Salju menutupi seluruh permukaan bumi. Sejauh mata memandang, hanya hamparan putih bersih yang terlihat. Angin dingin bertiup menembus sampai ke dalam tulang. Manusia manapun yang sanggup bertahan di dalam cuaca seperti ini, bisa dibilang bukan manusia biasa.
Suara angin menggelegar menghempas telinga, namun suasana di atas gunung ini terasa sangat sunyi. Kesunyian itu memang sesuatu yang aneh, ia bisa datang di tempat yang paling ramai sekalipun.
Di tengah kesunyian itu, 3 manusia melangkah. Seolah-olah hawa dingin itu tidak mampu membekukan tulang dan darah mereka. Seolah olah jika mereka berhenti berjalan, mereka berhenti hidup. Yang mengherankan lagi, salah satu dari ketiga manusia ini adalah seorang anak-anak.
Jika ditilik lebih jauh, usianya mungkin baru 9 atau 10 tahun. Rambutnya yang kemerah-merahan dikuncir dengan rapih. Sinar matanya mencorong namun memancarkan cahaya yang aneh. Mata itu sendiri malah berwarna kebiru-biruan.
Kedua orang lainnya, adalah laki-laki dan perempuan. Tentu saja mereka adalah orang tua anak laki-laki yang aneh tadi. Yang laki-laki tinggi dan gagah. Wajahnya tampan. Ada beberapa bekas goresan luka di wajahnya. Herannya luka itu malah semakin membuat wajahnya terlihat tampan dan mengagumkan.
Yang perempuan, sangat cantik. Rambutnya berwarna kemerah-merahan pula. Salju putih yang menyelimuti rambutnya, tidak bisa menutupi keindahan rambut itu. Rambut panjang yang memancarkan keindahan cahaya mentari. Bahkan salju pun tak dapat menyembunyikannya. Kulit perempuan ini sedikit berbeda dari kulit orang Han (Tionghoa) asli. Warnanya kemerahan bercampur kecoklatan. Wajahnya pun bukan seperti wajah orang Han pada umumnya. Matanya lebar. Tulang pipinya tinggi. Bibirnya tipis dan merona merekah. Matanya sama birunya dengan mata anaknya.
Siapa pun yang dipandang oleh mata perempuan itu tentu akan merasa beruntung telah dipandang olehnya. Pula, siapapun yang memandang mata perempuan itu tentu akan merasa beruntung telah diberi kesempatan untuk menikmati salah satu keindahan terindah di muka bumi.
Mereka berdua menenteng pedang. Yang laki-laki membawa buntalan besar di bahunya. Yang perempuan membawa buntalan yang sedikit lebih kecil. Si anak lelaki juga membawa buntalan.
“Sun-ji (anak Sun) di sini tempat kita berpisah, ayah dan ibu akan menjemputmu di tempat ini 3 tahun lagi. Kau siap kah?”
“Siap ayah” jawab anak kecil itu.
“Walaupun ayah dan ibumu khawatir, tapi kami yakin kau akan sanggup menjalaninya. Seluruh anak keluarga Suma harus menjalaninya”
“Tentu saja anak mengerti, ibu” kata anak kecil itu sambil tersenyum.
Sejak kecil, bahkan sejak lahir, ia telah dipersiapkan untuk ini. Sudah tentu ia telah siap lahir bathin. Semua anak keluarga Suma harus menjalani hal ini. Hidup sendirian di atas gunung bersalju hanya berteman pedang selama tiga tahun.
Kenapa?
Karena mereka putra keluarga Suma.
Jawaban ini saja rasanya cukup untuk menjawab segala pertanyaan.
Ketiga orang itu berpelukan dengan mesra, lalu saling mengucapkan “Sampai jumpa!”.
“Ayah dan ibu akan menantikanmu di sini 3tahun lagi. Kau berangkatlah” kata sang ibu sambil tersenyum. Anak kecil itu pun mengangguk dan tersenyum. Segera ia membalikkan badan dan berjalan dengan gagah menembus salju yang pekat.
Tak ada air mata yang menetes di pipi kedua orang suami istri itu saat melihat putranya menerjang bahaya sendirian. Apakah karena air mata itu telah membeku terhantam dinginnya udara?
Ataukah karena air mata itu sudah membeku di dalam hati mereka?
Orang tua siapa yang tega melihat anak satu-satunya, yang belum genap 10 tahun pergi menyongsong bahaya seperti ini?
