Karangan : Huang Ying
Rating :
Bab 1. Kelelawar.
Musim gugur sudah mulai berakhir.
Jalan raya kuno, sepuluh li di luar kota Lok-yang.
Mendekati senja, angin barat berhembus kencang, merontokkan dedaunan kering, mengubah suasana jagad jadi begitu sendu dan mengenaskan.
Saat itulah di tengah jalan raya muncul serombongan manusia berkuda, tiga kereta, empat kuda, dua puluh tujuh orang jagoan.
Di sudut ke tiga kereta utama masing-masing tertancap sebuah panji kecil berbentuk segi tiga, panji berwarna merah darah dengan sulaman tulisan yang menyala, “Tin-wan”
Itulah kereta pengangkut barang milik perusa-haan ekspedisi Tin-wan Piaukiok.
Perusahaan Tin-wan Piaukiok berpusat di kota Lok-yang, jangkauan usahanya meliputi seluruh kolong langit, karena pengaruhnya yang cukup besar, selama ini jarang ada sahabat golongan hitam maupun putih yang berani mengganggu perjalanan mereka.
Bila sebuah perusahaan ekspedisi dapat mencapai tingkatan semacam ini, dapat dibuktikan kalau kemampuan serta daya pengaruhnya memang luar biasa.
Cong-piautau perusahaan Tin-wan Piaukiok bernama Lui Sin, sudah sepuluh tahun malang melintang dalam dunia persilatan, dengan meng-andalkan sebilah golok emas bersisik ikan, dia pernah menghancurkan enam belas benteng bandit di kedua sisi sungai, menghadapi ratusan per-tarungan berdarah sebelum akhirnya berhasil membuat nama perusahaan Tin-wan Piaukiok berjaya.
Dalam hal ini, peran saudara angkatnya, Han Seng dengan pedang peraknya sangat membantu usahanya selama ini.
Belakangan, golok emas pedang perak sudah teramat jarang turun tangan sendiri mengawal barang kirimannya, hal ini bukan disebabkan mereka sudah tua dan bertambah lemah, melainkan karena hal ini memang sudah tidak perlu mereka lakukan lagi.
Apalagi putri kesayangan Lui Sin yaitu Lui Hong juga sangat hebat, ilmu silatnya sudah melampaui kepandaian golok emas pedang perak, seorang diri dia sudah mampu mengatasi segalanya.
Tahun ini usia Lui Hong belum genap dua puluh tahun, tapi sudah lima tahun dia mengawal barang kiriman.
Pada tahun pertama, Lui Sin dan Han Seng masih ikut mengawal, tahun kedua Lui Sin masih rada kuatir, pada tahun ke tiga bahkan Han Seng pun sudah tidak merasa kuatir lagi.
Sejak saat itu setiap pengawalan barang, ter-kecuali permintaan khusus dari pemilik barang, kalau tidak selalu dikawal sendiri oleh Lui Hong.
Gadis ini bukan saja berilmu tinggi, otak dan pikirannya amat cermat, itulah sebabnya hingga sekarang, tidak sekali pun pernah gagal atau mengalami hambatan.
Tapi gadis itu tidak menjadi sombong karena keberhasilannya itu, dia masih tetap teliti, cekatan dan cermat.
Karena itu pula hingga kini Lui Sin maupun Han Seng sangat percaya dan tidak merasa kuatir.
Tidak dapat disangkal lagi, Manusia berbakat seperti Lui Hong memang merupakan manusia paling berbakat dalam mengawal barang kiriman.
Sayang sepandainya tupai melompat, akhirnya sekali-kali jatuh juga. Siapa pun orangnya, suatu ketika pasti akan teledor juga, sebab memang tidak ada manusia yang bisa lolos dari kelemahan ini.
Tidak terkecuali bagi Lui Hong.
Oo0oo
Angin berhembus sangat kencang, mengibar-kan mantel yang dikenakan Lui Hong, mengibarkan pula ikat rambutnya.
