Bab 17 Beng Liong dari Butongpay



“Nama saya A San” Cio San menjawab dengan terbungkuk-bungkuk dan menghaturkan hormat seperti layaknya yang dilakukan Beng Liong tadi. Suaranya pun dibuat sedikit meninggi. Cio San belum mau menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya.

“Masakan anda enak sekali tuan, bahkan masakan dan arak yang anda sajikan kepada saya tadi, adalah dua hal kesukaan saya” ujar Beng Liong sambil tersenyum. Senyum yang sangat menawan. Laki-laki saja akan terkesima melihat senyuman seperti itu, apalagi perempuan?

“Ah, Beng-Enghiong (ksatria Beng) terlalu memuji. Masakan ini memang salah satu masakan andalan kami. Jika Beng-Enghiong menyukainya, justru kami lah yang merasa sangat tersanjung” kata Cio San, masih dengan gaya membungkuk-bungkuk, dan suara yang ia rubah sedikit.

Beng Liong tersenyum dan terkesima juga melihat tutur kata koki yang sopan ini,

“Bahasa anda seperti orang-orang kang-ouw (dunia persilatan)” kata Beng Liong

“Sudah tak terhitung berapa banyak orang kang-ouw yang mampir makan disana, enghiong. Sedikit banyak pun Siauw Jin (orang kecil, ucapan untuk menyebut rendah diri sendiri) banyak belajar tata bahasa mereka”  ujar Cio San

“Wah jangan terlalu sungkan, dan terlalu menurut aturan. Dan jangan panggil saya Enghiong (ksatria), saya hanya murid bawahan Bu Tong Pay. Kebetulan turun gunung karena mencari pengalaman. Marilah temani syaa minum arak” kata Beng Liong dengan ramah, sambil menarik lengan Cio San untuk duduk semeja dengan dirinya.

“Tidak berani….tidak berani enghiong” Cio San menolak sambil terbungkuk-bungkuk

“Ah jangan terlalu sungkan, mari..mari San-ko (kakak San). Malah saya yang merasa terhormat bisa makan dan minum dengan koki yang hebat. Ketahuilah, saya memang suka sekali makan. Jika bisa sedikit belajar dan bertanya tentang makanan kepada koki hebat, saya akan sangat gembira sekali” Beng Liong ramah sekali meminta.

Siapa yang mampu menolak senyuman dan keramahan seperti itu? Biasanya kau akan merasa tidak nyaman jika ada orang terlalu ramah kepadamu. Tetapi keramahan Beng Liong ini berbeda. Keramahan dan senyuman itu sepertinya memang benar-benar lahir dari hatinya. Siapapun yang melihat dan merasakan justru akan ‘terbeli’ hatinya oleh keramahan seperti itu.

Cio San memang sangat paham ‘kelebihan’ Beng Liong ini. Sejak dari dulu, Beng Liong memang pribadi yang hangat, dan tulus. Kata-katanya bisa membuat orang sangat tersanjung, tanpa terkesan menjilat dan bermuka dua.

Dan akhirnya, mereka berdua duduk bersama. Cio San menemaninya minum arak. Beng Liong bercerita dan juga bertanya banyak hal. Tapi senyuman menawannya tidak pernah luntur. Lama sekali mereka mengobrol tentang banyak hal. Bagaikan kawan lama yang sudah lama tidak bertemu. Memang, sebenarnya mereka berdua adalah kawan lama yang sudah lama tidak bertemu.

“Yah begitulah, San-ko (kakak San). Hidup di dunia kang ouw memang menyulitkan. Seandainya boleh memilih, saya sendiri mungkin akan memilih menjadi SiuCay (sastrawan atau pelajar) saja. Mengikuti ujian di ibukota, dan bekerja saja melayani Istana dan rakyat. San-ko sendiri, apa memang suka masak dan bercita-cita jadi koki? Atau ada keinginan lain?” kata Beng Liong

“Wah, keluarga saya memang sejak dulu tukang masak. Saya dari kecil belajar masak, dan keluarga kami memiliki restoran kecil-kecilan sejak jaman dulu. Berhubung saya anak bungsu, dan kakak sulung saya yang mewarisi restoran kecil itu, saya memilih berkelana saja. Rencananya mau buka restoran kecil juga. Apa daya, dalam perjalanan modal malah habis, akhirnya malah bekerja di sini. Untung lah Kwee-Loya (tuan Kwee) mau menerima”

Cio San sendiri baru sadar betapa pintarnya ia berbohong. Sebuah kebiasaan yang harus ia lakukan selama beberapa bulan ini.

“Seharusnya kau ke ibukota dan melamar jadi tukang masak istana, San-ko. Menurutku makananmu enak sekali. Eh, boleh ku tahu apa nama restoran keluargamu? Siapa tahu aku bisa mampir kesana kapan-kapan. Di kota mana?” Tanya Beng Liong

“Untuk itu, aku tidak dapat memberitahukan kepada anda, Beng-enghiong” jawab A San sambil tersenyum.

“Eh? Kenapa bisa begitu?” Beng Liong nampak tertarik, senyumnya tidak hilang

“Kalau aku memberitahukan, nanti enghiong tidak akan mampir kesini lagi, hahahahaha” tawa A San

“Aha,,,persaingan usaha dagang rupanya? Hahahaha Baiklah aku mengerti. Tapi untuk itu, San-ko harus dihukum 3 cawan arak” tawa Beng Liong sambil menuangkan arak ke cawan A San.

“Kenapa siauw jin (sebutan untuk merendahkan diri) harus dihukum?” Tanya A San sambil tersenyum pula

“Engkau sudah bermain rahasia kepadaku, San-ko. Padahal sejak mengobrol tadi, aku tidak pernah bermain rahasia”

“Wah baik lah, demi nama baik dan keuntungan restoran lai-lai, mabuk juga tidak jadi soal”.

Mereka berdua pun minum arak sampai beberapa guci. Hampir 2 jam lamanya mereka mengobrol. A San pun sudah kelihatan mabuk. Akhirnya karena melihat restoran sudah mulai ramai lagi, ASan terpaksa harus meminta diri.

“Maafkan saya, Beng-enghiong. Nampaknya saya harus bekerja lagi. Sungguh tidak enak meninggalkan enghiong”

“Ah tak apa San-ko, aku mengerti. Kembalilah bekerja. Aku masih mau duduk-duduk disini sampai malam. Makanan di sini enak, dan pemandangannya juga sempurna. Dari sini aku bisa menikmati pemandangan sungai yang sangat indah. Selamat bekerja, San-ko” ia tersenyum sambil memberikan salam hormat.

Cio San kembali ke dapur dan memasak. Mey Lan memandanginya saja. Cio San tidak berkata apa-apa, ia tetap bekerja saja. Lama kedua orang itu tidak bersuara, akhirnya Mey Lan yang buka suara duluan,

“Sudah puas minum-minumnya?”

Cio San menatapnya, tidak menjawab hanya tersenyum
“Wah salahku juga bertanya kepada orang bisu,,”

“Meymey jangan marah ya, tadi itu aku dipaksa menemani tamu. Ayahmu sendiri yang menyuruh. Kalau tidak kuturuti bisa-bisa si tamu tersinggung, dan tidak mau datang kembali kesini lagi” kata Cio San

“Jika ayah menyuruhmu lompat ke jurang, apa kau akan lompat juga?”

“Kalau di dalam jurang ada meymey aku pasti meloncat..heehehe”

“Dasar tukang gombal” mulutnya menggerutu tapi tatapan matanya mesra.

Laki laki manapun yang mendapat hal demikian dari perempuan pasti bisa dikatakan beruntung. Apalagi perempuan cantik seperti Mey Lan.

Mereka berdua tersenyum dan meneruskan bekerja seperti biasa.

Di luar, hari semakin gelap. Tamu semakin banyak yang datang. Pekerjaan para pekerja di Lai Lai pun semakin banyak saja. Dari pendengaran Cio San, dia tahu kalau kali ini banyak juga kalangan Kang Ouw yang datang makan. Tapi kali ini pendengarannya pun mendengar suatu percakapan yang unik,

“Apakah engkau yang bernama Jiong Say Ong?” Cio San mengenal suara Beng Liong

“Kalau benar, engkau mau apa?” dari pemilik suaranya, sepertinya orang itu memiliki tubuh sebesar banteng.

“Harap ikut aku keluar, aku mencarimu berkenaan dengan perkara di hutan Oh Hau lima hari yang lalu” kata Beng Liong.

“Hahaha, siapa kau berani-beraninya mengungkit urusan itu” Tanya si pemilik suara satunya

“Cayhe adalah Beng Liong, dari Butongpay” jawab Beng Liong

Ada jeda sebentar, sebelum keluar jawaban “Ah kalian butongpay selalu turut campur urusan orang” kali ini suara itu terdengar menggelegar. Tamu-tamu menjadi sunyi,

Yang terdengar kemudian adalah suara orang mencabut senjata dari sarungnya. Dari suaranya, Cio San tau itu adalah sebuah golok. Dengan segera ia pergi ke ruang depan. Rupanya semua orang sedang menyaksikan tontonan gratis,

Orang yang disebut Jiong Say Ong itu menyerang Beng Liong secara membabi buta dengan goloknya. Jurus-jurusnya cepat, dan kejam. Setiap serangan ditujukkan untuk secepatnya menghabisi lawannya. Di pihak lain, Beng Liong seperti bergerak lambat dan lemah gemulai. Ia hanya menghindari serangan-serangan ganas Jiang Say Ong. Semua orang yang mengerti ilmu silat, pasti paham bahwa itulah langkah-langkah sakti yang terkenal dari Butongpay, Berlari Di Atas Awan.

Melihat gerakan ini, hati Cio San trenyuh sekali. Sudah lama sekali ia meninggalkan Butongsan. Ingatannya kembali ke saat-saat ia pernah tinggal di sana.

Tapi lamunannya ini segera ia hentikan, karena pertarungan di depan matanya ini snagat mengasyikkan untuk dinikmati.

Serangan Jiong Say Ong sungguh ganas. Walaupun tubuhnya besar, gerakannya sangat lincah dan cepat. Justru Beng Liong yang tubuhnya lebih kecil dan ramping, malah yang bergerak lambat. Beng Liong malah belum mengeluarkan pedang sama sekali. Hal inilah yang membuat Jiong Say Ong semakin marah dan tersinggung. Ia merasa diremehkan oleh Beng Liong. Karena itu jurus-jurus andalannya yang ganas itu ia kerahkan seluruhnya.

Tapi apa daya? Yang sedang dihadapinya adalah pendekar muda utama dari Butongpay. Bahkan dianggap salah satu pendekar muda utama jaman itu. Dalam jurusnya yang kesepuluh, Jiong Say Ong sudah terpukul jatuh. Itu bahkan adalah serangan pertama dari Beng Liong!

Saat terpukul jatuh, semangatnya langsung membumbung lebih tinggi. Ia penasaran, bagaimana mungkin satu serangan saja ia bisa terpukul jatuh. Jioang Say Ong pun tahu, lawan di depannya itu terkenal tidak pernah membunuh orang. Jadi ini malah membuatnya semakin berani, dan nekat.

Beng Liong pun paham apa yang ada di benak lawan di depannya ini. Jika tidak segera dihentikan, ia mungkin akan semakin nekat. Beng Liong sudah sering bertemu orang-orang seperti ini. Oleh karena itu, ia kini menyerang.

Serangannya kali ini tidak lagi lambat dan gemulai seperti tadi saat ia menghindari serangan. Serangannya kini sungguh cepat. Saking cepatnya sampai tidak ada seorang pun yang melihat bagaimana ia menyerang. Kecuali Cio San, tentunya. Tahu-tahu, dua jari Beng Liong sudah menotok tepat di daerah ulu hati Jiong Say Ong.

Sentuhan itu walaupun sangat cepat, berhentinya pun sangat cepat. Jiong Say Ong sudah terpelanting ke tembok. Ia langsung jatuh pingsan karena serangan ini. Mungkin juga karena bagian belakang kepalanya menghantam tembok. Kini bahkan sudah tidak ada tembok. Yang ada hanyalah sebuah pintu baru ke ruangan sebelah.

Dengan cepat pula Beng Liong menoleh ke kasir dan berkata,

“Jangan khawatir Loya (tuan) saya akan mengganti semua kerugian” katanya sambil tersenyum

Orang-orang yang berada disitu semua bersorak, “Hebat…hebat…..”

Beng Liong mengangguk dalam memberi salam hormat kepada semua tamu yang ada,

“Maafkan ketidaknyamanan ini, tuan-tuan, saya Beng Liong bersedia mengganti jika ada tuan-tuan yang merasa rugi atas keramaian tadi”

Herannya, jawaban dari puluhan orang yang berada di situ semuanya sama, “Ah tidak-tidak, Butongpay-enghiong (satria dari butongpay) memang sungguh hebat. Tidak rugi..tidak rugi” mereka malah bertepuk tangan.

Memang sungguh jarang melihat pertarungan kelas tinggi. Walaupun Jiong Say Ong bukan termasuk lawan kelas tinggi, ia jatuh karena jurus kelas tinggi. Melihat ini, orang-orang sudah sangat puas. Makin bertambah kagumlah mereka kepada Butongpay. Terlebih-lebih terhadap Beng Liong. 


Apalagi saat Beng Liong berkata,

“Makanan tuan-tuan kali ini, biar saya yang bayar”

Semua orang bersorak gembira.


Related Posts:

0 Response to "Bab 17 Beng Liong dari Butongpay"

Posting Komentar