Ia hanya bisa mengeraskan hatinya, menguatkan perasaannya. Tak terasa suaminya telah menggenggam tangannya dengan erat.
Ia akan kuat.
Putranya adalah putra keluarga Suma.
Tentu saja ia akan kuat
Satu tahun tlah berlalu.
Suma Sun walaupun hanya bertambah tua setahun, telah memperlihatkan perubahan yang besar. Tubuhnya telah menjadi tegap. Wajahnya biarpun masih nampak kanak-kanak, telah menggariskan kedewasaan yang membayang di dalam rautnya.
Tatapan mata itu.
Tatapan itu masih tetap saja kosong. Tapi sinar cahayanya memperlihatkan api yang sangat membara. Ia memang hanya bisa menatap kosong. Ia telah buta sejak lahir. Ayah ibunya menggembleng dia dengan sangat keras. Mengajarkannya berbagai hal agar ia tidak menyerah kepada takdir dan keadaan.
Dalam budaya keluarga Suma, seorang anak laki-laki harus menjalani ‘upacara’ hidup di atas gunung sendirian selama satu tahun. Tapi ayahnya mewajibkan 3 tahun kepadanya. Semuanya untuk melatih jiwa dan raganya agar tangguh menghadapi kehidupan.
Awal-awal kehidupannya di puncak gunung ini memang terasa berat. Yang membuat berat dalah rasa sepi dan sunyi. Sejak kecil ia telah terbiasa berburu, memasak, dan mengerjakan keperluannya tanpa meminta bantuan orang lain. Kedua orang tuanya telah melatihnya sejak dahulu.
Tapi ia belum pernah merasakan sunyi. Selama ini kedua orang tuanya selalu ada bersamanya. Selalu ada kehangatan di dalam keluarga kecil ini.
Baru kali ini ia mengalami betapa menyeramkannya kesunyian itu.
Tapi syukurlah Suma Sun bukan seorang anak manja putra pembesar atau saudagar ibu kota. Ia adalah putra keluarga pendekar. Nama keluarga Suma Sun telah turun temurun menghasilkan pendekar-pendekar gagah yang menggetarkan dunia. Menjadi pendekar bukan hal mudah, menggetarkan dunia lebih tidak mudah lagi.
Setiap putra keluarga Suma dididik dengan keras dan ditempa dengan sangat kuat. Apalagi kenyataan bahwa Suma Sun terlahir buta, ayah ibunya menempanya tiga kali lebih keras dari tradisi keluarga yang seharusnya.
Inilah dia, putra keluarga Suma.
Tubuhnya berlompatan dengan ringan. Ia menggerakan pedangnya dengan sangat lincah. Jurus-jurus ini bahkan mungkin sudah dikenalnya sejak ia dilahirkan.
Gerakan ilmu pedang keluarga Suma sangat khas dan unik. Jurus-jurus mereka menggunakan tangan kiri. Ini mungkin juga tidak terlepas dari keunikan keluarga itu sendiri. Sejak dahulu sampai sekarang, setiap lelaki keluarga Suma, hanya akan memiliki satu anak lelaki tunggal. Tidak ada perempuan dalam keluarga Suma, tidak ada pula kakak atau adik, tidak ada pula paman dan bibi.
Dan yang lebih aneh lagi, semuanya kidal.
Keunikan keluarga ini semakin menambah daya pengaruhnya yang menggetarkan. Orang mana pun di kolong langit ini, jika mendengarkan nama Suma, pasti akan berdebar-debar jantungnya.
Pedang di tangan Suma Sun bergerak bagaikan keadaan udara di gunung itu. Dingin, menusuk, dan menderu-deru. Setiap gerakannya tak ada yang percuma. Dilakukan dengan ketepatan, kecepatan, dan kekuatan terbaik.
Tak ada satu orang pun yang percaya gerakan seperti itu mampu dilakukan oleh seorang anak belasan tahun.
Tentu saja.
Walaupun kau seorang anak kecil, jika nama keluargamu adalah Suma, ilmu pedangmu tentu saja bukan sekedar kemampuan memotong sayur di dapur.
Salju mencair di ujung pedang.
Kecepatan gerakannya membuat pedang itu terasa panas membara.
Suma Sun tersenyum. Ia merasakan kehadiran sesuatu.
Ada 5 serigala yang sedang mengintainya.
Serigala-serigala itu diam dan bergerak perlahan. Suma Sun sendiri suka serigala. Ia mengagumi dan menghormati mereka.
Tak berapa lama serigala-serigala itu telah mengurung dirinya. Langkah mereka perlahan namun pasti. Hampir tak ada suara. Tapi tidak bagi telinga Suma Sun. Telinga itu telah menjadi ‘mata’ baginya sejak ia lahir. Tentu saja ia percaya kepada telinganya.
Begitu serigala-serigala untuk berhasil mengurung Suma Sun, mereka baru bergerak dengan liar dan ganas. Suara gonggongan dan raungan kelima serigala itu akan menggetarkan hati siapa saja.
Suma Sun meletakkan pedangnya dan menyongsong serigala-serigala itu dengan tangan kosong.
Gerakan tangannya seperti membentuk jurus-jurus pedang. Anak ini rupanya ingin menaklukkan serigala-serigala buas ini tanpa membunuh mereka.
Anak kecil dan lima ekor serigala menari di tengah rintikan salju putih yang bercahaya.
Pemandangan yang indah namun menakutkan.
Ia bergerak sambil tertawa-tawa. Menyongsong gigitan-gigitan yang berbahaya dari moncong 5 makhluk buas yang kelaparan. Mereka menyerang seperti berirama. Seperti ada pola serangan. Yang satu mengejar kaki, yang satu mengejar tangan, yang satu mengejar urat leher, yang satu mengincar perut dan yang satu lagi menyerang dengan bebas.
“Ah, kalian sudah semakin pintar” ujarnya sambil tersenyum. Gerakannya pun semakin cepat. Tidak ada satupun serangan moncong itu yang mampu menyentuhnya.
Ia seperti menikmati hal ini. Lama mereka ‘menari’ hingga terdengar suitan keras Suma Sun. Serta merta kelima serigala itu menghentikan serangan.
“Kurasa sudah cukup kakak-kakak sekalian. Hari sudah sore, mari kita berburu”
Rupanya kelima serigala itu adalah sahabatnya.
Seorang anak kecil buta, berteman dengan lima ekor serigala. Ini bukanlah hal yang tidak masuk akal. Bahkan hal yang tidak masuk akal pun sering terjadi di dunia ini.
Mereka lalu pergi. Tak berapa lama, mereka telah kembali dengan membawa seekor kijang yang amat besar.
Suma Sun memotong-motong tubuh kijang itu sementara kelima kijang itu menunggu dengan sabar. Ia lalu membagikannya sama rata kepada kelima serigala itu, baru menyisakan sepotong kecil untuk dirinya.
Ia lalu memakannya mentah-mentah.
“Hari telah gelap, kalian pulanglah” kata Suma Sun begitu ia selesai memakan daging mentah itu. Para serigala itu seperti mendengar perintahnya, lalu bangun dan beranjak pergi dari sana.
Ia sendiri lalu beranjak dari situ menuju sebuah gubuk kecil yang tak jauh dari situ. Gubuk turun temurun milik keluarga Suma. Di situlah ia hidup selama satu tahun ini. Mengembangkan ilmu silatnya, mengasah inderanya, melatih tubuh dan jiwanya.
Manusia yang sanggup hidup dalam keadaan seperti ini selama setahun, bolehlah mendapatkan rasa hormat dari manusia-manusia yang lain. Apalagi anak sekecil ini.
Pertama kali tinggal di sana, ia telah dikeroyok serigala. Awalnya Suma Sun terpaksa membunuh mereka. Tapi gerombolan serigala ini seperti tak pernah habis. Hari ini mati satu, besok bertambah dua. Hari ini mati dua, besok bertambah tiga. Rupanya sosok manusia ini menjadi musuh tersendiri yang harus dimusnahkan kawanan serigala ini.
Hingga suatu saat Suma Sun memutuskan untuk tidak membunuh mereka. Pilihan ini ternyata benar, setelah berbulan-bulan melawan dan menaklukkan mereka, Suma Sun akhirnya berhasil mengikat tali persahabatan yang aneh.
Dari kawanan serigala itu ia belajar banyak hal. Cara berburu, cara mengintai mangsa. Serigala adalah makhluk yang pintar. Mereka pandai mengintai dan mengincar mangsa. Bagaimana mereka menyimpan tenaga dan menggunakannya di saat yang dibutuhkan. Semua dipelajari Suma Sun dengan sangat baik. Dalam hitungan bulan saja, ia sudah sangat mahir.
Telinganya, hidungnya, indera perasanya semua semakin meningkat sejak ia mempelajari tindak tanduk kawanan serigala ini.
Suma Sun memperlihatkan rasa hormatnya yang mendalam terhadap kawanan serigala itu. Sebisa mungkin ia tidak melanggar wilayah kedaulatan mereka. Jika datang pun, ia membawa makanan bagi mereka.
Rasa saling menghormat ini menimbulkan persahabatan yang mendalam di antara mereka.
Hari demi hari, ilmu pedangnya meningkat. Di atas gunung itu ia tidak saja ‘bertempur’ melawan cuaca yang ganas. Ia juga bertempur melawan makhluk-makhluk gunung lain seperti beruang es, dan lain-lain. Semuanya mampu ia taklukkan. Namun musuh terbesar seseorang saat di alam terbuka bukanlah keganasan alam tersebut, melainkan dirinya sendiri.
Sifat asli manusia akan terlihat setelah ia menghabiskan waktu di alam bebas. Jika hidup di tengah masyarakat, manusia akan terikat norma, hukum, dan aturan. Di alam bebas, manusia akan memperlihatkan watak aslinya.
Mungkin ini sebabnya seluruh putra keluarga Suma harus mengalaminya. Inilah latihan untuk menumbuhkan kejujuran, kekuatan jiwa, dan ketegaran hati. Inilah sebenar-benarnya latihan. Pantasan saja keluarga Suma menjadi seperti ini.
Memasuki tahun kedua.
Suma Sun sedang bersemedi mengumpulkan tenaga chi nya, ketika telinganya menangkap suara dari kejauhan. Derap kaki seseorang yang berlari di dalam badai.
Manusia siapa yang datang kemari?
Jika bukan karena dikejar sesuatu yang menakutkan, tidak nanti ada manusia mau datang kemari.
Suma Sun menghentikan meditasinya dan bangkit. Segera ia menerjang badai untuk mencari tahu siapa adanya orang ini.
Semakin dekat, semakin Suma Sun memperhatikan derap langkah itu semakin lemah. Rupanya pemilik langkah ini telah kehabisan tenaga.
Tak berapa lama, langkah itu malah terhenti.
Dengan melesat cepat, dalam lima langkah Suma Sun telah tiba di hadapan orang itu.
“Aaaahhh” terdengar suara kaget orang itu.
Suma Sun hanya diam.
“Jika kau mau bunuh, bunuhlah aku!” teriak orang itu. Di tengah rasa takutnya, seseorang memang terkadang menjadi berani.
Suma Sun tidak memperdulikan orang itu, ia hanya diam. Selamanya ia memang tidak pernah bicara jika tidak perlu.
Telinganya menangkap suara derap langkah lagi dari kejauhan. Lagkah-langkah ini lebih ringan. Ada 3 atau 4 orang yang datang dari kejauhan.
“Siapa orang-orang itu? Mengapa mengejar tuan?” tanya Suma Sun.
“Ka…kau…bukan salah satu dari mereka?” tanya orang itu, sejenak terasa cahaya harapan menyeruak.
Suma Sun kembali diam. Dalam hitungan detik ia harus membuat keputusan. Menolong orang ini dan menyingkir, atau menyongsong orang-orang yang akan muncul beberapa saat lagi.
Ia mempercayai nalurinya. Ia memilih pilihan pertama.
Dengan cepat dipanggulnya orang itu dan menyingkir dari sana.
Umurnya baru belasan tahun, tapi sudah dapat membopong orang dewasa berusia setangah baya. Itu pun dilakukan dengan gerakan yang amat cepat.
Suma Sun tidak membawa orang itu ke gubuknya, melainkan menjauh dari sana. Ia pergi ke sisi lain gunung. Ke hutan pinus yang sangat lebat.
Ia melakukan suitan. Suitan lirih yang tak dapat didengar manusia, namun mampu didengar makhluk lain.
Tak berapa lama terdengar auman makhluk-makhluk buasa dari kejauhan. Serigala sahabat-sahabatnya sudah datang.
Mendengar auman ini, para pengejar di belakangnya takut juga.
“Lam-ko, kau dengar itu?” tanya salah seorang.
“Ya, itu auman kawanan serigala” jawab orang yg disebut Lam-ko (kakak Lam) itu. Lanjutnya, “Hati-hati, jika jumlah mereka banyak, kita akan kerepotan” ia lalu mencabut golok yang ada di pinggangnya.
Kawanan serigala itu muncul. Jumlah mereka puluhan. Namun mereka tidak menyerang. Hanya menunggu di kejauhan. Tak berapa lama rombongan pengejar itu sudah terkepung.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya salah seorang.
“Jangan melakukan gerakan apa-apa” kata orang bernama Lam itu.
Salju turun dengan lebat.
Ke empat orang itu masih berdiri mematung.
Dari kejauhan muncul sesosok manusia.
Mereka memicingkan mata menanti sesosok bayangan itu menjadi jelas. Ketika bayangan itu menjadi jelas, tampaklah sesosok anak kecil.
Orang-orang itu tak percaya mengapa ada seorang anak kecil yang tahu-tahu muncul di tempat seperti ini.
“Lam-ko, jangan-jangan dia adalah setan gunung?” tanya salah seorang.
“Setan gunung tak perlu membawa pedang” jawab Lam-ko.
Mendengar itu, mereka menjadi lebih berani. Salah seorang kemudian bertanya,
“Hey, anak kecil! Apa kau lihat seorang tua lewat daerah sini”
Anak kecil yang ditanya itu diam saja.
“Heh! Apakah kau tuli?!”
Tetap saja tak ada jawaban.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” si anak kecil ini malah balik bertanya.
Melihat sikap anak ini yang gagah dan penuh percaya diri, mau tidak mau ke empat orang ini menjadi salah tingkah.
“Jangan-jangan ia putra pendekar ternama. Jangan ceroboh” bisik Lam-ko.
“Siau-enghiong (ksatria muda), kami Empat Serangkai Macan Gunung. Jika boleh tahu, siapakah namamu?” tanya orang she (marga) Lam.
“Tuan-tuan ada keperluan apa memasuki daerah ini?” tanya Suma Sun.
“Siau-enghiong belum menjawab pertanyaan kami” tukas orang she Lam ketus.
“Ini daerah keluarga kami, harap tuan-tuan semua keluar dari sini” jawab Suma Sun tenang.
“Ah, benar dugaanku. Ia berasal dari keluarga pendekar. Teman-teman jangan ceroboh” bisik orang she-Lam. Lalu ia berkata, “Baiklah, jika ini memang wilayah keluarga siau-enghiong (ksatria muda), kami meminta maaf dan mohon diri” ujarnya sambil menjura.
Teman-temannya pun mengikuti langkahnya pergi dari situ.
Suma Sun tertawa dalam hati, mudah sekali mengusir pendekar-pendekar jalanan seperti mereka. Ia segera pergi ke tempat tadi ia menyembunyikan orang yang ia tolong.
Orang itu sudah kepayahan bersembunyi di balik dahan pohon kering. Salju telah hampir menyelimuti tubuhnya. Nafasnya tinggal satu-satu.
“Tuan siapakah?” tanya Suma Sun kecil.
“Aku adalah anggota Hu Liong Piawkok (Jasa Pengawal Barang Naga Terbang)”
“Orang-orang itu perampok?” tanya Suma Sun.
“Benar, mereka telah membunuh belasan kawan-kawanku. Hanya aku yang berhasil lolos” jelas orang itu.
“Tuan pasti membawa barang yang mereka cari, bukan?” selidik Suma Sun.
Orang itu terdiam sejenak, lalu berkata “Entah kenapa aku percaya denganmu, nak. Memang aku membawa sebuah mustika. Tapi mustika ini adalah amanat yang harus dijaga. Ku harap engkau mau berbaik hati menjaganya”
Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dari kejauhan. Dengan ketajaman telinganya, Suma Sun tahu itu teriakan manusia yang meregang nyawa.
Segera ia menoleh, “Tuan, harap tunggu disini” ia segera melesat kencang ke sumber teriakan tadi. Alangkah kagetnya ketika ia menemukan banyak sekali mayat bergelimpangan.
“Mayat-mayat ini adalah mereka yang tadi berhasil ku usir. Siapa yang membunuh mereka?” ia menajamkan telinganya. Jika ada orang lain datang dan ia sampai tidak tahu, berarti kemampuan silat orang ini tidak bisa dianggap main-main.
Tiba-tiba terdengar suara di belakangnya,
“Anak kecil, kau lihat seorang yang kabur lewat sini?”
Suara perempuan.