Dia mengenakan baju berwarna merah menya-la, mantelnya berwarna merah pula, termasuk ikat rambutnya, merah menyala, semerah darah segar.
Sementara kuda tunggangannya berwarna putih, seputih salju.
Kuda putih dengan gadis berbaju merah, perpaduan warna yang sangat mencolok, apalagi dia memiliki potongan tubuh yang ramping tapi padat berisi, berparas cantik jelita bak bidadari.
Perlahan dia menjalankan kudanya, meski pinggangnya masih begitu lurus, kepalanya justru tertunduk lesu, entah terpengaruh oleh suasana sendu di sekeliling tempat itu atau karena alasan lain, nona itu tampak begitu sendiri, kesepian.
Di sampingnya mengikuti seekor kuda putih, penumpangnya adalah seorang gadis berbaju hijau, usianya paling banter enam belas tahun, malah masih tampak sifat kekanak-kanakannya.
Nona ini bukan lain adalah dayang kepercaya-annya, Ciu Kiok.
Biarpun hanya seorang dayang, dia diperlaku-kan bagaikan saudara kandung sendiri, mereka makan tidur bersama, bahkan belajar silat pun bersama-sama.
Di belakang mereka adalah dua orang piausu dari Tin-wan Piaukiok, To Kiu-shia dan Thio Poan-oh.
Mereka berdua terjun ke dalam dunia per-silatan jauh lebih awal daripada Lui Sin maupun Han Sin, bukan saja pengalamannya luas dan matang, ilmu silat pun sangat hebat.
Golok Toa-huan-to dari Thio Poan-oh serta sepasang kaitan Jit-gwee-kou dari To Kiu-shia terhitung cukup tersohor dalam dunia kangouw, banyak orang menaruh perasaan segan terhadap mereka.
Bagi orang yang bekerja sebagai pengawal barang, menjadi tenar memang bukan urusan gampang.
Oo0oo
Sepanjang jalan tumbuh pohon murbei yang rindang, daun murbei yang merah menyala, tampak makin menyala ketika tertimpa sisa cahaya senja, cahaya yang menyusup lewat celah-celah dedaunan.
Begitu merahnya membuat suasana sepanjang jalan pun ikut berubah menjadi merah, bagaikan beralaskan permadani merah, permadani merah darah.
Pemandangan semacam ini memang tampak indah, cantik, sayang kecantikan yang berbau siluman, kecantikan yang menakutkan.
Kawanan manusia itu seakan berjalan di tengah genangan darah, khususnya Lui Hong dengan pakaiannya yang serba merah, semerah darah segar.
Tiap kali melewati kumpulan dedaunan murbei yang lebat, seluruh tubuhnya seakan-akan menyatu ke dalam merahnya daun, seolah tubuhnya berubah menjadi gumpalan darah segar.
Hal ini membuat penampilannya tampak lebih cantik.
Cantik tapi menakutkan!
Oo0oo
Di luar hutan murbei terdapat sebuah kedai teh, perabotnya sangat sederhana namun justru menampilkan suasana yang lain daripada yang lain.
Penjual teh adalah seorang kakek yang berusia lanjut, begitu melihat munculnya rombongan kereta barang Tin-wan Piaukiok dari tempat kejauhan, dia segera muncul di luar pintu untuk menyambut kedatangan mereka.
Hingga rombongan kereta berhenti di depan warung, ternyata kakek itu tidak mempersilahkan tamunya untuk masuk, sebaliknya malah bertanya kepada Tong-cu-jiu yang berjalan di paling depan rombongan,
“Apakah rombongan ini adalah rombongan perusahaan ekspedisi Tin-wan Piaukiok?”
Walau agak keheranan, Tong-cu-jiu itu mengangguk.
“Ada urusan apa?”
“Apakah diantara kalian ada seorang nona yang bernama Lui Hong?”
Sekali lagi Tong-cu-jiu tertegun.
