EPISODE 2 BAB 55 MALAM YANG PANJANG



Cukat Tong dan Cio San berjalan dengan santai. Mereka menyadari betul apa yang akan mereka hadapi di depan. Musuh yang teramat sangat kuat. Karenanya mereka sebisa mungkin menghilangkan ketegangan dan keraguan di dalam hati mereka dengan mengobrol dengan santai.

“Terakhir bertemu, ku lihat kau bersama seorang perempuan. Kenapa sekarang kau malah sendirian?” tanya Cukat Tong.

Sebenarnya ini pertanyaan yang cukup menusuk, tetapi karena Cio San tahu Cukat Tong sedang mencoba mengajaknya bercanda, ia menjawab dengan santai, ”Perempuan cantik seperti bidadari seperti dia, mana mau kuajak bertualang segala ?’’

’’Lah, bukannya saat kita bertemu itu, kalian sedang bertualang ?’’

“Semakin sering kau ajak seorang perempuan bertualang, semakin dalam hatinya ingin kembali ke rumah,” tukas Cio San.

Lama mereka berjalan dalam diam, lalu Cukat Tong kembali bertanya,
"Menurutmu, apa sumber kebahagiaan dalam hidup? tanya Cukat Tong.

Cio San tidak menjawab. Malahan ia hanya melengos.

"Uang?" tanya Cukat Tong. Cio San tetap melengos.

"Kemahsyuran?"

Cio San tetap melengos.

"Cinta?" begitu Cukat Tong menanyakan itu, Cio San segera menoleh kepadanya dan berkata sambil tertawa, "Jika ada lelaki yang mengatakan cinta adalah sumber kebahagiaannya, maka ku jamin, hidupnya pasti lebih sering menderita".

"Lalu apa?" Cukat Tong masih penasaran.

"Aku tidak tahu," tawa Cio San terbahak bahak. "Jika aku tahu, memangnya kau pikir hidupku akan selucu ini?"

Mereka berdua terbahak-bahak.

Semakin dahsyat pertarungan yang akan mereka hadapi, semakin mereka tertawa dan bersenang-senang.

"Aku heran padamu. Kau tampan. Kau telah melakukan banyak hal yang mengagumkan. Kau pun sangat memahami hati perempuan. Seharusnya orang sepertimu sudah bergelimangan harta dan wanita. Tapi mengapa kulihat tidak ada satupun wanita yang menempel kepadamu? Mengapa juga ku lihat kau hidup rudin seperti ini?" tanya Cukat Tong sambil tertawa.

Jawab Cio San, "Semakin kau mengerti sifat perempuan, semakin kau tidak ingin berurusan dengannya"

"Lalu bagaimana kau memuaskan kebutuhanmu?" tanya Cukat Tong dengan wajah heran.

"Jika kau ingin makan, kau cukup datang ke warung. Kau tak perlu memiliki warungmu sendiri" tawa Cio San.

"Dari seluruh ocehanmu sejak tadi, ku rasa omonganmu inilah yang paling masuk akal. Mengapa aku tidak pernah memikirkannya?"

Mereka berdua tertawa. Meskipun beban hidup mereka sebagian besar disebabkan urusan perempuan, tidak sedikit pun hal itu mempengaruhi mereka saat ini. Meski di masa lalu, kedua sahabat ini sempat bersitegang tentang seorang wanita, malam ini mereka telah memutuskan di dalam hati mereka untuk mengesampingkan segala permasalahan dan menikmati gelak tawa.
“Eh, bagaimana hasil perjalananmu ke Himalaya? Mengapa kau dapat kembali secepat ini?” tanya Cio San.

“Seperti yang kau tahu, dengan menggunakan burung-burungku perjalanan kami menjadi lebih cepat. Meski akhirnya burung-burung ini tidak bisa digunakan saat kami menemui daerah bersalju, setidaknya perjalanan kami jauh lebih singkat ketimbang lewat darat.”

Lanjutnya, “Cukup sulit mencari orang di tengah pegunungan dengan cuaca seperti itu. Untunglah aku sempat sedikit-sedikit belajar dari Suma Sun. Kami akhirnya bertemu dengannya.”

“Kau bertemu dengan Gan-bengcu? Bagaimana kabarnya?”

“Ia terluka parah karena salah mempelajari ilmu?”

“Ilmu? Bagaimana ceritanya?”

“Dalam perjalanannya, ia menemukan sebuah mayat laki-laki yang terbalut es di dalam sebuah jurang. Mayat itu sudah berumur puluhan tahun, namun tetap utuh karena dilindungi cuaca yang dingin. Di tubuh mayat itu terdapat tulisan-tulisan yang mengajarkan tentang ilmu silat. Rupanya Gan-siauya mempelajari imu di tubuh mayat itu tetapi salah mempelajarinya. Ia terluka parah dan hampir lumpuh. Beruntung kami menemukannya dan membawanya pulang. Dan yang lebih beruntung lagi, begitu kami keluar dari jurang itu, sebuah longsoran es yang sangat dahsyat kemudian menutupi jurang itu,” kisah Cukat Tong.

“Wah, beruntung sekali! Syukurlah Thian (langit) masih memberikan perlindungan kepada kalian!”

“Tetapi mayat itu kemudian tertutup es selamanya. Seingatku ada beberapa barang berharga yang ikut terkubur bersamanya selama-lamanya.”

“Dasar otak maling. Yang kau pikirkan selalu pusakan berharga. Hahaha. Memangnya barang apa yang tidak sempat kau ambil?” tanya Cio San.

“Sebuah suling emas!”

“Hmmmmm. Apa lagi?”

“Ada beberapa kitab dan beberapa senjata. Bwee HUa berhasil mengambil satu senjata. Sebuah pedang lemas yang sangat berharga. Dari hawanya saja sudah ketahuan pedang itu merupakan mustika yang sangat sakti.”

“Apakah pedang itu merupakan mustika pedang yang selama ini dicari-cari kaum persilatan?” tanya Cio San.

“Iya, menurut Bwee Hua,” jelas Cukat Tong.

“Hmmmm, berarti lengkap sudah 6 mustika ditemukan. Empat mustika berada padaku; yaitu mustika ular, mustika sutra, dan mustika ikan. Mustika yang ke-empat sudah kuberikan kepadamu saat aku menyembuhkanmu. Mustika yang ke-lima adalah mustika kitab yang kini berada di gudang kekaisaran. Mustika ke-enam adalah mustika pedang. Dan mustika Kulit yang sampai sekarang masih belum ditemukan. Apakah mustika pedang berada padamu?”

“Bwee Hua yang membawanya,” jawab Cukat Tong.

Cio San ingin bertanya di mana Bwee Hua saat ini, tetapi ia memutuskan untuk tidak bertanya.

“Lalu bagaimana keadaan Gan-bengcu?”

“Kami sudah mengantarkannya ke kapal miliknya. Ada kedua orang tuanya di sana yang merawatnya.”

“Baguslah,” desah Cio San menghela nafas.

“Tak berapa lama lagi kita akan memasuki daerah kekuasaan musuh, apa rencanamu?” tanya Cukat Tong.

“Mereka pasti telah menunggu kedatangan kita. Mereka tahu kita mungkin akan melalui jalan udara, sehingga kemungkinan mereka akan mempersiapkan penyambutan. Lewat jalan darat dan air pun pasti sudah dijaga ketat,” jawab Cio San.

“Lalu lewat mana?”

“Kita tidak perlu menyerang ke sana. Kita tunggu saja mereka di sini!”

”Itu rencanamu ?’’

Cio San hanya mengangguk.

“Dari mana kau yakin bahwa mereka akan mengejar kita ke sini?” tanya Cukat Tong lagi.

“Karena mereka tahu tentara kita sedang kocar-kacir sehingga mereka tidak ingin melepaskan kesempatan ini. Kesempatan untuk menghancurkan seluruhnya kekuatan kekaisaran. Karena mereka tahu, masih banyak prajurit yang loyal terhadap dinasti ini.” Cio San berhenti sejenak dan memperhatikan keadaan sekitar. Lalu berkata, “Kita menunggu mereka di sini”

Cukat Tong menurut saja, namun ia bertanya,“Lalu bagaimana dengan nasib kaisar yang sudah diculik?”

“Mereka tidak akan membunuhnya saat ini. Karena jika mereka ingin membunuhnya, mereka tak perlu menculiknya. Mereka ingin menggunakan kaisar sebagai sandera, untuk memaksa dinasti ini turun dari tahta,”

“Betul juga. Lalu apa rencanamu? Kita menunggu saja di sini ?’’

“Kita pergunakan teknik gerilya. Dengan mengandalkan ginkang dan kegelapan malam, kita hancurkan tentara mereka sedikit demi sedikit.’’

Cukat Tong berpikir sebentar, lalu ia berkata, “Baiklah. Terserah kau saja!”

“Jangan khawatir. Kita kan masih punya satu senjata rahasia!” ujar Cio San.
“Apa itu?”

“Bwee Hua!”

“Kau mempercayakan tugas kepadanya? Kau mempercayainya? Bahkan aku saja tidak percaya kepadanya!” kata Cukat Tong dengan penuh rasa sedih.
“Mau tidak mau, aku harus meminta pertolongannya.”

Cukat Tong hanya terdiam sambil tersenyum perih, “Memang jika kau yang memintanya, ia akan melakukan apapun yang kau mau.”

Alangkah menyedihkannya keadaan ini. Tetapi ini adalah sebuah kenyataan yang harus mereka semua terima.

“Aku akan menuliskan surat kepadanya saat ini juga. Bisakah kau mengirimkannya?’’

“Aku dapat memanggil burung pengantar pesan kami kapan saja. Kujamin pasti sampai ke Bwee Hua,’’ tukas Cukat Tong.

“Baiklah.”

Dengan cepat merobek kain bajunya dan menuliskan pesan di kain itu.

Bwee Hua yang terhormat,

Kali ini bangsa dan negara membutuhkan pertolonganmu. Juga mengingat persahabatan kita, aku meminta tolong kepadamu. Kerahkan segala upayamu untuk melemahkan musuh di markas mereka. Aku berjanji akan membalas pertolonganmu dengan melakukan apapun yang kau minta selama hal ini tidak bertentangan dengan hukum negara, dan hukum dunia persilatan

Tertanda

Cio San

Ia segera menggulung kain itu dan memberikannya pada Cukat Tong. Sang raja maling lalu meniup sebuah peluit yang hampir tak ada suaranya. Tak berapa lama sebuah burung gagak pun datang. Cukat Tong mengikat lembaran kain itu dan menerbangkan gagaknya menghilang di kegelapan malam.

“Terima kasih,” kata Cio San yang hanya dibalas oleh anggukan kecil oleh Cukat Tong. Biasanya mereka berdua tidak pernah saling mengucapkan terima kasih. Tetapi untuk hal yang menyangkut Bwee Hua, terdapat sedikit kecanggungan di antara mereka berdua.

“Mari bersiap. Kita bersemedhi untuk mengumpulkan tenaga.”

“Mari!”

Kedua orang sakti ini kemudian melayang ke pucuk pepohonan. Mengambil sikap semedhi dan segera tenggelam dalam semedhi itu. Mereka betul-betul mengumpulkan tenaga dan menenangkan pikiran.

Selama ini tak seorang pun yang dapat mengukur ketinggian ilmu silat Cukat Tong, karena ia tak pernah menghadapi pertarungan hidup dan mati. Ia tidak pernah menunjukkan ilmu silatnya yang sebenarnya. Namun ketika Cio San sempat bergebrak dengan Cukat Tong beberapa waktu yang lalu, di dalam hati Cukat Tong bergidik membayangkan kemampuan sahabatnya itu.

Cukat Tong yang sebenarnya belum lah muncul di permukaan!

Hening dan tenang. Kegelapan malam di dalam hutan rimba. Tak ada setitik cahaya pun karena rembulan dan bintang tertutup awan mendung. Malam ini mungkin akan ada hujan lebat.

Mereka semakin dalam memasuki semedhi masing-masing. Pikiran yang kosong. Tenaga yang terkumpul. Jiwa yang menyatu dengan alam.

Entah berapa lama mereka berada di dalam keheningan. Seolah-olah tidak menyadari bahwa dari kejauhan tentara musuh sudah bergerak diam-diam. Jumlah mereka sangat banyak namun mereka bergerak dalam gelap dan kesunyian. Nampaknya mereka ingin membuat serangan tiba-tiba terhadap tentara kekaisaran.

Cio San dan Cukat Tong masih melakukan semedhi mereka di atas pohon. Tentara musuh berjalan di bawah mereka tanpa menyadari bahwa kedua orang pendekar sakti itu sedang berada di atas pohon.

Rombongan ribuan tentara itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melewati tempat itu. Sebuah tempat yang diapit dua bukit kecil. Tidak ada seorang pun dari mereka yang menyadari bahwa tempat itu adalah tempat penyerangan yang sempurna.

Cio San ternyata memilih bersemedhi di situ karena ia menyadari betapa sempurnanya tempat itu. Pengetahuannya tentang peperangan dan taktik tentu saja ia pelajari sekilas dari kita Bu Bhok.

Sekilas saja sudah cukup baginya.

Begitu tentara memasuki daerah itu, mereka harus memperkecil barisan karena jalan di tempat itu dikelilingi dua bukit yang mempersempit jalan mereka. Dua bukit ini tidak terlalu mencolok, dan jalannya pun tidak terlalu terlihat menyempit. Hanya orang yang benar-benar paham keadaannya baru bisa memahami betapa sempurnanya keadaan tempat itu.

Jalur yang menyempit ini ternyata cukup panjang. Barisan tentara yang terakhir telah memasuki jalan sempit ini, sedangkan barisan terdepan malah belum keluar.

Cio San membuka matanya. Cukat Tong membuka matanya.

Mereka melayang turun.

Dengan ginkang yang sempurna mereka bergerak!

Di dalam kegelapan mereka melumpuhkan satu persatu tentara itu dengan begitu cepat mulai dari barisan paling belakang!

Barisan yang di depan tidak tahu apa yang terjadi di belakang mereka!

Ginkang (ilmu meringankan tubuh) serta ilmu totok kedua orang ini sudah berada di puncak kesempurnaannya. Begitu menakutkan! Begitu tanpa ampun!
Jika kau berada di sana, kau sendiri pun tak akan percaya akan kejadian ini.

Dua bayangan yang bergerak bagai malaikat kematian. Dua bayangan yang bergerak di balik bayang-bayang!

***

Suma Sun berdiri dengan tenang.

Ia mungkin tidak pernah setenang ini dalam hidupnya.

Padahal ia tahu, musuh berat sedang datang menghampirinya dari kejauhan. Ia tidak menenteng pedang, karena ia tidak lagi memerlukan pedang.

Ia telah mengganti bajunya yang tadi gosong terbakar. Kini jubah barunya yang berwarna putih menyala, berkilat di dalam kegelapan malam yang kelam. Entah berapa lama ia berdiri di sana.

Wajahnya tidak menampakkan ketegangan seperti orang yang akan berhadapan dengan peperangan. Wajahnya kosong melompong seperti orang sedang melamun. Tetapi jiwanya terisi penuh dengan semangat membara.

Di saat seperti ini, baju yang dipakainya adalah pedang. Rambutnya yang menjuntai tak diikat adalah pedang. Dedaunan yang berada di sekitarnya adalah pedang. Bahkan debu yang menempel di ujung sepatunya pun adalah pedang!

Lalu musuh pun datang!

Barisan terdepan adalah barisan para pendekar yang cukup sakti.

Sedangkan barisan belakang adalah prajurit biasa yang kini sedang dilumpukan Cio San dan Cukat Tong satu persatu tanpa ada seorang pun dari pasukan ini yang menyadarinya.

Barisan para pendekar sakti terhenti. Sesosok pria tampan yang berpakain seputih salju sedang menghalangi jalan mereka.

“Kau Suma Sun?” tanya salah seorang.

Tentu saja Suma Sun tidak menjawab. Ia berada di sana untuk membunuh orang. Bukan untuk menjawab pertanyaan.

“Hmmm. Manusia sombong! Kau pikir kau bisa menghadapi keroyokan kami?”

Ada sekitar 100 orang barisan pendekar yang berada di hadapan Suma Sun. Seluruhnya adalah pendekar hebat kelas atas.

Suma Sun maju selangkah demi selangkah dengan sangat tenang.

“Siapa yang ingin hidup, silahkan mundur,” ia mengucapkannya pun dengan sangat tenang pula.

Tentu saja mereka tertawa. Dengan jumlah sebanyak ini, tak ada seorang pendekar pun yang sanggup mengalahkan mereka.


***

Cio San dan Cukat Tong telah menghentikan pergerakan mereka. Lebih dari duapertiga musuh telah mereka lumpuhkan dalam sekejap. Meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi dan bertentangan dengan nilai-nilai kependekaran, namun mereka tetap melakukannya.

Kini mereka berdua memandang jauh ke depan. Di mana barisan yang tersisa sedang maju untuk menyerang tentara kekaisaran.

"Akan banyak orang yg mati malam ini, kau tidak khawatir?" tanya Cukat Tong.

"Khawatir atau tidak, apakah ada bedanya? Memangnya Suma Sun akan berhenti menjadi Suma Sun hanya gara-gara kau khawatir?" bibir Cio San tersenyum tetapi di dalam hati ia khawatir.

Ia bukan mengkhawatirkan keadaan Suma Sun. Yang ia khawatirkan adalah berapa banyak orang yang harus mereka kuburkan malam ini.

"Memang jika ia ingin membunuh orang, tiada sesuatu pun yang sanggup menghalangi" tukas Cukat Tong.

"Bahkan dewa kematian sekalipun menuruti kemauannya. Jika dewa kematian sedang berlibur, tetapi Suma Sun hendak membunuh orang, maka sang dewa harus menghentikan liburannya dan datang memenuhi keinginan Suma Sun" tawa Cio San.

"Jangan jangan Suma Sun adalah dewa kematian itu sendiri?" ujar Cukat Tong.
Cio San menggeleng sambil menghela nafas, "Tidak. Dewa masih memiliki perasaan."

Lanjutnya, “Kita hanya melumpuhkan para tentara ini dengan totokan. Sebenarnya adalah untuk menyelamatkan mereka sendiri dari kematian. Tetapi hanya itu yang sanggup kita lakukan. Sisanya lagi tak dapat kita selamatkan karena jika kita bergerak lebih jauh, gerakan kita akan ketahuan dengan barisan depan yang jauh lebih tangguh,”

“Kau sengaja menyisakan barisan yang tangguh untuk Suma Sun?”

“Tidak. Karena kita tak dapat bergerak lebih jauh. Kita harus segera pergi ke benteng musuh untuk menyelamatkan Kaisar.”

Malam ini, akan ada ratusan orang yang mati. Hal ini adalah sebuah hal yang wajar dalam sebuah peperangan.

Hal ini adalah sebuah hal yang wajar jika mereka berhadapan dengan Suma Sun.



Daftar Isi

Related Posts: