Bab 61 Pertempuran Kecil





“Kita harus memberitahukan Beng Liong perkara ini” kata Cukat Tong.

“Liong-ko (kakak Liong) adalah orang yang lurus dan agak sedikit kaku, kau pikir dia mau begitu saja percaya bahwa ketua partai yang sangat dicintainya itu adalah seorang bajingan?” jawab Cio San.

“Kalau kau yang bicara tentu dia percaya”

“Di dunia ini, manusia yang kata-katanya adalah emas, adalah Liong-ko sendiri. Omongan bau kentut dari mulutku ini masa mau disamakan dengan dirinya”

“Tapi aku percaya omonganmu”

“Sayangnya Liong-ko tidak sebodoh kau”

Mereka berdua tertawa mengikik. Heran. Di saat menyusup ke sarang macan seperti ini, mereka masih bisa bercanda.

“Ayo kita kembali” ajak Cukat Tong.

“Ah, tapi aku malas mendaki goa sempit tadi itu”

“Terus bagaimana?”

“Tidak bisakah kau memanggil burungmu kesini saja?”

“Kau pikir Butongpay rumah bordil? Seenak perut saja keluar masuk?”

Mereka cekikan lagi.

Tiba-tiba mereka terdiam.

“Kau dengar langkah-langkah itu?” tanya Cio San

“Ayo kembali ke goa!”

“Tidak usah. Tutup muka saja”

Cio San merobek sebagian kain bajunya dan menutup bagian bawah wajahnya. Cukat Tong pun melakukan hal yang sama.

Pintu kamar terbuka, orang yang masuk itu terbelalak ketika di lihatnya ada dua orang bertopeng di dalam kamar.

“Penyusup!!!!!” teriaknya lantang sambil meniup semprian tanda bahaya.

“Kau sudah tahu ada orang akan masuk, kenapa tidak segera menghentikannya?” tanya Cukat Tong santai.

“Aku kan suka keramaian” senyum Cio San di balik topengnya.

“Dasar tukang berkelahi” umpat Cukat Tong.

Dengan sekali gerak Cio San sudah berada di hadapan murid Butongpay itu dan menotoknya. Gerakan yang sangat cepat dan sangat tak terduga. Si murid Butongpay seperti tidak melihat apa-apa, tahu-tahu tubuhnya sudah tertotok.

Dari luar terdengar suara ramai puluhan murid Butongpay berlari ke arah kamar itu.

“Panggil burung-burungmu” kata Cio San kepada Cukat Tong.

Si Raja Maling mengangguk dan meniup juga sempritan tulangnya itu.

“Murid-murid Butongpay! Hari ini kami berdua akan membunuh kalian semua!” kata Cio San dengan suara yang dibuat-buat. Cukat Tong hampir mati ketawa mendengarnya.

“Penyusup kurang ajar! Berani-beraninya kau!” umpatan dan makian sudah tak terdengar jelas karena kini mereka semua sudah menyerang dengan serentak.

Cio San menghadapi mereka dengan santai. Ia tidak bergerak sebelum pedang-pedang itu mendekati dirinya. Lalu dengan gerakan memutar seperti gasing, pedang-pedang itu semua terlepas dari tangan penyerang dan meluncur masuk ke putaran gasing itu.

Jika Cio San mau, pedang-pedang itu bisa dilontarkan balik dan menyerang para pemilik pedangnya sendiri. Tapi ia tidak melakukannya.

Belasan orang itu terlongo!

Bagaimana mungkin pedang begitu ‘enak’ lepas dari genggaman mereka?

Sekarang semua pedang itu telah berada di tangan si orang bertopeng, yang malah berdiri dengan santai.

“Jika murid Butongpay hanya begini saja, pantas Butongpay semakin tenggelam namanya.” Kata Cio San.

“Omongan busuk!”

Terdengan suara dari belakang murid-murid Butongpay yang tadi sudah menyerangnya.

Empat orang tetua Butongpay, bersama 7 pendekar pedang pelindung Butongpay!

Cukat Tong geleng-geleng kepala, katanya “Kenapa kau mencari masalah?”

“Aku kangen bertemu mereka” bisik Cio San lirih.

“Kenapa tidak kau ajak makan dan minum arak saja”

Keduanya tertawa.

Murid-murid Butongpay yang ada di perguruan hampir seluruhnya sudah mulai berdatangan. Melihat kedua orang bertopeng ini ngobrol sambil tertawa-tawa, hati mereka mendongkol dan tambah marah,

“Manusia lancang! Berani-beraninya kau menyusup ke sarang naga!” kata salah seorang tetua. Cio San masih ingat, orang ini bernama Yo Ang.

“Cayhe adalah Kaisar Maling” kata Cio San ‘berbohong’,” Dan ini adalah adik cayhe, Pangeran Maling” yang diikuti oleh suara aneh dari mulut Cukat Tong karena tidak kuat menahan tawa.