Lui Hong yang berada di belakang dan mendengar pertanyaan itu segera menyela:
“Empek tua, ada urusan apa mencariku?”
“Tadi ada seorang tuan menitipkan sepucuk surat kepadaku, dia minta aku serahkan surat itu kepada nona Lui Hong dari perusahaan Tin-wan Piaukiok”
“Akulah orangnya” kata Lui Hong dengan wajah tercengang.
Dari dalam sakunya si kakek mengeluarkan sepucuk surat, buru-buru Tong-cu-jiu menyambut-nya dan tanpa diperintah Lui Hong lagi, langsung disodorkan ke hadapan nona itu.
Sambil menerima surat itu, tanya Lui Hong kepada kakek itu:
“Siapa orang itu?”
“Dia seorang kongcu ganteng, konon dari marga Siau”
“Siau? Siau apa?”
“Soal itu mah tidak dia jelaskan”
“Kapan kejadiannya?”
“Belum lagi setengah jam berselang”
“Oooh...” Lui Hong mengalihkan pandangan matanya ke arah surat itu.
Ternyata sampul surat itu tanpa aksara, Ciu Kiok yang melongok dari samping segera menyela:
“Menurut dugaan nona, kongcu dari marga Siau yang mana itu?”
“Dari mana aku bisa tahu?”
“Jangan-jangan surat dari Siau Jit kongcu?” tiba-tiba Ciu Kiok bertanya lagi.
“Siau Jit?” seru Lui Hong dengan tubuh bergetar, cepat dia melanjutkan sambil tertawa, “aku hanya sempat bertemu satu kali dengan dia, sebagai seorang pemuda dengan pergaulan begitu luas, aku yakin saat ini dia sudah melupakan diriku, lagipula di antara kami tidak ada urusan maupun hubungan, tanpa sebab mau apa dia mencariku?”
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, mimik mukanya berubah sangat aneh, seolah dia dibuat tidak berdaya oleh kejadian ini.
Kesendirian, kesepian semakin pekat menye-limuti wajahnya.
Dia memang masih tertawa, tapi senyuman itu begitu pahit, begitu getir, bibirnya seolah-olah dapat terbuka hanya lantaran ditopang oleh jari telunjuk-nya.
Di dalam sampul surat itu hanya terdapat secarik kertas, secarik kertas yang amat kecil.
Dia menggerakkan jari tangannya, perlahan-lahan mengeluarkan surat itu dari dalam sampul.
Baru tercabut setengah jalan, pandangan matanya tiba-tiba membeku, mimik mukanya ikut membeku, dengus napasnya seakan terputus di tengah jalan.
Bersamaan itu, semua gerak geriknya, semua perubahan wajahnya seakan ikut terhenyak, terhenti total.
Ciu Kiok yang sigap segera menyadari akan kejadian itu, dia ikut mengalihkan sorot matanya ke arah surat itu.
Tapi dengan cepat dia tertegun, terperangah, terkesima di tempat, sampai lama kemudian dia baru mendesis:
“Bagaimana mungkin.........”
Baru sampai tengah jalan, ulapan tangan Lui Hong segera memotong ucapan selanjutnya.
Ciu Kiok terhitung seorang gadis cerdas, seketika dia membungkam dan tidak bersuara lagi.
Saat itulah penampilan Lui Hong pulih kem-bali menjadi normal, menjadi tenang seperti sedia kala.
Tatapan mata yang sudah beralih ke wajah Ciu Kiok karena ucapan sang dayang tadi, dengan cepat diurungkan kembali.
Kemudian sinar matanya kembali membeku. Lambat laun mimik mukanya ikut berubah, berubah jadi sangat aneh, aneh sekali.
Sekilas rasa girang terbesit dibalik perasaan kaget dan terperanjatnya, semacam perasaan girang yang amat kuat.
Di atas surat yang kecil itu hanya tertera sebaris kata, sebaris kalimat yang amat singkat.
Ditunggu kedatanganmu di luar hutan kuil Thian-liong-ku-sat, ada urusan penting akan di-rundingkan.
Lalu di bawahnya tercantum tanda tangan.
------- Nama Siau Jit sudah mencuat ketika kertas itu tercabut setengah jalan, Lui hong telah membaca nama itu, karena nama itu pula dia kehilangan kendali, kehilangan ketenangan hatinya.
Kalau dibilang gadis ini punya kelemahan, inilah titik kelemahan yang dimiliki.
Sejak dilahirkan, hanya orang ini yang bisa membuatnya bersikap begitu.
Siau Jit!
Ada orang bilang, Siau Jit adalah seorang Hiap-kek, seorang pendekar sejati, ada pula yang bilang dia hanya seorang gelandangan, seorang petualang cinta. Tapi terlepas dia pendekar sejati atau petualang cinta, saat ini sudah tidak banyak anggota persilatan yang tidak mengenal namanya.
Nama orang ini kelewat tersohor, kelewat terkenal. Bukan lantaran kegantengannya saja, juga lantaran ilmu silatnya yang tangguh.
Bahkan ada orang bilang begini:
‘Tidak disangkal Siau Jit memang lelaki tertampan di kolong langit.’
Sebetulnya tiada batasan yang pasti untuk menilai tampan jeleknya wajah seseorang, akan tetapi siapa pun orangnya, asal pernah berjumpa Siau Jit, mau lelaki atau pun wanita, mau punya permusuhan atau tidak, hampir semuanya harus mengakui bahwa dia memang sangat tampan.
Hanya ada seorang yang menyangkal akan hal ini, dialah Siau Jit sendiri.
Dia tidak pernah bangga atau sombong karena sebutan ini, justru seringkali berkeluh kesah, kesal karena persoalan itu.
Sebab ada banyak masalah, ada banyak kesulitan justru timbul karena masalah ini.
Dalam hal ilmu silat, diapun memiliki bakat dan kemampuan yang luar biasa.
Dia mempunyai seorang guru yang hebat ------ Bu-cing-cu! Manusia tanpa perasaan!
Kehebatan Bu-cing-cu menggetarkan langit selatan, pedang Toan-ciang-kiam miliknya tiada tandingan, belum pernah ada korban yang lolos dari ujung pedangnya dalam keadaan hidup.
Begitu pula dengan Siau Jit, keampuhan dan kehebatannya tiada tandingan.
Nama besar Toan-ciang-kiam (pedang pemu-tus usus) begitu tersohor, begitu terkenal, sama sekali tidak di bawah kebesaran nama Bu-cing-cu.
Dia gemar mengenakan baju berwarna putih, pedang andalannya adalah sebilah pedang bertahta mutu manikam, itulah pedang pusaka pemutus usus.
Kuda jempolan, pedang mustika, busana berwarna putih bersih, semuanya ini merupakan simbol yang telah memabokkan banyak gadis muda, membuat begitu banyak orang jatuh cinta, tapi membuat banyak orang patah hati.
Lui Hong adalah satu diantaranya.
Oo0oo
Jagad raya masih diselimuti kesenduan dan keheningan, namun kemurungan yang semula meng hiasi wajah Lui Hong, entah sejak kapan telah tersapu bersih.
Perasaan kaget, terperangah, lambat laun mulai surut, sementara perasaan girang makin lama semakin mengental dan bertambah pekat
Dengus napas pun kedengaran semakin mem-buru, menandakan hatinya makin tegang, demikian memburunya hingga Ciu Kiok pun ikut merasakan.
“Nona” tegurnya tiba-tiba, “kenapa kau men-jadi tegang?”
“Siapa bilang aku tegang?” bantah Lui Hong cepat.
“Jadi nona akan pergi menjumpai Siau kongcu?” lagi-lagi dayang itu bertanya.
Tanpa sadar Lui Hong menarik kembali tangannya.
“Jadi kau telah membaca semuanya?”
Tidak tahan Ciu Kiok tertawa geli, serunya:
“Sudah terbukti tegang masih menyangkal, masa sedari tadi aku ikut celingukan di sisimu pun tidak kau rasakan”
“Dasar budak nakal, hati-hati mulutmu!” bentak Lui Hong sambil tertawa.
“Nona tidak usah kuatir, aku tidak akan mengatakan masalah ini dengan siapa pun”
Lalu sambil merendahkan suaranya dia menambahkan:
“Hanya tidak jelas ada urusan apa Siau kongcu mencarimu?”
“Dari mana aku tahu” Lui Hong menggeleng.
“Apakah aku diijinkan ikut pergi?” bisik Ciu Kiok.
“Mau apa kau ikut pergi?”
“Aku.... aku pun ingin bertemu Siau kongcu”
Tiba-tiba pipinya berubah semu merah, entah sejak kapan sorot matanya jadi sayu, seolah tertutup oleh selapis kabut tebal.
Menyaksikan hal itu Lui Hong menghela napas panjang, bisiknya:
“Benarkah penampilan laki-laki itu begitu menyentuh perasaan setiap wanita?”
Wajah Ciu Kiok semakin memerah, merah lantaran jengah.
“Akupun belum pernah bertemu dengan dia, tapi.... konon, menurut cerita orang, setiap anak gadis yang pernah bertemu dengannya, tidak seorang pun dapat melupakannya lagi”
Merah jengah wajah Lui Hong, cepat dia alihkan pokok pembicaraan ke masalah lain, kata-nya:
“Aku pun tidak tahu ada urusan apa dia mencariku, tapi kalau dilihat dari sikapnya yang begitu berhati-hati, bisa jadi dia tidak ingin ada orang ke tiga yang ikut hadir”
“Benar” Ciu Kiok tertawa getir.
“Bilamana mungkin” sambung Lui Hong sambil tertawa, “selesai bertemu dia nanti, aku pasti akan mengajakmu untuk pergi menjumpainya”
“Janji?” wajah Ciu Kiok semakin merah.
“Janji!” sambil mengangguk Lui Hong masuk-kan kembali surat itu ke dalam sampul.
To Kiu-shia dan Thio Poan-oh dua orang piausu yang mengikuti dari belakang segera saling bertukar pandangan setelah menyaksikan kejadian itu, cepat mereka memburu maju.
“Nona Hong” dengan nada menyelidiki To Kiu-shia bertanya, “sebenarnya apa yang telah terjadi?”
“Aah, tidak apa-apa” agak gugup Lui Hong menggeleng, “hanya seorang teman ingin bertemu aku”
“Mengajak bertemu empat mata di suatu tempat?” kembali To Kiu-shia bertanya dengan nada curiga.
Lui Hong mengangguk.
“Tidak masalah, sebab orang itu bukan orang jahat” sahutnya.
“Apakah nona yakin?”
“Tentu” sahut Lui Hong tertawa, dia menatap sekejap wajah To Kiu-shia serta Thio Poan-oh, kemudian melanjutkan, “aku minta tolong paman berdua untuk menghantar kereta barang masuk ke kota, sebentar aku akan menyusul kalian”
“Nona, sebenarnya kau hendak ke mana? Paling tidak beritahu tempatnya kepada kami” ujar To Kiu-shia, “jadi waktu ditanya Cong-piautau, kami pun dapat memberikan pertanggungan jawab”
“Tempat itu ada di sisi kanan mulut hutan yang telah kita lewati tadi, kuil Thian-liong-ku-sat”
“Kuil Thian-liong-ku-sat?” ulang To Kiu-shia agak tertegun.
“Setahuku, kuil itu sudah lama terbengkalai, lama sekali tidak pernah dihuni manusia” timbrung Thio Poan-oh pula.
“Betul, bahkan seorang hwesio pun tidak ada disitu”
Lui Hong tertawa.
“Orang yang mengundang aku memang bukan hwesio, jadi aku yakin diapun tidak tinggal disitu” katanya.
Suara tertawa gadis ini merdu bagai kelening-an, membuat orang yang mendengar merasa nyaman.
To Kiu-shia serta Thio Poan-oh hanya bisa tertegun, selain Ciu Kiok, semua orang yang lain tidak terkecuali.
Mereka jarang mendengar Lui Hong tertawa semacam itu, pun teramat jarang melihat Lui Hong tertawa begitu riang, begitu gembira.
Suara tertawa Lui Hong menggaung tiada hentinya, senyuman yang menghiasi wajahnya ibarat bunga yang mekar di musim semi, semua keheningan dan kesenduan yang membungkus jagad seolah jadi buyar lantaran suara tertawanya itu.
Diiringi suara tertawa yang merdu, dia mem-balikkan kudanya lalu bergerak menuju ke arah jalanan semula.
Sorot mata semua orang ikut bergeser meng-ikuti gerakan tubuhnya, namun perasaan tercengang menghiasi wajah hampir semua orang yang hadir.
Hanya Ciu Kiok seorang yang tidak bingung, namun dia tunjukkan perasaan apa boleh buat.
Dalam waktu singkat bayangan tubuh Lui Hong sudah pergi semakin jauh, tidak lama kemu-dian lenyap dibalik tikungan jalan.
Tanpa terasa Ciu Kiok menghela napas pan-jang, perasaan apa boleh buat semakin kental meng-hiasi wajahnya.
To Kiu-shia seolah baru mendusin dari impian, segera serunya kepada Ciu Kiok:
“Sebenarnya siapa yang telah mengundang nona Hong?”
Ciu Kiok tertawa, senyumannya makin misterius, bisiknya:
“Aku tidak boleh memberitahu kepada kalian, kalau sampai ketahuan nona, aku bisa dihukum”
To Kiu-shia sebagai jago kawakan sangat pandai melihat gelagat, setelah menyaksikan tingkah laku Ciu Kiok sewaktu berbicara dengan Lui Hong tadi, dia seperti menyadari akan sesuatu, segera serunya:
“Jangan-jangan orang itu adalah orang yang disukai nona Hong......”
“Siapa bilang!” tukas Ciu Kiok.
To Kiu-shia tertawa terbahak-bahak.
“Hahahaha..... jangan harap urusan kalian anak gadis dapat mengelabui aku si jago kawakan, bagus, bagus sekali, memang sudah saatnya buat nona Hong”
“Hei.... melantur sampai dimana ucapanmu itu”
“Baik, baiklah, tidak kulanjutkan, tidak ku-lanjutkan” ujar To Kiu-shia, setelah memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, dia turunkan perintah kepada rombongannya untuk melanjutkan per-jalanan.
Saat itulah kakek pemilik warung teh maju menyongsong sambil menyapa:
“Tuan-tuan sekalian tentu lelah melakukan perjalanan, apa salahnya kalau masuk dulu untuk minum teh?”
“Ehmm, usul bagus” To Kiu-shia manggut manggut, “memang ada baiknya kita mengaso di sini sambil menunggu nona Hong”
“Silahkan, silahkan......!” kakek itu segera mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam warung.
Dalam ruang kedai terdapat tiga buah meja kursi yang amat sederhana, kelihatannya sejak awal membuka usaha warungnya, dia sudah pergunakan perabot itu.
Usaha dagang semacam ini sesungguhnya memang sebuah usaha kecil yang hanya cukup untuk mencari uang lauk, dengan keadaan serba pas-pasan, mana mungkin dia bisa mengganti semua perabotnya dengan perabot yang lebih baru?
Tapi To Kiu-shia maupun Thio Poan-oh tidak ambil peduli, bagi mereka yang bekerja sebagai pengawal barang, menginap di udara terbuka atau makan di kedai sederhana sudah merupakan kejadi-an yang lumrah, keadaan yang tidak perlu diprotes atau dipermasalahkan.
Apalagi dalam pengalaman mereka, keadaan semacam ini masih belum terhitung sebagai warung paling jelek.
