EPISODE 2 BAB 48 GEMURUH PASUKAN KAISAR



Sepanjang perjalanan mereka lakukan menggunakan sebuah kereta reot. Ilmu merias milik anggota-anggota Ma Kauw memang cukup tinggi, Cio San dan putri Syafina benar-benar terlihat sebagai dua orang pasangan renta yang sedang berpergian. Ada beberapa banyak tempat yang mereka singgahi, untuk mengelabui musuh mereka menyamar sebagai penjual dendeng (daging asap yang dikeringkan). Tempat-tempat yang mereka singgahi kebanyakan adalah rumah atau tempat milik anggota Ma Kauw juga.

Perjalanan menuju gunung Himalaya membutuhkan waktu beberapa bulan. Mereka telah menempuh perjalanan selama satu minggu. Perjalanan masih panjang, tapi semangat di hati putri Syafina tetap berkobar. Sepanjang perjalanan Cio San memperlakukannya dengan penuh perhatian. Meskipun hal ini bagian dari penyamaran, tetap saja Syafina merasa senang diperlakukan seperti itu.

Jika ingin membersihkan diri, Cio San sudah menyiapkan baskom dan wewangian. Jika ingin makan, Cio San sudah menyiapkan hidangan. Jika ingin tidur pun, Cio San sudah membereskan bagian dalam kereta sehingga menjadi hangat dan nyaman. Satu hal yang menyusahkan hati Syafina adalah secara agama ia tidak diperbolehkan tidur bersama Cio San. Tetapi saat itu mereka sedang menyamar dan keadaan sangat genting. Untunglah Cio San mengerti hal ini. Ia ‘pura-pura’ berjaga di luar saat nona itu tidur. Dengan begitu jika ada orang yang melihat mereka, hal ini tak akan menimbulkan kecurigaan.

Di hari ke sepuluh, mereka bertuduh di pinggiran hutan pinus. Cuaca saat itu tidak terlalu dingin sehingga mereka memutuskan untuk membuat kemah kecil di luar kereta dan menyalakan api anggun. Langit bersinar terang dan bintang bertaburan di angkasa. Syafina memandang bintang-bintang itu begitu lama. Seolah-olah mencari sesuatu pada jutaan bintang itu. Hati perempuan siapa yang tahu?

Cio San membiarkannya melamun. Ia sibuk memanggang seekor ayam hutan hasil buruannya. Baunya sangat wangi setelah diolesi bumbu olahan Cio San. Ketikasudah selesai, ia menyiapkannya di atas daun dan menyuguhkannya kepada Syafina. Nona cantik berwajah nenek tua itu baru tersadar dari lamunannya setelah Cio San menyentuh kakinya dan tersenyum kepadanya. Dengan mengangguk ia menerima suguhan itu dan berkata, “Terima kasih suamiku.”

“Nona tidak perlu bersandiwara lagi di sini,” kata Cio San. “Di sekitar sini tak ada orang yang menguntit kita,” katanya.

“Oh, baiklah. Maaf,” kata Syafina

“Tidak perlu minta maaf,” tawa Cio San. “Lama-lama jika kita terbiasa menyamar seperti ini memang bisa jadi keterusan. Hahaha.”

Syafina tertawa. Tetapi ada sesuatu di matanya. Cio San sudah mengerti. Ia telah terbiasa membaca sinar mata perempuan. Ada sesuatu di sana yang tidak bisa mereka ungkapkan melalui kata-kata. Ada kesedihan, ada harapan, ada tanda tanya, ada pula jawaban. Mata perempuan memang selalu seperti ini.

“Apakah Hongswee selalu bersikap seperti ini kepada perempuan?”

“Bersikap seperti apa?” tanya Cio San pura-pura tidak mengerti.

“Selalu memberi perhatian, dan selalu selembut ini?”

“Tidak,” jawab Cio San.

“Oh. Kenapa? Setiap wanita kan selalu senang diperlakukan seperti ini,” tukas Syafina.

