Bab 68 Pertarungan Dewa Pedang





Dengan sekali lesatan Cio San sudah muncul di hadapan orang yang menggotong Beng Liong itu.

“Apa yang terjadi, enghiong?” tanyanya sambil menjura.

“Cayhe menemukan Beng Liong-tayhiap di pinggiran jurang di dekat sini.

Sambil mengangguk Cio San memeriksa Beng Liong.

Masih hidup!

Nafasnya sangat lemah. Bahkan hampir tidak ada. Secepatnya Cio San langsung menyalurkan tenaga saktinya.

Darah yang mengalir dari mulut Beng Liong masih segar. Itu berarti ia baru saja terluka. Melihat mantan kakak seperguruannya dalam keadaan seperti itu, hatinya merasa tergetar juga. Beng Liong kaku seperti mayat. Wajahnya pucat pasi. Begitu Cio San memeriksa jalan darahnya, segera ia menyadari bahwa jalan darah Beng Liong telah terpukul sedemikan hebatnya sehingga alirannya menjadi kacau balau.

Jika terlambat beberapa menit saja, Beng Liong pasti meninggal.

Dengan segenap kekuatannya dan pengetahuannya, Cio San berusaha menyembuhkan Beng Liong. Saluran tenaga sakti yang Cio San berikan kepada Beng Liong setidaknya cukup berpengaruh karena tak lama kemudian Beng Liong sudah mulai pulih kesadarannya. Wajahnya pun perlahan-lahan mulai memerah.

“Jangan melakukan apapun, Liong-ko. Terima saja aliran tenaga ini” bisik Cio San.

Beng Liong pun menuruti saja perkataan orang di hadapannya itu.

Cio San meletakkan tangannya di dada Beng Liong. Aliran tenaga saktinya itu langsung ia salurkan ke jantung Beng Liong yang hampir saja berhenti.

Semua orang yang ada di sana hanya bisa terdiam dan menyaksikan. Beberapa orang ada yang sudah mengenal ‘tabib sakti’ itu. Mereka bahkan mengangguk-angguk seperti mengagumi cara kerja ‘tabib sakti’ itu.

Para murid Butongpay yang berkumpul sejak tadi sudah mengerumuni Beng Liong dan Cio San. Mereka ingin sekali membantu tetapi sadar bahwa ilmu pengobatan mereka masih rendah.

Lau-cianbgbunjin, sang ketua Butongpay yang penuh wibawa pun hanya diam memperhatikan tindakan Cio San.

Begitu terlihat Beng Liong telah pulih kesadarannya, semua orang menjadi lega. Walaupun begitu, Cio San tetap meneruskan penyaluran tenaganya itu.

“Nampaknya keadaan Beng Liong-tayhiap sudah membaik, mari kita mulai pertarungan kita, Suma-tayhiap” kata Kim Sin Kiam.

Suma Sun tersenyum dan mengangguk “Mari”

Tubuh mereka berdua lalu melayang turun ke jembatan batu. Jembatan yang terlihat aneh namun gagah dan menyeramkan. Cahaya rembulan ditambah ratusan cahaya obor yang menyinari sekeliling tempat itu membuat wajah kedua orang ini terlihat begitu dingin.

Kim Sin Kiam
Suma Sun


Tanpa menunggu aba-aba, mereka saling melemperkan pedang. Suma Sun menangkap pedang Kim-tayhiap, sebaliknya Kim-tayhiap pun menangkap pedang Suma Sun.

Mereka saling memeriksa pedang.

“Pedang milik Suma-tayhiap begitu mengagumkan. Warnanya putih bercahaya seperti perak. Terbuat dari bebatuan khusus yang kemungkinan besar berasal dari langit. Ditempa dengan api kecil sehingga prosesnya memerlukan waktu bertahun-tahun. Pedang ini lalu ditanam di dalam es selama bertahun-tahun pula. Bahkan ketajaman anginnya saja sudah mampu membabat daging manusia. Pedang yang sangat ringan, karena pemiliknya mengandalkan kecepatan dan ketepatan” demikian Kim-tayhiap berkata sambil memeriksa pedang Suma Sun.

“Pedang milik Kim-tayhiap boleh dibilang hampir tiada bandingannya. Terbuat dari logam yang berada jauh di dalam tanah. Logam seperti ini adalah logam yang langka. Kemungkinan besar jumlah seluruh logam ini yang berada di seluruh dunia, tidak akan cukup untuk membuat 2 pedang. Walaupun bobotnya lebih berat daripada pedang umumnya, pedang ini jika berada di tangan orang yang tepat, akan sanggup menembus pertahanan serapat apapun, akan mampu menembus dinding baja dan batu karang. Bahkan sekali sabetannya akan menebas hancur puluhan orang. Pedang yang cocok bagi mereka yang mengandalkan kekuatan dan pemusatan tenaga” demikan Suma Sun pun berkata sambil memeriksa pedang itu. Padahal ia buta.

“Untuk lebih serunya, bagaimana kalau pertarungan ini kita lakukan sambil bertukar pedang?” tawar Kim-tayhiap

“Baik” kata Suma Sun sambil tersenyum.

Pedang telah mereka masukkan kembali ke dalam sarung. Karena bagi dewa pedang, gerakan pedang yang paling berbahaya adalah gerakan ketika pedang meninggalkan sarungnya.

Kedua orang itu hanya saling menatap. Tak bergerak.

Hembusan angin meniup rambut mereka.

Ratusan, bahkan ribuan orang yang menonton peristiwa ini dari bibir tebing, tidak ada satu pun yang berani bersuara. Mungkin bernafas pun mereka tidak berani.

Di dalam kesunyian seperti ini, bahkan jarum jatuh pun bisa kau dengar.

Lalu saat yang ditunggu-tunggu pun tiba.

Kim-tayhiap bergerak.

Orang yang mampu melihat gerakannya pun mungkin tidak sampai sepersepuluh orang yang menonton.

Suara angin yang berat tentu saja bukan berasal dari gerakannya. Gerakannya tanpa suara. Suara itu berasal dari pedangnya. Sudah bisa dibayangkan betapa dahsyatnya serangan itu.

Pedang itu datang menusuk dengan sederhana. Tapi kesederhanaan itu telah dilatih puluhan tahun, sehingga kesederhanaan itu telah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan.

Satu tusukan.

Tanpa gerakan tipuan, tanpa gerakan hiasan.

Suma Sun telah terbiasa menghadapi serangan pedang yang dahsyat, cepat, dan mematikan. Tapi serangan yang sedang dihadapinya ini, adalah sebuah serangan yang paling menakjubkan yang pernah dialaminya. Jika gerakan pedang orang lain seperti menutupi gerakan langkahnya dengan cara mengurung tubuhnya, gerakan pedang Kim-tayhiap ini hanya berupa satu gerakan tunggal tanpa ampun yang langsung menutup segala harapan untuk bisa tetap hidup.

Ia berusaha menghindar dengan cepat. Gerakan yang sangat cepat. Tidak kalah cepat dengan datangnya serangan itu. Angin dari pedang Kim-tayhiap menghujam bebatuan di belakang tubuh Suma Sun. Tebing karang yang kokoh itu bergetar dan menimbulkan suara menggelegar!

Tubuh Suma Sun sendiri kini sudah berada di samping Kim-tayhiap. Segera ia mencabut pedang dari sarungnya. Namun belum sempat ia menarik pedang itu, pedang Kim-tayhiap bergerak menyamping dan mengincar tenggorokannya.

Entah bagaimana Kim-tayhiap bisa bergerak secepat itu. Suma Sun hanya bisa menghindar lagi dengan cara menunduk. Begitu ia menunduk, kaki Kim-tayhiap telah ‘menyambut’nya dengan sebuah tendangan keras.

Suma Sun menangkis tendangan itu dengan gagang pedang. Kerasnya tendangan itu digunakannya untuk membantunya bergerak memutar ke belakang, lalu terbang ke atas. Tenaga dari tendangan Kim-tayhiap serta tambahan sedikit tenaganya sendiri, membuat dewa pedang berambut merah itu melenting tinggi dengan sangat cepat!

Ia lolos dari serangan.

Seluruh kejadian ini membutuhkan waktu untuk menulisnya. Padahal semuanya terjadi hanya dalam sekejap mata.

Saat Suma Sun melenting tinggi di udara, Kim-tayhiap pun melenting ke atas pula. Sebuah gerakan pedang yang sama sederhananya dengan gerakan pertama tadi, kini telah mengincar perut Suma Sun.

Orang jika sedang berada di posisi melenting, maka ia berada dalam bahaya. Karena posisi di udara seperti ini membuatnya tanpa kuda-kuda.

Tapi Suma Sun bukan ‘orang’.

Suma Sun adalah dewa pedang.

Disambutnya tusukan itu dengan tangkisan pedang sampai saat itu belum tercabut dari sarungnya. Pedang berhasil ia tangkis, namun angin pedang yang tidak kalah dahsyat dengan serangan pedang itu sendiri, telah menghempasnya terlempar ke belakang.

Punggung Sum Sun membentur tebing batu yang ada di belakangnya. Suara keras terdengar. Bebatuan itu banyak yang pecah-pecah karena tumbukan tubuh Suma Sun.

Ia sendiri memang tidak terluka karena tenaga dalam melindungi tubuhnya. Tapi dari kejadian ini saja, orang yang mampu melihat gerakan mereka telah bisa menyimpulkan bahwa ilmu Kim-tayhiap memang di atas Suma Sun.

Kim-tayhiap melihat Suma Sun ‘tersudut’ di tembok tebing itu, tidak menyia-nyiakan kesempatan. Tubuhnya yang masih melayang di udara, entah bagaimana kini meluncur deras dengan sebuah tikaman dahsyat ke jantung lawannya.

Serangan ini kembali ditangkis oleh Suma Sun tanpa melepas pedang dari sarungnya. Tangkisan itu membuat serangan Kim-tayhiap melenceng ke samping dan membuat daerah dadanya terbuka. Melihat daerah kosong itu, Suma Sun tidak menyia-nyiakannya. Dengan kaki kanannya ia melakukan sebuah tendangan keras.

Sayangnya tendangan itu tidak menemui sasaran karena Kim-tayhiap telah menyambut tendangan itu dengan tangan kirinya. Pertemuan telapak tangan dengan telapak kaki itu menghempaskan tubuh Kim-tayhiap ke belakang. Ia saat itu berada di udara sehingga tidak memiliki kuda-kuda untuk menahan benturan pertemuan kaki dan tangan tadi.

Melihat Kim-tayhiap terhempas ke belakang, Suma Sun tidak lantas bergerak maju menyerang Kim-tayhiap. Ia tetap diam di tempatnya.

Ada perasaan puas di wajah Kim-tayhiap setelah melihat Suma Sun tidak bergerak maju. Karena jika Suma Sun maju, ia sudah siap menghadapi serangan lawannya itu dengan lentingan ‘aneh’ tubuhnya. Kim-tayhiap memang memiliki sejenis ginkang aneh yang bisa membuatnya bergerak bebas di udara tanpa terpengaruh gaya tarik bumi.

Ia puas. Karena lawan di hadapannya ini memang pantas menjadi lawannya.

Untuk sesaat mereka saling diam. Hanya memandang sambil menyelami pikiran masing-masing.

Angin malam bertiup. Dingin.

Tapi tidak sedingin hawa kematian yang melingkupi daerah pertempuran itu.

Jembatan abadi lebih pantas berganti nama menjadi jembatan kematian.

Kini Kim-tayhiap kembali menyerang. Kecepatan, kekuatan, dan ketepatan serangannya bahkan jauh lebih mengagumkan daripada yang tadi diperlihatkannya. Suma Sun tidak bergerak sama sekali!

Ia diam di tempatnya. Bersandar di tebing batu.

Setiap orang yang melihat keadaan Suma Sun merasa kasihan kepadanya. Ia seperti kehabisan akal menghadapi gerakan Kim-tayhiap yang mengagumkan. Kematian telah membayangi dewa pedang berambut merah. Wajahnya pucat, dan gerakan tubuhnya menjadi kaku.

Sekejap mata kembali serangan Kim Sin Kiam menghujam. Kali ini sabetan menyamping yang mengincar kepala Sum Sun. Kembali Suma Sun hanya mampu menangkis.

Lalu dengan sangat mengagumkan, Kim-tayhiap dengan cepat melancarkan sepuluh serangan beruntun. Begitu cepatnya sampai-sampai kesepuluh tusukan tunggal itu terlihat dilancarkan secara bersamaan.

Serangan pertama berupa tusukan di pundak kiri. Suma Sun menurunkan sedikit pundaknya. Pedang menusuk tembok.

Serangan kedua berupa sabetan ke telinga kiri. Suma Sun memiringkan kepalanya. Pedang lewat di atasnya.

Serangan ketiga berupa bacokan ke pundak kanan. Suma Sun mengangkat tangan kanan untuk menangkis dengan pedang. Bunyi logam beradu dengan logam terdengar melengking dan menyakitkan telinga. Terlihat kilatan percikan api yang timbul darinya.

Serangan keempat adalah gerakan mengagumkan yang menusuk ke jantung Suma Sun. Dewa pedang berambut merah ini sempat menghindar, tapi ia kalah cepat. Tusukan itu untuk saja tidak menembus jantungnya. Tapi sempat melukai lengan kirinya.

Serangan kelima menghujam perutnya. Sekali lagi Suma Sun menggunakan pedang untuk menangkis tusukan ini. Namun kembali ia kalah cepat. Perutnya terluka!

Walaupun bukan luka yang dalam, darah telah membasahi pakaian putihnya.

Ia terlihat tidak dapat bergerak ke manapun. Bagian belakang adalah tebing karang. Di depannya, ada seorang dewa kematian yang mengurungnya dengan serangan pedang paling dahsyat yang baru kali ini dihadapinya seumur hidup.

Serangan keenam mengincar kedua pahanya. Dengan sekali sabetan, pedang Suma Sun yang berada di tangan Kim-tayhiap hampir saja membabat putus kedua kakinya. Tetapi kali ini untunglah Suma Sun telah melompat ke atas sehingga kakinya mampu terselamatkan.

Begitu Suma Sun berada di udara, Kim-tayhiap segera menyerang pula dengan 3 sabetan sekaligus yang masing-masing mengincar leher, ulu hati, dan perut Suma Sun.

Karena serangan itu berada pada titik yang segaris, cukup dengan menyabetkan pedangnya saja, Suma Sun berhasil menepis ketiga serangan berbahaya itu.

Tapi karena ia harus menghadapi 3 serangan itu dengan satu kali gerakan, kekuatannya kalah besar dengan Kim-tayhiap. Hal ini membuat pertahanannya terbuka. Melihat ini, tusukan kesepuluh Kim-tayhiap telah masuk melukai paha kanannya.

Kesemua kejadian ini adalah berupa gerakan-gerakan sederhana yang hampir semua orang mampu melakukannya. Tadi di dunia ini tidak ada yang mampu melakukannya secepat, sekuat, dan setepat Kim-tayhiap.

Apalagi, segala kejadian ini berlangsung hanya dalam sekejap mata pula. Para penonton yang hadir menyaksikan pertarungan ini bahkan tidak berani mengedipkan mata. Karena sekali berkedip saja, orang akan ketinggalan menyaksikan serunya pertarungan ini. Di muka bumi ini, mungkin hanya Kim-tayhiap yang mampu menggunakan pedang sebegitu menakutkannya.