“Apa maksud kalian datang ke sini?” tanya Yo Ang tajam.

“Raja maling dan pangeran maling masuk rumah orang, tentu bukan ingin mengajak makan. Masa hal demikian saja kau tidak paham?: tukas Cukat Tong.
Entah kenapa Cio San dan Cukat Tong berbuat aneh seperti ini. Bercanda dan tertawa-tawa. Ternyata adalah supaya menutupi jati diri mereka yang sebenarnya. Dalam hatinya, kedua orang ini jerih juga melihat banyaknya murid Butongpay yang sudah berada di sana.

“Kurang ajar!” Tujuh Pendekar Pelindung Butongpay sudah maju menyerang Cio San yang memenag berdiri di depan Cukat Tong.

Barisan 7 Bintang adalah barisan pedang yang sangat disegani. Jurus ini hanya boleh dikuasai oleh mereka yang masuk ke dalam 7 Pendekar Pelindung Butongpay. Murid yang lain tidak diperbolehkan mempelajarinya.

Jurus ini adalah ciptaan Thio Sam Hong khusus bertujuan untuk melawan serangan musuh dari luar. Karena itu jurus ini lebih bersifat menyerang, agar musuh dengan segera dapat ditundukkan. Berbeda dengan ilmu Butongpay lain yang cenderung lebih bersifat bertahan dan menunggu.

Kesalahan terbesar para murid Butongpay selama ini adalah mereka lebih sering menyerang duluan. Padahal sifat alami ilmu-ilmu Butongpay adalah bertahan dan menunggu serangan musuh. Cio San mampu memahami ini sehingga ia mampu mengembangkan dan menggunakan ilmu-ilmu Butongpay secara menyeluruh dan sampai kepada tahap tertinggi.

Barisan 7 Bintang kini telah menyerangnya!

Jurus ini sangat hebat dan cepat. Jarang ada orang yang sanggup menghindar dari kepungan ini.

Cio San pun terpana. Seumur hidup inilah barisan pedang yang paling dahsyat yang dihadapinya!

Tiada celah untuk menghindar. Tak ada ruang baginya untuk mundur!

Untungnya tadi Cio San masih memeluk puluhan pedang dengan tangan kirinya.

Kini 7 dari puluhan pedang itu sudah melayang mengarah kepada 7 orang penyerangnya.

Walaupun jaraknya sangat dekat, Cio San masih sanggup melontarkan pedang-pedang itu. Ini suatu keuntungan baginya karena Cio San sendiri meragukan kemampuannya dalam melempar senjata untuk jarak jauh.

Ternyata ia sudah memikirkannya sejak tadi.

Itulah kenapa ia mengumpulkan pedang-pedang itu dari belasan orang yang pertama kali menyerangnya.

Karena ia sudah tahu ia akan berhadapan dengan Barisan 7 Bintang.

Dan ia pun sudah tahu cara menaklukkannya.

Mengalahkan Barisan 7 Bintang harus dengan cara tiba-tiba dan dengan jarak sangat dekat. Juga harus secara bersamaan. Dengan gerakan tiba-tiba, ia akan membuat para penyerangnya kaget. Dan untuk sepersekian detik harus merubah serangan menjadi gerakan menghindar.

Dalam sepersekian detik itu ada kesempatan baginya untuk mundur dan mengatur langkah.

Dalam sepersekian detik itu, ia telah menotok hiat to ke tujuh orang itu.

Semua orang melongo.

Barisan 7 Bintang yang menggetarkan itu pun takluk hanya dalam satu jurus!

Cio San melakukannya seperti sangat gampang.

Tapi penempatan waktu, kecepatan, dan ketepatan tidak boleh salah dan meleset sedikit pun.

Justru di situlah kesulitannya. Amat sangat sulit. Karena jika salah perhitungan, tubuhnya sudah jadi daging cincang.

Perhitungan yang melesat sepersekian senti saja, atau terlalu cepat sepesekian detik saja, atau terlalu lambat sepersekian detik saja, maka tidak ada lagi orang yang bernama Cio San di muka bumi ini.

Tapi sudah menjadi pemahaman bahwa jika kita melihat orang yang ahli dalam melakukan sesuatu, rasanya terlihat seperti gampang saja. Seperti ia melakukannya dengan sederhana dan alami. Sedemikan gampangnya serasa kita pun bisa melakukannya. Justru di situlah letak kehebatan para ahli. Mereka bisa melakukan hal yang sangat sulit terlihat sangat mudah.

Kita lupa bahwa orang ahli itu telah melakukan latihan yang keras selama bertahun-tahun. Yang kita lihat adalah hasil latihannya saja.

Cio San berdiri dengan santai. Rambutnya melambai tertiup angin gunung. Tangannya memainkan rambutnya. Tangan yang satunya lagi terlipat ke belakang.

Tujuh Pendekar Pelindung Butongpay terkapar di lantai tak mampu bergerak.

Semua orang yang ada di sana melongo dan tak berani bergerak.

Jangan-jangan jika mereka bergerak, akan mengalami hal yang sama dengan ketujuh orang kawannya yang tergeletak di lantai?

Kini yang berani bergerak cuma 4 orang tetua Butong pay.

Tapi mereka melakukan kesalahan yang sama. Mereka bergerak duluan. Padahal Thay Kek Kun adalah ilmu yang baru terasa kedahsyatannya jika dipakai bertahan.

Cio San tadi sudah menjatukan beberapa pedang yang masih ada di pelukannya ke lantai. Kini entah bagaimana dia sudah memegang pedang di kedua tangannya. Satu di tangan kiri dan satu di tangan kanan.

Tangan kanan memainkan ilmu pedang pemberian Pendekar pedang Kelana.

Tangan kiri memainkan jurus Tongkat pemukul Anjing.

Langkah kakinya, adalah Langkah Menapak Awan milik Butongpay.

Ilmu silat mengalir dari tubuhnya secara alami dan sempurna. Ia tidak perlu berpikir, tidak perlu mengatur langkah, tidak perlu mengingat jurus.

Karena jurus hanya tanaman, dan pemahaman adalah buminya.

Jika pemahaman telah ‘subur’, maka segala ‘tanaman’ akan tumbuh di atasnya.

Jika pemikiran kosong dan hati telah bersih, semua hal mengalir bebas.

Tanpa ikatan. Tanpa hambatan.

Gerakan harus mengalir bebas. Justru juruslah yang membatasi gerakan.

Tangan harus kesini. Langkah kaki harus begini. Posisi tubuh harus seperti ini.

Bukankah iu membatasi?

Bukankah akan lebih dahsyat jika tubuh bergerak secara alami dalam menghadapi semua serangan musuh. Bergerak mengikuti aliran.

Seperti air yang tak tertahankan.

Seperti angin yang bebas.

Seperti tanah yang tulus.

Seperti awan yang megah.

Oleh karena itu 2 orang tetua telah tertotok oleh gagang pedang Cio San.

Sedangkan dua yang lain tak berani bergerak karena ujung pedang Cio San telah mengancam tenggorokannya.

“Perintahkan seluruh murid untuk mundur sampai ke Gerbang Tanpa Senjata” kata Cio San kepada 4 tetua itu.

Gerbang Tanpa Senjata adalah gerbang depan perguruan Butongpay. Siapapun tamu yang memasuki gerbang itu harus meninggalkan senjatanya. Gerbang itu jauh sekali di depan, karena Butongpay amat sangat luas.

“Kalian semua, lakukan perintahnya!” kata salah seorang tetua.

Dalam hati Cio San agak kecewa karena murid-murid Butongpay itu benar-benar pergi semuanya. Kenapa mereka sepengecut ini?

Begitu suasana di sana sudah sepi, Cio San baru berbicara,

“Para totiang maafkan kelancangan cayhe. Sesungguhnya cayhe tidak bermaksud melakukan ini semua”

Ia lalu melepaskan totokan kedua totiang yang tadi, dan menurunkan pedangnya dari tenggorokan dua totiang yang lain.

“Pangeran Maling, tolong totok titik pendengaran beberapa murid terluka yang berada di sini supaya mereka tidak mendengar ucapanku” pinta Cio San kepada Cukat Tong.

Cukat Tong pun melakukannya.

“Para totiang, maafkan cayhe tidak bisa memberitahukan jati diri cayhe sebenarnya. Tapi cayhe datang kemari untuk menyampaikan sebuah rahasia”

Cio San diam sebentar, lalu berkata,

“Di balik kamar ketua, terdapat jalan rahasia menuju ke puncak gunung”

Sambil berkata begitu ia ingin melihat reaksi para totiang. Cio San lalu tersenyum puas setelah melihat reaksi wajah dan tubuh mereka sesuai dengan keinginannya.

“Jalan rahasia ini berhubungan dengan kisah pembunuhan Tan hoat di atas gunung, dan beberapa rahasia lain yang harus totiang pecahkan sendiri”

“Mareka sudah datang?” tanya Cio San kepada Cukat Tong

“Sudah sejak tadi mereka berputar-putar”

“Baiklah.” Lalu ia berkata kepada para totiang.

“Ketahuilah, Lau-ciangbunjin telah mengetahui jalan rahasia itu sejak lama. Nah, silahkan totiang berpikir sendiri memecahkan rahasia yang telah cayhe sampaikan”

Sambil berbicara begitu, tubuh Cio San melayang ke atas. Tangannya masih sempat menjura. Cukat Tong pun juga telah melayang ke atas, dan mereka berdua menghilang dalam kegalapan malam.

“Kedua orang itu apakah siluman?” tanya salah seorang totiang.

Malam ini Butongpay benar-benar terguncang. Para pendekar utama mereka takluk hanya dalam satu jurus.

Tapi malam ini juga Cio San tersenyum.

“Butongpay akan meraih puncak kejayaannya lagi, mulai saat ini”

Related Posts:

Bab 60 Rahasia Mengejutkan di Butong Pay






“Jika kita berangk`t sekarang, kira-kira sampai di Butong san (pegunungan Butong) siang atau malam?” tanya Cio San.

Cukat Tong berpikir sebentar lalu menjawab, “Siang”

“Ah, kalau begitu kita berangkat nanti saja, biar sampainya bisa tengah malam” kata Cio San.

“Kau mau menyusup ke sana?” Cukat Tong bertanya.

“Memangnya kau pikir aku mau datang ke sana secara baik-baik dan duduk mengobrol?” kata Cio San sambil tertawa.

Cukat Tong pun ikut tertawa. Tiba-tiba ia berkata,

“Eh, aku melihat kejadian saat kau di jembatan bersama perempuan itu. Siapa namanya?”

“Maksudmu Mey Lan? Kau lihat semuanya?” tanya Cio San

“Ya”

“Hahaha. Memalukan. Tidak perlu dibahas”

“Tidak memalukan. Aku justru bisa mengerti perasaanmu.”

Hanya laki-laki yang bisa mengerti perasaan sahabatnya. Mungkin itulah sebabnya persahabatan antar lelaki jauh lebih erat dan dalam, ketimbang persahabatan antar kaum perempuan.

Karena itu jugalah lebih banyak laki-laki yang lebih suka menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya ketimbang bersama kekasihnya.

“Yang tidak bisa kubayangkan adalah bagaimana perasaan Mey Lan setelah ia mengetahui siapa kau sebenarnya. Betapa tampan dan gagahnya kau, dan betapa terhormatnya kau di kalangan persilatan” tukas Cukat Tong

“Mungkin hal inilah yang membuatnya semakin benci terhadapku. Ia kira aku membohonginya selama ini.”

“Maka ia menyuruh suaminya untuk menghajarmu?”

“Ya”

“Aku sungguh tak mengerti perasaan wanita” kata Cukat Tong sambil geleng-geleng kepala.

“Kalau kau mengerti, tentunya kau sudah menjadi dewa”

“Dewa saja tidak mengerti”

“Kalau dewa saja tidak mengerti, lalu kira-kira siapa yang mengerti?” tanya Cio San

“Tidak ada yang bisa mengerti. Bahkan mereka saja tidak mengerti perasaan mereka sendiri”

”Kalau mereka sendiri juga tidak mengerti, lalu kenapa mereka meminta kaum lelaki untuk mengerti perasaan mereka?”

“Justru karena mereka tidak mengerti maka mereka meminta orang lain untuk mengerti perasan mereka”

“Entah kenapa jika berbicara tentang perempuan, kepalaku jadi pusing” kata Cio San tersenyum.

“Bukan hanya kepala yang pusing, tapi jantung juga berdebar” tambah Cukat Tong.

“Peredaran darah menjadi tidak lancar. Badan meriang dan perut mendadak mulas”

Mereka berdua tertawa.

“Tapi entah kenapa, jika tidak ada perempuan, hidup terasa jauh lebih menderita” kata Cukat Tong.

“Begitulah”

“Ada perempuan berarti banyak masalah. Tidak ada perempuan rasanya hidup terasa hampa. Kira-kira kau pilih yang mana?” tanya Cukat Tong.

“Aku memilih perempuan yang tidak mendatangkan masalah” jawab Cio San.

“Perempuan cantik, jumlahnya tidak terhitung di kolong langit ini. Tapi kalau perempuan yang tidak mendatangkan masalah, baru kali ini aku mendengar ada perempuan macam demikian” kata Cukat Tong.

“Ang Lin Hua tidak mendatangkan masalah” kata Bio San.

“Itu karena dia anak buahmu, coba kalau dia jadi kekasihmu…” Dengan sendirinya Cukat Tong tak perlu melanjutkan kata-katanya.

Memang begitulah adanya.

Perempuan akan terlihat manis dan baik hati saat pertama kau mengenalnya. Tapi jika ia sudah menjadi kekasihmu, dari hari ke hari ia berubah semakin garang dan ganas. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Tapi jarang ada lelaki yang mau membahasnya. Entah kenapa. Mungkin karena takut ketahuan bahwa ia salah satu dari golongan yang kalah garang dengan istrinya.

“Bagaimana dengan Khu Ling Ling? Ku perhatikan dia pun tertarik kepadamu” tanya Cukat Tong lagi.

