Rombongan ini melaju ke depan. Mereka bergegas ingin sampai ke depan, di medan peperangan yang tampaknya telah menanti. Sebuah pesan melalui burung merpati datang memberitahukan bahwa perang telah di mulai.
Wajah sang Kaisar mengeras. Matanya mencorong tajam membaca berita itu. Cio San memberanikan diri untuk bertanya, “Jika perang sudah terjadi, apa rencana Yang Mulia selanjutnya? Apakah terjun langsung, atau….,”
Kaisar tidak menjawab, ia malah menatap Li Ping Han,
“Kami telah menyiapkan tempat tersembunyi di mana kami bisa mengamati perang dan memberi perintah. Mohon Hongswee turut bersama kami ke tempat itu,”kata Li Ping Han.
Untuk sekejap Cio San terheran mengapa ia tidak diperintahkan untuk terjun ke medan perang, tenaganya jelas sangat diperlukan di sana. Tetapi ia segera menyadari bahwa rombongan kaisar ini sangat membutuhkan perlindungan darinya karena kejadian menghilangnya 5 siucay tadi.
“Apakah Kim Sim Koksu (Guru besar Kim Sim) tidak turut di dalam rombongan ini?” tanya Cio San.
“Entahlah. Gerak gerik beliau tidak bisa di duga. Semua tergantung kebijaksanaan beliau sendiri. Terkadang beliu terjun ke dalam pasukan untuk turut mengatur prajurit, terkadang beliu turut dalam pertempuran, tapi terkadang juga beliau tetap di belakang dan memperhatikan situasi. Dalam hal ini, kami tidak pernah berani untuk meminta beliau melakukan apa-apa,” jelas Li Ping Han.
Cio San mengangguk mengerti. Memang untuk tingkatan manusia yang “paripurna” seperti Kim Kok Su, perbuatan dan sikap mereka tak pernah bisa diduga.
Sayup sayup di depan terdengar bunyi menggelegar. Mereka telah mendekati peperangan yang dahsyat. Cio San bergidik. Ia belum pernah mengalami peperangan dahsyat seperti ini. Beberapa tahun yang lalu ia pernah turut berperang mempertahankan istana dari serangan pemberontak. Tetapi peperangan itu tidak sebesar dan semenakutkan peperangan yang akan dihadapinya ini. Dari jumlah pasukan, persenjataan, dan alasan penyebabnya.
Mengapa manusia harus berperang, padahal toh akhirnya mereka akan mati juga?
Rombongan bergerak memutar. Mereka tidak langsung menuju daerah peperangan melainkan mengambil jalur lain yang berbeda. Rupanya rombongan menuju tempat rahasia yang tadi dijelaskan Li Ping Han. Semakin dekat, suara gemuruh peperangan semakin membahana. Bau darah, asap, dan mesiu mulai memenuhi udara. Di kejauhan Cio San bisa memandang pertempuran yang sangat dahsyat itu!
Puluhan ribu orang di sebuah dataran yang luas beradu senjata. Ada yang kepalanya terbabat putus, ada yang lengannya dibacok, ada yang kakinya dihujam tombak. Entah berapa puluh ribu panah yang melayang di angkasa. Entah berapa banyak jiwa meregang oleh panah-panah ini.
Rombongan kaisar terus bergerak. Menapaki sebuah bukit kecil yang tersembunyi. Betapa hebat sais kereta, kuda, dan keretanya sendiri. Di jalanan yang sesukar ini, kereta dapat melaju dengan cukup kencang tanpa ada kesulitan berarti. Semakin dekat ke puncak, suara gemuruh peperangan semakin terdengar jelas, pemandangan mengerikan pun semakin terlihat dengan jelas.
Jarak bukit dengan medan perang itu cukup jauh. Tetapi segalanya jelas terlihat dan terdengar dari sini. Siapa pun yang menemukan tempat ini, tentulah seorang ahli perang yang amat hebat, selain juga memiliki keberuntungan amat besar. Dengan letak bukit yang tersembunyi, daerahnya yang sukar dijangkau, serta jarak pandang yang bagus, bukit ini sendiri sudah menjadi sebuah benteng tersendiri yang sangat kokoh.
Cio San keluar dari kereta dan membantu para pengawal yang dengan sigap membentuk lagi sebuah benteng sederhana dengan menggunakan batang-batang pohon yang roboh. Mereka juga menggunakan tanaman-tanaman dan dedaunan untuk menyamarkan keadaan kereta. Dalam sekejap saja, kereta sudah tidak kelihatan, dan benteng kokoh sudah dibuat.
Kaisar di dalam kereta memperhatikan keadaan perang dengan seksama. Para pengawal menuju ke tempat-tempat yang sudah mereka sepakati. Masing-masing berjaga di sana. Yang paling jauh berjaga-jaga di bagian bawa bukit. Jika ia melihat sesuatu yang mencurigakan, ia bisa mengirimkan tanda bahaya kepada yang lain. Yang paling dekat adalah Li Ping Han. Ia mungkin orang kepercayaan kaisar yang paling dekat. Cio San sendiri mengagumi kecekatannya.
Li Ping Han memanjat sebuah pohon. Dari situ ia bisa lebih jelas melihat jalannya peperangan yang amat sangat dahsyat itu. Cio San juga mengikutinya dan duduk di sebuah dahan yang lain. Dua pengawal yang lain berjaga-jaga di bawah melindungi kereta kaisar.
Di kejauhan Cio San mulai mempelajari peperangan itu. Pasukan kerajaan menggunakan baju zirah dari tembaga. Panji-panji mereka berwarna emas. Pasukan khusus kekaisaran menggunakan baju zirah mentereng yang berwarna emas. Dari kejauhan gerakan mereka menimbulkan kilatan cahaya yang menyilaukan.
Pasukan musuh ternyata tidak kalah banyaknya. Mereka menggunakan baju zirah tembaga dan baju zirah berwarna keperakan. Panji mereka berwarna hitam bergambar macan. Panah berterbangan memenuhi langit. Suara mesiu pun meledak menghancurkan apa saja. Penemuan bubuk mesiu sekitar seratus tahun yang lalu, berdampak besar pada peperangan. Semakin banyak orang yang mati, semakin mudah pula membunuh mereka.
Apa gunanya ilmu silat melawan gempuran mesiu seperti itu?
Li Ping Han melihat jalannya pertempuran dengan seksama. Ia lalu mengeluarkan sebuah sangkakala yang cukup besar dari balik pinggangnya. Saat ia meniupkannya, suaranya terdengar sangat bergemuruh. Nada-nada yang mengalun berbeda-beda. Nada ini merupakan perintah kepada pasukan untuk bergerak sesuai siasat. Amat sangat pintar!
Pasukan kerajaan lalu bergerak sesuai perintah nada-nada itu. Rupanya ini merupakan nada-nada rahasia yang hanya beberapa orang dari pasukan yang mengerti. Orang-orang inilah yang kemudian mengendalikan pasukan di medan pertempuran.
Sebelum nada-nada sangkakala itu dibunyikan, Cio San dapat melihat jelas bahwa pasukan kekaisaran agak sedikit terdesak meskipun jumlah mereka banyak. Dengan adanya panduan dari nada-nada ini, keadaan pasukan kekaisaran menjadi lebih baik. Mereka menjadi lebih teratur dan lebih trengginas. Terlihat pasukan lawan mulai kewalahan.
Li Ping Han tidak hanya mengatur pasukan, tetapi juga menggunakan busur panah untuk menyerang titik-titik berbahaya milik musuh. Bidikannya sangat tepat dan tenaganya sangat kuat. Sungguh kepandaian yang sangat mengagumkan!
Pasukan kekaisaran mulai mampu merebut keadaan dan menguasai pertempuran!
Tapi hal ini hanya berjalan sebentar karena kembai terlihat pasukan Kekaisaran mulai terdesak lagi. Bukan karena pasukan lawan, melainkan karena semburan-semburan api berwarna biru. Semburan ini membawa bau yang sangat busuk, bagaikan bau bangkai manusia. Di mana api dan aroma itu menyembur, di situ puluhan orang mati terkapar dengan mengerikan. Pemandangan ini sangat menakutkan. Cio San dapat melihat apa yang terjadi.
Pek Giok Kwi Bo.
Nenek ini bergerak dengan sangat cepat dan telengas. Ke mana ia bergerak, puluhan orang mati. Tak ada yang sanggup menghentikannya. Para ahli silat yang berada di dalam pasukan kekaisaran pun tak dapat menghentikan nenek ini. Api biru beracun berasal dari hembusan mulutnya.
Nafasnya mengeluarkan api bagaikan naga yang mengamuk marah!
Siapapun yang terkena hembusan nafas ini mati gosong oleh api beracun.
Cio San hanya bisa bergidik. Ia teringat keadaan tumpukan mayat saat ia dulu menyelidiki pasukan musuh. Semuanya mati menggosong dalam keadaan yang menggenaskan. Rupanya perbuatan nenek iblis ini. Ia mengepalkan tinjunya. Ingin sekali ia terbang turun ke bawah untuk bertarung dengan nenek itu.
Li Ping Han memperhatikan segala peristiwa ini. Raut wajahnya menampakkan kekhawatiran besar, namun ia bersikap sangat tenang. “Kita tidak memiliki pendekar tangguh yang sanggup menghadapinya,” kata pengawal itu.
“Saya bersedia turun ke sana jika Yang Mulia Kaisar memerintahkan,” kata Cio San.
Li Ping Han menggeleng, “Kehadiran Hongwsee di sini lebih diperlukan.”
“Tapi kita di sini hanya duduk sambil memandang para prajurit mati sia-sia,” tukas Cio San.
“Tidak. Ada rencana yang lebih besar yang harus kita hadapi. Kita hanya bisa menunggu,” jelas pengawal kepercayaan kaisar itu.
Dalam hati Cio San sebenarnya paham pasti ada siasat yang sedang dijalankan oleh Li Ping Han, tetapi hatinya tidak bisa tenang melihat pembantaian hebat di depan matanya. Sebagai seorang pendekar, hati kecilnya berteriak memaksanya untuk terjun ke medan laga.
Inilah perbedaan pendekar dan para jenderal perang. Di dalam peperangan, para pendekar tak akan pernah bisa menjadi jenderal karena hati dan jiwa mereka tidak akan mungkin tega mengorbankan prajurit lain. Hanya jenderal yang benar-benar tangguh dan teruji yang mampu dengan tenang menjalankan rencana-rencananya meskipun keadaan semakin terdesak. Meskipun banyak korban yang berjatuhan.
Menjadi jenderal perang ternyata tidak semudah bayangan orang. Kebanyakan orang mengira menjadi jenderal hanyalah duduk santai sambil mengatur siasat. Ternyata jauh lebih menyeramkan dan menakutkan dari itu. Cio San baru benar-benar memahaminya setelah mengalami sendiri.
Waktu terus berjalan, dan kematian terus terjadi.
Di pihak musuh, Pek Giok Kwi Bo merajalela. Teman-temannya yang juga merupakan pendekar-pendekar kaum sesat juga menggila dengan dahsyatnya. Para petarung yang membela kekaisaran sangat sedikit yang bisa menandingi mereka.
Sekali lagi Cio San terpana, dan ia menyesali keputusan kaum Bu Lim yang menyatakan menjauhkan diri dari urusan kekaisaran. Karena hal ini justru melemahkan tanah air. Pada awalnya kaum Bu Lim memang tidak ingin memihak pada perseteruan di dalam kekaisaran, tetapi langkah ini seperti pisau bermata dua. Ketika tanah air di serang, maka tak ada seorang pun pendekar sakti yang mempertahankannya.
Jika tanah air kembali dikuasai oleh bangsa lain seperti jaman dahulu dijajah oleh bangsa Goan (Mongolia), maka sepenuhnya ini merupakan kesalahan para pendekar dunia persilatan. Memang ada banyak pendekar yang turut mendaftar menjadi prajurit saat perang berlangsung, tapi umumnya mereka ini pendekar kelas menengah yang alasan bergabungnya hanyalah karena uang. Para pendekar hebat kelas atas, malah lebih suka menyendiri atau saling beradu silat.
Pasukan musuh terus bergerak maju. Gerakan mereka tak tertahankan karena dibantu oleh pasukan panah yang sangat hebat. Panah mereka sangat banyak, jauh lebih tepat, lebih cepat, dan lebih mematikan. Bagaimana musuh melatih pasukan panah yang begitu dahsyat?
Cio San memusatkan pandangannya. Ia kemudian dapat melihat bahwa pasukan musuh menggunakan senjata panah yang berbeda. Mereka tidak menggunakan busur biasa harus dipentang dulu kemudian dilepaskan anak panahnya, melainkan menggunakan sebuah busur kecil yang tidak perlu dipentang, cukup menekan tuas kecil maka 5 anak panah dapat ditembakkan sekaligus. Busur itu pun dapat menyimpan puluhan anak panah. Seseorang tidak memerlukan kekuatan yang besar untuk menarik busurnya. Ia cukup menekan sebuah tuas dengan jari telunjuknya.
Rupanya senjata panah ini yang dulu menyerangnya bersama Suma Sun dan hampir membuat mereka terbunuh. Memang bukan serangan dari senjata ini yang dulu membahayakan jiwanya, melainkan sebuah anak panah yang diluncurkan secara licik, dengan kemampuan yang sangat mengagumkan yang hampir menembus jantungnya. Tetapi senjata panah ini yang dulunya dilancarkan dengan sangat banyak sehingga ia tidak bisa menangkis panah utama yang ditujukan ke jantungnya itu.
Cio San mengepalkan tinjunya. Musuh besarnya sudah di depan mata, jika ia mau terjun ke medan peperangan, ia mungkin akan bertemu musuh besarnya itu. Tetapi di sini, kaisar membutuhkan perlindungannya. Di depan matanya, banyak manusia yang dibantai dengan begitu kejamnya.
Ia melihat pasukan kekaisaran mulai kocar-kacir. Pek Giok Kwi Bo dan kawan-kawannya telah berhasil mngobrak-abrik pasukan kekaisaran dengan cukup mudah. Semakin lama pasukan kekaisaran semakin mundur. Musuh seolah bertambah banyak, hadir dari kiri dan kanan. Tahu-tahu bagian dalam menyeruak keluar. Dan entah bagaimana dari luar bisa menyorong ke dalam.
“Aku tahu mengapa mereka bisa sebanyak itu. Karena mereka adalah pasukan kekaisaran yang membelot,” seru Li Ping Han.
“Membelot?”
“Ya. Selama ini kita dipusingkan dengan pasukan yang musnah dan hilang begitu saja. Seolah-olah musuh terlalu banyak dan menelan mereka. Tapi kini aku yakin, sebagian besar pasukan ini tidak musnah dan mati. Mereka bergabung dengan pasukan musuh,” kata Li Ping Han. “Gaya serangan pasukan ini merupakan ciri khas serangan pasukan kekaisaran. Pasukan lain tidak mungkin mempelajarinya. Pasukan kita rupanya telah berkhianat.”
Cio San mengerti. Hal ini cocok dengan penyelidikannya dahulu. Ia merasa banyak sekali pasukan yang dikirim, namun korban mati yang ia temukan tidaklah begitu banyak. Sebagian tubuh mereka dibakar agar mengacaukan jumlah. Tetapi jika seseorang mau teliti, ia dapat melihat jumlah yang mati jauh lebih sedikit daripada yang dikirimkan dahulu. Cio San mengira mereka ditawan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa mereka malah bergabung dengan pasukan musuh.
Tentu karena uang. Hanya uang yang dapat merubah seorang kawan menjadi lawan.
Pembantaian terus berlangsung.
Darah muncrat di mana-mana.
Potongan tubuh manusia melayang dan bergelimpangan.
Teriakan bercampur dengan dentingan bunyi senjata.
Pemandangan yang paling mengerikan adalah ketika manusia membunuh manusia yang lain untuk alasan yang sama sekali tidak dipahami oleh mereka sendiri.
Ketika Cio San memalingkan wajahnya, ia justru melihat hal yang jauh lebih mengerikan dari itu. Pek Giok Kwi Bo sedang membunuh untuk kesenangan. Setiap ia bergerak puluhan orang jatuh hangus oleh api beracun. Para pendekar lain yang membantunya pun tidak kalah ganasnya. Jumlah orang yang mereka bunuh hari itu jauh lebih banyak daripada siapapun yang membunuh di sepanjang hidupnya.
Teriakan yang mati sungguh mengenaskan.
Cio San sudah tidak kuat lagi. Air matanya berlinang membasahi wajahnya. Ia sudah siap melayang turun ke bawah. Ketika didengarnya sesuatu datang dari kejauhan.
Kepakan sayap puluhan burung.
Sekejap jantungnya hampir berhenti berdetak. Kini wajahnya berseri-seri bahagia. Selama ini sahabat-sahabatnya tidak pernah berhenti mengecewakannya.
Cukat Tong telah tiba!
Tetapi ia tidak sendirian. Ada seseorang datang bersamanya.
Ang Hoat Kiam Sian.
Sang Dewa Pedang Rambut Merah!
Dewa kematian telah muncul kembali.
Seketika rasa bahagia Cio San berubah menjadi sedikit ketakutan. Ia tahu apa yang sanggup diperbuat Suma Sun jika lelaki itu mencapai puncak kemarahannya. Hari ini, hanya sedikit manusia yang akan lolos dari kematian!
Cukat Tong terbang rendah. Burung-burungnya menukik dengan tajam. Tak ada seorang pun yang menyadari kedatangan kedua orang pendekar itu. Suma Sun melayang turun dengan perlahan. Jubah putihnya melambai.
Begitu ia mendarat di medan laga, puluhan orang terlempar hanya karena kibasan kain bajunya. Ia tidak lagi menggunakan pedang. Lengan baju kanannya yang menutupi lengannya yang buntung telah berubah menjadi sebuah senjata yang lebih menakutkan dari pedang mana pun!
Ke mana Suma Sun bergerak, pasukan musuh berjatuhan tanpa ampun!
Cio San bergidik. Sahabatnya itu telah mencapai tahap tertinggi dalam ilmu pedang, yaitu tahap “Tanpa Pedang”. Ia tidak memerlukan pedang, karena tubuhnya dan apa yang ada pada tubuhnya telah mampu diubahnya menjadi pedang!
Blaaaaaar!
Dhueeeeeeeeeeerrrrrrr!
wuuuuusssssssss! wuuuuuuuuuusssss!
Kemana ia bergerak, ledakan dan sabetan lengan bajunya pun bergerak dengan dahsyatnya. Lengan bajunya dapat menjadi lembut bagaikan cambuk, namun dapat keras menegang bagai pedang tanpa tanding. Tingkat ketinggian tenaga dalam Suma Sun sudah mencapai tahap “tak terbayang”. Hanya orang yang memiliki ketinggian tenaga dalam tahap sempurna baru bisa menggerakkan lengan baju seperti itu.
Ketika Suma Sun menghabisi musuh di darat, Cukat Tong menghancurkan musuh lewat udara. Ia melemparkan bola-bola berisi mesiu yang menghancurkan persenjataan dan pertahanan musuh. Para pasukan pemanah musuh mulai mengincarnya. Tapi Cukat Tong dan burung-burungnya bergerak dengan sangat cepat. Mereka terbang tinggi dan menghindari panah musuh.
Perajurit musuh pun tidak berani menembak sembarang karena khawatir panahnya justru akan menghujam kawan sendiri yang tengah bertempur.
Suma Sun berhenti bergerak. Di hadapannya adalah seorang laki-laki yang tinggi besar. Ia memakai topi bambu yang menutupi wajahnya. “Kau Suma Sun?” tanyanya.
Suma Sun tentu tidak bisa melihat orang, tetapi seluruh inderanya yang lain bekerja dengan begitu sempurna. Ia dapat menduga. “Tuan adalah Si Raja Golok dari Timur?”
Yang ditanya hanya menjawab dengan mencabut goloknya perlahan dari sarungnya. “Kita lihat siapa yang lebih cepat. aku atau kau,” katanya.
Gerakannya sangat cepat. Tidak ada suara sama sekali. Tahu-tahu goloknya telah mengincar leher Suma Sun. Tapi gaya menghindar Suma Sun pun tidak kalah cepatnya. Ia hanya mundur satu langkah, golok itu sudah lewat di depannya. Ia bergerak satu kali lagi.
Kali ini entah bagaimana golok itu telah berpindah tangan.
Si Raja Golok dari Timur hanya bisa melongo melihat bagaimana kini goloknya telah berada di genggaman tangan kiri Suma Sun. Dalam sejarah dunia persilatan sejak dulu sampai sekarang, baru kali ini ada jagoan golok nomer wahid yang goloknya diambil begitu gampang. Seperti mengambil manisan dari tangan anak-anak.
Ia tidak tahu harus marah ataukah menangis.
“Ju…jurus…a…apa itu?”
“Semua Tanpa Pedang Di Bawah Langit,” jawab Suma Sun pelan.
Si Raja Golok mengayunkan tangannya dan menghajar batok kepalanya sendiri. Baginya hidupnya sendiri sudah tak lagi berguna. Hidup seribu tahun pun ia tak akan mampu sampai pada tahap seperti Suma Sun. Rasa putus asa dan malu karena goloknya dirampas dengan mudah membuatnya menghabisi nyawanya sendiri.
Jika seseorang berhadapan dengan Suma Sun, sebaiknya ia memang mengambil nyawanya sendiri. Suma Sun yang sekarang jauh lebih menakutkan daripada Suma Sun yang dahulu. Cio San semakin bergidik.
Suma Sun kembali bergerak. Kali ini melayang tinggi setinggi kepala orang. Ia lalu mengibaskan tangan kanannya. Tubuhnya berputar bagaikan angin puyuh!
Lalu dengan mengerankan pedang serta golok dari prajurit-prajurit yang berada di sekitarnya seolah-olah terhisap masuk ke dalam angin puyuh itu!
Semua Tanpa Pedang Di Bawah Langit.
Setelah pulih dari lukanya, Suma Sun malah mampu membuka titik-titik rahasia di dalam tubuhnya. Titik-titik ini memberikan kekuatan sakti yang amat sangat dahsyat. Tak ada seorang pun yang mengetahui rahasia titik-titik ini jika ia belum mengalami kelumpuhan seluruh tubuh seperti yang dialami Suma Sun.
Ratusan pedang dan golok terhisap ke dalam angin puyuh itu. Ketika angin itu berhenti, pedang dan golok itu telah berubah menjadi sebuah bola besi yang sangat besar !
Suma Sun menandangnya jauh ke angkasa.
Bahkan prajurit yang sedang bertempur pun terpaksa berhenti sejenak melihat kejadian ini.
“Siapa yang ingin selamat silahkan buang pedang,” kata Suma Sun dengan tenang dan pelan. Tetapi kalimat ini terdengar jelas masuk ke telinga setiap mereka yang ada di situ. Betapa tingginya khi-kang milik pendekar ini!
Ia berjalan dengan tenang ke depan. Ribuan prajurit musuh dihadapannya mundur dengan perlahan. Mereka semua memang sudah siap untuk mati. Tapi tidak ada dari mereka yang siap mati di tangan Suma Sun.
Tahu-tahu Pek Giok Kwi Bo muncul dari balik kerumunan pasukan musuh. Tangannya membawa sebuah tabuhan perang yang sangat besar. Nenek itu lalu memukulnya dengan sangat kuat.
Boooooooommmmmmmmm!
Booooooooommmmmmm!
Suma Sun telah menutup jalan pendengarannya sebelum tetabuhan itu dibunyikan. Tetapi tetap saja bunyi dentuman yang dihasilkan telah mempu menggetarkan jantung. Karena nenek itu memukulnya dengan tenaga dalam dan cara yang khusus.
Para prajurit banyak yang terkapar mati dengan urat jantung yang putus dan gendang telinga yang pecah. Cukat Tong yang masih melayang di udara pun kini jatuh menghujam bumi karena burung-burungnya semua mati menggenaskan.
Siapa pun yang tidak memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi akan mati dengan urat jantung yang terputus.
Suma Sun tidak dapat bergerak. Ia sebenarnya justru lebih menderita daripada orang lain. Karena orang buta pasti memiliki indera lain yang jauh lebih tajam daripada orang lain. Pendegarannya akan lebih tajam daripada orang lain, penciumannya, perasanya, seluruh tubuhnya!
Jadi ketika suara dentuman tetabuhan ini mengguntur dan membunuh siapa saja, justru Suma Sun sangat menderita. Meskipun ia telah menutup indera pendengarannya, getaran dentuman ini masih bisa dirasakan kulitnya, jantungnya, seluruh tubuhnya.
Pihak musuh rupanya telah mempersiapkan senjata untuk menghadapi Suma Sun. Pendekar itu kini diam terpaku dan tak dapat bergerak. Seluruh pergerakannya harus ia lakukan dengan hati-hati karena salah gerak sedikit dapat menghancurkan jantungnya.
“Serang dia!” teriak Pek Giok Kwi Bo.
Beberapa pendekar hebat yang menjadi anak buahnya kemudian berkelebat ke depan. Ada 4 orang yang menyerang secara bersamaan. Cio San pun melompat ke depan. Ia tak dapat menahan diri lagi. Demi nyawa sahabatnya, perintah kaisar pun berani ia langgar.
Tapi Cio San jelas kalah langkah. Ia berada ratusan Li jauhnya.
Musuh hampir menjangkau Suma Sun. Hati Cio San mencelos. Ia tak dapat melakukan apa-apa dari sana. Air matanya menderai.
Duarrr ! Duarrrr! Duarrr! Duarrrr!
Empat buah ledakan kecil terjadi. Ledakan itu berasal dari lemparan bola mesiu yang dilontarkan Cukat Tong dari udara. Dalam gerak jatuhnya ia masih bisa memberi pertolongan pada Suma Sun. Sekali lagi Cukat Tong menggerakkan tangannya ke depan, benang-benang halus yang ia gunakan untuk mengendalikan burung, telah melilit di tubuh Suma Sun. Dengan satu kali hentakan, ia telah melontarkan Suma Sun ke atas.
Melihat ini, lega lah hati Cio San. Dengan ringan ia melayang turun ke bawah. Dalam 20 langkah, ia telah tiba di medan pertempuran. Tak ada seorang pun di muka bumi ini sanggup menyamai kecepatan gerakan langkahnya.
Pek Giok Kwi Bo yang melihat Cio San datang mendekat, segera bergerak. Posisinya jauh lebih dekat ke Suma Sun daripada ke Cio San. Karena itu ia memilih menyerang Suma Sun, karena ia tahu Cio San tak akan bisa menyelamatkan sahabatnya itu.
Nenek iblis itu bergerak bersama dentuman terakhir yang ditabuhnya. Ia bergerak bersama gelombang suara yang dihasilkan dari tetabuhan itu. Bahkan ia lebih cepat ! Belum lagi gelombang itu terdengar dan mencapai Suma Sun, gerakan nenek iblis itu telah mendahului.
Suma Sun mengibaskan lengan bajunya ke depan. Lengan baju yang amat sangat dahsyat. Tetapi yang dihadapinya adalah seseorang nenek iblis yang sangat licik. Nenek itu menggunakan api!
Api beracun itu melahap lengan baju Suma Sun! Seketika tenaga dalam sakti yang mengalir di lengan baju itu hilang seketika. Gas beracunnya menghambur masuk melalui kulit Suma Sun. Wajahnya berubah ungu saat racun itu menjalar ke dalam tubuhnya.
“Naga Menggerung Menyesal!”
Terdengar teriakan dari kejauhan. Sinar keemasan berbentuk naga yang sedang mengamuk meluncur dengan deras. Inilah tapak yang pernah mengguncang dunia persilatan. Sinar emas itu menghujam dada Pek Giok Kwi Bo. Sang nenek berjumpalitan mundur.
“Hahahahahaha,” ia tetap tertawa meskipun darah termuntahkan dari tenggorokannya. Pukulan Cio San dilakukan dengan penuh amarah, kekuatannya menjadi berlipat ganda. Tetapi nenek itu hanya tertawa senang.
“Kau tak apa-apa?” tanya Cio San pada Suma Sun.
Pendekar itu berjumpalitan di udara dan mengerahkan tenaga dalamnya. Dengan mudah racun yang tadi terserap kulitnya sudah berhasil ia keluarkan seluruhnya. Wajahnya kini bercahaya seperti biasa. Tetapi Suma Sun tetap masih tenang seperti sedia kala. Ia hanya mengangguk.
Betapa lega hati Cio San, tetapi kini ia baru menyadari. Ada puluhan layang-layang merah di angkasa telah mendekati bukit di mana sang Kaisar bersembunyi.
Ia telah terpancing.
Manakah yang harus ia pilih? Kaisar atau sahabat?
0 Response to "BAB 53 SEMUA TANPA PEDANG, DI BAWAH LANGIT"
Posting Komentar