Suma Sun menoleh ke sumber suara. Walaupun ia tidak dapat melihat, ia yakin betul pemilik suara ini pasti cantik sekali. Ia tidak berkata apa-apa.
“Tampan sekali wajahmu, sayang masih belum cukup umur” perempuan itu tertawa lepas. “Eh, kau tidak tuli bukan? Kenapa diam saja?”
“Nona yang membunuh mereka semua?” kali ini Suma Sun balas bertanya.
“Kau memanggilku nona? Wah terima kasih sekali. Hihihi” tawanya lepas dan renyah. Suaranya mendesah, dan lembut.
“Aku tidak ingin menyulitkanmu, cepat katakan dimana orang itu kabur, aku akan membiarkanmu pergi.” Kata si perempuan.
Suma Sun tetap diam.
“Kau ini ada bakat tampan, tapi juga ada bakat pikun. Ditanya tidak menjawab, malah balas bertanya.” Kata si perempuan sambil membanting kaki.
Suma Sun tidak tahu, justru perempuan paling suka jenis laki-laki seperti ini. Jenis laki-laki yang mampu membuat mereka penasaran.
“Kau mau bicara tidak?” tanya si perempuan sedikit sebal.
Tentu saja Suma Sun tidak bicara. Pada dasarnya Suma Sun sendiri juga bingung harus bicara apa.
“Sebaiknya, nona pergi saja. Aku akan menguburkan mayat-mayat yang kau bunuh” kata Suma Sun.
“Eh, kau mengusirku? Punya kelebihan apa kau berani mengusirku?”
“Jika kau tidak pergi aku akan membunuhmu” kata Suma Sun.
“Eh, ada apa ini main bunuh? Kau tidak kasihan padaku? Aku perempuan yang lemah, datang kesini di tengah badai salju, mencari seseorang yang mencuri barang ku. Kau malah menuduhku membunuh orang dan mengusirku pergi. Coba pikir, kau kejam tidak?” katanya marah namun suaranya tetap lembut.
Suma Sun terhenyak.
“Bukan kau yang membunuh mereka? Lalu siapa?” tanyanya
“Kau bertanya kepadaku, lalu aku bertanya kepada siapa?” tukas si nona berlagak sebal.
“E...entahlah...” Suma Sun kehabisan kata-kata. Lalu kemudian ia berkata, “Jika bukan nona yang membunuh mereka, berarti ada orang lain di sini yang membunuh mereka”
Si nona terhenyak, lalu dengan sedikit berteriak, ia berkata, “Celaka!”
Suma Sun kaget pula, “kenapa?” tanyanya.
“Jangan-jangan Kim Hoat Lo-Mo (Iblis tua berambut emas) yang membunuh mereka” teriak si nona.
“Siapa Kim Hoat Lo-Mo?” tanya Suma Sun.
“Aih, tak ada waktu untuk menjelaskan, jangan-jangan ia sudah sampai di sini. Coba kau periksa mayat-mayat ini apakah mereka memiliki luka jarum beracun berawarna emas di lehernya?”
Suma Sun segera bergegas, dan benar. Ia menemukan jarum-jarum emas menancap di leher mayat-mayat itu.
“Ada?”
Suma Sun mengangguk.
“Celaka. Kim Hoat Lo Mo sejak dulu memang telah mengincar mustika itu!” kata si nona panik.
“Mustika apa?”
“Sebuah mustika yang mampu menawarkan segala jenis racun. Kim Hoat Lo Mo memang mengincarnya karena itulah satu-satu mustika yang dapat menawarkan racun jarum emasnya”
Suma Sun tak tahu apa yang harus ia lakukan.
“Eh dimana orang yang kabur mencuri mustika emas itu? Nyawanya dalam bahaya pula!” kata si nona panik.
Suma Sun segera melesat, si nona pun berlari mengikutinya.
Begitu sampai di sana, si orang tua itu masih berada di sana. Tapi ia tak bergerak. Salju telah menutupi seluruh tubuhnya.
Suma Sun mendekatinya dengan hati-hati mencoba memeriksanya. Orang itu masih hidup, nafasnya sangat lemah.
“Syukurlah”
Tiba-tiba sebuah tangan menotok urat besarnya. Suma Sun mematung kaku.
“Mengapa kalian kaum laki-laki begitu mudah dibodohi?”
Si nona tersenyum, suaranya halus lembut.
0 Response to "EPISODE 2 BAB 2 Cerita Di Puncak Salju"
Posting Komentar