“Entahlah. Aku belum terlalu mengenalnya. Tapi ia terlihat garang dan ganas kalau berkelahi”

“Perempuan yang ganas dan garang di luarnya, jika di ranjang mungkin saja berubah manja dan aleman. Sebaliknya perempuan yang terlihat manis dan pendiam di luarnya, bisa jadi berubah ganas dan garang di atas ranjang. Masa hal ini saja kau tidak tahu?”

“Aku belum berbuat yang aneh-aneh dengan perempuan” jawab Cio San sambil tersenyum lebar.

“Hah?” Cukat Tong hanya melongo. Tapi ia percaya. Jika Cio San bilang matahari terbit di barat dan tenggelam di timur pun dia akan percaya.

“Kau yang gagah dan menarik ini masa kalah dengan Suma Sun yang diam dan dingin seperti batu itu? Dia kalau urusan perempuan memang sudah sangat ahli.”

“Dari mana kau tahu? Memangnya kau sudah pernah tidur dengan Suma Sun?” tanya Cio San sambil tertawa.

“Haha. Setiap hari pekerjaannya kan mengunjungi rumah bordil.”

“Mengunjungi rumah bordil kan tidak berarti ia tidur dengan perempuan”

“Jadi maksudmu dia ke rumah bordil hanya untuk sarapan dan minum teh?”

“Aku puluhan kali ke rumah bordil juga tidak berbuat apa-apa. Hanya mengunjungi markas rahasia Mo Kauw”

“Berarti maksudmu Suma Sun juga mengerjakan hal lain di rumah bordil?”

“Semua orang kan punya rahasia. Masa Suma Sun tidak boleh punya rahasia?”

Arak seperti tak pernah habis dan obrolan seperti tak pernah selesai. Dua orang sahabat duduk santai menikmati sejuknya hutan dan hangatnya tawa dan canda.

Hal yang paling berharga adalah kenangan.

Karena itu selalulah berbuat baik agar kenangan yang tertinggal adalah kenangan indah.

Perpisahan dan kesedihan selalu mengintai hidup manusia.

Jika tidak menghargai apa yang kita miliki,

Bukankah di masa depan akan menangis menyesal?


“Saatnya berangkat” kata Cukat Tong.

“Baiklah”

Terbang.

Bumi terlihat begitu indah. Manusia terlihat begitu kecil.

Hidup sedemikan rapuh, mengapa masih rakus meraih dunia?

Satu persatu manusia mati. Namun bumi dan alam tetaplah indah.

Nyawa manusia hanya bagai dedaunan yang rontok di musim gugur.

Begitu kecil, begitu hina, begitu tak berharga.

Dibandingikan alam seluas ini, apalah arti manusia?

Yang terbaik adalah berbuat baik

Karena dengan begitu barulah manusia memiliki sedikit arti

Perjalanan itu akhirnya sampai juga.

Butongsan dengan segala keindahannya. Dengan segala kemegahan, dan keagungannya. Di gunung inilah berdiri salah satu partai persilatan yang paling dihormati dan disegani di muka bumi. Butong Pay. Mendengar namanya saja, orang akan tertunduk segan, dan berbinar kagum. Mendengar namanya saja, hati orang jerih dan tangan gemetaran.

Kini malah ada dua orang ‘bodoh’ menerobos dan menyusup masuk.

Jika bukan karena telah memakan nyali harimau, tentu hanya orang pikun yang berani menyusup ke sana.

Kedua orang ini tidak pernah makan nyali harimau, dan bukan orang pikun.

Memangnya kalau bukan dua orang ini yang menyusup Butong Pay, siapa lagi yang bisa?

Kedua orang ini sekarang telah berada di puncak tertinggi Butongsan. Tempat dulu Cio San ‘diasingkan” dan dihukum. Tempat terjadinya berbagai macam kejadian yang membentuk dirinya menjadi seperti sekarang ini.

Angin begitu dingin.

Malam begitu pekat.

Jika bukan karena kenangan indah, mungkinkah manusia bisa bertahan?

Tak terasa airmata Cio San menetes. Gubuk bambu ini tak berubah setelah sekian lama. Pepohonan, bebatuan, dan pemandangan ini tidak berubah setelah bertahun-tahun ia pergi.

Teringat kenangan ia berlatih silat. Teringat kenangan ia membaca buku sampai pagi. Atau saat A Liang datang membawa khim dan mereka bernyanyi bersama. Atau pada saat gihunya datang dan berbagi cerita.

Yang paling mengherankan dari kenangan adalah ia menguatkanmu, namun membuatmu lemah pada saat yang bersamaan.

Cukat Tong sangat memahami perasaan Cio San. Karena itulah ia hanya duduk diam di atas sebuah batu besar. Membiarkan sahabat terbaiknya itu tenggelam dalam kenangan dan lamunan.

Cio San berdiri dengan gagah di atas sebuah batu. Angin meniup rambutnya. Mendatangkan sejuta gambar tentang masa lalu. Matanya tertutup rapat.

Ia khawatir jika ia membuka mata, maka ia akan segera kembali kepada kenyataan.