Tapi di muka bumi ini pula, orang yang mampu keluar dalam keadaan hidup-hidup dari serangan semacam ini baru Suma Sun saja.

Ia telah melompat keluar dari ‘ajang pembantaian’ itu. Kini ia telah berada di belakang Kim-tayhiap. Tapi ia tak mampu menyerang karena pahanya telah tertusuk dalam sekali. Gerakannya menjadi melemah.

Dengan gerakan memutar ke belakang, Kim-tayhiap sudah mengirimkan sebuah jurus menyilaukan yang datang bagai angin puting beliung.

Siapakah di dunia ini yang mampu menghindari dari serangan demikian?

Tentu saja hanya Suma Sun yang bisa.

Ia melenting ke belakang. Serangan itu hanya lewat seujung kuku dari lehernya. Angin pedang itu memotong sebagian rambutnya yang merah. Untunglah tenaga dalam melindunginya sehingga tubuhnya tidak ikut terkoyak oleh anginnya.

Namun tak urung timbul pula luka-luka hanya karena dahsyatnya angin pedang itu. Leher, wajah, dan pundak Suma Sun telah tergores angin!

Angin macam apakah yang mampu menggores tubuh manusia?

Tentu saja angin pedang Kim Sin Kiam.

Baju Suma Sun yang seputih salju, kini memerah oleh darah.

Cio San yang menyaksikan pertarungan itu mencoba untuk tetap tenang. Ia masih meletakkan tangan di dada Beng Liong dan menyalurkan tenaga saktinya. Sedikit saja pemusatan pikirannya kacau, maka nyawa Beng Liong akan melayang.

Saat ini nyawa Beng Liong pun tergantung pada Suma Sun.

Karena jika terjadi sesuatu pada Suma Sun, pikiran Cio San akan kacau. Dan itu akan membunuh Beng Liong.

Untunglah penyaluran tenaga ini selesai. Tanpa harus diberitahu pun, Beng Liong dapat mengatur sendiri tenaga yang disalurkan Cio San itu. Thay Kek Kun memberikannya pengetahuan yang sangat mendalam tentang pengerahan tenaga.

“Tetaplah bersemedhi, enghiong. Dalam beberapa hari, luka dalammu akan pulih.” Kata Cio San alias Lie Sat.

“Terima kasih, siansing” kata Beng Liong pelan. Ia lalu bersemedhi memulihkan tenaganya. Tubuhnya yang tadi dingin, kaku, dan membiru kini terliat merah segar dan hangat. Bahkan hangatnya bisa dirasakan Cio San yang duduk tak jauh darinya.

Dalam hati Cio San kagum. Begitu terlatihnya tubuh Beng Liong, sehingga ia sanggup memulihkan luka dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan Cio San sendiri pun tidak percaya!

Bakat dan latihan yang keras. Di kolong langit ini, tak ada yang sanggup mengalahkan Beng Liong dalam kedua hal ini.

Begitu nyawa Beng Liong terlepas dari bahaya, segera Cio San memusatkan diri menyaksikan pertandingan Suma Sun melawan Kim-tayhiap.

Kini Suma Sun telah tersudut lagi. Tubuhnya hanya bisa menempel di tembok tebing tanpa bisa berbuat banyak. Ia hanya mampu menghindar. Walaupun begitu tetap saja ada beberapa serangan Kin-tayhiap yang melukai tubuhnya.

Entah sudah berapa puluh atau berapa ratus jurus yang terlewatkan oleh Cio San. Keadaan Suma Sun yang sangat mengkhawatirkan membuat Cio San menyiapkan perasaannya untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

Ia lalu berkata kepada Kao Ceng Lun,

“Kao-enghiong, mau kah kau melakukan permintaanku. Sebagai seorang sahabat?”

“Tentu saja. Katakanlah Sat-ko”

“Apapun yang terjadi pada Suma Sun atau padaku nanti, harap kau terus menjaga Beng Liong-enghiong. Jangan jauh-jauh darinya dan terus melindunginya”

“Eh? Memangnya apa yang hendak kau lakukan?” tanya Kao Ceng Lun heran.

“Berjanjilah” pinta Lie Sat

Lama Kao Ceng Lun terdiam lalu berkata,

“Baiklah. Aku berjanji”

Lie Sat tersenyum lalu matanya sedikit berair. Perasaan seperti ini hanya bisa kau rasakan jika kau menemukan sahabat yang mau melakukan sesuatu untukmu tanpa meminta imbal balik, atau tanpa meminta penjelasan sekalipun.

Sahabat seperti ini jika ditukar dengan gunung emas sekalipun masih terlalu berharga.

Kao Ceng Lun tak tahu apa yang ada di dalam benak Lie Sat.

Tak ada seorang pun yang tahu kecuali Lie Sat sendiri.

Mereka berdua tetap memusatkan pikiran menyaksikan ‘pembantaian’ yang terjadi di hadapan mereka. Betapa Suma Sun menjadi bulan-bulanan Kim-tayhiap. Gerakan Suma Sun menjadi sangat lambat, dan tak mampu mengimbangi kecepatan Kim-tayhiap.

Wajah dan tubuh Suma Sun sudah bersimbah darah. Hanya dalam hitungan detik ia mungkin akan ambruk. Pingsan atau mati. Hanya tebing batu tempatnya bersandar yang membuatnya masih sanggup berdiri.

Kilatan pedang, dan semburan darah.

Hanya itu yang mampu dilihat orang-orang saat ini.

Pedang Kim-tayhiap yang berada di tangan Suma Sun tidak pernah sanggup ia keluarkan dari sarungnya. Sejak awal sampai sekarang belum pernah sekalipun Suma Sun mampu menyerang dengan pedang. Ia terlalu sibuk mempertahankan dirinya dari serbuan pedang maha dahsyat dan maha mengagumkan itu.

Kini Suma Sun bahkan menggunakan pedang di tangannya sebagai tongkat untuk membantunya agar bisa tetap berdiri.

Kim-tayhiap melangkah mundur. Ia seperti memberi kesempatan bagi Suma Sun untuk menghela beberapa nafasnya yang terakhir.

Suma Sun tak mungkin mau berkata “Menyerah”. Kim-tayhiap tahu itu. Oleh sebab itu ia bertanya,

“Suma-tayhiap punya permintaan terakhir? Jika permintaan itu tidak melanggar kehormatan kaum Bu Lim, maka cayhe akan memastikan permintaan itu terlaksana”

“Jika ada kesempatan, mau kah tayhiap minum denganku?” kata Suma Sun sambil tersenyum.

Kim-tayhiap tertunduk. Ia tahu ia tak mampu mengabulkan permintaan itu. Dalam beberapa detik orang yang meminta hal itu akan mati.

Betapa menyedihkannya kata “Jika ada kesempatan” itu, bukan?

Kadang kau sering mendengar orang menyebutkannya. Terlalu sering kalimat itu hanya sebagai basa-basi. Tapi ada beberapa kali di dalam hidup kita, di mana kata-kata itu begitu terasa menusuk jiwa dan melemahkan hati. Karena kau tahu, ‘kesempatan’ itu tidak akan pernah datang.

Kim-tayhiap pun merasakan hal yang sama.

Kemana lagi aku akan menemukan lawan yang sanggup beradu ratusan jurus denganku?

Kapankah lagi aku akan bertemu lawan yang begitu berharga untuk mati oleh pedangku?

Kawan berharga mudah dicari. Lawan berharga amatlah sukar didapat.

Oleh karena itu orang sepertinya kadang lebih menghargai musuh daripada menghargai teman.

“Suma-tayhiap, harap kau terimalah jurus terakhirku. Jurus terbaru yang khusus kuciptakan untuk pertarungan ini”

“Silahkan” kata Suma Sun tersenyum. Bahkan untuk tersenyum pun ia sudah kepayahan.