Di atas meja tertata poci serta cawan, biarpun sudah banyak yang retak dan gumpil, namun harus diakui sangat bersih.
“Silahkan duduk tuan-tuan sekalian” kembali kakek itu mempersilahkan tamunya untuk duduk.
“Bagaimana cara menghitung tarif air teh di tempat ini?” tanya To Kiu-shia kemudian sambil tertawa.
“Sedikit atau banyak, tergantung kepuasan tuan sekalian” sahut si kakek tertawa.
“Hahaha... bagaimanapun jahe semakin tua memang semakin pedas, jawaban kau orang tua justru membuat kami jadi rikuh untuk membayar kelewat sedikit”
Kakek itu hanya tertawa, tidak menjawab.
Sambil berpaling ke arah anak buahnya, kembali To Kiu-shia berpesan:
“Rekan-rekan sekalian, silahkan pesan teh, orang tua ini sudah lanjut usianya, kalau minta dia melayani kami semua, rasanya malah kurang enak”
Diiringi gelak tertawa nyaring, semua orang pun mengambil tempat duduk mengelilingi meja meja yang tersedia.
Saat itulah si kakek baru berkata lagi:
“Kebetulan air teh baru saja mendidih, keda-tangan tuan sekalian memang tepat waktu”
Tergerak perasaan To Kiu-shia setelah men-dengar ucapan itu, ditatapnya kakek itu dengan keheranan.
“Bukankah di hari biasa, tidak banyak orang yang lewat di sini pada saat seperti ini?”
“Rasanya memang tidak banyak” sahut si kakek tertegun.
“Kalau memang tidak banyak, aku yakin mereka lebih mementingkan meneruskan perjalanan daripada membuang waktu hanya untuk minum teh di sini”
“Loya, kenapa kau berkata begitu?” kakek itu balik bertanya.
“Aku hanya merasa sedikit keheranan” jawab To Kiu-shia sambil menatap tajam wajah kakek itu.
Si kakek tetap tidak menjawab, dia hanya tertawa.
Tiba tiba To Kiu-shia merasa senyuman yang menghiasi wajah kakek itu sama sekali berbeda dengan senyumannya tadi.
Kalau tadi senyuman kakek itu tampak begitu ramah dan lembut, kini senyumannya justru tampak begitu licik dan menakutkan.
Kesan ramah dan lembut yang dimilikinya tadi tiba tiba hilang lenyap tidak berbekas, bahkan semakin dipandang semakin tidak mengenakkan hati.
Selama ini Thio Poan-oh hanya mengawasi dan mendengarkan dari samping, tiba-tiba dalam hati kecilnya muncul perasaan yang sama seperti yang dirasakan To Kiu-shia, bahkan perasaan tersebut jauh lebih tajam dan jelas.
Tanpa sadar tangannya mulai bergeser ke pinggang, mulai meraba gagang golok Toa-huan-to miliknya.
Pada saat yang bersamaan itulah mendadak terdengar jeritan ngeri bergema dari tengah warung.
Dengan perasaan terkejut serentak To Kiu-shia dan Thio Poan-oh berpaling, mereka saksikan seorang Tong-cu-jiu (pembuka jalan rombongan kereta piaukiok) sedang memegangi tenggorokan sendiri dengan tangan kanan sambil melotot besar, bibirnya bergetar seperti ingin mengatakan sesuatu, sampai lama dia berusaha, akhirnya meluncur juga sepatah kata.
“Dalam air teh ada racun!”
Begitu selesai berteriak, tubuhnya roboh ter-jungkal, terkapar ke atas tanah.
Belum lagi tubuhnya menempel tanah, selembar wajahnya telah berubah jadi hitam kebiru-biruan.
Jenis racun yang betul-betul hebat! Daya kerja yang sangat cepat dan mematikan!
Tidak terlukiskan rasa kaget To Kiu-shia mau pun Thio Poan-oh, tanpa sadar serentak mereka berpaling, menatap kakek penjual teh itu dengan mata melotot.
Si kakek pun sedang menatap mereka berdua, senyuman yang semula ramah, kini berubah sangat menakutkan, bahkan sorot mata pun ikut berubah jadi begitu seram, begitu menakutkan!
Tiba-tiba mereka merasa sepasang mata kakek itu seolah telah berubah jadi hijau membara, bagai kan dua gumpal api setan yang sedang menggeliat.
Mana mungkin sorot mata seorang manusia dapat berubah jadi begini?
Tidak kuasa rasa ngeri, bergidik, berkecamuk dalam hati To Kiu-shia maupun Thio Poan-oh, bulu kuduk serasa bangun berdiri.
“Ciiiit......!” lagi-lagi kakek itu mengeluarkan suara tertawa yang mencicit, suara mencicit aneh yang muncul dari balik tenggorokannya.
Tertawa semacam ini belum pernah terdengar muncul dari mulut seorang manusia, paling tidak hingga saat ini, To Kiu-shia maupun Thio Poan-oh belum pernah mendengarnya.
To Kiu-shia mulai bergidik, segera hardiknya:
“Teman-teman, kalian harus berhati hati!”
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, sepasang senjata kaitan Jit-gwee-kou telah diloloskan dari pinggangnya.
“Criinngg.....!” menyusul kemudian golok Toa Huan-to diloloskan pula dari pinggang Thio Poan-oh.
Mereka berdua bergerak cepat, masing masing memisahkan diri ke kiri dan kanan, mengepung kakek itu ditengah arena.
Dalam waktu yang relatip singkat, lagi-lagi ada tiga orang roboh terkapar.
Wajah mereka telah berubah hebat, berubah menjadi hitam pekat, hitam kebiru biruan.
Ada lima orang yang meneguk air teh, dari ke lima orang tersebut, tidak seorang pun berhasil lolos dalam keadaan hidup.
Menyaksikan kesemuanya itu, To Kiu-shia merasa terkejut bercampur gusar, ditatapnya kakek itu dengan pandangan tajam, lalu tegurnya gusar:
“Sebetulnya siapa kau?”
“Hehehehe. Pencabut nyawa” kakek itu men-jawab sambil tertawa seram.
“Jadi kau mengincar barang kawalan kami?”
Kakek itu tidak menjawab, dia hanya tertawa, tertawa menyeramkan.
“Tahukah kau barang apa yang sedang kami kawal?” kembali To Kiu-shia menegur.
“Barang apa pun bukan masalah”
“Oya?” To Kiu-shia tertegun.
“sebab bukan barang kawalanmu yang kuingin kan, aku hanya menginginkan nyawa kalian semua!”
“Permusuhan apa yang terjalin antara kau dengan kami?” teriak Thio Poan-oh dengan setengah menjerit.
“Permusuhan apa pun tidak ada”
“Jangan-jangan kau berbuat begini karena nona kami?” tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak To Kiu-shia.
“Hmm, rupanya kau pun termasuk seseorang yang cerdas” puji si kakek, setelah menghela napas, terusnya, “sayang orang cerdas biasanya berumur pendek”
Habis berkata, lagi lagi dia perdengarkan suara mencicit, suara tertawa yang sangat aneh.
“Sebenarnya siapa kau?” tak tahan lagi To Kiu-shia bertanya.
“Kalau bernyali, sebutkan namamu!” Thio Poan-oh menambahkan.
Perlahan kakek itu menyapu sekejap wajah ke dua orang jagoan itu, akhirnya dia menjawab:
“Tentu saja akupun punya nama, sayang sekali biar kusebut pun tidak ada gunanya, kalian tidak bakal punya kesan apa pun, karena sudah kelewat lama namaku itu tidak pernah kugunakan”
Sesudah berhenti sejenak, dia melanjutkan:
“Semua yang tahu tentang diriku, selalu memanggilku sebagai Kelelawar!”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Kelelawar tanpa Sayap"
Posting Komentar