Bab 66 Hati Pedang




“Aku harus segera berlatih” kata Suma Sun.

“Berlatih?”

“Ya” ia pergi sambil tersenyum. Menenteng pedangnya dan hilang di balik kegelapan malam.

Heran. Saat posisinya dulu kalah unggul dengan Kim-tayhiap ia malah mabuk-mabukan. Kini saat posisinya lebih unggul, ia malah berlatih.

Karena tak tahu apa yang harus ia lakukan, Cio San pergi tidur.

Saat terang tanah, ia bangun. Sejak tadi telinganya sudah mendengar suara pertempuran. Ia tahu itu hanya berupa latihan biasa. Luk Ping Hoo, Ang Lin Hua, dan Kao Ceng Lung sedang berlatih bersama-sama. Memang jika ahli silat berkumpul, hal yang paling menarik bagi mereka adalah adu jotos.

Melihat latihan ini Cio San kagum juga. Luk Ping Hoo yang sudah tua, tidak kehilangan tenaga dan kelincahannya. Ang Lin Hua mengalami banyak sekali kemajuan, dan Kao Ceng Lun memang memiliki bakat yang sangat besar. Mereka bertiga saling menyerang satu sama lain, sehingga pertempuran ini terasa lucu. Kadang Ang Lin Hua bahu-membahu dengan Kao Ceng Lun menyerang Luk Ping Hoo. Kadang malah membantu Luk Ping Hoo menempur Kao Ceng Lun. Kadang juga justru Kao Ceng Lun dan Luk Ping Hoo yang menyerang Ang Lin Hua.

Latihan ini walaupun terlihat aneh, tentulah sulit untuk dilakukan. Karena kau tak akan tahu siapa kawan dan lawan. Detik ini ia membantumu, detik berikutnya ia malah menyerangmu. Dibutuhkan pemusatan pikiran yang tinggi, serta kemampuan membaca situasi. Harus juga menguasai segala perubahan jurus.

“Lie-ko, ayo bergabung” kata Kao Ceng Lun. Kata-kata itu cuma 4 atau 5 kata, tapi ia keluarkan sambil memukulkan 10 sampai 15 tinjunya. Kecepatan pukulan tangan kosong keluarga Kao memang bukan omong kosong.

“Terima kasih, tapi, tidak, terima kasih” kata Cio San sambil tersenyum. “Biar ku jenguk Suma-tayhiap dulu”

Segera ia bergegas ke arah Suma Sun pergi semalam. Dengan menggunakan ginkangnya, tak lama kemudian ia sudah menemukan Suma Sun. Pendekar pedang itu sedang duduk di sebuah batu besar. Tangan kanannya mengancungkan pedang setinggi dada. Kakinya bersila, dan matanya terpejam.

Karena sungkan mengganggu, Cio San duduk di sebuah pojokkan tebing, agak sedikit jauh dari Suma Sun. Agak lama baru Suma Sun menurunkan pedangnya, dan membuka matanya.

“Sejak kapan kau berlatih seperti tadi?” tanya Cio San

“Sejak semalam”

“Jadi sejak mulai latihan sampai sekarang, kau hanya begitu saja?”

Suma Sun mengangguk.

Cio San lama berpikir. Lalu berkata “Kau ingin merasakan gerakan angin, ya?”

“Kau cerdas” kata Suma Sun sambil tersenyum.

Setiap hembusan angin yang datang padanya akan dihadapinya dengan gerakan. Tapi ia tidak melakukan gerakan itu, ia hanya membayangkan gerakan itu di dalam benaknya. Karena membuat gerakan dan membuat jurus akan membatasi perubahan-perubahan. Dan juga menghabiskan tenaga. Begitu hematnya ia kepada tenaganya, bahkan untuk latihan saja ia tidak mempergunakan tenaga itu!

“Mau kah kau berlatih denganku?” tanya Suma Sun.

“Tentu saja”

“Mari sini duduk di hadapanku”

Cio San pun duduk bersila di depan Suma Sun.

“Kau hafal jurus pedang nyonya muda keluarga Kim yang ku lawan beberapa hari yang lalu?”

“Aku tidak hafal. Tapi aku bisa memainkan jurusnya” kata Cio San

“Hahaha. Kau memang manusia yang menakutkan”

“Nah, mari kita bartarung. Kau tahu pertarungan macam apa yang aku inginkan bukan?”

