisa dipakai untuk menyerang!
Semua posisi sudah terisi pedang dan cambuk!
Puluhan jurus telah lewat.
Cio San betarung dengan ringan dan santai. Tenaganya penuh. Walaupun ia terdesak dengan serangan-serangan hebat, tak sedikit pun ia panik. Ia bergerak sekenanya. Mengikuti aliran serangan lawan. Ia membiarkan tubuhnya dibawa ‘ombak’ serangan ini. Karena semua serangan akan didahului oleh ‘angin’, maka Cio San tahu kemana dan dari mana saja arah serangan.
Ia kini sudah bisa membaca serangan lawan. Tak terasa ia kini bersilat sambil menutup mata. Dengan menutup mata “pandangan’ nya jauh lebih terang. Karena sekarang yang melihat adalah mata batin.
Begitu Cio San paham arah serangan dan jurus-jurusnya, maka seketika itu juga ia paham cara memecahkannya.
Pedang lemas sedang mengarah lurus menusuk kerongkongannya. Ujung cambuk sedang meliuk menuju pinggangnya. Cio San melompat dan menekuk tubunya ke belakang.
Kau ingat bagaimana gerakan mencium lutut? Cio San melakukan yang sebaliknya!
Tubuhnya bagai terlipat menekuk ke belakang!
Pedang lewat diatas wajahnya yang menegadah. Cambuk lewat dibawah kakinya yang membujur lurus belakang. Bersamaan dengan itu kedua tangannya menotok tubuh kedua orang lawannya. Titik dimana jika ditotok, membuat orang yang ditotok tak mampu bergerak sama sekali.
Dan pertempuran pun selesai.
Beruntunglah mereka yang hadir di situ.
Bagi hadirin yang mampu menyaksikannya, pertempuran seperti ini tak akan dilupakan seumur hidup.
Bagi hadirin yang tidak mampu menyaksikannya, pertempuran ini juga tidak akan terlupakan seumur hidup. Karena baru kali ini mereka percaya ada manusia-manusia yang bisa berubah menjadi bayangan.
“Siocia (nona), ku serahkan mereka kepadamu. Serahkan saja kepada petugas kota. Atau siapa saja yang kau anggap pantas” kata Cio San kepada si merah jambu, ia melanjutkan lagi.
“Nama cayhe (saya) adalah Cio San. Boleh cayhe tahu nama siocia yang terhormat?” tanyanya sambil tersenyum dan membentuk salam hormat di depan dada
“Eh..aku she (marga) Khu, namaku Ling Ling”
Mata Cio San berbinar, ia teringat obrolan di warung kecil saat ia pertama kali tiba di kota itu.
“Sampai berjumpa lagi nona Khu Ling Ling”
Kata-katanya baru terdengar seluruhnya, orangnya sudah tidak ada.
Di sepanjang hayatnya, pemuda yang bergerak secepat itu belum pernah ditemuinya. Khu Ling Ling hanya termenung. Ia seperti pernah mengingat nama itu.
Khu Ling Ling |
0 Response to "Bab 18 Nama Yang tidak Asing"
Posting Komentar