Dengan sekali lesatan Cio San sudah muncul di hadapan orang yang menggotong Beng Liong itu.
“Apa yang terjadi, enghiong?” tanyanya sambil menjura.
“Cayhe menemukan Beng Liong-tayhiap di pinggiran jurang di dekat sini.
Sambil mengangguk Cio San memeriksa Beng Liong.
Masih hidup!
Nafasnya sangat lemah. Bahkan hampir tidak ada. Secepatnya Cio San langsung menyalurkan tenaga saktinya.
Darah yang mengalir dari mulut Beng Liong masih segar. Itu berarti ia baru saja terluka. Melihat mantan kakak seperguruannya dalam keadaan seperti itu, hatinya merasa tergetar juga. Beng Liong kaku seperti mayat. Wajahnya pucat pasi. Begitu Cio San memeriksa jalan darahnya, segera ia menyadari bahwa jalan darah Beng Liong telah terpukul sedemikan hebatnya sehingga alirannya menjadi kacau balau.
Jika terlambat beberapa menit saja, Beng Liong pasti meninggal.
Dengan segenap kekuatannya dan pengetahuannya, Cio San berusaha menyembuhkan Beng Liong. Saluran tenaga sakti yang Cio San berikan kepada Beng Liong setidaknya cukup berpengaruh karena tak lama kemudian Beng Liong sudah mulai pulih kesadarannya. Wajahnya pun perlahan-lahan mulai memerah.
“Jangan melakukan apapun, Liong-ko. Terima saja aliran tenaga ini” bisik Cio San.
Beng Liong pun menuruti saja perkataan orang di hadapannya itu.
Cio San meletakkan tangannya di dada Beng Liong. Aliran tenaga saktinya itu langsung ia salurkan ke jantung Beng Liong yang hampir saja berhenti.
Semua orang yang ada di sana hanya bisa terdiam dan menyaksikan. Beberapa orang ada yang sudah mengenal ‘tabib sakti’ itu. Mereka bahkan mengangguk-angguk seperti mengagumi cara kerja ‘tabib sakti’ itu.
Para murid Butongpay yang berkumpul sejak tadi sudah mengerumuni Beng Liong dan Cio San. Mereka ingin sekali membantu tetapi sadar bahwa ilmu pengobatan mereka masih rendah.
Lau-cianbgbunjin, sang ketua Butongpay yang penuh wibawa pun hanya diam memperhatikan tindakan Cio San.
Begitu terlihat Beng Liong telah pulih kesadarannya, semua orang menjadi lega. Walaupun begitu, Cio San tetap meneruskan penyaluran tenaganya itu.
“Nampaknya keadaan Beng Liong-tayhiap sudah membaik, mari kita mulai pertarungan kita, Suma-tayhiap” kata Kim Sin Kiam.
Suma Sun tersenyum dan mengangguk “Mari”
Tubuh mereka berdua lalu melayang turun ke jembatan batu. Jembatan yang terlihat aneh namun gagah dan menyeramkan. Cahaya rembulan ditambah ratusan cahaya obor yang menyinari sekeliling tempat itu membuat wajah kedua orang ini terlihat begitu dingin.
Tanpa menunggu aba-aba, mereka saling melemperkan pedang. Suma Sun menangkap pedang Kim-tayhiap, sebaliknya Kim-tayhiap pun menangkap pedang Suma Sun.
Mereka saling memeriksa pedang.
“Pedang milik Suma-tayhiap begitu mengagumkan. Warnanya putih bercahaya seperti perak. Terbuat dari bebatuan khusus yang kemungkinan besar berasal dari langit. Ditempa dengan api kecil sehingga prosesnya memerlukan waktu bertahun-tahun. Pedang ini lalu ditanam di dalam es selama bertahun-tahun pula. Bahkan ketajaman anginnya saja sudah mampu membabat daging manusia. Pedang yang sangat ringan, karena pemiliknya mengandalkan kecepatan dan ketepatan” demikian Kim-tayhiap berkata sambil memeriksa pedang Suma Sun.
“Pedang milik Kim-tayhiap boleh dibilang hampir tiada bandingannya. Terbuat dari logam yang berada jauh di dalam tanah. Logam seperti ini adalah logam yang langka. Kemungkinan besar jumlah seluruh logam ini yang berada di seluruh dunia, tidak akan cukup untuk membuat 2 pedang. Walaupun bobotnya lebih berat daripada pedang umumnya, pedang ini jika berada di tangan orang yang tepat, akan sanggup menembus pertahanan serapat apapun, akan mampu menembus dinding baja dan batu karang. Bahkan sekali sabetannya akan menebas hancur puluhan orang. Pedang yang cocok bagi mereka yang mengandalkan kekuatan dan pemusatan tenaga” demikan Suma Sun pun berkata sambil memeriksa pedang itu. Padahal ia buta.
“Untuk lebih serunya, bagaimana kalau pertarungan ini kita lakukan sambil bertukar pedang?” tawar Kim-tayhiap
“Baik” kata Suma Sun sambil tersenyum.
Pedang telah mereka masukkan kembali ke dalam sarung. Karena bagi dewa pedang, gerakan pedang yang paling berbahaya adalah gerakan ketika pedang meninggalkan sarungnya.
Kedua orang itu hanya saling menatap. Tak bergerak.
Hembusan angin meniup rambut mereka.
Ratusan, bahkan ribuan orang yang menonton peristiwa ini dari bibir tebing, tidak ada satu pun yang berani bersuara. Mungkin bernafas pun mereka tidak berani.
Di dalam kesunyian seperti ini, bahkan jarum jatuh pun bisa kau dengar.
Lalu saat yang ditunggu-tunggu pun tiba.
Kim-tayhiap bergerak.
Orang yang mampu melihat gerakannya pun mungkin tidak sampai sepersepuluh orang yang menonton.
Suara angin yang berat tentu saja bukan berasal dari gerakannya. Gerakannya tanpa suara. Suara itu berasal dari pedangnya. Sudah bisa dibayangkan betapa dahsyatnya serangan itu.
Pedang itu datang menusuk dengan sederhana. Tapi kesederhanaan itu telah dilatih puluhan tahun, sehingga kesederhanaan itu telah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan.
Satu tusukan.
Tanpa gerakan tipuan, tanpa gerakan hiasan.
Suma Sun telah terbiasa menghadapi serangan pedang yang dahsyat, cepat, dan mematikan. Tapi serangan yang sedang dihadapinya ini, adalah sebuah serangan yang paling menakjubkan yang pernah dialaminya. Jika gerakan pedang orang lain seperti menutupi gerakan langkahnya dengan cara mengurung tubuhnya, gerakan pedang Kim-tayhiap ini hanya berupa satu gerakan tunggal tanpa ampun yang langsung menutup segala harapan untuk bisa tetap hidup.
Ia berusaha menghindar dengan cepat. Gerakan yang sangat cepat. Tidak kalah cepat dengan datangnya serangan itu. Angin dari pedang Kim-tayhiap menghujam bebatuan di belakang tubuh Suma Sun. Tebing karang yang kokoh itu bergetar dan menimbulkan suara menggelegar!
Tubuh Suma Sun sendiri kini sudah berada di samping Kim-tayhiap. Segera ia mencabut pedang dari sarungnya. Namun belum sempat ia menarik pedang itu, pedang Kim-tayhiap bergerak menyamping dan mengincar tenggorokannya.
Entah bagaimana Kim-tayhiap bisa bergerak secepat itu. Suma Sun hanya bisa menghindar lagi dengan cara menunduk. Begitu ia menunduk, kaki Kim-tayhiap telah ‘menyambut’nya dengan sebuah tendangan keras.
Suma Sun menangkis tendangan itu dengan gagang pedang. Kerasnya tendangan itu digunakannya untuk membantunya bergerak memutar ke belakang, lalu terbang ke atas. Tenaga dari tendangan Kim-tayhiap serta tambahan sedikit tenaganya sendiri, membuat dewa pedang berambut merah itu melenting tinggi dengan sangat cepat!
Ia lolos dari serangan.
Seluruh kejadian ini membutuhkan waktu untuk menulisnya. Padahal semuanya terjadi hanya dalam sekejap mata.
Saat Suma Sun melenting tinggi di udara, Kim-tayhiap pun melenting ke atas pula. Sebuah gerakan pedang yang sama sederhananya dengan gerakan pertama tadi, kini telah mengincar perut Suma Sun.
Orang jika sedang berada di posisi melenting, maka ia berada dalam bahaya. Karena posisi di udara seperti ini membuatnya tanpa kuda-kuda.
Tapi Suma Sun bukan ‘orang’.
Suma Sun adalah dewa pedang.
Disambutnya tusukan itu dengan tangkisan pedang sampai saat itu belum tercabut dari sarungnya. Pedang berhasil ia tangkis, namun angin pedang yang tidak kalah dahsyat dengan serangan pedang itu sendiri, telah menghempasnya terlempar ke belakang.
Punggung Sum Sun membentur tebing batu yang ada di belakangnya. Suara keras terdengar. Bebatuan itu banyak yang pecah-pecah karena tumbukan tubuh Suma Sun.
Ia sendiri memang tidak terluka karena tenaga dalam melindungi tubuhnya. Tapi dari kejadian ini saja, orang yang mampu melihat gerakan mereka telah bisa menyimpulkan bahwa ilmu Kim-tayhiap memang di atas Suma Sun.
Kim-tayhiap melihat Suma Sun ‘tersudut’ di tembok tebing itu, tidak menyia-nyiakan kesempatan. Tubuhnya yang masih melayang di udara, entah bagaimana kini meluncur deras dengan sebuah tikaman dahsyat ke jantung lawannya.
Serangan ini kembali ditangkis oleh Suma Sun tanpa melepas pedang dari sarungnya. Tangkisan itu membuat serangan Kim-tayhiap melenceng ke samping dan membuat daerah dadanya terbuka. Melihat daerah kosong itu, Suma Sun tidak menyia-nyiakannya. Dengan kaki kanannya ia melakukan sebuah tendangan keras.
Sayangnya tendangan itu tidak menemui sasaran karena Kim-tayhiap telah menyambut tendangan itu dengan tangan kirinya. Pertemuan telapak tangan dengan telapak kaki itu menghempaskan tubuh Kim-tayhiap ke belakang. Ia saat itu berada di udara sehingga tidak memiliki kuda-kuda untuk menahan benturan pertemuan kaki dan tangan tadi.
Melihat Kim-tayhiap terhempas ke belakang, Suma Sun tidak lantas bergerak maju menyerang Kim-tayhiap. Ia tetap diam di tempatnya.
Ada perasaan puas di wajah Kim-tayhiap setelah melihat Suma Sun tidak bergerak maju. Karena jika Suma Sun maju, ia sudah siap menghadapi serangan lawannya itu dengan lentingan ‘aneh’ tubuhnya. Kim-tayhiap memang memiliki sejenis ginkang aneh yang bisa membuatnya bergerak bebas di udara tanpa terpengaruh gaya tarik bumi.
Ia puas. Karena lawan di hadapannya ini memang pantas menjadi lawannya.
Untuk sesaat mereka saling diam. Hanya memandang sambil menyelami pikiran masing-masing.
Angin malam bertiup. Dingin.
Tapi tidak sedingin hawa kematian yang melingkupi daerah pertempuran itu.
Jembatan abadi lebih pantas berganti nama menjadi jembatan kematian.
Kini Kim-tayhiap kembali menyerang. Kecepatan, kekuatan, dan ketepatan serangannya bahkan jauh lebih mengagumkan daripada yang tadi diperlihatkannya. Suma Sun tidak bergerak sama sekali!
Ia diam di tempatnya. Bersandar di tebing batu.
Setiap orang yang melihat keadaan Suma Sun merasa kasihan kepadanya. Ia seperti kehabisan akal menghadapi gerakan Kim-tayhiap yang mengagumkan. Kematian telah membayangi dewa pedang berambut merah. Wajahnya pucat, dan gerakan tubuhnya menjadi kaku.
Sekejap mata kembali serangan Kim Sin Kiam menghujam. Kali ini sabetan menyamping yang mengincar kepala Sum Sun. Kembali Suma Sun hanya mampu menangkis.
Lalu dengan sangat mengagumkan, Kim-tayhiap dengan cepat melancarkan sepuluh serangan beruntun. Begitu cepatnya sampai-sampai kesepuluh tusukan tunggal itu terlihat dilancarkan secara bersamaan.
Serangan pertama berupa tusukan di pundak kiri. Suma Sun menurunkan sedikit pundaknya. Pedang menusuk tembok.
Serangan kedua berupa sabetan ke telinga kiri. Suma Sun memiringkan kepalanya. Pedang lewat di atasnya.
Serangan ketiga berupa bacokan ke pundak kanan. Suma Sun mengangkat tangan kanan untuk menangkis dengan pedang. Bunyi logam beradu dengan logam terdengar melengking dan menyakitkan telinga. Terlihat kilatan percikan api yang timbul darinya.
Serangan keempat adalah gerakan mengagumkan yang menusuk ke jantung Suma Sun. Dewa pedang berambut merah ini sempat menghindar, tapi ia kalah cepat. Tusukan itu untuk saja tidak menembus jantungnya. Tapi sempat melukai lengan kirinya.
Serangan kelima menghujam perutnya. Sekali lagi Suma Sun menggunakan pedang untuk menangkis tusukan ini. Namun kembali ia kalah cepat. Perutnya terluka!
Walaupun bukan luka yang dalam, darah telah membasahi pakaian putihnya.
Ia terlihat tidak dapat bergerak ke manapun. Bagian belakang adalah tebing karang. Di depannya, ada seorang dewa kematian yang mengurungnya dengan serangan pedang paling dahsyat yang baru kali ini dihadapinya seumur hidup.
Serangan keenam mengincar kedua pahanya. Dengan sekali sabetan, pedang Suma Sun yang berada di tangan Kim-tayhiap hampir saja membabat putus kedua kakinya. Tetapi kali ini untunglah Suma Sun telah melompat ke atas sehingga kakinya mampu terselamatkan.
Begitu Suma Sun berada di udara, Kim-tayhiap segera menyerang pula dengan 3 sabetan sekaligus yang masing-masing mengincar leher, ulu hati, dan perut Suma Sun.
Karena serangan itu berada pada titik yang segaris, cukup dengan menyabetkan pedangnya saja, Suma Sun berhasil menepis ketiga serangan berbahaya itu.
Tapi karena ia harus menghadapi 3 serangan itu dengan satu kali gerakan, kekuatannya kalah besar dengan Kim-tayhiap. Hal ini membuat pertahanannya terbuka. Melihat ini, tusukan kesepuluh Kim-tayhiap telah masuk melukai paha kanannya.
Kesemua kejadian ini adalah berupa gerakan-gerakan sederhana yang hampir semua orang mampu melakukannya. Tadi di dunia ini tidak ada yang mampu melakukannya secepat, sekuat, dan setepat Kim-tayhiap.
Apalagi, segala kejadian ini berlangsung hanya dalam sekejap mata pula. Para penonton yang hadir menyaksikan pertarungan ini bahkan tidak berani mengedipkan mata. Karena sekali berkedip saja, orang akan ketinggalan menyaksikan serunya pertarungan ini. Di muka bumi ini, mungkin hanya Kim-tayhiap yang mampu menggunakan pedang sebegitu menakutkannya.
Tapi di muka bumi ini pula, orang yang mampu keluar dalam keadaan hidup-hidup dari serangan semacam ini baru Suma Sun saja.
Ia telah melompat keluar dari ‘ajang pembantaian’ itu. Kini ia telah berada di belakang Kim-tayhiap. Tapi ia tak mampu menyerang karena pahanya telah tertusuk dalam sekali. Gerakannya menjadi melemah.
Dengan gerakan memutar ke belakang, Kim-tayhiap sudah mengirimkan sebuah jurus menyilaukan yang datang bagai angin puting beliung.
Siapakah di dunia ini yang mampu menghindari dari serangan demikian?
Tentu saja hanya Suma Sun yang bisa.
Ia melenting ke belakang. Serangan itu hanya lewat seujung kuku dari lehernya. Angin pedang itu memotong sebagian rambutnya yang merah. Untunglah tenaga dalam melindunginya sehingga tubuhnya tidak ikut terkoyak oleh anginnya.
Namun tak urung timbul pula luka-luka hanya karena dahsyatnya angin pedang itu. Leher, wajah, dan pundak Suma Sun telah tergores angin!
Angin macam apakah yang mampu menggores tubuh manusia?
Tentu saja angin pedang Kim Sin Kiam.
Baju Suma Sun yang seputih salju, kini memerah oleh darah.
Cio San yang menyaksikan pertarungan itu mencoba untuk tetap tenang. Ia masih meletakkan tangan di dada Beng Liong dan menyalurkan tenaga saktinya. Sedikit saja pemusatan pikirannya kacau, maka nyawa Beng Liong akan melayang.
Saat ini nyawa Beng Liong pun tergantung pada Suma Sun.
Karena jika terjadi sesuatu pada Suma Sun, pikiran Cio San akan kacau. Dan itu akan membunuh Beng Liong.
Untunglah penyaluran tenaga ini selesai. Tanpa harus diberitahu pun, Beng Liong dapat mengatur sendiri tenaga yang disalurkan Cio San itu. Thay Kek Kun memberikannya pengetahuan yang sangat mendalam tentang pengerahan tenaga.
“Tetaplah bersemedhi, enghiong. Dalam beberapa hari, luka dalammu akan pulih.” Kata Cio San alias Lie Sat.
“Terima kasih, siansing” kata Beng Liong pelan. Ia lalu bersemedhi memulihkan tenaganya. Tubuhnya yang tadi dingin, kaku, dan membiru kini terliat merah segar dan hangat. Bahkan hangatnya bisa dirasakan Cio San yang duduk tak jauh darinya.
Dalam hati Cio San kagum. Begitu terlatihnya tubuh Beng Liong, sehingga ia sanggup memulihkan luka dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan Cio San sendiri pun tidak percaya!
Bakat dan latihan yang keras. Di kolong langit ini, tak ada yang sanggup mengalahkan Beng Liong dalam kedua hal ini.
Begitu nyawa Beng Liong terlepas dari bahaya, segera Cio San memusatkan diri menyaksikan pertandingan Suma Sun melawan Kim-tayhiap.
Kini Suma Sun telah tersudut lagi. Tubuhnya hanya bisa menempel di tembok tebing tanpa bisa berbuat banyak. Ia hanya mampu menghindar. Walaupun begitu tetap saja ada beberapa serangan Kin-tayhiap yang melukai tubuhnya.
Entah sudah berapa puluh atau berapa ratus jurus yang terlewatkan oleh Cio San. Keadaan Suma Sun yang sangat mengkhawatirkan membuat Cio San menyiapkan perasaannya untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
Ia lalu berkata kepada Kao Ceng Lun,
“Kao-enghiong, mau kah kau melakukan permintaanku. Sebagai seorang sahabat?”
“Tentu saja. Katakanlah Sat-ko”
“Apapun yang terjadi pada Suma Sun atau padaku nanti, harap kau terus menjaga Beng Liong-enghiong. Jangan jauh-jauh darinya dan terus melindunginya”
“Eh? Memangnya apa yang hendak kau lakukan?” tanya Kao Ceng Lun heran.
“Berjanjilah” pinta Lie Sat
Lama Kao Ceng Lun terdiam lalu berkata,
“Baiklah. Aku berjanji”
Lie Sat tersenyum lalu matanya sedikit berair. Perasaan seperti ini hanya bisa kau rasakan jika kau menemukan sahabat yang mau melakukan sesuatu untukmu tanpa meminta imbal balik, atau tanpa meminta penjelasan sekalipun.
Sahabat seperti ini jika ditukar dengan gunung emas sekalipun masih terlalu berharga.
Kao Ceng Lun tak tahu apa yang ada di dalam benak Lie Sat.
Tak ada seorang pun yang tahu kecuali Lie Sat sendiri.
Mereka berdua tetap memusatkan pikiran menyaksikan ‘pembantaian’ yang terjadi di hadapan mereka. Betapa Suma Sun menjadi bulan-bulanan Kim-tayhiap. Gerakan Suma Sun menjadi sangat lambat, dan tak mampu mengimbangi kecepatan Kim-tayhiap.
Wajah dan tubuh Suma Sun sudah bersimbah darah. Hanya dalam hitungan detik ia mungkin akan ambruk. Pingsan atau mati. Hanya tebing batu tempatnya bersandar yang membuatnya masih sanggup berdiri.
Kilatan pedang, dan semburan darah.
Hanya itu yang mampu dilihat orang-orang saat ini.
Pedang Kim-tayhiap yang berada di tangan Suma Sun tidak pernah sanggup ia keluarkan dari sarungnya. Sejak awal sampai sekarang belum pernah sekalipun Suma Sun mampu menyerang dengan pedang. Ia terlalu sibuk mempertahankan dirinya dari serbuan pedang maha dahsyat dan maha mengagumkan itu.
Kini Suma Sun bahkan menggunakan pedang di tangannya sebagai tongkat untuk membantunya agar bisa tetap berdiri.
Kim-tayhiap melangkah mundur. Ia seperti memberi kesempatan bagi Suma Sun untuk menghela beberapa nafasnya yang terakhir.
Suma Sun tak mungkin mau berkata “Menyerah”. Kim-tayhiap tahu itu. Oleh sebab itu ia bertanya,
“Suma-tayhiap punya permintaan terakhir? Jika permintaan itu tidak melanggar kehormatan kaum Bu Lim, maka cayhe akan memastikan permintaan itu terlaksana”
“Jika ada kesempatan, mau kah tayhiap minum denganku?” kata Suma Sun sambil tersenyum.
Kim-tayhiap tertunduk. Ia tahu ia tak mampu mengabulkan permintaan itu. Dalam beberapa detik orang yang meminta hal itu akan mati.
Betapa menyedihkannya kata “Jika ada kesempatan” itu, bukan?
Kadang kau sering mendengar orang menyebutkannya. Terlalu sering kalimat itu hanya sebagai basa-basi. Tapi ada beberapa kali di dalam hidup kita, di mana kata-kata itu begitu terasa menusuk jiwa dan melemahkan hati. Karena kau tahu, ‘kesempatan’ itu tidak akan pernah datang.
Kim-tayhiap pun merasakan hal yang sama.
Kemana lagi aku akan menemukan lawan yang sanggup beradu ratusan jurus denganku?
Kapankah lagi aku akan bertemu lawan yang begitu berharga untuk mati oleh pedangku?
Kawan berharga mudah dicari. Lawan berharga amatlah sukar didapat.
Oleh karena itu orang sepertinya kadang lebih menghargai musuh daripada menghargai teman.
“Suma-tayhiap, harap kau terimalah jurus terakhirku. Jurus terbaru yang khusus kuciptakan untuk pertarungan ini”
“Silahkan” kata Suma Sun tersenyum. Bahkan untuk tersenyum pun ia sudah kepayahan.
Tubuh Kim-tayhiap melesat cepat. Meluncur bagai anak panah terlepas dari busurnya.
Begitu cepat.
Begitu mengagumkan.
Begitu dahsyat.
Begitu mematikan.
Satu tusukan saja.
Ia tidak perlu berbagai macam jurus yang indah-indah. Ia tidak perlu segala macam gerakan yang menyilaukan mata. Dewa pedang seperti Kim-tayhiap tidak akan mau bergerak dalam kesia-siaan. Jika satu gerakan kecil dapat membunuh, ia tidak membutuhkan dua gerakan kecil.
Suma Sun akhirnya berhasil mencabut pedang dari sarungnya!
Tapi gerakannya begitu lambat. Dalam jarak satu langkah, Kim-tayhiap telah mampu membaca gerakan pedangnya.
Lalu tangan Suma Sun pun putus!
Tangan yang begitu mengagumkan memainkan pedang itu putus dan terkulai!
Darah muncrat bagai air bah!
Tapi entah bagaimana, Suma Sun bergerak maju dengan sangat cepat.
Sangat-sangat cepat!
Bahkan Kim-tayhiap pun tidak menyangka ada makhluk di atas bumi yang bisa bergerak secepat itu.
Lalu jari tangan kiri Suma Sun telah menempel di kerongkongan Kim-tayhiap!
Hanya beberapa orang yang mampu benar-benar melihat kejadian sekejap mata itu dengan jelas. Suma Sun menggunakan tembok yang ada di belakang tubuhnya sebegai dasar pijakan lentingan kakinya. Dengan menggunakan tebing karang itu, gerakannya menjadi dua kali lebih cepat.
Apalagi pedang berat yang tadi dipegangnya sudah jatuh berikut tangan kanannya yang memegang pedang itu. Kini kecepatannya menjadi berlipat-lipat. Dengan sisa tenaganya, ia menggunakan jurus yang ia ‘pelajari’ saat beradu pikiran dengan Cio San. Jurus milik Pendekar Pedang Kelana!
Jurus terbalik yang menyerang saat harus menghindar dan menghindar di saat harus menyerang!
“Kau..kau..kenapa tidak membunuhku?” tanya Kim Sin Kiam
“Mau…kah,,tay..hiap..minum denganku…ji..ka a..da ke..sem..patan..?” ia berkata sambil tersenyum, lalu ambruk.
Kim Sin Kiam tidak sanggup berbuat apa-apa. Ia hanya berdiri mematung. Tidak sanggup untuk percaya akan kejadian yang barusan dialaminya.
Begitu besar pengorbanan Suma Sun. Ia mengorbankan tangannya. Hal yang paling berharga lebih berharga dari nyawa seorang pendekar pedang.
Untuk apa ia berkorban? Demi kesempatan untuk minum bersama?
Tentu saja ia berkorban demi satu hal yang lebih berharga.
Persahabatan.
Hal itu jauh lebih berharga daripada tangan dan nyawanya.
Orang yang sudah mengalami pencerahan, akan memandang nyawa orang lain lebih berharga ketimbang nyawanya sendiri.
Akan lebih menghargai orang lain ketimbang menghargai dirinya sendiri.
Jika kau ingin dunia damai. Kaulah yang harus berkorban lebih dulu.
Air mata menetes di pipi Kim-tayhiap. Ia jatuh berlutut, tangannya menjura, kepalanya tertunduk malu. Dengan bergetar ia berkata,
“Terima hormat kami, thay-suhu…”
Thay-suhu.
Guru besar.
Selama ini orang yang pantas menyandang nama sebutan ini baru beberapa orang. Thio Sam Hong adalah salah satunya.
Cio San sudah berada di sana. Dengan cepat ia menotok jalan darah Suma Sun untuk menghentikan darahnya. Lalu dengan sigap ia pun menyalurkan tenaga dalamnya.
Terdengar suara Kim-tayhiap bergetar namun menggelegar,
“Perhatikanlah wahai kalian para pendekar besar. Apa yang telah diperlihatkan oleh Suma-thay suhu. Perdamaian hanya bisa terjadi di dalam dunia kang ouw, jika seteru saling mengasihi, musuh saling memaafkan, dan lawan saling merendahkan hati. Hari ini juga cayhe umumkan pengunduran diri cayhe dari dunia persilatan. Upacara Cuci Tangan akan cayhe lakukan secepatnya dengan mengundang semua kalangan Bu Lim.”
Ia menangis.
Tapi ia menangis bukan untuk dirinya. Ia menangis bagi pahlawan terluka di hadapannya yang pengorbanannya telah membuka mata hatinya itu.
“Bagaimana keadaan thay-suhu?” tanyanya kepada Lie-sat
“Nyawanya masih bisa tertolong” kata Lie Sat.
“Tapi tang…” Kim-tayhiap tidak berani melanjutkan kata-katanya.
Lie Sat hanya menggeleng.
Tentu saja ia tidak bisa menyambung tangan itu. Walaupun ia bisa sekalipun, tangan itu tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.
Ia hanya bisa menyalurkan tenaga saktinya. Untuk sekedar menghilangkan rasa sakit dan memulihkan tenaga sahabatnya itu.
Setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan terhadap sahabat yang sangat dikaguminya ini.
Semakin ia berpikir, semakin kagumlah ia.
Pertarungan tadi telah membuka pikirannya bagaimana Suma Sun mengubah Yin menjadi Yang. Mengubah Yang menjadi Yin.
Mengubah kekurangan menjadi kelebihan dan merubah kelebihan menjadi kekurangan.
Rupanya sejak awal Suma Sun telah memikirkan semuanya.
Ia setuju untuk bertukar pedang dengan Kim-tayhiap.
Pedangnya lebih ringan. Jika dipakai oleh Kim-tayhiap akan membuat gerakan pendekar itu semakin cepat. Jika dilihat sepintas, akan membuat Kim-tayhiap lebih unggul karena lebih cepat. Tapi keunggulan itu serta merta berubah menjadi kerugian karena kekuatan serangannya akan berkurang lebih jauh.
Kim-tayhiap yang merasa dirinya menjadi lebih cepat, secara tidak sadar akan menggunakan kecepatan itu terus menerus. Yang mengakibatkan tenaganya akan terkuras dengan cepat pula.
Di sisi lain, Suma Sun menggunakan pedang berat milik Kim-tayhiap akan menjadi lebih lamban. Tapi karena dia hanya bergerak seperlunya saja, tenaganya tidak terkuras habis. Memang ia akan sering terluka karena kalah cepat. Tapi luka-luka itu hanya luka luar dan tidak terlalu membahayakan jiwa.
Ia dengan cerdas mampu merubah Yang menjadi Yin.
Merubah kelemahan menjadi kekuatan. Dan merubah kekuatan lawan menjadi kelemahan lawan.
Suma Sun juga tidak bergerak dengan bebas. Ia hanya berdiri menyandar di tembok tebing. Ia sengaja membatasi dirinya untuk tidak terlalu banyak bergerak. Sepintas, orang menyangka ia tersudut. Padahal ia sengaja membatasi gerakannya, agar gerakan Kim-tayhiap juga ikut terbatas.
Jurus-jurus Kim-tayhiap pastilah sudah ia persiapkan dalam menghadapi gerakan tubuh Suma Sun yang cepat. Tak dinyana justru Suma Sun tidak bergerak bebas, dan diam di satu posisi. Hal ini akan menyebabkan Kim-tayhiap harus berpikir lagi untuk melancarkan jurus-jurus yang cocok dengan kondisi ini. Secara tidak langsung, justru Suma Sun lah yang mendikte Kim-tayhiap!
Bertukar pedang pasti akan membuat jurus Kim-tayhiap tidak sedahsyat aslinya. Karena jurus-jurusnya, latihannya, pengerahan tenaganya terbiasa menggunakan pedangnya sendiri. Menggunakan pedang orang akan membuatnya tidak maksimal.
Oleh sebab itu pula, Suma Sun sama sekali tidak menggunakan pedang Kim-tayhiap untuk menyerang. Ia menyimpan seluruh tenaganya untuk saat yang paling dinantikan.
Yaitu jurus terakhir!
Dalam serangan terakhir ini, ketika Kim-tayhiap melancarkan jurus terbarunya itu, pikiran Kim-tayhiap sudah tidak lagi waspada. Ia menganggap Suma Sun sudah pasti kalah. Keadaan Suma Sun yang sangat memprihatinkan, ditambah lagi dengan kata-kata terakhirnya yang membuat hati Kim-tayhiap sedikit trenyuh, membuat serangannya tidak sedahsyat yang diharapkan.
Apalagi ditambah tenaga Kim-tayhiap yang sudah terkuras, pedang orang lain, serta rasa puas diri bahwa ia akan menang.
Dilihat dari segala sudut, Suma Sun pasti mati.
Tapi dewa pedang berambut merah itu telah memperhitungkan semuanya.
Semuanya.
Jadi begitu serangan terakhir itu datang, ia dengan mengurangi kecepatannya, menerima serangan Kim-tayhiap itu dengan jurus pedang pula. Jurus yang lambat ini tentu saja dipikir orang sebagai bentuk keputusasaan atau usaha terakhir dalam menghadapi serangan Kim-tayhiap.
Tapi ia dengan sengaja mengorbankan lengan kanannya untuk ditebas.
Dengan begitu beban tubuhnya karena membawa pedang yang berat berkurang.
Selain itu, hal ini juga membuat Kim-tayhiap tak lagi bersiaga karena merasa telah berhasil membabat putus lengan Suma Sun.
Lalu dengan satu lentingan keras, dengan sisa tenaga yang benar-benar disimpannya dan dibantu daya dorong kaki yang bertumpu pada tembok tebing, Suma Sun melesat dengan sangat cepat menyerang kerongkongan Kim-tayhiap dengan jari tangan kirinya.
Cerdas!
Gila!
Tak terbayangkan!
Mengagumkan!
Cio San tetap dengan sabar menyalurkan tenaganya sampai Suma Sun sadar. Begitu dilihatnya sahabatnya itu sudah siuman, dengan tersenyum ia berkata,
“Kau berhasil”
“Memangnya sejak kapan aku tidak pernah berhasil?” jawab Suma Sun sambil tersenyum.
Saat Cio San hendak beranjak berdiri, tiba-tiba terdengar suara lantang,
“Nanti dulu, Lie Sat-siansing. Aku hendak bertanya” Rupanya suara Lau-ciangbunjin.
“Silahkan”
“Dari mana kau belajar ilmu pengobatan Butong pay? Selama ini kami tidak pernah mengajarkan ilmu penyaluran tenaga murni Thay Kek Kun kepada orang luar”
Cio San tidak bisa menjawab.
Yang ia lakukan saat menyembuhkan Beng Liong dan Suma Sun memang adalah menyalurkan tenaga dengan menggunakan Ilmu Penyaluran Yin Yang milik Butongpay. Semua dilakukan dengan tanpa berpikir.
“Apakah kau mencuri ilmu kami?” tanya Lau ciangbunjin sengit.
Cio San tetap diam.
“Mengapa tidak menjawab?” tanya Lau Ciangbunjin lagi. Lanjutnya, “Kulit wajahmu yang aneh, membuatku curiga. Jangan-jangan kau memakai topeng untuk menyamar”.
“Yah sudahlah jika sudah ketahuan” Cio San tersenyum. Lalu ia membuka topeng halus yang menutupi wajahnya.
Semua orang kaget.
Inilah wajah orang yang paling dicari-cari di dunia Kang Ouw.
“Cio San” tukas Lau Ciangbunjin pendek.
Mendengar nama itu, terdengarlah seruan kaget dari ribuan orang yang hadir di situ.
“Murid-murid Butongpay! Kepung dia! Jangan sampai lolos!” perintah Lau Ciangbunjin.
“Murid-murid Siau Lim Pay! Jangan biarkan dia kabur!” perintah Hong-taysu yang rupanya sudah berada di sana juga.
“Murid-murid Gobi Pay! Kepung Cio San” perintah Gobi pay-Ciangbunjin. Ia adalah seorang nikoh tua bernama Bi Goat.
Berturut-turut ketua perguruan kecil yang lain juga menyerukan hal yang sama. Mulai dari Kun Lun Pay, Hoa San pay, dan lain-lain. Total ada 7 perguruan kecil yang juga ikut serta dengan 3 perguran besar dalam mengepung Cio San.
“Jangan biarkan Suma Sun lolos juga!” terdengar perintah Lau-ciangbunjin.
“Suma-thay suhu sedang terluka. Ada urusan apapun bisa dibicarakan kepada Kim Sian Kiam dan keluarganya!” Kali ini Kim-tayhiap maju membela Suma Sun.
Serta merta anak buahnya beserta putrinya pun maju melindungi Suma Sun yang sedang duduk bersila.
“Wah, ramai sekali. Aku hanya akan berkata sekali saja. Aku bukan penjahat yang kalian cari. Dan jika kalian memaksa untuk menangkap atau membunuhku, aku akan melawan. Siapa yang nekat melakukannya harus menanggung resiko kematiannya sendiri”
Ia berkata dengan tenang.
Tangan kanannya memainkan rambutnya. Tangan kirinya tersimpan di belakang.
“Aku Cio San. Ma-kau kaucu sekaligus Kay-pang pangcu. Siap menerima tantangan. Silahkan maju”