Cio San diam sebentar, lalu tersenyum dan berkata, “Tentu”

Dan mereka bertarung.

Siapapun yang memandang pertarungan mereka akan melongo.

Siapapun yang menyaksikan pertandingan mungkin tak akan percaya dengan pandangan matanya sendiri.

Karena pada hakekatnya mereka tidak bertarung.

Mereka hanya saling memandang.

Pertarungan dilakukan hanya melalui tatapan mata.

Saling memandang dan membayangkan apa yang dilakukan lawan.

Dalam benak masing-masing, lawan dihadapannya sedang melancarkan jurus silat terhebat yang harus dihadapi pula dengan kemampuan tertinggi diri sendiri.

Mereka saling membaca jurus dari padangan mata, dari sedikit gerak bahu, dari raut wajah, dan bahkan membaca jurus melalui hembusan nafas.

Pedangmu kesini, aku menghindar kesini. Langkah kakimu kesini, aku menendang kesana. Pukulanmu kutangkis, lalu aku maju ke depan.

Di dunia ini tidak ada pertarungan sehebat ini. Walaupun Sum Sun buta, Cio San tetap bisa membaca matanya. Karena bola matanya pun bergerak mengikuti serangannya. Pergerakan yang amat sangat tidak terlihat, namun mampu ditangkapnya.

Dan Suma Sun sendiri, walaupun buta, juga sanggup menangkap arah gerakan Cio San melalui hembusan nafasnya.

Pertarungan dahsyat yang terjadi di benak masing-masing. Menyerang tanpa mengeluarkan jurus. Bisa dibayangkan betapa tingginya ilmu kedua orang ini. Masing-masing memasuki alam pemikiran lawan, dan bertarung di sana!

Seperti bermain catur tanpa papan dan bidak catur. Seperti bermain musik tanpa alat musik. Semua berlangsung di benak masing-masing.

Dunia memang dipenuhi oleh cerita-cerita menakjubkan seperti pemusik tuli yang mampu menciptakan musik menakjubkan. Aku pelukis buta yang mampu melukis dengan warna warna indah.

Dan kini dunia mempersembahkan pertarungan ahli silat kelas tinggi yang bergebrak tanpa bergerak!

Pertarungan ini pun berlangsung lama. Masing-masing pihak sudah berkeringt dengan deras. Pertarungan seperti ini nampaknya lebih menguras tenaga ketimbang pertarungan silat apapun di manapun.

“Wah, jurus apa itu?” tanya Suma Sun. Padahal tidak ada satu pun gerakan yang mereka buat.

Cio San tidak berkata apa-apa. Ia sedang memusatkan pikirannya. Dari sini bisa dilihat bahwa dalam ilmu pedang, Suma Sun masih setingkat lebih tinggi.

“Hebat” Suma Sun bergumam.

Cio San masih diam. Ia merasa sangat terganggu dengan ucapan-ucapan Suma Sun. Maka ia kemudian menutup jalan pendengarannya. Dunia kini sunyi baginya. Justru dengan begitu ia mampu mengatur lagi serangan-serangannya.

Entah kata-kata apa yang diucapkan Suma Sun. Tapi si pendekar pedang ini rupanya sadar bahwa Cio San telah mengunci jalan pendengarannya sehingga Suma Sun akhirnya memilih diam.

Sesungguhnya jurus yang Cio San gunakan adalah jurus pedang dari pendekar kelana Can Li Hoa yang dipelajarinya di hutan bambu.

Jurus-jurus yang amat dahsyat jika diperagakan. Tapi justru menjadi lebih dahsyat ketika hanya dibayangkan.

Suma Sun mulai kesulitan. Jurus pedang ini aneh dan tak masuk akal baginya.

Walaupun memiliki inti yang sama dengan jurus pedangnya sendiri, jurus pedang yang dilancarkan lawannya itu benar-benar terbalik dengan pakem jurus yang ada. Jika gerakan seharusnya menikam, maka gerakannya malah menarik pedang. Jika gerakan harus mundur, ia malah maju. Jika harus menangkis, ia malah menyerang.

Justru dengan gaya jurus ‘terbalik’ ini, mampu menghancurkan segala aturan jurus-jurus pedang yang ada. Jurus Suma Sun yang snagat efektif dan hanya mengandalkan sebuah serangan utama, tanpa tipuan dan gerakan hiasan, menemui lawan seimbang dalam ilmu pedang yang dilancarkan Cio San ini.

Sampai pada tahap ini, tingkat kedua orang ini menjadi sama!

Seri!

Kedua orang itu  masih duduk berhadap-hadapan. Keringat membanjiri pakaian mereka. Tubuh mereka masih di sana, tetapi benak, jiwa, dan pikiran mereka sedang melanglang ke sebuah arena pertempuran di bawah alam sadar mereka.

Pertempuran benak ini masih terus berlangsung.

Pedang Cio san telah mengurung Suma Sun. Jika dewa pedang lain memiliki jurus pedang seperti hujan lebat atau curahan air terjun yang dahsyat menghantam dan mengguyur bumi, jurus pedang yang dilancarkan Cio San malah sebaliknya. Ringan, dan terasa tanpa beban. Datangnya pun satu-satu. Tapi yang satu-satu ini justru mengurung Suma Sun sehingga ia tak lagi memiliki tempat untuk menghindar.

Suma Sun pun hanya mampu bergerak sekedarnya agar pedang Cio san tidak mengambil nyawanya. Jurus pedang yang aneh itu telah membuat begitu banyak luka di tubuhnya.

Kali ini pedang Cio San sudah dekat sekali dengan tenggorokannya.

Bukannya mundur, ia malah maju.

Kaget dengan gerakan Suma Sun, pedang Cio San agak meleset sedikit. Tentu saja ia tidak ingin membunuh temannya. Walaupun ini hanya pertempuran yang terjadi di dalam benak masing-masing, tentu ia tak ingin membunuh musuhnya.

Oleh karena itu gerakan pedang Cio San terhenti sejenak. Yang sejenak itu sudah cukup bagi Suma Sun. segera pedangnya berkelebat, dan dahi Cio San pun tertusuk pedang.

Lalu mereka tersadar!

Keringat sudah mengalir deras, dan tenaga pun terkuras.

Ini pertarungan terdahsyat yang pernah dialami oleh kedua orang ini.

Cio San tertawa.

Akhirnya ia mengerti perkataan Pendekar Pedang Kelana, bahwa ia tak akan menang melawan Suma Sun. Karena Suma Sun selalu mempunyai cara untuk membunuh orang. Walaupun ilmu pedangnya kalah tingkat dari ilmu lawannya.

Mau tidak mau ia akhirnya berbesar hati menatap pertarungan Suma Sun dengan Kim-tayhiap nanti. Masih ada harapan, masih ada kemungkinan untuk menang!

“Terima kasih, itu tadi ilmu pedang yang sungguh hebat” kata Suma Sun. “Jauh lebih hebat ketimbang ilmu pedang Kim-tayhiap”

“Tentu saja. Itu adalah ilmu milik Pendekar Pedang Kelana” kata Cio San.

Mata Suma Sun terbelalak. Ia lalu bersujud. Tentu saja Cio San segera mencegahnya, tapi terlambat.

“Terima kasih telah memperlihatkannya kepadaku. Hidupku sekarang sudah terpuaskan. Melihat ilmu pedang itu sudah membuatku merasa tercerahkan.” Ia berkata begitu sambil berkaca-kaca.

Dewa pedang yang dulu begitu dingin itu, kini begitu hangat oleh perasaan-perasaan manusiawi.

“Pendekar Pedang Kelana, menitipkan jurus pedang ini kepadaku. Jika ada murid yang pantas, aku boleh menurunkan ilmu ini kepadanya”

Suma Sun diam. Cio San pun diam.

Lalu Cio San berkata,

“Tapi aku tahu aku tidak mungkin menurunkan ilmu ini kepadamu, karena pasti akan membuat ilmu pedangmu sendiri terganggu”

Suma Sun tersenyum. Jika dalam pertarungan bayangan saja mereka sudah saling mengerti, apalagi terhadap hal-hal yang menyangkut perasaan dan harga diri satu sama lain.

“Mari istirahat.”

Sambil menikmati buah-buahan yang ada di sekitar situ mereka mengobrol dan membicarakan banyak hal.

“Aku sampai sekarang belum mengerti alasanmu mabuk-mabukan tempo hari” kata Cio San.

“Kau tentu paham jika aku sudah kalah pengalaman dan kalah ilmu dari Kim-tayhiap” jelas Suma Sun, lalu melanjutkan “Jika aku memikirkan hal untuk melawan kekuranganku itu, malah akan membuatku semakin kalah”.

“Oleh sebab itu aku memilih berbahagia. Dengan orang-orang terdekatku. Aku memilih menjalani masa kini, dan menghilangkan ketakutan-ketakutan akan masa depan”

“Dengan berbahagia, pikiran jadi terang. Hati jadi lapang. Dengan begitu jiwaku menjadi lebih siap dalam menghadapi pertarungan. Apapun hasilnya akan ku hadapi. Kalah ya kalah, mati ya mati. Tapi hasil itu baru ditentukan beberapa hari lagi. Hari ini? Hari ini aku ingin berbahagia. Ingin menjalani hidup yang lebih hidup.”

“Jadi aku mengorbankan tenaga dengan minum arak. Tetapi hasilnya, aku mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan ini menjadi modal bagi jiwaku  untuk menghadapi pertarungan nanti”

Orang yang bahagia, matanya menjadi terang dan jiwanya bercahaya. Pikirannya tajam, dan pemahamannya jernih.

Mendengar itu Cio San menggut-manggut.

“Aku selalu percaya padamu, kepada apapun yang kau lakukan. Aku yakin kau akan mampu mengalahkan Kim-tayhiap. Kau selalu menemukan cara untuk mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat dan lebih unggul darimu”

“Aha, kau lupa satu hal”

“Kim-tayhiap itu adalah dewa pedang. Tentunya ia pun mempunyai kelebihan itu”

Cio San tercekat. Betul juga.

Entah mengapa pikirannya jarang bisa jernih jika menyangkut keselamatan orang-orang terdekatnya. Padahal ia memiliki kemampuan yang hebat dalam membaca situasi dan mencerna makna-makna. Sayangnya jika menyangkut orang-orang yang dekat dengan dirinya, ia selalu gagal untuk tidak melibatkan perasaan. Kadang-kadang perasaan memang selalu mampu menguasai akal.

“Sudahlah jangan pikirkan pertandingan itu. Biarkan ini menjadi urusanku semata. Yang ingin kutanyakan, apakah kau sudah memiliki rencana mengalahkan si otak besar?”

“Sudah?”

“Apa itu?”

“Jangan sampai jabatan Bu Lim Beng Cu jatuh ke tangannya. Oleh karena itu kita harus berusaha agar jabatan itu benar-benar jatuh ke tangan orang yang bersih dan terpercaya”

“Setahuku orang yang bersih dan terpercaya cuma kau” tukas Suma Sun sambil tersenyum.

“Aku tidak memiliki kemampuan dan wibawa dalam memimpin. Tapi aku kenal satu orang yang punya”

“Siapa?”

“Beng Liong”

“Maksudmu kita harus mendukung dia?”

“Benar. Segala cara harus kita lakukan agar dia yang menjadi Bu Lim Beng Cu. Dengan begitu, kita sudah menang satu langkah dari si otak besar.”

“Kenapa bukan kau saja yang jadi Beng Cu?”

“Kau lupa? Aku kan sudah jadi buronan seluruh Kang Ouw. Begitu ketahuan, pasti kepalaku segera dipenggal. Lagian, ilmu silat Beng Liong juga sudah mencapai taraf yang sangat tinggi. Ia pun berasal dari partai yang lurus. Walaupun Ciangbunjin nya terlibat dengan si otak besar, aku yakin partai Butongpay masih merupakan partai yang lurus.”

“Baiklah. Bagaimana cara kita mendukungnya?”

“Kita harus mengikuti pertandingan perebutan Bu Lim Beng Cu itu. Mengahalu siapa saja yang mencoba memperebutkannya. Gunanya untuk memuluskan langkan Beng Liong menjadi Beng Cu”

“Aku setuju. Tapi malam sebelum pertandingan perebutan itu, aku kan masih harus bertarung melawan Kim-tayhiap. Aku masih belum bisa memastikan apakah aku bisa keluar dengan selamat atau tidak”

Cio San tidak bisa berkata apa-apa.

Suma Sun tetap tersenyum dengan ringan. “Ayo pulang” katanya sambil menepuk pundak Cio San.

Mereka pun pergi.

Tak jauh dari sana. Di kegelapan pepohonan hutan yang lebat. Seseorang tersenyum. Senyum yang sungguh menakutkan.

Related Posts:

0 Response to "Bab 66 Hati Pedang"

Posting Komentar