Tubuh Kim-tayhiap melesat cepat. Meluncur bagai anak panah terlepas dari busurnya.

Begitu cepat.

Begitu mengagumkan.

Begitu dahsyat.

Begitu mematikan.

Satu tusukan saja.

Ia tidak perlu berbagai macam jurus yang indah-indah. Ia tidak perlu segala macam gerakan yang menyilaukan mata. Dewa pedang seperti Kim-tayhiap tidak akan mau bergerak dalam kesia-siaan. Jika satu gerakan kecil dapat membunuh, ia tidak membutuhkan dua gerakan kecil.

Suma Sun akhirnya berhasil mencabut pedang dari sarungnya!

Tapi gerakannya begitu lambat. Dalam jarak satu langkah, Kim-tayhiap telah mampu membaca gerakan pedangnya.

Lalu tangan Suma Sun pun putus!

Tangan yang begitu mengagumkan memainkan pedang itu putus dan terkulai!

Darah muncrat bagai air bah!

Tapi entah bagaimana, Suma Sun bergerak maju dengan sangat cepat.

Sangat-sangat cepat!

Bahkan Kim-tayhiap pun tidak menyangka ada makhluk di atas bumi yang bisa bergerak secepat itu.

Lalu jari tangan kiri Suma Sun telah menempel di kerongkongan Kim-tayhiap!

Hanya beberapa orang yang mampu benar-benar melihat kejadian sekejap mata itu dengan jelas. Suma Sun menggunakan tembok yang ada di belakang tubuhnya sebegai dasar pijakan lentingan kakinya. Dengan menggunakan tebing karang itu, gerakannya menjadi dua kali lebih cepat.

Apalagi pedang berat yang tadi dipegangnya sudah jatuh berikut tangan kanannya yang memegang pedang itu. Kini kecepatannya menjadi berlipat-lipat. Dengan sisa tenaganya, ia menggunakan jurus yang ia ‘pelajari’ saat beradu pikiran dengan Cio San. Jurus milik Pendekar Pedang Kelana!

Jurus terbalik yang menyerang saat harus menghindar dan menghindar di saat harus menyerang!

“Kau..kau..kenapa tidak membunuhku?” tanya Kim Sin Kiam

“Mau…kah,,tay..hiap..minum denganku…ji..ka a..da ke..sem..patan..?” ia berkata sambil tersenyum, lalu ambruk.

Kim Sin Kiam tidak sanggup berbuat apa-apa. Ia hanya berdiri mematung. Tidak sanggup untuk percaya akan kejadian yang barusan dialaminya.

Begitu besar pengorbanan Suma Sun. Ia mengorbankan tangannya. Hal yang paling berharga lebih berharga dari nyawa seorang pendekar pedang.

Untuk apa ia berkorban? Demi kesempatan untuk minum bersama?

Tentu saja ia berkorban demi satu hal yang lebih berharga.

Persahabatan.

Hal itu jauh lebih berharga daripada tangan dan nyawanya.

Orang yang sudah mengalami pencerahan, akan memandang nyawa orang lain lebih berharga ketimbang nyawanya sendiri.

Akan lebih menghargai orang lain ketimbang menghargai dirinya sendiri.

Jika kau ingin dunia damai. Kaulah yang harus berkorban lebih dulu.

Air mata menetes di pipi Kim-tayhiap. Ia jatuh berlutut, tangannya menjura, kepalanya tertunduk malu. Dengan bergetar ia berkata,

“Terima hormat kami, thay-suhu…”

Thay-suhu.

Guru besar.

Selama ini orang yang pantas menyandang nama sebutan ini baru beberapa orang. Thio Sam Hong adalah salah satunya.

Cio San sudah berada di sana. Dengan cepat ia menotok jalan darah Suma Sun untuk menghentikan darahnya. Lalu dengan sigap ia pun menyalurkan tenaga dalamnya.

Terdengar suara Kim-tayhiap bergetar namun menggelegar,

“Perhatikanlah wahai kalian para pendekar besar. Apa yang telah diperlihatkan oleh Suma-thay suhu. Perdamaian hanya bisa terjadi di dalam dunia kang ouw, jika seteru saling mengasihi, musuh saling memaafkan, dan lawan saling merendahkan hati. Hari ini juga cayhe umumkan pengunduran diri cayhe dari dunia persilatan. Upacara Cuci Tangan akan cayhe lakukan secepatnya dengan mengundang semua kalangan Bu Lim.”

Ia menangis.

Tapi ia menangis bukan untuk dirinya. Ia menangis bagi pahlawan terluka di hadapannya yang pengorbanannya telah membuka mata hatinya itu.

“Bagaimana keadaan thay-suhu?” tanyanya kepada Lie-sat

“Nyawanya masih bisa tertolong” kata Lie Sat.

“Tapi tang…” Kim-tayhiap tidak berani melanjutkan kata-katanya.

Lie Sat hanya menggeleng.

Tentu saja ia tidak bisa menyambung tangan itu. Walaupun ia bisa sekalipun, tangan itu tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.

Ia hanya bisa menyalurkan tenaga saktinya. Untuk sekedar menghilangkan rasa sakit dan memulihkan tenaga sahabatnya itu.

Setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan terhadap sahabat yang sangat dikaguminya ini.

Semakin ia berpikir, semakin kagumlah ia.

Pertarungan tadi telah membuka pikirannya bagaimana Suma Sun mengubah Yin menjadi Yang. Mengubah Yang menjadi Yin.

Mengubah kekurangan menjadi kelebihan dan merubah kelebihan menjadi kekurangan.

Rupanya sejak awal Suma Sun telah memikirkan semuanya.

Ia setuju untuk bertukar pedang dengan Kim-tayhiap.

Pedangnya lebih ringan. Jika dipakai oleh Kim-tayhiap akan membuat gerakan pendekar itu semakin cepat. Jika dilihat sepintas, akan membuat Kim-tayhiap lebih unggul karena lebih cepat. Tapi keunggulan itu serta merta berubah menjadi kerugian karena kekuatan serangannya akan berkurang lebih jauh.

Kim-tayhiap yang merasa dirinya menjadi lebih cepat, secara tidak sadar akan menggunakan kecepatan itu terus menerus. Yang mengakibatkan tenaganya akan terkuras dengan cepat pula.

Di sisi lain, Suma Sun menggunakan pedang berat milik Kim-tayhiap akan menjadi lebih lamban. Tapi karena dia hanya bergerak seperlunya saja, tenaganya tidak terkuras habis. Memang ia akan sering terluka karena kalah cepat. Tapi luka-luka itu hanya luka luar dan tidak terlalu membahayakan jiwa.

Ia dengan cerdas mampu merubah Yang menjadi Yin.

Merubah kelemahan menjadi kekuatan. Dan merubah kekuatan lawan menjadi kelemahan lawan.

Suma Sun juga tidak bergerak dengan bebas. Ia hanya berdiri menyandar di tembok tebing. Ia sengaja membatasi dirinya untuk tidak terlalu banyak bergerak. Sepintas, orang menyangka ia tersudut. Padahal ia sengaja membatasi gerakannya, agar gerakan Kim-tayhiap juga ikut terbatas.

Jurus-jurus Kim-tayhiap pastilah sudah ia persiapkan dalam menghadapi gerakan tubuh Suma Sun yang cepat. Tak dinyana justru Suma Sun tidak bergerak bebas, dan diam di satu posisi. Hal ini akan menyebabkan Kim-tayhiap harus berpikir lagi untuk melancarkan jurus-jurus yang cocok dengan kondisi ini. Secara tidak langsung, justru Suma Sun lah yang mendikte Kim-tayhiap!

Bertukar pedang pasti akan membuat jurus Kim-tayhiap tidak sedahsyat aslinya. Karena jurus-jurusnya, latihannya, pengerahan tenaganya terbiasa menggunakan pedangnya sendiri. Menggunakan pedang orang akan membuatnya tidak maksimal.

Oleh sebab itu pula, Suma Sun sama sekali tidak menggunakan pedang Kim-tayhiap untuk menyerang. Ia menyimpan seluruh tenaganya untuk saat yang paling dinantikan.

Yaitu jurus terakhir!

Dalam serangan terakhir ini, ketika Kim-tayhiap melancarkan jurus terbarunya itu, pikiran Kim-tayhiap sudah tidak lagi waspada. Ia menganggap Suma Sun sudah pasti kalah. Keadaan Suma Sun yang sangat memprihatinkan, ditambah lagi dengan kata-kata terakhirnya yang membuat hati Kim-tayhiap sedikit trenyuh, membuat serangannya tidak sedahsyat yang diharapkan.

Apalagi ditambah tenaga Kim-tayhiap yang sudah terkuras, pedang orang lain, serta rasa puas diri bahwa ia akan menang.

Dilihat dari segala sudut, Suma Sun pasti mati.

Tapi dewa pedang berambut merah itu telah memperhitungkan semuanya.

Semuanya.

Jadi begitu serangan terakhir itu datang, ia dengan mengurangi kecepatannya, menerima serangan Kim-tayhiap itu dengan jurus pedang pula. Jurus yang lambat ini tentu saja dipikir orang sebagai bentuk keputusasaan atau usaha terakhir dalam menghadapi serangan Kim-tayhiap.

Tapi ia dengan sengaja mengorbankan lengan kanannya untuk ditebas.

Dengan begitu beban tubuhnya karena membawa pedang yang berat berkurang.

Selain itu, hal ini juga membuat Kim-tayhiap tak lagi bersiaga karena merasa telah berhasil membabat putus lengan Suma Sun.

Lalu dengan satu lentingan keras, dengan sisa tenaga yang benar-benar disimpannya dan dibantu daya dorong kaki yang bertumpu pada tembok tebing, Suma Sun melesat dengan sangat cepat menyerang kerongkongan Kim-tayhiap dengan jari tangan kirinya.

Cerdas!

Gila!

Tak terbayangkan!

Mengagumkan!

Cio San tetap dengan sabar menyalurkan tenaganya sampai Suma Sun sadar. Begitu dilihatnya sahabatnya itu sudah siuman, dengan tersenyum ia berkata,

“Kau berhasil”

“Memangnya sejak kapan aku tidak pernah berhasil?” jawab Suma Sun sambil tersenyum.

Saat Cio San hendak beranjak berdiri, tiba-tiba terdengar suara lantang,

“Nanti dulu, Lie Sat-siansing. Aku hendak bertanya” Rupanya suara Lau-ciangbunjin.

“Silahkan”

“Dari mana kau belajar ilmu pengobatan Butong pay? Selama ini kami tidak pernah mengajarkan ilmu penyaluran tenaga murni Thay Kek Kun kepada orang luar”

Cio San tidak bisa menjawab.

Yang ia lakukan saat menyembuhkan Beng Liong dan Suma Sun memang adalah menyalurkan tenaga dengan menggunakan Ilmu Penyaluran Yin Yang milik Butongpay. Semua dilakukan dengan tanpa berpikir.

“Apakah kau mencuri ilmu kami?” tanya Lau ciangbunjin sengit.

Cio San tetap diam.

“Mengapa tidak menjawab?” tanya Lau Ciangbunjin lagi. Lanjutnya, “Kulit wajahmu yang aneh, membuatku curiga. Jangan-jangan kau memakai topeng untuk menyamar”.

“Yah sudahlah jika sudah ketahuan” Cio San tersenyum. Lalu ia membuka topeng halus yang menutupi wajahnya.

Semua orang kaget.

Inilah wajah orang yang paling dicari-cari di dunia Kang Ouw.

“Cio San” tukas Lau Ciangbunjin pendek.

Mendengar nama itu, terdengarlah seruan kaget dari ribuan orang yang hadir di situ.

“Murid-murid Butongpay! Kepung dia! Jangan sampai lolos!” perintah Lau Ciangbunjin.

“Murid-murid Siau Lim Pay! Jangan biarkan dia kabur!” perintah Hong-taysu yang rupanya sudah berada di sana juga.

“Murid-murid Gobi Pay! Kepung Cio San” perintah Gobi pay-Ciangbunjin. Ia adalah seorang nikoh tua bernama Bi Goat.

Berturut-turut ketua perguruan kecil yang lain juga menyerukan hal yang sama. Mulai dari Kun Lun Pay, Hoa San pay, dan lain-lain. Total ada 7 perguruan kecil yang juga ikut serta dengan 3 perguran besar dalam mengepung Cio San.

“Jangan biarkan Suma Sun lolos juga!” terdengar perintah Lau-ciangbunjin.

“Suma-thay suhu sedang terluka. Ada urusan apapun bisa dibicarakan kepada Kim Sian Kiam dan keluarganya!” Kali ini Kim-tayhiap maju membela Suma Sun.

Serta merta anak buahnya beserta putrinya pun maju melindungi Suma Sun yang sedang duduk bersila.

“Wah, ramai sekali. Aku hanya akan berkata sekali saja. Aku bukan penjahat yang kalian cari. Dan jika kalian memaksa untuk menangkap atau membunuhku, aku akan melawan. Siapa yang nekat melakukannya harus menanggung resiko kematiannya sendiri”

Ia berkata dengan tenang.

Tangan kanannya memainkan rambutnya. Tangan kirinya tersimpan di belakang.

“Aku Cio San. Ma-kau kaucu sekaligus Kay-pang pangcu. Siap menerima tantangan. Silahkan maju”

Related Posts:

Bab 67 Kejadian-Kejadian




Bayangan hutan yang gelap. Tapi bayangan orang ini terasa lebih gelap lagi. Kekelaman jiwanya bahkan jauh lebih gelap daripada malam. Semua itu terlihat dari sinar wajahnya.

Sinar kegelapan!

Jika ada cahaya yang bersinar namun sinarnya membuat sekelilingnya terasa gelap, itulah cahaya sinar matanya. Siapa pun yang dipandangnya akan merasa terlempar ke dalam jurang paling gelap di sudut bumi.

Senyumnya.

Jika ular beracun bisa tersenyum, tentulah senyumnya akan seperti senyum orang ini.

Orang lain membunuh dengan pedang, namun ia bisa membunuhmu cukup dengan senyumannya.

Dengan perlahan ia mengeluarkan secarik kertas dari balik bajunya, Lalu ia menulis. Tulisan huruf-hurufnya walau jelas dan mudah dibaca, terasa kacau dan tak teratur.

Bunuh Beng Liong.
Sebelum pertarungan antara Suma Sun dengan Kim Sin Kiam, Beng Liong harus mati.
Gunakan racun. Jika gagal, kirim pendekar paling hebat. Jika gagal, gunakan perempuan. Jika gagal lagi, aku sendiri yang akan turun tangan.

Jati diri tabib Lie Sat yang mencurigakan juga sudah ku ketahui. Ia adalah Cio San. Segera bongkar kedoknya saat pertarungan dua dewa pedang itu selesai.


Surat itu dilipatnya dengan rapih. Lalu ia bersiul. Sebuah siulan yang lirih dan nyaris tak terdengar. Tak lama kemudian seekor burung merpati datang dan hinggap di lengannya. Ia lalu mengikatkan surat itu di kaki burung tersebut, dan membiarkannya terbang tinggi.

Ia diam sejenak memandang sampai burung itu menghilang dari pandangan matanya. Lalu ia pun menghilang dari situ. Tak ada yang tahu kapan ia bergerak.

***

Cio San dan Suma Sun sudah kembali.

Ang Lin Hua, Kao Ceng Lun, dan Luk Ping Hoo ternyata sudah selesai latihan pula. Melihat kedatangan kedua orang ini, mereka tersenyum. Senang rasanya melihat Suma Sun sudah kembali berlatih. Bayangan wajah pemabuk yang kemarin hadir di wajahnya kini telah sirna. Berganti dengan bayangan seorang pendekar gagah yang telah siap bertempur.

Pencerahan datang kepada manusia dengan tiba-tiba dan tak disangka-sangka. Sepertinya begitu mudah dan begitu gampang. Tapi sebelum pencerahan itu datang kepada seseorang, orang itu haruslah mengalami penderitaan yang dalam, serta perjuangan yang berat.

Orang yang telah mencapai pencerahan, adalah orang yang dulu batinnya terluka, jiwanya menangis, dan hatinya tersakiti. Atau orang yang dulunya terhina dan ditertawakan. Orang-orang seperti ini jika bangkit, akan menjadi orang-orang ‘besar’ yang mengagumkan.

Tapi siapa pun engkau, kau harus menerima penderitaan besar sebelum mendapatkan pencerahan.

Mungkin karena itu pulalah Suma Sun membiarkan dirinya terlena dan bermabuk-mabukkan. Hingga hampir semua orang menertawakan dirinya. Hingga kawan-kawannya kehilangan kepercayaan padanya.

Tiada seorang pun berani menertawakan ‘dewa’. Jika ‘dewa’ ditertawakan, maka penderitaanya itu jauh lebih besar daripada kematianya. Istilah ‘laki-laki boleh dibunuh, tapi tidak boleh dihina’ nampaknya mereka pegang sungguh-sungguh.

Martabat Suma Sun sudah jatuh saat ia terlihat mabuk-mabukkan dan berpesta pora. Ia tidak lagi dianggap dewa kematian yang menakutkan. Tetapi hanya sebagai manusia penakut yang patut dikasihani. Manusia yang lari kepada arak, saat jalan di depan terlihat buntu.

Entah bagaimana Suma Sun bisa mengalaminya.

Cio San sendiri menduga itu adalah siasat Suma Sun dalam menghadapi pertarungan. Tapi Cio San sendiri tak pernah menyangka bahwa Suma Sun sengaja ‘menghancurkan’ diri sendiri, untuk kemudian membangun jiwa yang lebih kuat dan lebih tangguh.

Ujaran kuno berkata,

“Kadang-kadang dalam membangun bangunan yang kokoh, kau harus menghancurkan bangunan yang lama”

Cio San pernah mendengar ujaran itu dari ayahnya. Tetapi melihat seseorang merusak diri sendiri untuk kembali bangkit sebagai manusia yang baru dan lebih tangguh, baru kali ini dialaminya.

Kini Suma Sun benar-benar terlihat sebagai manusia baru.

Dan terasa jauh lebih menakutkan dari sebelumnya.

Padahal ia kini telah menjadi seseorang yang hangat dan bersahabat. Tapi Cio San merasa justru Suma Sun terasa lebih menakutkan.

“Mari sarapan dulu” kata Ang Lin Hua.

Bau kambing gunung yang dibakar memang sejak tadi memenuhi tempat itu.

Sahabat, makanan, dan arak.

Tiga hal yang tak akan pernah dilewatkan Cio San.

Dan rupanya teman-temannya pun memiliki pendirian yang sama.


***

Siang hari.

Beng Liong paling suka jika selesai latihan, ia duduk di bawah pohon sambil menikmati ikan panggang. Ia memang suka ikan panggang. Dan sungai kecil di Thay San ini penuh dengan ikan-ikan kegemarannya.

Bagian atas tubuhnya masih belum ia tutupi. Dadanya yang bidang tegap berkeringat. Keringatnya sangat harum sampai-sampai orang mengira keringatnya itu adalah minyak pewangi.

Ia telah keluar dari sungai, dan telah memperoleh sejumlah tangkapan. Api bakaran sudah dipersiapkannya sebelum tadi turun ke sungai.

Tak berapa lama ia menanti, panggangannya sudah selesai. Semerbak harum ikan membuatnya tersenyum.

Betapa nikmat menikmati makanan seperti ini di alam terbuka!

Sesuatu yang sederhana jika ditempatkan di tempat yang pas, akan terasa jauh lebih indah dan bermakna.

Ia menikmati sendiri makanan itu. Ia memang lebih suka sendirian. Rombongan Butong Pay berjumlah puluhan orang, tapi ia memilih berlatih sendirian di kesunyian.

Baginya kesunyian jauh lebih merdu daripada lagu seindah apapun.

Kesunyian adalah tempatnya menumpahkan segala pemikiran yang ada di benaknya.

Ia telah terbiasa dengan kesunyian.

Oleh sebab itu, gerakan sekecil apapun akan mampu didengarnya.

Telinganya telah mendengar suara berdecit yang aneh.

Ribuan jarum sedang mengarah kepada dirinya dengan kecepatan tinggi!

Ia tetap tenang.

Bahkan jika kiamat pun, ia akan tetap tenang.

Tangannya menggenggam pasir yang ada dihadapannya.

Sekali hentakan, sekali putaran badan. Pasir-pasir itu telah menghalau ribuan jarum beracun yang datang menghujam.

Gerakannya begitu indah. Begitu luwes. Begitu tenang. Begitu mengagumkan.

Hanya Beng Liong yang bisa bergerak seperti ini.

“Saudara siapakah? Mari silahkan muncul”

Bahkan ia pun masih bisa bertanya dengan santun kepada penyerangnya.

Tiada jawaban. Sunyi dan hening.

Sekali melesat, Beng Liong sudah ada di arah tempat jarum-jarum tadi muncul.

Tak ada siapa-siapa.

Ia menoleh ke bawah. Meneliti jejak kaki. Siapa tahu ia bisa menemukan petunjuk.

Jejak kaki yang hampir tak terlihat mata, namun Beng Liong bisa menemukannya.

“Dari langkahnya, kedalaman telapaknya, keluwesan gerak, serta kelincahannya, orang ini mempunyai ginkang cukup tinggi”

Ginkang yang cukup mengagumkan.

Hanya sayangnya, orang yang berkata ini adalah salah seorang dari 3 manusia tercepat di muka bumi.

Ya.

Jika bicara tentang Ginkang, Beng Liong tidak kalah dari siapa pun juga. Siapa pun juga tidak sanggup mengalahkan dia.

“Tuan. Saya yakin tuan masih berada di sini, silahkan keluar” ujarnya sopan.

Tidak ada balasan.

Yang muncul adalah suara decitan, yang dibarengi dengan datangnya ribuan jarum secepat kilat.

Namun kali ini Beng Liong tidak diam menerima jarum itu. Ia malah bergerak maju. Gerakan majunya ini bahkan mungkin lebih cepat daripada gerakan jarum-jarum itu. Sambil maju ia mengeluarkan sebuah jurus. Jurus indah milik Butongpay.

Tanpa harus mengetahui nama jurusnya, orang tentu telah terkagum-kagum melihat gerakan jurus ini. Beng Liong hanya menggunakan ranting pohon yang dipetiknya sekejap saja.

Sederhana dan luwes.

Tapi angin yang dihasilkan dari gerakan sabetan ranting pohon ini telah menghalau ribuan jarum itu.

Thay Kek Kiam Siut.

Ilmu pedang Thay Kek.

Thio Sam Hong menggubahnya dari ilmu tangan kosong Thay Kek Kun.

Kata orang ilmu pedang ini sampai sekarang belum ada tandingannya, jika Thio Sam Hong yang memainkannya.

Kini Beng Liong memainkannya.

Jika ada orang yang melihatnya, tentu akan percaya.

Sayangnya satu-satunya orang yang melihat ilmu pedang itu sudah terkapar tak bernyawa.

Beng Liong tidak pernah membunuh orang. Orang itu mati bunuh diri.

Orang itu tentu saja penyerangnya yang tadi menggunakan ribuan jarum itu.

Si penyerang ini tidak menyangka bagaimana mungkin ada manusia bergerak secepat ini. Bahkan menembus ribuan jarum pula. Dan tahu-tahu telah menodong lehernya dengan sebuah ranting pohon.

Sayangnya si penyerang ini lebih memilih mati. Ia tahu Beng Liong akan mengampuninya. Tapi ia juga tahu, orang yang memerintahkannya tidak akan mengampuninya.

Oleh sebab itu lebih baik mati.

Kalau nanti pasti mati, kenapa tidak mati sekarang saja? Toh, sebelumnya tidak disiksa dulu.

Beng Liong hanya bisa menunduk dan menghela nafas. Entah apa yang ia pikirkan sekarang. Matanya hanya tertuju pada sebuah kotak perak sebesar kepala kambing di tangan orang mati itu.

Sekali pandang ia sudah tahu kotak apa itu.

Kotak itu digunakan untuk melontarkan ribuan jarum tadi. Karena tidak mungkin si orang mati ini yang melontarkan jarum-jarum tersebut. Karena jika ia yang melontarkan jarum-jarum itu, seharusnya ia bisa melontarkan lagi jarum-jarun itu saat Beng Liong maju menyergapnya.

Rupanya kotak ini setelah melontarkan ribuan jarum, harus diisi lagi dengan sejenis ‘peluru’ yang akan melontarkan lagi ribuan jarum.

Mungkin pada saat orang itu ingin mengisi ulang ‘peluru’nya, ranting pohon Beng Liong sudah mendahului menodong tenggorokannya.

Beng Liong memungut kotak itu dengan hati-hati.

Dengan wajah sedih ia memandang mayat itu. Lalu dengan perlahan ia pergi.

***

Sore hari menjelang.

Beng Liong sedang berada di tendanya. Rombongan Butongpay membawa 3 tenda. Sebuah tenda kecil untuk Ciangbunjin dan seorang pengawalnya. Sebuah lagi agak sedang, buat murid-murid tingkatan agak tinggi, dan yang paling besar untuk murid-murid biasa.

Beng Liong kini menikmati tehnya. Murid-murid yang lain tahu, jika Beng Liong sedang menikmati tehnya, orang lain sungkan mengganggu. Ini bukan karena Beng Liong akan marah jika terganggu. Ia tidak pernah marah jika terganggu. Mereka hanya mengerti bahwa acara minum teh ini adalah acara yang paling disenangi Beng Liong. Oleh karena itu mereka membiarkannya sendirian.

Acara minum teh jauh lebih disukai Beng Liong daripada minum arak. Ia heran mengapa ada pendekar yang mengorbankan kekuatan tubuh mereka hanya untuk kesenangan minum arak.

Walaupun kemampuan minum arak adalah pembuktian kekuatan tubuh, Beng Liong jarang sekali mau minum arak. Baginya pembuktian kekuatan tubuh yang sebenarnya adalah pada pertempuran.

Minum teh adalah bagian dari kebudayaan masyarakat Tionggoan. Ada upacara-upacara khusus yang diadakan ketika minum teh. Tapi Beng Liong sendiri saat ini hanya ingin menikmati sebuah teh yang nikmat. Yang hangat dan wangi.

Kembali suara decit itu muncul kembali.

Ribuan jarung menyerang tendanya. Untunglah tenda itu dibuat dari bahan khusus sehingga tidak mampu ditembus jarum-jarum itu. Butongpay memang memiliki berbagai benda pusaka yang mengagumkan. Ternyata tenda-tenda ini salah satunya.

Dengan geram, ia segera melesat keluar.
Begitu tiba di luar suasana tenang dan biasa-biasa saja. Beng Liong menajamkan telinga. Ia berharap dapat mendengarkan sedikit saja suara. Suara kecil itu bisa membuatnya menentukan posisi yang sebenarnya sang musuh.

Beberapa murid Butongpay juga sudah menghambur keluar ketika mendengarkan suara itu.

“Liong-ko ada apa?” tanya mereka.

“Penyerang jarum itu lagi” jawabnya.

“Aih, di mana dia?”

“Aku pun sedang mencari” jawab Beng Liong tenang.

Sirna sudah harapan Beng Liong mencari pelakunya. Jika tempat itu sudah dipenuhi banyak orang, mustahil jejaknya ditemukan.

Jangan-jangan justru penyerangnya berada di dalam gerombolang orang ini?

Mereka semua siap siaga. Menanti jangan-jangan serangan berikutnya akan datang lagi. Lama mereka menanti. Tapi suasana masih hening dan sepi.

Merasa bahwa tindakan ini percuma, Beng Liong kembali ke tendanya.

Tehnya rupanya masih sedikit hangat.

Dengan tersenyum ia meraih gagang cangkir tehnya. Walaupun sudah tidak begitu panas, setidaknya teh ini masih enak diminum.

Tapi tangannya berhenti sebelum meraih gagang cangkir itu.

Ia tadi minum dengan tangan kanan. Posisi minumnya menghadap pintu tenda. Jika cangkir itu diletakannya kembali, seharusnya gagang itu ada di sebelah kanan.

Kini gagang itu agak bergeser sedikit ke sisi kiri!

Dengan hati-hati ia melepas batu kecil yang menempel di cincin di tangannya. Lalu dicelupkannya batu itu ke dalam cangkir. Batu yang awalnya berwarna hijau itu dengan cepat berubah menghitam.

Seseorang telah menaruh racun di dalam cangkir tehnya!

***

Walaupun saat itu telah memasuki musim gugur, malam tetap cerah dan bintang bersinar terang. Rembulan bercahaya. Redup namun indah.

Ang Lin Hua memisahkan diri dari rombongan. Perempuan selalu punya alasan untuk ‘pergi’.

Entah hanya sebentar, lama atau bahkan selamanya.

Jika sebentar, biasanya hanya sekedar merapikan rambut, menebalkan bedak, atau mengoleskan gincu. Jika lama berarti buang air. Jika selamanya, berarti ia menemukan cinta yang baru.

Kali ini Ang Lin Hua memilih sebuah tempat yang agak sepi. Urusan perempuan cuma perempuan yang boleh tau. Lama juga ia menyelesaikan ‘urusannya’ ini.

Setelah selesai ia beranjak pergi.

Alangkah kagetnya ia saat seseorang muncul di belakangnya dan langsung menotoknya.

Ia hanya bisa terbelalak. Tak menyangka orang yang dikenalnya begitu dekat, tega melakukan ini kepadanya!

***

“Eh, mana nona Ang? Kenapa begitu lama?” tanya Kao Ceng Lun.

“Iya, biasanya tidak selama ini. Coba ku cari” kata Lie Sat alias Cio San.

Lie Sat pergi. Termasuk lama juga. Ketika kembali, wajahnya yang pucat terlihat lebih pucat.

“Nona Ang, menghilang” katanya.

“Apa?”

“Lebih baik kita berpencar mencari nona Ang” kata Luk Ping Hoo.

“Baik”

Setelah menentukan arah, masing-masing berpencar.

Luk Ping Hoo kebagian mencari ke arah tadi Ang Lin Hua menghilang. Dalam kegelapan malam ia mencari-cari sambil sekali-sekali memanggil nama Ang Lin Hua.

Tidak ada sahutan.

Tidak ada orang.

Yang ada hanya sebuah tangan yang menotok punggungnya.


***

Berjam-jam mereka mencari. Ang Lin Hua tidak ditemukan. Luk Ping Hoo pun bahkan ikut menghilang.

Terbayang sedikit kepanikan di wajah mereka bertiga.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Kao Ceng Lun.

“Lebih baik kita jangan berpencar. Kita harus terus bersama sambil mencari mereka” usul Lie Sat.

Suma Sun hanya mengangguk-angguk.

Sampai pagi menjelang, kedua orang itu tidak kembali.

Kao Ceng Lun nampak sangat bingung, dan Lie Sat pun tidak tidak tenang.

“Suma-tayhiap, sebaiknya tayhiap beristirahat. Pertarungan akan diadakan nanti malam. Saya takut hal ini bisa mengganggu pikiran tayhiap”

Suma Sun tidak berkata apa-apa.

Ia nampak tenang saja.

Rupanya si ‘manusia’ telah kembali menjadi ‘dewa’.

“Ahhh, aku sudah tak sabar lagi. Lebih baik aku pergi mencari mereka” Kao Ceng Lun segera berdiri dan beranjak dari situ.

“Orang muda memang selalu tidak sabaran” batin Lie Sat. Ia sendiri pun beranjak dari situ. Meninggalkan Suma Sun sendirian.

Jika seluruh gunung Thay San ini runtuh pun, ia tidak khawatir meninggalkan Suma Sun sendirian.

Pencarian berlangsung tanpa hasil. Kedua orang itu hilang bagai ditelan bumi. Sampai tengah hari Kao Ceng Lun dan Lie Sat telah kembali. Saat tiba kembali, ternyata anak perempuan Kim Sin Kiam telah berada di sana.

Herannya, ia cuma duduk di sana. Tidak menyapa Suma Sun sama sekali. Setelah ditengok, ternyata Suma Sun sedang tidur.

“Aku sungkan membangunkannya” kata wanita itu.

“Siocia ada pesan apa, biar nanti saya yang sampaikan” kata Lie Sat.

“Katakan pada Suma Tayhiap, ayah mengajukan 3 tempat untuk pertarungan tengah malam nanti. Pavilliun Langit di Puncak Kaisar Giok, di depan Kuil Awan Biru, atau di tebing Jembatan Abadi. Suma-tayhiap berhak memilih”

“Baik. Akan saya sampaikan”


“Cayhe mohon diri, siansing” ia lalu melesat menghilang.

“Sombong sekali. Bahkan mengucapkan terima kasih saja tidak” gerutu Kao Ceng Lun.

Cio San hanya tersenyum pahit.

Perempuan cantik memang kadang-kadang tidak perlu mengucapkan terima kasih. Manusia lain yang harusnya berterima kasih kepadanya. Karena setidaknya, kecantikannya sudah membuat dunia sedikit lebih indah.

Tak berapa lama kemudian Suma Sun sudah bangun. Wajahnya terlihat segar. Sinar wajahnya pun bersinar terang. Ia duduk diam bersemedi sebentar.

Lalu begitu matanya dibuka, Cio San terpana.

Walaupun ia telah berkumpul cukup lama dengan Suma Sun, baru kali ini ia melihat cahaya seterang itu. Biarpun buta, cahaya matanya bersinar begitu terang.

Seperti kaisar yang memandang daerah kekuasannya yang luas.

Seperti elang yang terbang sendirian di angkasa.

Begitu gagah. Begitu mengagumkan.

“Kau sudah siap?” tanya Cio San

“Sejak dulu sudah siap”

“Baik. Ayo kita berangkat”

“Eh, kita tidak mencari Luk-tayhiap dan Ang-siocia dulu?” tanya Kao Ceng Lun

Lie Sat menarik nafas, “Siauya (tuan muda), segala cara sudah kita lakukan. Bertanya pun sudah kemana-mana. Memangnya apa yang bisa kita lakukan sekarang? Kita hanya bisa menunggu. Dalam beberapa saat, jawabannya pasti datang kepada kita.”

“Baiklah” jawab kao Ceng Lun.

Mereka lalu berangkat. Ketiga tempat yang diusulkan Kim-tayhiap letaknya berdekatan. Butuh beberapa jam perjalanan dari tempat mereka berada sekarang.

Begitu sampai di sana, Suma Sun berkeliling memeriksa tempat. Satu persatu tempat itu dikelilinginya. Memperhatikan tanahnya, merasakan tiupan anginnya, memperhatikan keadaan pepohonannya. Tak ada satu pun yang terlewatkan oleh Suma Sun.

“Suma-tayhiap ini seperti seorang jendral perang. Ia mempelajari betul setiap tempat yang ada” tukas Kao Ceng Lun.

“Seorang ahli silat seperti dirinya, yang menghadapi duel seperti ini, harus benar-benar menyiapkan diri. Satu hal kecil terlewatkan saja bisa membuatnya kehilangan nyawa. Salah memperhitungkan arah angin saja, sudah membuatnya ketinggalan beberapa langkah” kata Cio San.

Kao Ceng Lun mengangguk membenarkan.

“Tentunya Kim-tayhiap sudah memperhitungkannya pula sebelum mengajukan ketiga tempat ini” katanya.

“Tentu saja. Mereka berdua kan manusia sejenis”

“Manusia jenis dewa” sambung Kao Ceng Lun.

Suma Sun lalu kembali.

“Sudah diputuskan?” tanya Cio San.

Suma Sun mengangguk.

“Aku memilih Jembatan Abadi”

Cio San tersenyum. Bertarung di tempat seperti itu.

Bahkan berjalan diatasnya saja sudah merupakan pertaruhan hidup. Ini malah bertarung di atasnya.

Jembatan abadi adalah sebuah jembatan alami yang terbuat dari susunan batu-batu besar yang dulu runtuh ke dalam jurang. Batu-batu ini tidak jatuh kedalam jurang, dan malah saling menumpuk membentuk sebuah jembatan alam.

Jembatan Abadi


“Bagaimana cara kau memberitahukan pilihanmu ini kepada Kim-tayhiap?”

“Sejak awal dia sudah tahu pilihanku”

“Ah aku lupa, kalian adalah manusia sejenis”

Suma Sun tertawa.

Dari seluruh suara menyenangkan yang ada di dunia ini, tawa Suma Sun adalah salah satunya.

Suma Sun lalu berkata,

“Aku butuh waktu untuk menyendiri sampai tengah malam nanti. Harap kalian maafkan aku”

“Tentu saja” jawab kedua sahabatnya ini.

Sore datang, dan malam pun menjelang.

Banyak manusia yang datang berkumpul di situ. Entah bagaimana caranya mereka bisa tahu tempat ini. Mungkin mereka mendengar pula usulan tempat dari Kim-tayhiap.

Beberapa anak buah Kim-tayhiap sudah datang di sana dan mulai menyalakan obor. Tempat itu menjadi terang benderang dan indah sekali.

Tempat itu menjadi sangat ramai.

Suma Sun dan Kim-tayhiap sama sekali tidak terlihat.

Lalu ketika tengah malam tiba, kedua orang ini pun muncul.

Entah iblis atau malaikat. Semua orang yang ada di sana merasa bulu kuduk mereka berdiri.

Suasana begitu hening. Ratusan bahkan ribuan orang yang berada di sana tak berani buka suara. Semua terpana melihat dua orang manusia ‘dewa’ di hadapan mereka.

Lalu sebuah teriakan mengagetkan terdengar,

“Tolong! Tolong!”

Beberapa orang yang menoleh kaget. Sgera mereka berteriak pula

“Mayat! Ada mayat!”

Semua menoleh ke arah yang ditunjuk.

Seseorang datang tergopoh-gopoh sambil menggendong sesosok tubuh.

Dari jauh pun Cio San mengenal tubuh siapa itu.

Beng Liong!


(Catatan penulis: jika teman2 pengen tau gunung Thay San, ini link wiki-nya: http://en.wikipedia.org/wiki/Mount_Tai)

Related Posts: