Bab 67 Kejadian-Kejadian




Bayangan hutan yang gelap. Tapi bayangan orang ini terasa lebih gelap lagi. Kekelaman jiwanya bahkan jauh lebih gelap daripada malam. Semua itu terlihat dari sinar wajahnya.

Sinar kegelapan!

Jika ada cahaya yang bersinar namun sinarnya membuat sekelilingnya terasa gelap, itulah cahaya sinar matanya. Siapa pun yang dipandangnya akan merasa terlempar ke dalam jurang paling gelap di sudut bumi.

Senyumnya.

Jika ular beracun bisa tersenyum, tentulah senyumnya akan seperti senyum orang ini.

Orang lain membunuh dengan pedang, namun ia bisa membunuhmu cukup dengan senyumannya.

Dengan perlahan ia mengeluarkan secarik kertas dari balik bajunya, Lalu ia menulis. Tulisan huruf-hurufnya walau jelas dan mudah dibaca, terasa kacau dan tak teratur.

Bunuh Beng Liong.
Sebelum pertarungan antara Suma Sun dengan Kim Sin Kiam, Beng Liong harus mati.
Gunakan racun. Jika gagal, kirim pendekar paling hebat. Jika gagal, gunakan perempuan. Jika gagal lagi, aku sendiri yang akan turun tangan.

Jati diri tabib Lie Sat yang mencurigakan juga sudah ku ketahui. Ia adalah Cio San. Segera bongkar kedoknya saat pertarungan dua dewa pedang itu selesai.


Surat itu dilipatnya dengan rapih. Lalu ia bersiul. Sebuah siulan yang lirih dan nyaris tak terdengar. Tak lama kemudian seekor burung merpati datang dan hinggap di lengannya. Ia lalu mengikatkan surat itu di kaki burung tersebut, dan membiarkannya terbang tinggi.

Ia diam sejenak memandang sampai burung itu menghilang dari pandangan matanya. Lalu ia pun menghilang dari situ. Tak ada yang tahu kapan ia bergerak.

***

Cio San dan Suma Sun sudah kembali.

Ang Lin Hua, Kao Ceng Lun, dan Luk Ping Hoo ternyata sudah selesai latihan pula. Melihat kedatangan kedua orang ini, mereka tersenyum. Senang rasanya melihat Suma Sun sudah kembali berlatih. Bayangan wajah pemabuk yang kemarin hadir di wajahnya kini telah sirna. Berganti dengan bayangan seorang pendekar gagah yang telah siap bertempur.

Pencerahan datang kepada manusia dengan tiba-tiba dan tak disangka-sangka. Sepertinya begitu mudah dan begitu gampang. Tapi sebelum pencerahan itu datang kepada seseorang, orang itu haruslah mengalami penderitaan yang dalam, serta perjuangan yang berat.

Orang yang telah mencapai pencerahan, adalah orang yang dulu batinnya terluka, jiwanya menangis, dan hatinya tersakiti. Atau orang yang dulunya terhina dan ditertawakan. Orang-orang seperti ini jika bangkit, akan menjadi orang-orang ‘besar’ yang mengagumkan.

Tapi siapa pun engkau, kau harus menerima penderitaan besar sebelum mendapatkan pencerahan.

Mungkin karena itu pulalah Suma Sun membiarkan dirinya terlena dan bermabuk-mabukkan. Hingga hampir semua orang menertawakan dirinya. Hingga kawan-kawannya kehilangan kepercayaan padanya.

Tiada seorang pun berani menertawakan ‘dewa’. Jika ‘dewa’ ditertawakan, maka penderitaanya itu jauh lebih besar daripada kematianya. Istilah ‘laki-laki boleh dibunuh, tapi tidak boleh dihina’ nampaknya mereka pegang sungguh-sungguh.

Martabat Suma Sun sudah jatuh saat ia terlihat mabuk-mabukkan dan berpesta pora. Ia tidak lagi dianggap dewa kematian yang menakutkan. Tetapi hanya sebagai manusia penakut yang patut dikasihani. Manusia yang lari kepada arak, saat jalan di depan terlihat buntu.

Entah bagaimana Suma Sun bisa mengalaminya.

Cio San sendiri menduga itu adalah siasat Suma Sun dalam menghadapi pertarungan. Tapi Cio San sendiri tak pernah menyangka bahwa Suma Sun sengaja ‘menghancurkan’ diri sendiri, untuk kemudian membangun jiwa yang lebih kuat dan lebih tangguh.

Ujaran kuno berkata,

“Kadang-kadang dalam membangun bangunan yang kokoh, kau harus menghancurkan bangunan yang lama”

Cio San pernah mendengar ujaran itu dari ayahnya. Tetapi melihat seseorang merusak diri sendiri untuk kembali bangkit sebagai manusia yang baru dan lebih tangguh, baru kali ini dialaminya.

Kini Suma Sun benar-benar terlihat sebagai manusia baru.

Dan terasa jauh lebih menakutkan dari sebelumnya.

Padahal ia kini telah menjadi seseorang yang hangat dan bersahabat. Tapi Cio San merasa justru Suma Sun terasa lebih menakutkan.

“Mari sarapan dulu” kata Ang Lin Hua.

Bau kambing gunung yang dibakar memang sejak tadi memenuhi tempat itu.

Sahabat, makanan, dan arak.

Tiga hal yang tak akan pernah dilewatkan Cio San.

Dan rupanya teman-temannya pun memiliki pendirian yang sama.


***

Siang hari.

Beng Liong paling suka jika selesai latihan, ia duduk di bawah pohon sambil menikmati ikan panggang. Ia memang suka ikan panggang. Dan sungai kecil di Thay San ini penuh dengan ikan-ikan kegemarannya.

Bagian atas tubuhnya masih belum ia tutupi. Dadanya yang bidang tegap berkeringat. Keringatnya sangat harum sampai-sampai orang mengira keringatnya itu adalah minyak pewangi.

Ia telah keluar dari sungai, dan telah memperoleh sejumlah tangkapan. Api bakaran sudah dipersiapkannya sebelum tadi turun ke sungai.

Tak berapa lama ia menanti, panggangannya sudah selesai. Semerbak harum ikan membuatnya tersenyum.

Betapa nikmat menikmati makanan seperti ini di alam terbuka!

Sesuatu yang sederhana jika ditempatkan di tempat yang pas, akan terasa jauh lebih indah dan bermakna.

Ia menikmati sendiri makanan itu. Ia memang lebih suka sendirian. Rombongan Butong Pay berjumlah puluhan orang, tapi ia memilih berlatih sendirian di kesunyian.

Baginya kesunyian jauh lebih merdu daripada lagu seindah apapun.

Kesunyian adalah tempatnya menumpahkan segala pemikiran yang ada di benaknya.

Ia telah terbiasa dengan kesunyian.

Oleh sebab itu, gerakan sekecil apapun akan mampu didengarnya.

Telinganya telah mendengar suara berdecit yang aneh.

Ribuan jarum sedang mengarah kepada dirinya dengan kecepatan tinggi!

Ia tetap tenang.

Bahkan jika kiamat pun, ia akan tetap tenang.

Tangannya menggenggam pasir yang ada dihadapannya.

Sekali hentakan, sekali putaran badan. Pasir-pasir itu telah menghalau ribuan jarum beracun yang datang menghujam.

Gerakannya begitu indah. Begitu luwes. Begitu tenang. Begitu mengagumkan.

Hanya Beng Liong yang bisa bergerak seperti ini.

“Saudara siapakah? Mari silahkan muncul”

Bahkan ia pun masih bisa bertanya dengan santun kepada penyerangnya.

Tiada jawaban. Sunyi dan hening.

Sekali melesat, Beng Liong sudah ada di arah tempat jarum-jarum tadi muncul.

Tak ada siapa-siapa.

Ia menoleh ke bawah. Meneliti jejak kaki. Siapa tahu ia bisa menemukan petunjuk.

Jejak kaki yang hampir tak terlihat mata, namun Beng Liong bisa menemukannya.

“Dari langkahnya, kedalaman telapaknya, keluwesan gerak, serta kelincahannya, orang ini mempunyai ginkang cukup tinggi”

Ginkang yang cukup mengagumkan.

Hanya sayangnya, orang yang berkata ini adalah salah seorang dari 3 manusia tercepat di muka bumi.

Ya.

Jika bicara tentang Ginkang, Beng Liong tidak kalah dari siapa pun juga. Siapa pun juga tidak sanggup mengalahkan dia.

“Tuan. Saya yakin tuan masih berada di sini, silahkan keluar” ujarnya sopan.

Tidak ada balasan.

Yang muncul adalah suara decitan, yang dibarengi dengan datangnya ribuan jarum secepat kilat.

Namun kali ini Beng Liong tidak diam menerima jarum itu. Ia malah bergerak maju. Gerakan majunya ini bahkan mungkin lebih cepat daripada gerakan jarum-jarum itu. Sambil maju ia mengeluarkan sebuah jurus. Jurus indah milik Butongpay.

Tanpa harus mengetahui nama jurusnya, orang tentu telah terkagum-kagum melihat gerakan jurus ini. Beng Liong hanya menggunakan ranting pohon yang dipetiknya sekejap saja.

Sederhana dan luwes.

Tapi angin yang dihasilkan dari gerakan sabetan ranting pohon ini telah menghalau ribuan jarum itu.

Thay Kek Kiam Siut.

Ilmu pedang Thay Kek.

Thio Sam Hong menggubahnya dari ilmu tangan kosong Thay Kek Kun.

Kata orang ilmu pedang ini sampai sekarang belum ada tandingannya, jika Thio Sam Hong yang memainkannya.

Kini Beng Liong memainkannya.

Jika ada orang yang melihatnya, tentu akan percaya.

Sayangnya satu-satunya orang yang melihat ilmu pedang itu sudah terkapar tak bernyawa.

Beng Liong tidak pernah membunuh orang. Orang itu mati bunuh diri.

Orang itu tentu saja penyerangnya yang tadi menggunakan ribuan jarum itu.

Si penyerang ini tidak menyangka bagaimana mungkin ada manusia bergerak secepat ini. Bahkan menembus ribuan jarum pula. Dan tahu-tahu telah menodong lehernya dengan sebuah ranting pohon.

Sayangnya si penyerang ini lebih memilih mati. Ia tahu Beng Liong akan mengampuninya. Tapi ia juga tahu, orang yang memerintahkannya tidak akan mengampuninya.

Oleh sebab itu lebih baik mati.

Kalau nanti pasti mati, kenapa tidak mati sekarang saja? Toh, sebelumnya tidak disiksa dulu.

Beng Liong hanya bisa menunduk dan menghela nafas. Entah apa yang ia pikirkan sekarang. Matanya hanya tertuju pada sebuah kotak perak sebesar kepala kambing di tangan orang mati itu.

Sekali pandang ia sudah tahu kotak apa itu.

Kotak itu digunakan untuk melontarkan ribuan jarum tadi. Karena tidak mungkin si orang mati ini yang melontarkan jarum-jarum tersebut. Karena jika ia yang melontarkan jarum-jarum itu, seharusnya ia bisa melontarkan lagi jarum-jarun itu saat Beng Liong maju menyergapnya.

Rupanya kotak ini setelah melontarkan ribuan jarum, harus diisi lagi dengan sejenis ‘peluru’ yang akan melontarkan lagi ribuan jarum.

Mungkin pada saat orang itu ingin mengisi ulang ‘peluru’nya, ranting pohon Beng Liong sudah mendahului menodong tenggorokannya.

Beng Liong memungut kotak itu dengan hati-hati.

Dengan wajah sedih ia memandang mayat itu. Lalu dengan perlahan ia pergi.

***

Sore hari menjelang.

Beng Liong sedang berada di tendanya. Rombongan Butongpay membawa 3 tenda. Sebuah tenda kecil untuk Ciangbunjin dan seorang pengawalnya. Sebuah lagi agak sedang, buat murid-murid tingkatan agak tinggi, dan yang paling besar untuk murid-murid biasa.

Beng Liong kini menikmati tehnya. Murid-murid yang lain tahu, jika Beng Liong sedang menikmati tehnya, orang lain sungkan mengganggu. Ini bukan karena Beng Liong akan marah jika terganggu. Ia tidak pernah marah jika terganggu. Mereka hanya mengerti bahwa acara minum teh ini adalah acara yang paling disenangi Beng Liong. Oleh karena itu mereka membiarkannya sendirian.

Acara minum teh jauh lebih disukai Beng Liong daripada minum arak. Ia heran mengapa ada pendekar yang mengorbankan kekuatan tubuh mereka hanya untuk kesenangan minum arak.

Walaupun kemampuan minum arak adalah pembuktian kekuatan tubuh, Beng Liong jarang sekali mau minum arak. Baginya pembuktian kekuatan tubuh yang sebenarnya adalah pada pertempuran.

Minum teh adalah bagian dari kebudayaan masyarakat Tionggoan. Ada upacara-upacara khusus yang diadakan ketika minum teh. Tapi Beng Liong sendiri saat ini hanya ingin menikmati sebuah teh yang nikmat. Yang hangat dan wangi.

Kembali suara decit itu muncul kembali.

Ribuan jarung menyerang tendanya. Untunglah tenda itu dibuat dari bahan khusus sehingga tidak mampu ditembus jarum-jarum itu. Butongpay memang memiliki berbagai benda pusaka yang mengagumkan. Ternyata tenda-tenda ini salah satunya.

Dengan geram, ia segera melesat keluar.
Begitu tiba di luar suasana tenang dan biasa-biasa saja. Beng Liong menajamkan telinga. Ia berharap dapat mendengarkan sedikit saja suara. Suara kecil itu bisa membuatnya menentukan posisi yang sebenarnya sang musuh.

Beberapa murid Butongpay juga sudah menghambur keluar ketika mendengarkan suara itu.

“Liong-ko ada apa?” tanya mereka.

“Penyerang jarum itu lagi” jawabnya.

“Aih, di mana dia?”

“Aku pun sedang mencari” jawab Beng Liong tenang.

Sirna sudah harapan Beng Liong mencari pelakunya. Jika tempat itu sudah dipenuhi banyak orang, mustahil jejaknya ditemukan.

Jangan-jangan justru penyerangnya berada di dalam gerombolang orang ini?

Mereka semua siap siaga. Menanti jangan-jangan serangan berikutnya akan datang lagi. Lama mereka menanti. Tapi suasana masih hening dan sepi.

Merasa bahwa tindakan ini percuma, Beng Liong kembali ke tendanya.

Tehnya rupanya masih sedikit hangat.

Dengan tersenyum ia meraih gagang cangkir tehnya. Walaupun sudah tidak begitu panas, setidaknya teh ini masih enak diminum.

Tapi tangannya berhenti sebelum meraih gagang cangkir itu.

Ia tadi minum dengan tangan kanan. Posisi minumnya menghadap pintu tenda. Jika cangkir itu diletakannya kembali, seharusnya gagang itu ada di sebelah kanan.

Kini gagang itu agak bergeser sedikit ke sisi kiri!

Dengan hati-hati ia melepas batu kecil yang menempel di cincin di tangannya. Lalu dicelupkannya batu itu ke dalam cangkir. Batu yang awalnya berwarna hijau itu dengan cepat berubah menghitam.

Seseorang telah menaruh racun di dalam cangkir tehnya!

***

Walaupun saat itu telah memasuki musim gugur, malam tetap cerah dan bintang bersinar terang. Rembulan bercahaya. Redup namun indah.

Ang Lin Hua memisahkan diri dari rombongan. Perempuan selalu punya alasan untuk ‘pergi’.

Entah hanya sebentar, lama atau bahkan selamanya.

Jika sebentar, biasanya hanya sekedar merapikan rambut, menebalkan bedak, atau mengoleskan gincu. Jika lama berarti buang air. Jika selamanya, berarti ia menemukan cinta yang baru.

Kali ini Ang Lin Hua memilih sebuah tempat yang agak sepi. Urusan perempuan cuma perempuan yang boleh tau. Lama juga ia menyelesaikan ‘urusannya’ ini.

Setelah selesai ia beranjak pergi.

Alangkah kagetnya ia saat seseorang muncul di belakangnya dan langsung menotoknya.

Ia hanya bisa terbelalak. Tak menyangka orang yang dikenalnya begitu dekat, tega melakukan ini kepadanya!

***

“Eh, mana nona Ang? Kenapa begitu lama?” tanya Kao Ceng Lun.

“Iya, biasanya tidak selama ini. Coba ku cari” kata Lie Sat alias Cio San.

Lie Sat pergi. Termasuk lama juga. Ketika kembali, wajahnya yang pucat terlihat lebih pucat.

“Nona Ang, menghilang” katanya.

“Apa?”

“Lebih baik kita berpencar mencari nona Ang” kata Luk Ping Hoo.

“Baik”

Setelah menentukan arah, masing-masing berpencar.

Luk Ping Hoo kebagian mencari ke arah tadi Ang Lin Hua menghilang. Dalam kegelapan malam ia mencari-cari sambil sekali-sekali memanggil nama Ang Lin Hua.

Tidak ada sahutan.

Tidak ada orang.

Yang ada hanya sebuah tangan yang menotok punggungnya.


***

Berjam-jam mereka mencari. Ang Lin Hua tidak ditemukan. Luk Ping Hoo pun bahkan ikut menghilang.

Terbayang sedikit kepanikan di wajah mereka bertiga.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Kao Ceng Lun.

“Lebih baik kita jangan berpencar. Kita harus terus bersama sambil mencari mereka” usul Lie Sat.

Suma Sun hanya mengangguk-angguk.

Sampai pagi menjelang, kedua orang itu tidak kembali.

Kao Ceng Lun nampak sangat bingung, dan Lie Sat pun tidak tidak tenang.

“Suma-tayhiap, sebaiknya tayhiap beristirahat. Pertarungan akan diadakan nanti malam. Saya takut hal ini bisa mengganggu pikiran tayhiap”

Suma Sun tidak berkata apa-apa.

Ia nampak tenang saja.

Rupanya si ‘manusia’ telah kembali menjadi ‘dewa’.

“Ahhh, aku sudah tak sabar lagi. Lebih baik aku pergi mencari mereka” Kao Ceng Lun segera berdiri dan beranjak dari situ.

“Orang muda memang selalu tidak sabaran” batin Lie Sat. Ia sendiri pun beranjak dari situ. Meninggalkan Suma Sun sendirian.

Jika seluruh gunung Thay San ini runtuh pun, ia tidak khawatir meninggalkan Suma Sun sendirian.

Pencarian berlangsung tanpa hasil. Kedua orang itu hilang bagai ditelan bumi. Sampai tengah hari Kao Ceng Lun dan Lie Sat telah kembali. Saat tiba kembali, ternyata anak perempuan Kim Sin Kiam telah berada di sana.

Herannya, ia cuma duduk di sana. Tidak menyapa Suma Sun sama sekali. Setelah ditengok, ternyata Suma Sun sedang tidur.

“Aku sungkan membangunkannya” kata wanita itu.

“Siocia ada pesan apa, biar nanti saya yang sampaikan” kata Lie Sat.

“Katakan pada Suma Tayhiap, ayah mengajukan 3 tempat untuk pertarungan tengah malam nanti. Pavilliun Langit di Puncak Kaisar Giok, di depan Kuil Awan Biru, atau di tebing Jembatan Abadi. Suma-tayhiap berhak memilih”

“Baik. Akan saya sampaikan”


“Cayhe mohon diri, siansing” ia lalu melesat menghilang.

“Sombong sekali. Bahkan mengucapkan terima kasih saja tidak” gerutu Kao Ceng Lun.

Cio San hanya tersenyum pahit.

Perempuan cantik memang kadang-kadang tidak perlu mengucapkan terima kasih. Manusia lain yang harusnya berterima kasih kepadanya. Karena setidaknya, kecantikannya sudah membuat dunia sedikit lebih indah.

Tak berapa lama kemudian Suma Sun sudah bangun. Wajahnya terlihat segar. Sinar wajahnya pun bersinar terang. Ia duduk diam bersemedi sebentar.

Lalu begitu matanya dibuka, Cio San terpana.

Walaupun ia telah berkumpul cukup lama dengan Suma Sun, baru kali ini ia melihat cahaya seterang itu. Biarpun buta, cahaya matanya bersinar begitu terang.

Seperti kaisar yang memandang daerah kekuasannya yang luas.

Seperti elang yang terbang sendirian di angkasa.

Begitu gagah. Begitu mengagumkan.

“Kau sudah siap?” tanya Cio San

“Sejak dulu sudah siap”

“Baik. Ayo kita berangkat”

“Eh, kita tidak mencari Luk-tayhiap dan Ang-siocia dulu?” tanya Kao Ceng Lun

Lie Sat menarik nafas, “Siauya (tuan muda), segala cara sudah kita lakukan. Bertanya pun sudah kemana-mana. Memangnya apa yang bisa kita lakukan sekarang? Kita hanya bisa menunggu. Dalam beberapa saat, jawabannya pasti datang kepada kita.”

“Baiklah” jawab kao Ceng Lun.

Mereka lalu berangkat. Ketiga tempat yang diusulkan Kim-tayhiap letaknya berdekatan. Butuh beberapa jam perjalanan dari tempat mereka berada sekarang.

Begitu sampai di sana, Suma Sun berkeliling memeriksa tempat. Satu persatu tempat itu dikelilinginya. Memperhatikan tanahnya, merasakan tiupan anginnya, memperhatikan keadaan pepohonannya. Tak ada satu pun yang terlewatkan oleh Suma Sun.

“Suma-tayhiap ini seperti seorang jendral perang. Ia mempelajari betul setiap tempat yang ada” tukas Kao Ceng Lun.

“Seorang ahli silat seperti dirinya, yang menghadapi duel seperti ini, harus benar-benar menyiapkan diri. Satu hal kecil terlewatkan saja bisa membuatnya kehilangan nyawa. Salah memperhitungkan arah angin saja, sudah membuatnya ketinggalan beberapa langkah” kata Cio San.

Kao Ceng Lun mengangguk membenarkan.

“Tentunya Kim-tayhiap sudah memperhitungkannya pula sebelum mengajukan ketiga tempat ini” katanya.

“Tentu saja. Mereka berdua kan manusia sejenis”

“Manusia jenis dewa” sambung Kao Ceng Lun.

Suma Sun lalu kembali.

“Sudah diputuskan?” tanya Cio San.

Suma Sun mengangguk.

“Aku memilih Jembatan Abadi”

Cio San tersenyum. Bertarung di tempat seperti itu.

Bahkan berjalan diatasnya saja sudah merupakan pertaruhan hidup. Ini malah bertarung di atasnya.

Jembatan abadi adalah sebuah jembatan alami yang terbuat dari susunan batu-batu besar yang dulu runtuh ke dalam jurang. Batu-batu ini tidak jatuh kedalam jurang, dan malah saling menumpuk membentuk sebuah jembatan alam.

Jembatan Abadi


“Bagaimana cara kau memberitahukan pilihanmu ini kepada Kim-tayhiap?”

“Sejak awal dia sudah tahu pilihanku”

“Ah aku lupa, kalian adalah manusia sejenis”

Suma Sun tertawa.

Dari seluruh suara menyenangkan yang ada di dunia ini, tawa Suma Sun adalah salah satunya.

Suma Sun lalu berkata,

“Aku butuh waktu untuk menyendiri sampai tengah malam nanti. Harap kalian maafkan aku”

“Tentu saja” jawab kedua sahabatnya ini.

Sore datang, dan malam pun menjelang.

Banyak manusia yang datang berkumpul di situ. Entah bagaimana caranya mereka bisa tahu tempat ini. Mungkin mereka mendengar pula usulan tempat dari Kim-tayhiap.

Beberapa anak buah Kim-tayhiap sudah datang di sana dan mulai menyalakan obor. Tempat itu menjadi terang benderang dan indah sekali.

Tempat itu menjadi sangat ramai.

Suma Sun dan Kim-tayhiap sama sekali tidak terlihat.

Lalu ketika tengah malam tiba, kedua orang ini pun muncul.

Entah iblis atau malaikat. Semua orang yang ada di sana merasa bulu kuduk mereka berdiri.

Suasana begitu hening. Ratusan bahkan ribuan orang yang berada di sana tak berani buka suara. Semua terpana melihat dua orang manusia ‘dewa’ di hadapan mereka.

Lalu sebuah teriakan mengagetkan terdengar,

“Tolong! Tolong!”

Beberapa orang yang menoleh kaget. Sgera mereka berteriak pula

“Mayat! Ada mayat!”

Semua menoleh ke arah yang ditunjuk.

Seseorang datang tergopoh-gopoh sambil menggendong sesosok tubuh.

Dari jauh pun Cio San mengenal tubuh siapa itu.

Beng Liong!


(Catatan penulis: jika teman2 pengen tau gunung Thay San, ini link wiki-nya: http://en.wikipedia.org/wiki/Mount_Tai)

Related Posts:

0 Response to "Bab 67 Kejadian-Kejadian"

Posting Komentar