Ia ingin, sebentar saja, merasakan kembali masa lalu.

Karena bagaimanapun, terkadang masa lalu terasa jauh lebih membahagiakan daripada masa kini.

Tapi memang masa lalu itu hanya indah untuk dikenang. Karena sehebat apapun manusia, ia tidak dapat memutar waktu kembalh.

Yang paling bijaksana memang adalah menjadikan kenangan masa lalu sebagai penguat dan pelajaran untuk menjalani masa kini.

Masa depan? Bukankah itu urusan langit?

Hanya manusia sombong yang merencanakan masa depan.

Manusia bijaksana menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk menghargai masa kini, dan berbuat sebaik-baiknya kepada orang-orang yang dimilikinya saat ini.

Cio San akhirnya membuka matanya.

Kesenduan dan airmata telah menghilang dari raut wajahnya.

Sinar matanya berbinar dan mencorong tajam.

Inilah dia Cio San. Pemuda terbaik pada masanya. Pendekar paling hebat di jamannya. Dan sahabat paling setia yang pernah ada.

Ia menoleh kepada Cukat Tong.

Cukat Tong pun tersenyum.

Karena ia pun pernah mengalami hal yang sama dengan Cio San. Pergulatan batin untuk menghadapi kenangan-kenangan yang tidak mungkin dilupakan. Karena memang kenangan itu bukan untuk dilupakan.

Cukat Tong tahu itu. Karena ia sendiri pun pernah berjuang keras menghadapi masa lalu yang menghantuinya.

Manusia yang berhasil keluar dari ini semua, siapapun dia, lelaki atau perempuan, adalah manusia-manusia yang telah tercerahkan.

Oleh karena itu sinar wajah Cio San berubah menjadi begitu menyilaukan.

“Kau sudah berhasil mengatasinya?” tanya Cukat Tong.

Cio San mengangguk dan tersenyum.

Cinta, benci, dan dendam. Hal yang terus menerus menggeregoti hidup manusia. Jika kau berhasil menghadapinya, maka kau akan seperti Cio San. Wajahmu bercahaya. Langkahmu gagah, tubuhmu tegap, dan matamu bersinar terang.

“Apa yang bisa ku bantu?” tanya Cukat Tong lagi.

“Aku mencari sebuah pintu rahasia” jelas Cio San.

“Baik” Cukat Tong pun bergerak.

Cio San pun ikut mencari.

Urusan bergerak mencari barang adalah urusannya Raja Maling. Siapapun yang berlomba dengan dia pasti akan tertunduk malu.

Dalam waktu sepeminum teh, Cukat Tong sudah muncul sambil tersenyum,

“Aku sudah menemukannya”

Cio San tersenyum dan mengikuti Cukat Tong.

Pintu rahasia itu ternyata berada di dalam gubuk bambu itu. Tepat di bawah tempat tidur. Hanya berupa sebuah lubang kecil. Tapi jika kau memasukkan jarimu kesitu, maka terbukalah sebuah pintu kecil di lantai.

“Tampaknya kau ahli sekali dalam memasukkan jari ke dalam lubang” kata Cio San  tertawa.

“Aku banyak berlatih” tukas Cukat Tong sambil tertawa juga.

“Kau tak takut jika kau masukkan jari ke dalam lubang itu, lalu tiba-tiba tanganmu digigit sesuatu?” tanya Cio San.

“Lubang tempat aku berlatih tidak ada giginya” Cukat Tong tertawa penuh arti.

Ketika Cio San akan masuk ke dalam pintu rahasia di lantai itu, Cukat Tong mencegahnya,

“Biar aku duluan yang masuk. Bisa jadi ada bahaya di sana”

“Kau pikir aku takut?”

“Takut sih tidak, tapi apa kau ingin kita ketahuan dan perjalanan kita sia-sia?”

“Bahkan urusan masuk ke dalam lubang pun aku harus mempercayakannya kepadamu” Cio San tertawa lebar.

“Ikuti semua langkahku. Di mana aku menginjakkan kaki, disitulah kau injakkan kaki. Ruangan rahasia ini lungkin memiliki banyak jebakan”

Cio San mengangguk.

Bahkan jika Cukat Tong menyuruhnya buka baju buka celana dan berlarian telanjang bulat pun dia akan mengangguk menurut.

Urusan menyusup begini memang Cukat Tong ahlinya. Para pemula sebaiknya menurut saja.

Mereka menuruni lubang gelap di dasar lantai. Setelah melihat sekeliling, baru Cukat Tong melangkah dengan penuh hati-hati.

“Kau perlu obor?” tanya Cukat Tong lirih sekali.

“Tidak. Aku sudah terbiasa dalam gelap”

Cukat Tong mengangguk.

Setelah memastikan bahwa ia bisa membuka pintu dari dalam lubang, Cukat Tong lalu menutup pintunya.

“Ayo” katanya “Semua masih aman”.

Mereka berjalan menyusuri goa itu. Ternyata arahnya menurun. Panjang dan sangat berliku-liku.

“Dari mana kau tahu kalau diatas ada pintu rahasia” bisik Cukat Tong bertanya.

“Kau ingat ceritaku saat aku dulu terusir dari Butong Pay”

“Ya”

“Saat itu guruku Tan Hoat meninggal secara aneh. Tidak ada orang lain yang naik ke gunung ini, karena jika ada pasti sudah ketahuan. Pembunuhnya pasti turun naik gunung ini melalui jalan lain yang tersembunyi.” Lanjutnya,

“Aku juga ingat saat di markas utama Mo Kauw dulu, mendiang Ang-kaucu pernah berkata bahwa hampir di setiap perguruan mempunyai jalan rahasia yang berguna untuk mengamankan diri jika terjadi sesuatu”

“Oh karena itulah kau jadi curiga bahwa pasti ada sebuah pintu rahasia di atas tadi” kata Cukat Tong yang dijawab Cio San dengan anggukan.

“Kira-kira kau sudah menebak, siapa yang membunuh gurumu?” tanya Cukat Tong lagi.

“Tentu saja aku sudah tahu, aku kesini hanya memastikan.”

“Siapa?”

“Lau-ciangbunjin”

“Hah? Ketua Butongpay yang maha terhormat itu? Atas dasar apa kau menuduhnya”

“Kan biasanya hanya ketua yang mengerti jalan rahasia”

“Tapi bisa saja ada orang lain juga yang tahu” bantah Cukat Tong.

“Selain itu, hanya dia yang bisa membunuh Tan-suhu secara tiba-tiba seperti itu. Di Butongpay hanya dia yang punya kemampuan itu. Ditambah lagi Liang-lopek juga tewas karena lemparan jarum beracun. Di muka bumi ini siapa lagi yang bisa punya kemampuan selihai itu untuk melukai Liang Lopek?”

Cukat Tong mengangguk-angguk.

Perjalanan panjang sekali. Sudah berjam-jam mereka menuruni jalan goa yang sempit itu. Kini mereka sampai di sebuah bagian goa yang lumayan luas.

“Mari kita istirahat sebentar” kata Cio San.

Mereka berdua duduk di lantai goa dan menikmati keadaan goa yang dingin, gelap, namun menakjubkan itu. Tak lama kemudian, Cio San berkata dengan sedikit kaget,

“Eh, kau lihat itu?” katanya sambil menuding sebuah dinding goa.

Cukat Tong memicingkan mata dan berkata, “Ya”

Mereka berdiri lalu lari mendekat,

Ternyata di tembok itu berisi banyak sekali lukisan. Lukisan yang digoreskan langsung di dinding goa dengan menggunakan benda tumpul.

“Ini…lukisan-lukisan ini digambar dengan jari tangan!” kata Cio San.

Siapa gerangan orangnya yang sanggup melakukan hal demikian selain Thio Sam Hong? Lukisannya rapi dan halus. Lukisan orang berkelahi.

Ternyata setelah diperhatikan dengan seksama dinding-dinding goa ini terdapat banyak sekali lukisan orang bersilat. Tak lama kemudian Cio San melihat sebuah tulisan tangan yang halus dan indah sekali.

Setelah bertahun-tahun, aku akhirnya dapat memecahkan berbagai macam ilmu silat perguruan dan partai lain. Gerakan-gerakan ini tidak kuajarkan kepada murid-murid Butongpay dan kutuliskan di goa rahasia ini dengan maksud agar jika mereka benar-benar terdesak oleh urusan-urusan Kang Ouw, mereka dapat mengasingkan diri di sini dan baru dapat mempelajari ilmu ini. Siapapun yang berjodoh dengan ilmu ini, dipersilahkan untuk mempelajarinya.

Semoga Thian (langit) selalu melindungi Butongpay dan seluruh umat manusia.

Thio Sam Hong

Membaca itu, Cukat Tong dan Cio San berdecak kagum.

“Luas sekali pandangan thay-suhu” ia berkata begitu sambil menjatuhkan diri ke lantai, dan bersoja 3 kali di hadapan tulisan itu.

Setelah bangkit ia berkata kepada Cukat Tong,” Kau dipersilahkan melihat dan mempelajari gambar-gambar ini. Kata Thay-suhu siapapun yang berjodoh melihatnya, dipersilahkan untuk mempelajarinya”

“Aku tidak tertarik” kata Cukat Tong menggeleng.

“Kenapa?” tanya Cio San

“Memangnya kau pikir aku tukang berkelahi seperti kau?”

“Ilmu itu akan berguna suatu saat nanti”

“Memangnya kau pikir diriku ini tidak berguna?”

“Hahaha” Cio San cuma bisa tertawa. Dalam hati ia mengerti. Cukat Tong merasa dirinya bukan murid Butongpay sehingga merasa tidak pantas untuk mencuri belajar ilmu-ilmu Butongpay.

“Untuk ukuran maling, kau adalah maling paling terhormat yang pernah ku kenal”

“Maling juga punya harga diri.” Cukat Tong tersenyum. Ia kini duduk santai di lantai setengah berbaring sambil menatap lukisan-lukisan di dinding goa.

Cio San menatap dan mempelajari lukisan-lukisan itu dengan seksama. Tak berapa lama ia tersenyum dan ikut duduk di lantai bersama Cukat Tong.

“Selesai?” tanya Cukat Tong heran

“Selesai”

“Semuanya?”

“Semuanya”

“Aku melihat saja belum selesai, kau malah sudah menghafal seluruhnya”

“Aku tidak menghafal sama sekali, bahkan mungkin kini sudah lupa dengan apa yang ku lihat” tukas Cio San.

“Lalu?”

“Tapi aku sudah paham”

“Ohh..ya..ya..aku tahu maksudmu” Cukat Tong cuma bisa mengangguk-angguk.

Ia melihat begitu banyak ilmu partai dan perguruan lain yang telah terpecahkan oleh Thio Sam Hong. Segala macam jurus tangan kosong, dan berbagai macam senjata mulai jurus pedang, jurus golok, jurus tombak, jurus melempar senjata rahasia, dan lain-lain milik perguruan dan partai-partai besar, semua telah terpecahkan.

Orang yang mempelajari semua ini sudah pasti akan merajai dunia persilatan. Hanya tinggal memperdalam lweekang dan ginkang.

“Bagaimana cara supaya bisa paham tanpa harus menghapal?” tanya Cukat Tong.

“Paham dan hapal kan adalah dua hal yang berbeda” kata Cio San.

“Bagiku orang baru paham kalau sudah hapal, dan bisa hapal jika sudah paham”

“Itulah kesalahanmu. Jika kau bisa menghapus pemikiran itu dari otakmu, baru kau bisa paham tanpa harus hapal”

“Memangnya hanya dengan berpikir demikian saja bisa mengganggu proses pemahaman?” tanya Cukat Tong.

“Itu karena kau telah membentuk suatu pemahaman di benakmu, maka kau susah menemukan kebenaran lain. Jika dalam hati kau sudah bilang ikan goreng itu tidak enak, maka jika orang lain bilang ikan goreng itu enak, kau tak akan percaya. Bahkan untuk mencoba saja kau tidak mau. Lalu bagaimana kau bisa merasakan kenikmatan ikan goreng yang sesungguhnya?”

Cukat Tong merenungi ucapan Cio San.

“Betul juga”

“Ayo kita jalan lagi”

Mereka berdua berjalan lama sekali. Hingga tiba di sebuah jalan buntu.

“Kau dengar ada sesuatu di atas?” tanya Cio San

“Tidak dengar apa-apa” jawab si Raja Maling. Lalu katanya,

“Aku naik duluan, kau harus mengikuti setiap langkahku. Jangan sentuh apapun yang tidak ku sentuh. Mengerti?”

Cio San mengangguk.

Perlahan-lahan Cukat Tong membuka tingkap pintu diatasnya. Ia buka sedikit saja. Tapi yang sedikit itu sudah mampu membuatnya memperhatikan semua keadaan di atas.

“Aman”

Dia lalu naik, diikuti Cio San.

“Ini kamar milik ketua” kata Cio San.

“Berarti dugaanmu tepat”

Mumpung berada di sana, mata Cukat Tong jelalatan memperhatikan isi ruangan. Padahal di bawah tanah tadi ia bertemu lukisan ilmu silat yang sangat berharga, matanya tidak sejelalatan ini.

“Apa yang kau cari?” tanya Cio San.

“Barang berharga”

Tidak banyak barang yang ada di dalam kamar itu. Hanya lemari pakaian, sebuah rak buku, meja makan, dan sangkar burung yang kosong.

Cio San juga jelalatan seperti Cukat Tong. Jika sudah menyangkut rahasia, hatinya pasti akan tertarik.

“Apa yang kau temukan, kenapa kau tersenyum seperti itu?” tanya Cukat Tong.

Cio San memungut sesuatu dari lantai.

“Abu” katanya

“Abu hitam, mungkin dari hasil bakaran kertas” kata Cukat Tong.

“Tepat. Untuk apa orang membakar kertas di dalam rumah?”

“Untuk menghilangkan jejak surat rahasia” kata Cukat Tong tersenyum.

“Dan sangkar burung itu?” tanya Cio San penuh arti.

“Tempat sang kurir surat beristirahat” Cukat Tong pun tersenyum.

Lanjutnya,

“Diakah si otak besar?”

Cio San hanya tersenyum penuh arti.

Related Posts: