Malam itu tentu saja dihabiskan dengan bercawan-cawan arak. Semakin mabuk, semakin tampak penderitaan seseorang. Mungkin inilah ‘pertentangan’ dari minum arak. Orang yang minum arak berharap ia dapat melupakan sejenak penderitaannya. Tanpa mereka sadari, justru kesedihan dan kepedihan mereka semakin tampak. Tapi apa salahnya? Setiap orang berhak menjalani hidupnya seperti yang ia inginkan.
“Harus ku akui, aku tak dapat melupakannya.....,” kata Lim Gak Bun.
“Siapa yang toako (kakak) maksud?” tanya Cio San pura-pura tidak tahu.
“Dia.....,”
Dia.
Yang bayangan wajahnya selalu terbayang di tengah keramaian dan kesunyian. Dia yang menguasai relung-relung hati paling dalam. Dia yang namanya selalu teringat meski segala macam upaya sudah dilakukan untuk melupakannya. Mungkin ini juga adalah sebuah ‘pertentangan’. Semakin kau mencoba melupakan seseorang, semakin dalam ingatanmu kepadanya. Semakin kau menyangkal bahwa kau masih cinta padanya, semakin tampak pula rasa cinta itu. Semakin kau berusaha keras membencinya, semakin kau terperosok jatuh ke dalam jurang kasih sayang yang teramat dalam.
Cinta tidak pernah merupakan sebuah persoalan yang sepele. Terkutuklah mereka yang menertawakan penderitaan orang lain yang berduka karena cinta.
“Suatu hari ia berkata bahwa ia tak dapat hidup bersamaku lagi,”
Perempuan yang berkata seperti ini memang bukan cuma ‘dia’ seorang.
“Ketika ku tanya alasannya, ia tidak memberitahukannya,”
Perempuan yang tidak memberitahukan alasan kepergiannya pun, bukan cuma ‘dia’ seorang.
“Aku berusaha keras menahannya. Berlutut, menyembah-nyembah, tetapi ia tetap pergi.”
Perempuan yang tetap pergi meskipun seorang lelaki berlutut untuk memintanya tetap tinggal pun, bukan cuma ‘dia’ seorang.
Hampir bisa dipastikan, seluruh perempuan yang ada di kolong langit ini sudah pernah melakukannya. Bukan cuma ‘dia’ seorang.
“Toako bersabarlah, pada akhirnya kebahagiaan akan datang,” kata Cio San mencoba menenangkan.
“Sudah 2 tahun ini hidupku hampa, sudah 2 tahun ini aku menanti ‘janji’ tentang kebahagiaan itu, tetapi kebahagiaan itu tidak pernah datang.”
Lelaki yang bertahun-tahun menunggu kebahagiaan yang akan datang, bukan cuma ia seorang.
“Aku berharap ada seseorang yang datang menggantikan ‘dia’. Menghilangkan kepedihanku. Mengisi hati yang telah gelap ini....,”
Lelaki yang terus menunggu datangnya seseorang yang menggantikan si ‘dia’, tentu saja bukan cuma ia seorang.
“Sampai-sampai aku berputus asa, dan hanya mampu mengharapkan ‘dia’ kembali....,”
Lelaki yang mengharapkan si ‘dia’ yang telah pergi untuk kembali, sungguh bukan cuma ia seorang.
“Tetapi ia tidak pernah datang kembali.”
Terhadap hal seperti ini, memang tiada satu hal pun yang sanggup dilakukan para lelaki.
“Toako, kita mengalami hal yang sama. Begitu banyak laki-laki yang mengalami hal seperti ini di dunia ini. Hal yang paling bisa kita lakukan hanyalah menjalaninya dengan sabar. Jika kebahagiaan itu tidak pernah datang, maka setidaknya kita masih bisa hidup. Hidup tanpa menyalahi orang lain, tanpa menyakiti orang lain. Bisa hidup seperti ini, tentu adalah sebuah rejeki yang cukup besar,” kata Cio San.
Lim Gak Bun terdiam sangat lama. Lalu ia berkata dengan sangat pelan, “Hidup tanpa dirinya, apalah artinya hidup?”
“Kita lahir sendirian, mati pun kelak sendirian. Jika mesti hidup sendirian, apapula yang harus ditakutkan?” tukas Cio San hampir berbisik.
Lalu suasana pun menjadi sunyi. Lim Gak Bun tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Tetapi kemudian ia bertanya lagi, “Kau tahu kenapa ‘dia’ meninggalkanku?”
Cio San menggeleng. Tetapi jauh di hatinya, ia tahu, perempuan yang meninggalkan laki-laki, alasannya selalu sama.
“Dia tidak menjawabnya. Tetapi aku tahu, ia telah bosan. Bosan hidup bersamaku yang begitu-begitu saja,”
“Bukankah hidup toako selalu penuh petualangan dan tantangan? Wanita selalu senang dengan kehidupan yang menantang seperti itu,” tanya Cio San.
“Kehidupan apapun, jika dilakukan terus menerus, kan pada akhirnya akan membuat perempuan bosan juga,” tukas Lim Gak Bun sambil tertawa. Meskipun tertawa, airmatanya mengambang di pelupuk matanya.
Memang benar.
Jika perempuan memiliki sebuah keinginan, mereka akan berusaha meraihnya. Nanti ketika sudah diraihnya, ia merasakan hal itu menjadi tidak menarik lagi. Lalu jika sudah tidak tertarik lagi, ia akan merasa bosan dan tak memperdulikannya lagi.
Itulah sebabnya, lelaki harus bisa menjadi apa saja, menyediakan apa saja. Jika perempuan menginginkan petualangan yang menantang, maka lelaki itu harus memberikannya. Namun selain itu, si lelaki harus pula menyiapkan sebuah kehidupan yang tenang kepadanya. Jika perempuan menginginkan air, maka si lelaki harus memberikannya air, dan pada saat yang sama harus menyiapkan api pula. Begitulah terus menerus. Keinginan dan kemauan perempuan tidak berbatas. Jika di hari ini mereka mengatakan mereka puas, belum tentu di esok hari mereka akan mengatakan hal yang sama.
Karena kebahagian perempuan itu semu. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan. Inilah titik kelemahan perempuan. Berjuta-juta kesedihan lahir karena hal ini. Tetapi ini pun merupakan daya tarik perempuan yang sesungguhnya.
Karena hanya laki-laki terpilihlah yang sanggup menaklukannya.
Karena perempuan memang sesungguhnya tidak pernah takluk sepenuhnya. Jika hari ini mereka tidak pergi meninggalkan kekasih mereka yang telah membosankan, ini hanyalah karena belum ada orang yang lebih baik yang mengajaknya pergi. Jika ada, tentulah ia sudah pergi meninggalkan kekasihnya itu.
Perempuan hanya akan meninggalkan kekasihnya jika ia sudah yakin ada lelaki lain yang akan memberinya cinta dan kehidupan yang lebih baik.
Lelaki yang benar-benar bisa menaklukkan perempuan, adalah lelaki yang telah memiliki segalanya. Jika belum, sebaiknya ia tidak jatuh cinta. Sebaiknya ia tidak memberikan hati dan seluruh hidupnya. Karena pada akhirnya ia akan menyesal. Penyesalan itu pun berlangsung seumur hidupnya.
Apakah perempuan kejam?
Tidak. Mereka memang telah tercipta seperti itu. Sesungguhnya tiada perempuan yang kejam. Yang ada hanyalah perempuan yang telah berubah hatinya.
Jika kaum laki-laki bisa menyadarinya sejak awal, mereka tentu tak akan mudah menderita.
Arak kembali dituangkan ke dalam tenggorokan. Selain mabuk, tidak ada yang bisa dilakukan mereka. Tidak ada yang bisa dilakukan lelaki manapun. Mabuk pun caranya berbeda-beda. Ada yang memilih arak, ada yang memilih menyibukkan diri dengan kegemarannya, ada yang main perempuan, ada yang kemudian menjadi lebih alim. Semua ini adalah bentuk ‘mabuk’. Mabuk bisa membuat manusia melupakan banyak hal. Tetapi mabuk bisa pula membuat manusia menjadi tenggelam semakin dalam kesedihannya.
Lalu jika mabuk pun tidak dapat menolong? Apa pula yang sanggup menolong?
Tidak ada.
Kau hanya dapat membungkus luka itu dengan perban, menyembunyikannya rapat-rapat, dan berharap tak ada seorang pun yang mengetahui luka seumur hidupmu itu. Jika akhirnya ketahuan juga, kau mungkin harus mempersiapkan senyummu yang paling jenaka dan mencoba sebaik mungkin menertawakan luka-lukamu sendiri.
Apa yang Lim Gak Bun dan Cio San lakukan ini tak lain adalah menertawakan luka-luka mereka sendiri. Luka yang disebabkan oleh perempuan yang sama. Alangkah lucu cerita ini. Dulu mereka bermusuhan karena memperebutkan cinta Kwee Mey Lan. Kini mereka duduk bersama-sama menertawakan luka yang digoreskan gadis cantik itu. Kejadian ini sepertinya bukan kejadian yang terlalu aneh di dunia.
Saat pesta usai, luka tetap menganga.
Tetapi Lim Gak Bun dan Cio San bersikap seolah mereka sudah benar-benar bahagia dan melupakan segala penderitaan.
“Eh, San-te (adik San). Rasanya hari ini kita harus mulai bergerak,” kata Lim Gak Bun.
“Bergerak ke mana toako (kakak)?” tanya Cio San pura-pura tidak mengerti.
“Tentu saja ke tempat pendaftaran prajurit,” jelas Lim Gak Bun.
“Ah, kali ini, sepertinya aku tidak ikut, Bun-ko. Mungkin aku mau pergi saja. Kembali berkelana,” tukas Cio San.
“Aih, kau tidak ingin membela tanah airmu? Mengusir para perusuh?”
Cio San berpikir sejenak, lalu menggeleng. Katanya, “Aku tidak cocok menjadi prajurit, paling-paling hanya disuruh jadi tukang masak. Lagian kan ada toako (kakak) di sini, siapa yang berani cari gara-gara dengan negara kita?
”
Lim Gak Bun yang memang agak sedikit terganggu pikirannya, cuma tertawa lalu berkata, “Betul juga! Eh, tapi kenapa kau tidak mendaftar jadi juru masak ketentaraan?”
“Ah, usul yang bagus. Pasti ku coba. Terima kasih atas usul ini, toako (kakak).”
Mereka berdua pun berangkat menuju tempat di mana pendaftaran diadakan. Rupanya tempat itu adalah sebuah lapangan yang luas. Banyak sekali orang mengantri. Barisannya dibedakan pula. Ada barisan bagi mereka yang ingin menjadi tentara biasa, dan ada barisan pula bagi mereka yang ingin menjadi tentara khusus.
Tentara biasa adalah golongan penduduk biasa. Biasanya pemuda-pemuda sehat yang penuh semangat. Persyaratannya pun sangat mudah. Hanya perlu sehat jasmani dan rohani. Gaji dan ‘kemewahan’ yang ditawarkan menjadi alasan utama bagi pemuda-pemuda kampung ini untuk mendaftar.
Sedangkan tentara khusus, lebih susah persyaratannya. Mereka yang ingin mendaftar, haruslah memiliki kemampuan silat yang tinggi. Tidak perduli mereka berasal dari kaum lurus, kaum hitam, kaum perampok dan perompak, asalkan mau tunduk pada aturan ketentaraan, asalkan punya niat membela tanah air, asalkan punya keinginan untuk mengusir musuh negara, semuanya diterima. Mereka hanya perlu memperlihatkan ilmu silat mereka di depan petugas pendaftaran.
Lim Gak Bun tentu saja mendaftar pada ketentaraan khusus. Setelah lama mengantri, akhirnya ia diterima masuk dengan mudah. Sebagai murid perguruan terkenal, ia gampang sekali diterima. Cio memutuskan untuk berkeliling sejenak untuk memperhatikan keadaan. Dari kegiatannya mengelilingi lapangan itu, ia mendapat banyak masukan kabar baru yang menarik.
Ternyata, orang yang mengumpulkan segini banyak orang untuk menjadi tentara, adalah seorang pangeran bernama Cu Kao Cu. Pangeran ini adalah paman dari kaisar yang sekarang, dan merupakan adik dari kaisar terdahulu. Menurut kabar yang terdengar, pangeran Cu Kao Cu sebenarnya sangat diharapkan menjadi kaisar oleh ayahnya, karena ia ahli perang yang amat tangguh, cerdas, dan ahli bela diri pula. Karena kecerdasannya, ia sering melakukan tugas-tugas berat yang diperintahkan ayahnya itu. Ia punya jasa besar dalam mengusir sisa-sisa pemberontakan Goan (mongol). Tetapi suatu hari, ia berbeda pendapat dengan ayahnya. Entah perbedaan pendapat tentang hal apa. Akhirnya sang kaisar mencabut kedudukan Cu Kao Cu sebagai putera mahkota, dan memberika kedudukan itu kepada kakaknya yang lebih tenang, dan pendiam.
Meskipun kedudukan sebagai putera mahkota dicabut, dan ia diperintahkan untuk mengasingkan diri di sebuah desa terpencil ini, rasa cinta pada tanah airnya dan kesetiannya kepada negara tidak pernah luntur. Saat mendengar ada serangan-serangan yang dilakukan oleh suku luar terhadap daerah perbatasan, serta pemberontakan-pemberontakan di daerah penaklukan, rasa cintanya itu kembali menggelora dan ia lalu membuat pasukannya sendiri.
Dengan harta kekayaannya sebagai orang istana, dan juga sebagai tuan tanah yang memiliki kekayaan sangat besar, dalam waktu sekejap, ia telah mampu membangun ketentaraan yang cukup besar dan kuat. Pihak istana yang mengetahui hal ini, tidak melakukan apa-apa karena mereka tahu, kekuatan ketentaraan milik pangeran Cu ini sangat mereka butuhkan. Padahal, menurut aturan undang-undang, membuat ketentaraan lain di luar ketentaraan resmi kekaisaran, adalah perbuatan yang terlarang. Kekaisaran bahkan secara resmi mengirimkan pelatih-pelatih mereka yang tangguh untuk melatih ketentaraan baru ini.
Tiba-tiba Cio San teringat suatu pekerjaan yang harus dilakukannya. Dengan bergegas ia pergi dari tempat pendaftaran itu. Setelah memasuki kawasan kota, ia berputar-putar sebentar. Cukup lama juga ia mencari sebuah tempat yang ingin ditujunya. Akhirnya ia menemukan tempat itu. Sebuah kedai arak kecil.
Tentu saja kedai arak ini adalah milik anak buah partai Mo Kauw.
Dengan menggunakan sandi rahasia, pemilik kedai ini akhirnya mengenal siapa dirinya. Seperti biasa, Cio San lalu diantar ke bagian belakang di sebuah ruangan khusus.
“Kauwcu ada perintah apa? Hamba siap menjalankan,” kata si pemilik kedai.
“Aku sudah bukan kauwcu lagi. Harap jangan memanggilku seperti ini,” tukas Cio San sambil tersenyum.
“Baiklah, kauwcu”
Cio San cuma bisa tertawa. Memang selama ini, dirinya begitu dihormati di kalangan anggota Mo Kauw sehingga walaupun ia telah lama mengundurkan diri, orang-orang ini masih menyebutnya dengan sebutan ‘Kauwcu’ (ketua).
“Aku ingin meminta tolong kepadamu untuk mengabarkan kepada seluruh cabang partai kita, agar mereka mencari Suma Sun-tayhiap. Kabarkan kepadanya bahwa aku telah sembuh,” perintah Cio San.
“Siap laksanakan perintah. Ada perintah lainnya, kauwcu?”
“Dalam 10 hari, aku akan kembali kesini untuk menanyakan perkembangan kabar ini,” jawab Cio San.
“Siap!”
“Eh, ada satu lagi. Kau punya peralatan untuk menyamar?”
“Tentu saja, kauwcu. Tunggu sebentar,” ia lalu membuka sebuah rak tersembunyi yang berada di lemari ruangan itu. Setelah melihatnya, Cio San tersenyum senang.
“Baiklah, terima kasih. Aku pergi dulu. Sampai jumpa!” Dalam sekejap mata, ia telah menghilang dari sana. Sang pemilik kedai pun menuliskan surat lalu mengirimkannya melalui seekor burung elang terlatih.
Cio San kini sudah kembali lagi ke tempat pendaftaran. Sepanjang perjalanan tadi ia sudah memikirkan masak-masak tentang langkah apa yang harus dilakukannya. Ia akan mendaftar sebagai tentara dengan cara menyamar. Dengan cepat ia memasuki sebuah hutan kecil di pinggir jalan setapak yang ia lalui. Dalam sekejap saja, ia telah berubah menjadi orang lain. Cukat Tong telah mengajarkan cara menyamar ini dengan sangat baik. Kini Cio San terlihat sangat muda, hijau, dan kurang berpengalaman. Gerak-geriknya pun mencerminkan seorang pemuda yang tidak bisa silat.
Begitu sampai di tempat pendaftaran, ia mengantri cukup lama. Setelah mendapatkan giliran, seorang petugas menanyakan berbagai macam pertanyaan tentang nama, keluarga, pengalaman, latar belakang, dan lain-lain.
“Siapa namamu?” tanya petugas itu.
“Lie San,” ia menggunakan she (marga) ibunya. Marga Lie adalah marga yang sangat umum di Tionggoan.
“Umur?”
“20 tahun.”
“Asal?”
“Desa Pui Lam. Bagian selatan.”
“Pekerjaan sebelumnya?”
“Petani.”
Seorang petugas lain datang memeriksa kesehatannya melalui denyut nadi, jantung, dan lain-lain. “Kau baru habis sakit parah?” tanya petugas itu.
“Benar tuan. Tetapi saya sudah sembuh dan sudah segar bugar,” jawab Cio San jujur.
“Baiklah,” petugas itu lalu menganggukkan kepala ke petugas satunya. Melihat anggukan itu, petugas satunya itu lalu berkata, “Kau diterima. Besok sebelum terang tanah harap kembali ke sini untuk memasuki masa persiapan latihan. Sekarang kau bawa surat ini ke tanda di ujung sana untuk mengukur baju seragam.”
“Siap!” kata Cio San.Ia lalu beranjak ke tenda yang ditunjuk dan menyelesaikan seluruh keperluan.
Esoknya tepat sebelum terang tanah, Cio San sudah hadir di lapangan itu. Ternyata sudah banyak calon prajurit yang berkumpul di sana. Kebanyakan mereka adalah pemuda-pemuda desa. Sebagian besar memang bercita-cita menjadi tentara. Penerimaan ketentaraan kekaisarannya sebenarnya cukup sulit. Tetapi ketentaraan baru milik pangeran Cu ini cukup mudah persyaratannya. Bahkan hampir dibilang tidak ada kesulitan apa-apa yang harus dihadapi para pendaftar.
Setelah menunggu hampir sekitar 2 jam, akhirnya para petugas mulai muncul dan mulai mengatur barisan para calon tentara ini. Cio San pun ikut berdiri di dalam barisan ini. Seorang petugas yang bersuara lantang lalu memberikan pengumuman tentang aturan ketentaran serta pelatihan yang akan mereka jalani siang ini. Setelah semua jelas, mereka semua digiring ke tempat pelatihan. Jaraknya beberapa li dari lapangan itu. Letaknya dipinggir pantai. Pemandangannya indah. Ternyata barak-barak tentara yang terbuat dari kayu sudah didirikan dengan rapi. Jumlahnya cukup banyak. Cio San dan barisannya menempati barak nomor 207.
Mereka lalu diberi kesempatan untuk beristirahat sejenak. Posisi tempat tidur rupanya sudah ditentukan sehingga seluruh barisan mendapat tempatnya masing-masing sesuai nomor urut. Setelah meletakkan seluruh perlengkapan seperti pakaian dan alat makan, para calon prajurit ini melanjutkan istirahat selama sepeminum teh.
Latihan lalu dimulai. Sebuah latihan maha berat. Mulai dari latihan tubuh, latihan memanah, dan lain-lain. Cio San menjalani latihan ini dengan tersenyum di dalam hati. Baginya latihan seperti ini bisa dilakukan sambil tidur. Tetapi bagi mereka yang belum pernah mengalaminya, latihan ketentaraan bagaikan neraka di muka bumi.
Aturan ketat pun diterapkan. Para calon tentara tidak boleh meninggalkan barak sebelum latihan selesai. Rencananya latihan ini akan diadakan selama 3 bulan. Kini baru mencapai 10 hari, sudah banyak calon yang bertumbangan karena tidak kuat jiwa dan raganya.
Di malam hari saat semua sudah tidur, Cio San menyelinap dengan cepat. Dengan kemampuannya, tentu saja tak ada seorang pun yang tahu bahwa ia telah menghilang dari sana. Kini ia sudah berada di kedai arak milik anggota Mo Kauw itu.
“Ah, Kauwcu sudah datang,” sambut pemilik kedai itu gembira.
“Ada perkembangan kabar?” tanya Cio San.
“Ada Kauwcu, Suma-tayhiap mengucapkan selamat atas kesembuhan kauwcu dan berkata bahwa ia akan menemui kauwcu jika penyelidikannya sudah selesai,” jelas si pemilik kedai.
“Suma-tayhiap menjelaskan tentang penyelidikannya?”
Si pemilik kedai mengangguk, katanya “Suma-tayhiap sedang menyelidiki tentang beberapa kejadian yang menyangkut sebuah bunga, yang ternyata berhubungan dengan masa lalunya.”
Cio San berpikir sejenak, lalu berkata, “Terima kasih banyak. Untuk jasamu ini, aku akan meminta Ang-kauwcu untuk menaikan pangkatmu.”
“Terima kasih banyak, Kauwcu!” kata si pemilik kedai sambil berlutut.
“Aih, tidak perlu banyak sungkan,” Cio San tersenyum, lanjutnya “Aku pergi dulu. Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu,” Cio San menjura lalu menghilang dari sana.
“Untuk urusan ginkang (ilmu meringankan tubuh), ilmu Kauwcu memang tiada bandingannya di dunia ini,” gumam si pemilik kedai.
Dua bulan telah berlalu. Banyak calon berguguran, bahkan ada beberapa yang meninggal saking beratnya latihan ini. Tetapi hasil latihan ini pun cukup mencengangkan. Para calon tentara ini menjadi prajurit yang tangguh, dan tanggap. Perubahan besar telah terjadi dalam jiwa dan raga mereka. Para prajurit ini menjadi tahan banting, tahan tekanan, dan mampu bertindak dan beraksi dengan cepat.
Dalam 2 bulan ini, mereka telah menguasai dasar-dasar ilmu bela diri yang berguna di dalam peperangan. Ilmu memanah, menggunakan pedang, tombak, dan pisau juga sudah mereka kuasai dasar-dasarnya. Bahkan konon dengan latihan seketat ini, kemampuan mereka sudah bisa menandingi kekuatan 3 prajurit biasa.
Selain latihan ketentaraan, para calon prajurit ini juga mempunyai tugas bergilir seperti giliran jaga, membersihkan lingkungan barak, serta memasak. Tentu saja Cio San amat menyukai tugas giliran masak. Ia mengerahkan segala kemampuannya sehingga dengan bahan-bahan sederhana, ia bisa menghasilkan makanan yang sangat enak. Kenikmatan masakan ini bahkan membuatnya sampai dipanggil oleh kepala barak.
“Kau yang bernama Lie San?”
“Siap Ciangbu (sejenis kapten),”
“Aku tadi pagi mencicipi masakanmu. Enak sekali. Minggu depan, akan ada tamu khusus yang akan datang mengunjungi barak kita. Kau ku tugaskan untuk mengurusi masakannya. Kau siap?”
“Siap ciangbu!”
Segala urusan di dalam barak tentara memang cuma bisa dijawab dengan kata ‘siap!’.
Hari yang dinanti pun tiba. Sebelumnya Cio San telah mengetahui berapa jumlah tamu yang akan datang. Ia sendiri belum tahu siapa sebenarnya tamu itu. Yang ia tahu jumlah rombongan mencapai 22 orang. Segala persiapan sudah dilakukan. Bahan-bahan yang diminta Cio San juga sudah dipersiapkan. Siapapun yang akan datang nanti, Cio San sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membuat masakan yang paling enak.
Ternyata yang datang cuma seorang nona. Namanya Bu Cin Lian. Cio San pernah mendengar tentang nona ini. Kejadian beberapa bulan yang lalu di tengah laut. Ia adalah putri dari laksamana Bu. Putri ini datang bersama rombongannya.
Laksamana Bu adalah orang yang menciptakan pelatihan ketentaraan ini. Cara pelatihannya yang berbeda, membuat ketentaraan ini menjadi sangat kuat. Rupanya nona Bu ini ditugaskan oleh ayahnya untuk memeriksa hasil dari pelatihan itu. Dari kabar yang Cio San dengar, nona ini cukup puas. Dengan pendengarannya yang tajam, Cio San dapat mendengarkan percakapan dari bilik dapur.
“Su-ciangbu (kapten Su), aku cukup puas melihat hasil pelatihan ini. Aku akan melaporkan kepada ayah tentang hal ini. Tugasmu untuk mengatur barak pun cukup memuaskan. Satu hal yang membuatku kurang puas, kau pesan darimana masakan ini? Masakan seperti ini setara dengan masakan di istana. Ini adalah pemborosan yang sangat besar,” kata Bu Cin Lian.
“Bu-ciangkun (panglima Bu) jangan khawatir. Masakan ini dimasak oleh juru masak di barak ini. Bahan-bahannya pun sederhana pula. Kami sama sekali tidak mengeluarkan biaya tambahan apa-apa,” jelas Su-ciangbu (kapten Su).
“Benarkah? Panggil kemari, aku ingin bertemu dengannya,” tukas Bu Cin Lian.
Cio San pun datang menghadap setelah dipanggil. Bu Cin Lian menilik dirinya. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Kau yang memasak ini semua?”
“Benar li-ciangkun (panglima perempuan),” kata Cio San sambil mengangguk.
“Siapa namamu?”
“Nama hamba Lie San,” jawab Cio San.
“Kau pernah memasak di kedai terkenal?”
“Terkenal sih tidak, li-ciangkun. Hanya saja, ayah angkat hamba pernah memiliki kedai kecil, namun kemudian bangkrut, dan kami harus berdagang kecil-kecilan. Hamba sendiri menjadi buruh tani di salah satu tuan tanah di desa kami,” tutur Cio San.
“Kau punya bakat memasak yang sangat besar. Aku ingin mencobaimu. Coba kau buat masakan sekarang di hadapanku. Aku ingin tahu apa benar kau yang memasak semua ini,” perintah si nona.
Perintah ini bermaksud ganda. Ia ingin membuktikan sendiri bahwa Su-ciangbu tidak melakukan pemborosan, dan ia juga ingin melihat ketrampilan masak pemuda di hadapannya ini.
“Siap. Apa masakan yang paling li-ciangkun (panglima wanita) suka?”
“Aku suka Ang Sio Bak. Kau bisa? Masih ada bahan?”
“Bisa li-ciangkun. Bahan pun masih tersisa banyak,” kata Cio San.
“Baik. Ayo kita ke dapur,” kata Bu Cin Lian.
Demikianlah Cio San mulai menunjukkan ketrampilannya. Mulai dari memilih bahan, menata peralatan masak, sampai pada pengaturan waktu masak. Semua dikerjakannya dengan teliti dan cepat pula. Dalam sekejap saja Bu Cin Lian telah mencicipi Ang Sio Bak ternikmat di dalam hidupnya.
“Mengagumkan! Kau sebenarnya bisa membuka kedai terhebat di seluruh tionggoan. Kenapa memilih menjadi tentara?”
“Kami tidak memiliki modal. Saat ini, hanya dengan menjadi tentara lah hamba bisa mengirimkan uang yang cukup banyak kepada orang tua,” jelas Cio San.
“Bagus. Kau cukup berbakti,” si nona lalu menoleh kepada Su-ciangbu, katanya “Jika pelatihan sudah selesai, aku ingin ia ditugaskan kepadaku. Bisa?”
“Bisa diatur ciangkun,” jawab sang ciangbu.
Nona itu mengangguk puas dan keluar dari dapur.Cio San hanya terbengong-bengong. Ia tidak menyangka secepat itu ia bisa menyusup lebih dalam ke dalam ketentaraan ini.
Satu bulan telah berlalu dan pelatihan ketentaraan selesai. Para prajurit ini kemudian di bagi ke dalam kesatuan-kesatuan dan dikirimkan ke daerah yang berbeda-beda. Hanya Cio San seorang yang dikirimkan bertugas mengabdi ke Bu Cin Lian.
Tugasnya adalah menjadi juru masak di kapal utama milik armada kekaisaran yang dikepalai oleh laksamana Bu. Dan seperti biasa, masakan Cio San membuat kagum seluruh penghuni kapal utama itu. Dengan bahan sederhana dan murah, ia bisa menyulap sebuah masakan menjadi senikmat masakan istana.
Ia telah bertugas berminggu-minggu di atas kapal dan mempelajari kehidupan di tengah laut yang sama sekali belum pernah dialaminya. Kehidupan ini penuh tantangan dan penuh bahaya. Baru kali ini Cio San sadar dan memahami betul penderitaan kaum nelayan, dan kaum pelaut. Ia juga banyak mendapatkan kabar-kabar penting yang didengarkannya secara sambil lalu.
Ternyata keadaan kekaisaran sudah mulai sedikit genting karena pasukan suku-suku kecil sudah mulai melakukan pemberontakan secara besar-besaran. Kekaisaran telah menyiapkan pasukan yang cukup besar untuk menghadapi pemberontakan itu. Tetapi suku-suku kecil ini memiliki kemampuan tempur yang sangat tinggi. Mereka menggunakan taktik gerilya yang terbukti amat sulit untuk ditaklukkan.
Suatu hari, armada ini mendarat di daerah selatan. Armada yang besar ini mengangkut ribuan tentara yang akan diterjunkan di medan perang melawan suku-suku kecil ini. Kali ini Cio San mendapat perintah untuk ikut turun bersama rombongan laksamana Bu.
Mereka mampir di sebuah benteng prajurit yang sangat kuat. Sejauh ini, benteng inilah yang belum mampu ditembusi oleh pasukan-pasukan suku kecil ini. Letaknya yang berada di ketinggian, serta dekat dengan dermaga ketentaraan, membuat benteng ini sangat susah ditembus.
Di benteng ini lah Cio San pertama kali melihat pangeran Cu. Rupanya situasi di sana sangat gawat sehingga sang pangeran memutuskan untuk turun tangan sendiri mengatur pasukan. Ia adalah seorang sangat ahli dalam ketentaraan, sehingga kedatangannya membawa rasa percaya diri yang kuat bagi pasukan yang berada di sana.
Pangeran ini sudah tua. Umurnya mungkin sekitar 60 tahun. Tetapi wibawa, tatapan matanya yang mencorong serta sikapnya yang gagah membuat setiap orang yang bertemu dengannya menjadi gentar. Suaranya pun dalam dan sangat jelas. Saat ia berkata-kata, serasa jantung semua orang seperti dihujami batu karang yang sangat berat.
“Laksamana Bu, keadaan sudah sangat genting. Sedikit lagi benteng ini bisa diterobos masuk oleh kutu-kutu itu. Segera perintahkan pasukan yang kau bawa untuk membentuk sebuah barisan khusus. Untuk menjadi pelapis pasukan kita yang paling depan. Meskipun mereka lebih terlatih berperang di laut, kedatangan jumlah mereka sedikitnya berpengaruh besar untuk kekuatan benteng ini. Aku memerlukan seribu orang yang dipecah menjadi sepuluh pasukan. Penempatannya sudah aku atur sesuai di peta ini,” jelas sang pangeran.
Sang laksamana mengangguk dan menngeluarkan perintah pengaturan pasukan. Tak lama setelah itu semua pasukan sudah dikirimkan ke garis posisi masing. Pangeran Cu mengeluarkan perintah-perintah khusus bagi setiap pasukan yang dipecah-pecah itu. Masing-masing bertugas sebagai pemecah, penerobos, dan pemusnah jarak jauh.
Cio San mendengar perintah-perintah dengan menggunakan daya pendengarannya yang ajaib dari balik dapur. Di dalam hati ia sungguh kagum dengan penataan taktik sang pangeran. Semuanya sungguh sesuai dengan teori yang ada di dalam kita Bu Bhok.
Tanpa memerlukan kitab ini, sang pangeran sebenarnya sudah dapat menaklukkan pasukan dan benteng mana saja. Lalu kenapa laksamana Bu bersikeras merebut kitab itu? Apakah itu memang perintah kekaisaran, ataukah ia memiliki maksud-maksud tersembunyi?
Malam menjelang dan semua sudah beristirahat. Cio San memilih keluar dan duduk di sebuah tempat di halaman belakang benteng. Cuaca malam itu sangat gerah karena mereka berada berdekatan dengan laut. Ia duduk menikmati sebuah arak.
“Meminum arak sendirian?” terdengar sebuah suara yang halus. Rupanya nona Bu.
“Eh, li-ciangkun (panglima wanita), selamat malam,” kata Cio San dengan sikap tentara.
“Santai saja. Aku merasa kepanasan di dalam dan keluar mencari angin. Di cuaca sepanas ini, kau minum arak?”
“Ah, ciangkun apakah belum pernah mencoba arak swat cu (arak salju)?” tanya Cio San.
“Arak swat cu? Aku belum pernah mendengar. Bagaimana rasanya?” tanya si nona.
“Ah, sayang arak yang tersisa sudah sangat sedikit, tetapi jika ciangkun tidak berkeberatan...” belum sempat kata-kata Cio San selesai, nona itu sudah mengambil kendi arak milik Cio San dan langsung menuangkannya ke bibirnya yang merah merekah itu.
Begitu arak itu tertelan, tampak lah wajah sang nona berseri-seri. “Arak ini gila, di bibir terasa dingin, sampai masuk ke dalam perut pun terasa dingin! Di mana kau membelinya? Dan bagaimana caranya kau membuatnya menjadi dingin seperti ini?”
“Arak swat ciu dibuat dari campuran madu dan salju. Amat sangat susah membuat madu berubah menjadi arak. Diperlukan waktu puluhan tahun, bahkan mungkin ratusan tahun. Semakin lama pembuatannya, harganya pun semakin mahal. Arak yang hamba beli ini mungkin baru berumur 20 tahunan.”
“Di mana kau membelinya? Bagaimana cara agar membuatnya tetap dingin?”
“Hamba membelinya di kota Hun Piao. Saat kapal bersandar dan kita harus membeli bahan-bahan dapur. Untuk membuatnya tetap dingin adalah dengan cara terus merendamnya di dalam laut. Para nelayan kota itu sering membawa arak ini saat mereka melaut, tetapi tidak meminumnya saat di laut. Saat pulang dan beristirahat, mereka baru meminumnya. Khasiatnya adalah memulihkan tenaga secara cepat dan menghilangkan penat di tubuh.”
“Jadi kau merendamnya di dalam laut?”
“Ya. Hamba mengikatnya di buritan kapal,” jawab Cio San.
“Pintar juga kau? Kenapa kau tidak bilang kepadaku agar kita bisa membeli banyak?”
“Aih, saat itu hamba tidak kepikiran. Mohon maaf yang sebesar-besarnya, ciangkun.”
“Baiklah, ciangkun,” angguk Cio San.
Agak lama si nona terdiam, ia lalu berkata, “Kau tidak merindukan seseorang saat lama bertugas di kapal? Hal ini menjadi permasalahan utama para pelaut,”
“Hamba hanya rindu kepada orang tua,”
“Kau belum menikah atau memiliki kekasih?”
“Pernah, ciangkun”
'Pernah' adalah sebuah kata yang menghujam jiwa.
“Baguslah. Semakin sedikit orang yang kau cintai, tugasmu menjadi prajurit akan jauh lebih ringan,” kata si nona.
Cio San seperti ingin menanyakan sesuatu tetapi ia mengurungkan niatnya. Si nona rupanya menyadari itu. Ia lalu bertanya, “Kau ingin berkata apa?”
“Aih, hamba tidak berani. Pertanyaan ini tidak sopan.....” kata Cio San.
Cara agar perempuan menjawab pertanyaanmu tanpa ia sadari adalah dengan cara pura-pura tidak jadi menanyakannya. Rasa keingintahuan perempuan yang sangat besar akan membuatnya penasaran ingin mengetahui pertanyaan tersebut.
“Tanyakan saja....” kata si nona.
“Aih.....ini sungguh tidak pantas,” kata Cio San mengulur.
“Apa kau harus kuperintahkan untuk mengatakannya?” sebagai tentara, perintah atasan tentu saja harus dilaksanakan.
“A...apakah...nona sedang merindukan seseorang?”
Pertanyaan ini sungguh menusuk dan tepat kepada sasaran. Perempuan jika merindukan kasih sayang dan perhatian seseorang akan bersikap seperti nona itu. ‘Pertahanan’ mereka terhadap aturan akan sedikit terbuka. Harga diri mereka yang tinggi akan melemah dan jatuh sedikit demi sedikit. Itulah sebabnya banyak perempuan yang jatuh kepada bujuk rayuan lelaki lain, karena ia ditinggal pergi sementara oleh kekasihnya.
Entah kenapa perempuan selalu haus akan perhatian dan kasih sayang. Jika mereka tidak menemukannya dari kekasihnya, mereka akan mencarinya ke tempat lain. Cio San amat sangat memahami hal ini. Ia bahkan menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk memahami hal ini.
Rahasia terbaik untuk menaklukkan perempuan hanyalah dengan cara mendengarkan segala keluh kesahnya. Menjadi tempat di mana ia mencurahkan segala perasaannya. Dengan cara inilah, seorang laki-laki akan menemukan sebuah celah untuk memasuki jiwanya.
Si nona tanpa sadar lalu bercerita banyak hal. Tentang kekasihnya yang jauh di sana. Tentang perhatian yang tak pernah ia dapatkan karena sang kekasih adalah seorang saudagar kaya raya yang sibuk dengan perdagangannya. Perempuan setegar apapun, jika ia tidak mendapatkan cinta yang ia inginkan, akan menjadi rapuh. Semua hanya masalah waktu, ketika ia jatuh ke dalam cinta lain yang menenggelamkannya.
Perempuan yang rapuh bukan cuma ia seorang.
Perempuan yang rindu dan cintanya tak bersambut, jumlahnya sudah terlalu banyak. Yang kemudian secara sadar atau tidak sadar jatuh ke dalam cinta terlarang pun sudah terlalu banyak pula. Lelaki yang memanfaatkan perempuan seperti ini pun jauh lebih banyak lagi.
Lelaki hanya perlu mendengarkan setiap saat, dan memberikan perhatian di saat yang tepat. Ia mungkin kalah harta, kalah jabatan, kalah tampang dengan lelaki yang lain. Tetapi waktu akan membuktikan bahwa perhatian kecil itu telah menanam bibit-bibit perasaan yang kuat di dalam jiwa seorang perempuan.
Ia hanya perlu menunggu saat bibit-bibit itu menjadi buah yang siap dituai.
Begitu lama mereka bercakap-cakap. Semakin lama si nona semakin menyadari bahwa lelaki di hadapannya ini memiliki pesona yang diinginkan dari seorang laki-laki. Ia mendengarkan. Ia memberi tanggapan tepat seperti yang diperlukan dan diinginkan. Ia tidak menggurui. Ia tidak menghakimi. Ia tertawa dengan lepas ketika mendengarkan lelucon. Ia ikut marah ketika si nona marah. Ia memuji tanpa berlebihan. Ia tahu menempatkan posisi dirinya sebagai bawahan yang baik. Ia menghormati dan menghargai. Ia pandai masak. Ia seorang prajurit yang terlatih pula. Pengetahuannya tentang dunia pun sangat luas.
Lalu seketika nona itu pun sadar, “Siapa kau sesungguhnya? Mengapa kau begitu berbeda dengan prajurit atau tukang masak yang lain?”
“Hamba hanya seorang lelaki yang penah terluka oleh perempuan,”
Rupanya sebuah luka batin, dapat pula menjadi kelebihan dan kebanggaan.
“Mengapa kau begitu bangga dengan hal ini? Orang lain tentu malu mengatakannya,” tukas si nona.
“Karena dengan luka ini, hamba tahu bagaimana menjadi lelaki sejati. Bagaimana memperlakukan perempuan yang sejati pula,”
Si nona memandangnya dengan sedikit kekaguman, “Ya kau benar. Terus terang aku cukup kagum kepadamu,”
Perempuan yang kagum kepada Cio San memang bukan cuma dia seorang.