“Sepertinya justru tidak,” kata Cio San sambil tersenyum lebar.

“Ah, apakah Hongswee merasa lebih mengerti tentang wanita ketimbang para wanita sendiri?”

“Oh itu tidak mungkin. Aku pernah mendengar orang bijak berkata: Laki-laki yang mengaku mengerti perempuan, jika bukan karena sudah pikun tentu karena sudah gila,”

“Haha. Orang bijak mana itu? Apakah perempuan memang selalu sesulit itu untuk dimengerti?” tanya si nona penasaran.

Cio San hanya tersenyum sambil memandangi rerumputan di depannya.

“Coba jelaskan padaku, aku belum mengerti,” kata putri Syafina.

“Perempuan selalu menginginkan semuanya. Seorang laki-laki tidak boleh hanya perhatian saja. Ia harus juga tidak perhatian. Ia tidak boleh lembut saja, tetapi di suatu waktu ia pun harus tegas dan sedikit keras,” jelas Cio San.

“Hmmmm...” Syafina memikirkan kata-kata ini. “Lalu?” tanyanya.

“Laki-laki tidak hanya paham ilmu bun (sastra), tetapi juga harus paham ilmu bu (silat). Harus tenang di rumah, tetapi juga harus berjiwa petualang. Harus baik, tetapi juga harus sedikit nakal. Harus memahami filsafat tetapi juga harus bisa menggunakan perkakas. Intinya, lelaki harus bisa segalanya untuk perempuan,” ujar Cio San.

“Wajar saja kan wanita menginginkan lelaki seperti itu. Kaum lelaki kan yang nanti menghidupi perempuan, melindungi mereka, dan bertanggung jawab atas mereka,” tukas Syafina.

“Menurut putri, ada berapa laki-laki di dunia ini yang sanggup memenuhinya?”
Syafina berpikir sebentar, lalu katanya, “Pasti ada!”

“Pernahkah putri bertemu dengan lelaki semacam ini?”

Si nona berpikir lagi, “Belum.”

“Jika belum, mengapa nona begitu yakin bahwa lelaki semacam ini pasti ada?”
“Setidaknya meskipun belum seluruhnya ia memenuhi persyaratan itu, sebenarnya aku telah menemukan satu orang,” kata Syafina.

“Siapa?”

“Hongswee sendiri,” jawab nona itu pelan.

“Haha,” Cio San sedikit kaget juga mendengar jawaban nona itu. Katanya, “Di masa lalu seorang perempuan meninggalkan aku justru karena aku tidak sanggup menjadi lelaki seperti itu.”

“Itu kan di masa lalu, di masa depan seorang manusia kan bisa menjadi lebih baik. Nona yang meninggalkan Hongswee mungkin tidak bisa melihat hal itu,” tukas si nona. Katanya, “Melihat Hongswee yang sekarang, aku yakin nona itu kini menyesal.”

Cio San hanya terdiam, butuh waktu cukup lama untuknya berkata, “Aku justru berharap ia tidak menyesal.”

“Seorang wanita yang menyesali pilihan cintanya, adalah seorang wanita yang menderita selamanya,” ujarnya pelan.

Jawaban ini begitu menusuk hati Syafina. Ia sendiri berada di dalam keadaan seperti ini. Apakah ia harus memilih bertahan dengan kekasih lamanya, ataukah memberi harapan kepada sebuah cinta yang baru?

“Mengapa laki-laki tidak pernah memahami perempuan?” tanyanya. Suaranya bergetar. Seolah-olah seluruh beban hidupnya berada di perkataan ini.

“Karena perempuan tidak pernah mengatakan keinginannya,” kata Cio San.

“Mengapa perempuan harus mengatakan keinginannya? Mengapa lelaki tidak dapat mengerti sendiri tanpa harus kami katakan?”

“Karena kami bukan tukang sihir,”

“Ish!” Syafina hanya dapat membanting tulang sisa makananya di tanah. “Kalian para lelaki memang sama saja!”

Cio San ingin tertawa di dalam hati. Tetapi ia menahannya. Hanya laki-laki yang pintar menutupi isi hatinya yang bisa bertahan ‘hidup’ di hadapan perempuan. Ia hanya bisa berkata, “Kami pun memiliki permasalahan yang sama dengan kaum perempuan. Kami merasa perempuan memang tidak pernah mengerti laki-laki, dan semua perempuan seluruhnya sama saja.”

“Laki laki kan yang memimpin perempuan, harusnya mereka bisa mengerti terhadap yang dipimpinnya,” tukas si nona.

“Jika yang dipimpin tidak mau mengatakan apa yang ia inginkan, dan melakukan hal-hal aneh lalu berharap keinginannya dimengerti, apa kira-kira pemimpinnya bisa mengambil keputusan dengan tepat?” kata Cio San.

Di dalam hati Cio San semakin tertawa. Selama ini ia menganggap Syafina adalah perempuan yang cerdas, berkeinginan kuat, mandiri, dan tabah. Tak tahunya jika menyangkut perasaan, semua perempuan memang sama saja.

Syafina diam saja. Cio San memandangnya dengan penuh senyuman yang lembut. Kata Cio San, “Aku tahu, seorang perempuan memang lebih suka jika segala keinginan dan maksudnya dimengerti laki-laki tanpa harus dikatakan. Dengan begitu ia akan merasalebih diperhatikan, lebih dicintai, dan merasa lebih cocok dengannya.”

“Nah. Hongswee sudah paham rupanya.”

“Mengenai rumus ini tentu saja sudah paham. Pelaksanaannya yang masih susah. Hahaha,” lanjutnya “Ketika ingin mengatakan sesuatu atau menginginkan sesuatu, kaum perempuan biasanya mengirimkan tanda-tanda. Entah dari perilakunya atau dari hal yang tidak dikatakannya. Seorang laki-laki harus selalu berusaha memahami tanda-tanda ini,” kata Cio San.

“Hmmm. Mungkin saja. Tapi tidak semua. Jika aku menginginkan sesuatu, aku akan mengatakannya,” sanggah si nona.

Ingin Cio San tertawa sekeras-kerasnya, tetapi ia hanya tersenyum dengan lembut lalu berkata, “Tentu saja. Nona memang berbeda dengan perempuan yang lain.”

Mendengar ini senang lah hati Syafina. Mungkin sejak tadi ia berharap Cio San mengatakan ini kepadanya. Untuk sampai pada perkataan ini seorang wanita mungkin akan melakukan perdebatan panjang dengan laki-laki.

Kenapa tidak meminta saja? Kenapa tidak langsung bertanya saja?

Karena perempuan sejak kecil dibesarkan untuk tidak mengungkapkan isi hatinya. Seorang perempuan mungkin harus tunduk dengan aturan. Jika mereka berkata atau melakukan sesuatu, orang lain akan mencap buruk. Takut dicibir orang. Oleh karena itu mereka terbiasa menyimpan isi hati. Laki-lakilah yang harus menebak dan memutuskan, agar kaum wanita sendiri ‘selamat’ dari aturan atau mungkin cibiran. Hal ini memang sudah menjadi permasalahan wanita sejak jaman dahulu. Diwariskan turun menurun sepanjang jaman.

“Beristirahatlah, putri. Besok kita akan mengubah penyamaran dan merubah arah perjalanan,” tukas Cio San.

“Merubah arah? Kemana kita akan pergi?”

“Sebuah tempat yang penuh petualangan. Putri percaya saja kepadaku,”

“Hmmm, rahasia lagi. Kenapa Hongswee selalu penuh dengan rahasia?’ kata Syafina.

“Bukankah hal itu membuat segala sesuatunya menjadi jauh lebih menarik?”

***

Pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat. Ketika hampir tengah hari, mereka tiba di sebuah rumah yang sangat besar. Begitu penjaga depan melihat kereta yang dikendarai Cio San datang, segera ia tersenyum dan menyambutnya, “Eh, kau baru datang sekarang? Wei-wangwe (juragan Wei) sudah menantimu beberapa hari ini? Majikan kami sudah rindu sekali dengan daging asapmu,”

“Waah, maaf. Banyak sekali pembeli yang minta diantarkan dagingnya satu persatu. Tubuh sudah sereot ini mana mungkin bisa cepat? Maaf sekali yaaaa...,” jawab Cio San.

“Sudahlah ayo cepat masuk dan bawa keretamu ke dalam. Wei-wangwe sendiri yang akan memilih dagingnya!”

Tidak menunggu lama Cio San dan Syafina kemudian sudah masuk ke dalam. Tak berapa lama pula Wei-wangwe sudah muncul dan memilih sendiri daging asap kering itu. Wajahnya tampak senang sekali. Rupanya makanan ini adalah kegemarannya. Hampir seluruh isi kereta dibeli oleh juragan yang badannya tambun ini.

“Eh, kakek dan nenek, kalian sudah makan?” tanya Wei-wangwe. “Makanlah dulu mumpung di dapur belakang sedang makan siang,”

Si kakek dan nenek saling berpandangan malu-malu.

“Aih tidak usah malu-malu. Hey, A Fan, antarkan mereka ke dapur belakang,” kata Wei-wangwe. Mau tidak mau akhirnya pasangan tua itu mengikuti saja saat diantarkan pembantu Wei-wangwe yang bernama A-Fan itu ke dapur belakang.

Begitu tiba di dapur belakang, alangkah kagetnya Syafina ketika ternyata di dapur itu sudah ada pasangan kakek nenek yang wajahnya mirip sekali dengan penyamaran dirinya dan Cio San. Bahkan baju yang mereka pakai pun sama persis. Ia hanya bisa menoleh kepada Cio San yang saat itu sedang tersenyum.

Cio San berkata kepada kakek di depannya, “Aku tahu kau pasti datang.”

Yang menjawab bukannya si kakek, tetapi si nenek, “Tentu saja ia datang. Jika kau yang memintanya, ia pasti datang.”

Cio San hanya bisa mengangguk. Di matanya terdapat bayang-bayang kesedihan. Tetapi ia segera menjura dan berkata, “Sekali lagi meminta pertolonganmu.”

“Kau cepatlah pergi,” kata si nenek. “Biarkan kami yang menanganinya dari sini.”

“Baik. Terima kasih. Berhati-hatilah.”

Cio San menarik tangan Syafina dan mereka segera ke ruang belakang. Di ruang belakang terdapat 2 buah bilik. Di masing-masing bilik itu ada penjaga. Laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki mempersilahkan Cio San masuk ke dalam, sedang yang perempuan mempersilahkan Syafina masuk ke dalamnya.
Tak berapa lama mereka keluar dari bilik itu, tampang mereka sudah berubah seluruhnya. Cio San kini berubah menjadi laki-laki muda bertampang kampung. Begitu juga dengan Syafina yang berubah menjadi perempuan desa yang wajahnya cukup buruk.

Cio San tersenyum memandangnya. “Mari kita pergi. Aku akan menjelaskannya kepadamu di tengah jalan.”

Syafina mengangguk saja dan mengikuti Cio San. Mereka lalu memasuki sebuah gudang jerami. Di gudang jerami pun sudah ada orang yang menunggu. “Mari lewat sini, Kauwsu (ketua).” Dengan cepat mereka sudah masuk melalui sebuah tingkap yang menghubungkan mereka dengan tangga ke bawah. Mereka berdua menuruni tangga itu dan kemudian sampai pada sebuah terowongan. Terowongan yang lumayan terang karena banyak obor penerang.

“Nah kita sudah aman,” sambil berjalan Cio San mulai bercerita.

“Putri tentu sudah paham bahwa mereka semua ini adalah anak buah Ma Kauw,” kata Cio San.

“Ya, cukup jelas.”

“Kita sedang menuju ke arah yang berbeda. Kita tidak pergi ke Himalaya,”

“Itu juga aku sudah paham. Yang pergi ke Himalaya adalah kedua kakek dan nenek yang penyamarannya sama dengan kita, bukan?”

“Benar sekali,”

“Mereka apakah teman akrabmu kah, Hongswee?”

“Dulu,” jawab Cio San sambil menerawang jauh langkahnya menjadi sedikit tersendat.

“Hmmmm....” nona itu tidak melanjutkan kata-katanya. Justru Cio San yang berkata, “Nama mereka adalah Cukat Tong dan Bwee Hua.”

“Ah, aku secara tidak sengaja mendengar Hongswee bercerita kepada Kao Ceng Lun....” kata putri itu lirih.

“Apa saja yang tuan putri dengar?”

“Bahwa...bahwa ia sekarang memusuhimu karena..eh...karena cemburu..,”

“Benar sekali,”

“Tetapi mengapa ia tetap datang saat kau meminta pertolongannya? Datang dengan istrinya pula kan?”

“Ya”
“Hmmm, mengherankan.”

“Tidak mengherankan. Karena ia adalah Cukat Tong.”

Si putri terdiam. Lalu tersenyum dan berkata, “Dan karena kau adalah Cio San,”

“Benar.”

Mereka berdua tetap melangkah di tengah kesunyian terowongan. Menyisakan banyak pertanyaan tentang persahabatan antar lelaki yang tak pernah bisa dimengerti Syafina. Persahabatan yang mendalam seperti ini telah mengakar di dalam hati. Tak akan pernah bisa terputuskan oleh apapun. Bahkan oleh permasalahan yang paling pelik sekalipun. Hanya kaum lelaki yang bisa bersahabat seperti ini. Di luar saling membenci tapi saling memperhatikan satu sama lain. Mungkin karena ini pula di dunia persilatan ada musuh bebuyutan yang saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Ada pula sahabat akrab yang tidak pernah menyapa satu sama lain pula.

Persahabatan kedua orang ini adalah persahabatan yang sejati. Sesuatu yang tak akan bisa dipahami manusia biasa. Hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah mengalami dalamnya persahabatan.

Meskipun mereka tak saling menyapa, tak saling cocok satu sama lain, tetapi jika salah seorang membutuhkan pertolongan, yang lain pasti tak akan ragu-ragu datang menyerahkan nyawa. Hanya karena kepercayaan terhadap hal ini lah Cio San berani mengatur rencana. Bayangkan jika Cukat Tong tidak datang, seluruh rencananya pasti sudah berantakan. Tapi ia yakin seyakin-yakinnya bahwa Cukat Tong akan datang. Ia pun yakin-seyakinnya jika saat selesai nanti Cukat Tong meminta kepalanya sebagai imbalannya, Cio San akan memberikannya dengan puas dan senang hati.

Karena mereka berdua adalah sahabat sejati!

Kalimat ini saja sudah cukup menjelaskan segala persoalan ini.

Ujung terowongan adalah sebuah pintu kecil. Ketika dibuka mereka sudah berada di tepi sungai kecil di pinggiran hutan. Sebuah perahu kosong menanti di sana. Segera kedua pasangan ini naik dan mengayuh. Syafina beristirahat di bilik kecil yang berada di perahu itu. Ia bertanya, “Kita kemana?”

“Kita akan bergabung dengan pasukan kaisar. Menghancurkan pemberontakan di Selatan.”

Syafina mengangguk. Kekagumannya terhadap laki-laki ini bertambah lebih dalam.

Air sungai mengalir bagai kehidupan manusia. Mengalir ke tempat yang tidak seorang pun tahu. Ada kalanya air itu ke laut. Namun ada kalanya air itu berhenti di tengah jalan. Perahu itu berjalan dengan kencang karena layarnya tertiup angin. Entah sudah berada di mana. Cio San tak bisa mengendarai perahu. Ia hanya pernah mendengar orang lain menjelaskan caranya kepadanya. Tetapi dalam situasi seperti ini, ia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Toh ia sudah tahu tempat yang ditujunya. Aliran sungai ini pun hanya mengarah ke tempat tujuannya itu. Jika tidak memasrahkan takdir, apalagi yang bisa dilakukan manusia?

Ketika sore menjelang, Cio San melihat tanda yang dinantinya. Sebuah dermaga kecil dan tulisan nama kotanya. Kota ini yang memang ditujunya.

“Kita turun di sini,” katanya kepada Syafina. Dengan sedikit bingung Cio San akhirnya berhasil mendaratkan perahunya ke dermaga kecil itu. Tidak banyak orang di sana karena dermaga ini memang bukan dermaga umum. Hanya beberapa orang kampung yang menggunakannya. Sebagai mantan ketua Ma Kauw yang sangat besar, Cio San banyak memiliki pengetahuan tentang tempat-tempat khusus yang bisa mereka pakai dalam keadaan tertentu.

Cio San mengikat perahunya pada tiang kayu di tepi dermaga. Ia lalu mengambil bungkusan yang nampaknya sudah dipersiapkan di dalam bilik perahu. Setelah memperhatikan suasana sekitar, ia menjadi lega karena tak ada orang yang membayangi atau membuntuti mereka. Ia nampaknya cukup puas dengan rencana yang telah diaturnya ini.

“Menurut perhitunganku saat malam menjelang pasukan kerajaan akan tiba di daerah ini. Kita harus menyamar lagi menjadi tentara. Ku harap hal ini tidak merepotkan putri,” tukas Cio San.

“Ah tidak. Menurutku malah hal ini semakin seru dan menarik. Aku ingin tahu apa rencana Hongswee selanjutnya,” kata Syafina.

Mereka kemudian berganti baju. Syafina berganti baju di dalam bilik sedangkan Cio San berganti baju di atas perahu. Kedua orang ini memang adalah orang persilatan sehingga gerak-gerik mereka cukup cepat dan lugas. Setelah itu Cio San mengajak Syafina untuk pergi dari sana dan memasuki sebuah hutan yang cukup lebat.

Lama mereka menyusuri hutan dan tibalah mereka di sebuah hamparan padang rumput yang cukup luas. Syafina memperhatikan padang rumput itu dan berkata, “Tempat ini sangat bagus untuk tempat istirahat pasukan. Apakah Hongswee berpikir mereka akan beristirahat di sini?”

“Ya. Menurut keterangan mata-mata Ma Kauw, mereka pasti beristirahat di sini. Jika malam tiba kita harus segera menyusup ke dalam pasukan. Mungkin besok pagi-pagi sekali mereka sudah akan berangkat. Untuk sementara kita bersembunyi di atas pohon yang rindang. Biasanya sebelum pasukan tiba, ada pasukan kecil yang datang lebih dulu untuk memeriksa keadaan.”

Cukup lama mereka sembunyi sambil mengumpulkan tenaga. Rencana menyusup ini bukan sebuah rencana yang terlalu berbahaya. Jika ada apa-apa Cio San bisa menunjukkan lencana naganya. Ia hanya tak ingin penyusupan ini terbongkar agar ia bisa mengelabui musuh yang tak terlihat.

Saat malam tiba, suasana seluruh wilayah itu menjadi gelap gulita. Cio San meminta Syafina untuk bersemedi agar mereka dapat mengatur detak jantung dan nafas sekecil dan sepelan mungkin. Dalam keadaan bersemedi, seorang manusia dapat bersatu dengan alam sehingga kehadirannya cukup sulit untuk ditemukan.

Ketika menjelang tengah malam dari kejauhan  terdengar suara. Beberapa langkah kaki manusia yang hampir tak terdengar. Mereka memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sangat tinggi sehingga sangat sulit untuk mendengarkan langkah mereka. Tetapi telinga Cio San tak dapat dibohongi. Walaupun langkah itu hampir-hampir tak terdengar, ia dapat mendengar sedikit gesekan dedaunan saat beberapa orang itu melintasi hutan.

Cio San dan Syafina lalu memusatkan pikiran. Mereka menjadi semakin dalam bersemedhi. Rasa keakuan, nafsu, dan keinginan manusiawi yang berada di dalam jiwa mereka menghilang seluruhnya. Di dalam keadaan seperti ini seorang manusia akan dapat menyatu dengan alam, menjadi bagian dari alam yang maha luas tanpa batas dan tanpa dasar. Di saat-saat seperti ini bahkan jika Cio San ingin mencari dirinya sendiri, ia tak akan dapat menemukannya.

Saat bersemedi, seorang manusia memasuki kekosongan tanpa batas. Ada hal yang bertolak belakang yang terjadi jika seseorang bersemedi. Ia tak lagi mengetahui keberadaan dirinya. Tak lagi memiliki jiwanya, tetapi herannya alam bawah sadarnya semakin menguat dan semakin mengerti tentang apa yang terjadi di sekelilingnya. Inilah hebatnya bersemedhi. Hanya ahli-ahli silat tingkat tinggi yang sanggup melakukannya.

Dari alam bawah sadarnya Cio San mengetahui bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh pasukan pengintai sudah selesai. Mereka memberi tanda pada pasukan inti di belakang mereka bahwa keadaan aman dan dapat didatangi. Cio San dan Syafina masih tetap bersemedhi. Keadaan mereka seperti keadaan hewan buas yang tidur dan menanti saat yang tepat untuk bangun dan menerkam mangsa. Begitu tenang, tetapi begitu menakutkan.

Tak berapa lama terdengar derap kuda dari kejauhan. Pasukan kekaisaran sudah datang!

Suasana mulai terang benderang di kejauhan. Ribuan obor menyala. Bahkan meskipun gelap, debu terlihat jelas berterbangan di udara. Suara gemuruh kaki kuda, kereta perang, dan langkah kaki laskar perang yang menggetarkan bumi!

Hanya cukup mendengarkan suara gemuruhnya saja, seseorang dapat menangis ketakutan dan terkencing-kencing. Apalagi saat melihat gemuruh itu berubah menjadi puluhan ribu pasukan yang bergerak dengan gagahnya. Setiap tentara pun menyanyikan teriakan perang yang menakutkan!

Baju besi mereka berkilatan ditempa cahaya obor yang mereka bawa. Sinar mata mereka mencorong bagai harimau yang siap menerkam semua musuh. Dalam satu perintah, pasukan itu berhenti secara tiba-tiba!

Alangkah hebatnya panglima yang memimpin puluhan ribu pasukan ini!

Beliau adalah Khu-tai goanswe (Jenderal besar Khu), putra pertama dari Khu-hujin (Nyonya Khu) yang tersohor itu. Cio San mengenalnya. Ia adalah paman dari mantan kekasihnya, Khu Ling Ling. Jenderal yang usianya sudah lebih dari separuh baya ini terlihat gagah dalam jubah perangnya yang berwarna kuning keemasan. Pedang di pinggangnya, tombak di punggungnya. Ia mengendarai seekor kuda perang gagah yang berwarna hitam mengkilat.

“Kita beristirahat di sini! Dirikan tenda dan lakukan formasi khusus untuk pertahanan!”

“Siaapppp!” terdengar gemuruh puluhan ribu pasukan ini.

Setelah itu sang jenderal menuju ke sebuah titik di mana sebuah tenda untuk para jenderal didirikan.

Cio San membuka matanya. Ia mencari keberadaan kaisar. Penglihatannya kemudian tertuju pada sebuah kereta paling besar dan paling mewah di tengah-tengah pasukan. Pengawalan di sana pun sangat ketat. Dalam hati Cio San sedikit lega karena pengawalan ini sesuai dengan yang dibayangkannya. Sangat kuat, sangat rapat, dan sangat rapi.

Syafina pun sudah membuka mata dan melihat ke arah pandangan mata Cio San. Seolah-olah mengerti isi pikiran Cio San, ia bertanya, “Hongswee akan menemui kaisar?”

“Tidak. Kita hanya perlu menyusup di dalam rombongan pasukan. Tetapi ada hal yang cukup mengkhawatirkan,” katanya.

“Ada apa?”

“Semua pasukan ini adalah pasukan khusus. Mereka pasti saling mengenal satu sama lain. Aku khawatir jika kita menyusup, kita akan ketahuan.”

“Apakah Hongswee tidak memikirkan hal ini sejak awal?”

“Tidak. Aku baru mengetahui hal ini setelah melihat cara mereka menyusun barisan saat membuat tenda dan membuat formasi bertahan. Dari cara mereka, setiap orang memiliki tugasnya tersendiri. Jika tidak memiliki tugas pun, masing-masing berdiri di barisan yang jumlahnya tertata rapi. Tatapan mata mereka saling mengenal. Jika kita masuk menyusup ke dalam barisan itu, maka barisan itu akan kacau dan kita jelas akan ketahuan,” jelas Cio San.
“Hebat sekali pasukan ini!”

“Pasukan seperti ini meskipun jumlahnya sedikit, amat sangat sulit untuk dikalahkan. Gerakan mereka seperti satu tubuh dan satu jiwa. Hebat sekali Khu-tai goanswe membentuk pasukan seperti ini. Perlu latihan keras bertahun-tahun. Tak boleh ada salah sedikit pun. Tetapi melihat ini, aku cukup lega. Mudah-mudahan kita akan meraih kemenangan di Selatan nanti,” ujar Cio San.

“Jadi, apa rencana Hongswee?”

“Kita hanya bisa membayangi pasukan ini. Berjaga-jaga jika ada serangan pemberontak. Syukur-syukur perjalanan aman sampai ke Selatan. Jika sudah tiba di sana, musuh yang dihadapi akan lebih kelihatan.”

“Hmmm, jadi kita hanya berdiam di sini?” tanya Syafina lagi.

“Tidak. Kita harus bergerak di depan mereka. Setidaknya dengan cara ini kita akan lebih dulu mengetahui pergerakan musuh.”

“Baiklah.”

Kedua orang ini melayang turun perlahan-lahan tanpa suara. Baju tentara mereka sudah mereka tanggalkan di atas pohon. Dalam sekejap mata mereka menghilang di dalam kegelapan hutan itu.

Setelah cukup jauh Syafina berkata, “Ada yang ingin aku tanyakan kepada Hongswee.”

“Apa itu?”

“Bagaimana jika pasukan pemberontak menyusup ke dalam pasukan khusus itu?”

“Tidak mungkin. Seperti yang kubilang tadi, pasukan itu tidak mungkin bisa disusupi. Mereka saling mengenal satu sama lain. Gerak-gerik mereka tertata rapi.”

“Tapi bagaimana jika seluruh pasukan itu memberontak?”

“Jika mereka ingin memberontak, kenapa menunggu sejauh ini untuk melakukannya?” kata Cio San.

“Hmmmm, betul juga. Eh, ada lagi yang ingin kutanyakan,” tukas Syafina.

“Mengapa kita justru jalan ke belakang pasukan, kata Hongswee kita harus ke depan?”

“Ada satu hal yang baru kusadari,” kata Cio San enteng.

“Apa itu?”

“Kemungkinan besar kaisar tidak berada di dalam rombongan pasukan ini.”








Related Posts: