Bab 63 Ketika Manusia Menjadi Manusia



Matahari sore memerah. Langit mulai menghitam. Rembulan pun sudah mulai terlihat jelas. Suma Sun masih terpaku duduk menatap kaki langit. Walaupun daerah situ masih ramai, setidaknya ia sudah tidak menjadi pusat perhatian lagi.

Ia duduk di bawah pohon. Luk Ping Hoo dan Ang Lin Hua membiarkannya sendirian. Mereka berdua kini malah kembali ke warung tadi dan memesan arak.

Kao Ceng Lun berkata kepada Lie Sat,

“Hari sudah gelap, kau ingin kita melanjutkan perjalanan atau menginap saja?”

Cio San melirik Suma Sun sebentar lalu berkata,

“Kita menginap saja siauya, toh hari sudah gelap. Lebih baik  beristirahat mengumpulkan tenaga” kata Cio San alias Lie Sat.

“Usul yang bagus” kata Kao Ceng Lun sambil tersenyum. Ia memang hampir selalu tersenyum. Senyumnya pun menyenangkan. Seperti senyuman anak-anak.

Setelah membayar, mereka keluar dan menuju rimbunan pohon yang berada di samping warung tadi. Suma Sun duduk tidak jauh dari situ.

“Eh, Lie-ko. Kira-kira apa yang ada dalam pikiran Suma Tayhiap?” kata Kao Ceng Lun sambil berbisik. Ia takut suaranya terdengar Suma Sun.

“Entahlah. Pendekar seperti dia, mungkin sedang menciptakan jurus-jurus baru hasil dari pertarungannya tadi”

“Bisa jadi”

Mereka duduk berbaring di bawah pohon. Menikmati hari yang telah perlahan menjadi malam.

Tiba-tiba Suma Sun bangkit dan menghampiri mereka,

“Nama cayhe Suma Sun, siapa kah nama ji-wi (tuan berdua) yang terhormat?” tanyanya sopan.

Baru kali ini Suma Sun bersikap ramah sepanjang hidupnya.

Mereka lalu berdiri dan balas menjura,

“Nama boanpwee adalah Kao Ceng Lun dan in adalah sahabat boanpwee, Lie Sat koko (kakak)” jawab Kao Ceng Lun.

“Lie-sat? haha, pilihan nama yang bagus” Suma Sun tersenyum. “Senang berkenalan dengan ji-wi”

“Wah, kamu sungguh merasa terhormat Suma-tayhiap mau menyapa kami dan berkenalan” kata Kao Cen Lung.

“Ah, tidak berani-tidak berani. Menilai dari langkah Kao-enghiong yang hampir sulit terdengar, cayhe pastikan ilmu Kao-enghiong sudah tinggi sekali. Apakah enghiong punya hubungan dari keluarga Kao yang terhormat dari Hokkian?”

“Aih, memang pengetahuan tayhiap sangat luas dan berpikiran tajam. Memang boanpwee adalah salah satu putra dari keluarga Kao.” Katanya tersenyum.

Suma Sun tidak bertanya tentang Lie Sat ia hanya tersenyum dan mengangguk.

“Eh bagaimana jika tayhiap bergabung dengan kami? Ada beberpa guci arak yang boanpwee bawa sebagai bekal” tawar Kao Ceng Lun

“Terima kasih. Bolehkah ku undang 2 orang sahabatku juga?”

“Tentu saja, tayhiap” tukas pemuda ramah itu.

Suma Sun lalu berjalan memanggil Ang Lin Hua dan Luk Ping Hoo. Ia tidak menggunakan ilmu mengirimkan suara seperti yang biasa digunakan pendekar-pendekar untuk bercakap-cakap dari kejauhan.

Kelima orang itu lalu duduk menikmati arak dan bercengkerama. Kao Ceng Lun yang pembawaannya memang menyenangkan, selalu menceritakan kisah-kisah lucu dan menarik hati.

Cio San heran. Baru kali ini ia melihat Suma Sun begitu gembira dalam hidupnya.

Setelah lama mengobrol mereka pun tidur. Apa adanya beralaskan rumput dan beratapkan langit. Hanya rimbunan pohon yang menaungi mereka. Untungnya rombongan ini tidak sendirian. Ada beberapa rombongan lain yang memutuskan untuk tidur di sekitar sana tak jauh dari mereka.


Setelah semua sudah tertidur, Suma Sun mengeluarkan Khi-kang (ilmu suara) nya. Ilmu mengirimkan suara ini hanya bisa didengar oleh orang yang dimaksud oleh si pengirim suara. Ilmu ini mengandalkan Khi-kang yang sangat tinggi. Di dunia Kang ouw, ilmu ini cukup umum. Banyak pendekar kelas atas yang mampu melakukannya.

Tentu saja Suma Sun mengirimkan suara kepada Lie-sat alias Cio San.

“Mari ikut aku”

Suma Sun lalu beranjak dari situ.

Tak lama kemudian Cio San menyusulnya.

Gerakan Suma Sun sangat cepat dan terdengar suara. Hanya sekejap saja ia sudah berada cukup jauh dari sana. Setelah dirasa aman dan tak ada orang, ia baru berhenti.

Tak lama kemudian Cio San sudah berada di situ pula.

“Kau sudah datang? Mana Cukat Tong?” tanya Suma Sun sambil tersenyum.

“Haha. Tikus pun mungkis tidak bisa sembunyi dari kau” tukas Cio San sambil tersenyum.

“Sekali dengar suaramu, tentu ku tahu siapa kau. Kau sedang menyamar ya?”

“Ya”

“Pantas sejak tadi kau tidak menyapa kami, dan Kao Ceng Lun pun memanggilmu Lie Sat”

Cio San tersenyum. Suma Sun pun tersenyum.

Udara gunung yang dingin menusuk tulang serasa hangat ketika Suma Sun tersenyum. Karena senyumnya lahir dari jiwa. Bukan senyum kepura-puraan.

“Kau tadi menyaksikan pertarunganku bukan?” tanya si dewa pedang.

“Hmm”

“Bagaimana pendapatmu?” tanyanya lagi

“Pertarungan itu merubah hidupmu”

“Benar sekali”

Dari seluruh makhluk yang ada di kolong langit, hanya kepada Cio San lah Suma Sun bertanya tentang ilmu silat. Bukan karena Cio San adalah pesilat hebat, tetapi karena Cio San adalah sahabat baiknya.

Kadang-kadang di dalam hidup ini, hanya ada sedikit orang yang benar-benar bisa hidup menembus jantung, hati, dan pikiran. Terhadap orang-orang ini, kau bahkan rela mempercayakan hidupmu.

“Bagaimana ilmu pedang kedua suami istri muda itu?” tanya Sum Sun.

“Sempurna”

“Kau benar lagi”

“Tapi kau sanggup mengalahkan mereka bukan? Itu berarti ilmumu jauh lebih sempurna dari mereka” kata Cio San.

“Yang kukalahkan adalah orangnya, bukan ilmunya. Jika ada pendekar lain yang menggunakan ilmu itu dengan sebaik-baiknya, aku pasti akan mati”

“Kau benar, tapi kau mungkin salah juga. Aku tahu kau tadi kewalahan menghadapi ilmu pedang mereka. Terutama ilmu pedang nona itu. Tapi kau berhasil mengalahkannya. Dengan memuji-muji ilmu dan gerakannya, kau membuat hatinya menjadi bangga. Sedikit kebanggaan itu membuat nona itu sedikit lupa daratan, dan ilmu pedangnya malah mengendur sedikit. Begitu celah yang sedikit itu ada, pedangmu lantas bergerak. Tapi kau tetap saja salah”

“Aku salah di bagian mana?” tanya Suma Sun tak mengerti.

“Ilmu baru bisa dibilang sempurna, jika orang yang menggunakannya bisa menggunakannya sebaik-baiknya”

Suma Sun mengangguk.

“Aku memang sejak tadi berfikir tentang itu”

Lama ia terdiam, lalu melanjutkan,

“Bahwa ilmu pedang ternyata bukan segala-galanya di dunia ini”

Jika kata-kata itu lahir dari bibir orang lain, Cio San tak akan sekaget ini. Walaupun ia telah menyangkan Suma Sun pasti akan sampai kepada pemahaman ini, mau tak mau ia tetap kaget.

Seorang dewa pedang mengatakan bahwa pedang bukanlah segala-galanya di dunia ini?

“Jika pedang bukan segala-galanya, lalu apa?”

“Manusia”

Jawabnya singkat.

“Ketika ku lihat nyonya muda itu menyerangku dengan segenap jiwa raganya, aku baru mengerti ternyata di dunia ini ada hal yang lebih indah dari pedang”

“Ia mengorbankan dirinya. Ia rela melanggar kehormatan pendekar pedang, karena cintanya kepada suaminya”

“Kau yakin itu bukan karena dendam?” tanya Cio San

“Dendam itu bukankah lahir dari cinta juga?”

Mereka berdua memandang jauh.

Jika cinta melahirkan dendam, lalu apakah cinta itu sendiri? Mampukah dendam melahirkan cinta juga?

Inilah Yin-Yang.

Dua sisi berbeda yang saling terikat. Saling mempengaruhi. Berbeda tapi saling membutuhkan.

“Untuk pertama kalinya di dalam hidupku, aku merasakan cinta” ia tersenyum.

“Kau jatuh cinta pada nyonya muda itu?”

Suma Sun tersenyum lebih lebar,

“Kau pikir aku serendah itu? Aku hanya merasa, begitu dalam cinta nyonya itu kepada suaminya. Selama ini aku membunuh orang. Hanya karena mereka pantas dibunuh. Bagiku kematian adalah hukuman bagi mereka. Tapi aku tak pernah berpikir bahwa orang-orang yang kubunuh ini bisa saja memiliki istri, anak, atau sahabat yang mencintai mereka. Orang-orang yang kehilangan seseorang yang mereka cintai karena ketajaman pedangku.”

Cio San tersenyum. Mungkin dalam hatinya ia berkata, “Kenapa kau baru sadar sekarang?”

“Tahukah kau, aku sampai kepada pemahaman ini karena engkau dan Cukat Tong”

“Kami?” Cio San bingung.

“Ya. Selama ini aku tidak punya siapa-siapa. Tak ada ayah dan ibu. Sahabat satu-satunya adalah pedangku. Setelah mengenal kalian berdua, melihat betapa akrabnya kalian, melihat bagaimana kalian memperlakukanku, aku baru merasa ternyata ada hal yang indah di dunia ini yang tidak kusadari sebelumnya”

“Selama ini kan aku terus yang merepotkan kau dan Cukat Tong. Selama ini belum pernah aku berbuat sesuatu pun untuk kalian” sanggah Cio San.

“Justru kalau kau tidak merepotkanku maka kau tak akan ku anggap sahabat” ia tersenyum.

Persahabatan mana yang lebih dalam daripada ini? Saat kau merasa senang bisa membantu sahabatmu, saat kau merasa bahagia ia meminta sedikit pengorbanan darimu.

Sahabat seperti ini akan tetap bahagia untukmu saat kau tidak mengundangnya datang ke pestamu. Tapi ia akan bersedih jika kau tidak mengabarinya saat kau sedang sakit atau dalam kesulitan.

“Aku melakukannya untukmu, karena aku tahu kau akan melakukannya untukku pula jika aku memintanya” sambung Suma Sun.

Cio San terdiam. Suma Sun pun diam.

Karena kadang persahabatan yang paling dalam tidak mungkin diungkapkan dengan kata-kata.

Kadang-kadang sahabat yang paling tulus kepadamu adalah sahabat yang jarang berbicara kepadamu.

Karena kau telah mengerti hatinya dan ia mengerti hatimu.

Lama sekali mereka berdua diam.

“Suatu saat, aku pasti akan berhadapan dengan Kam-tayhiap, menurutmu, dinilai dari permainan pedang putrinya, sanggupkah aku mengalahkannya?”

“Tidak”

Suma Sun tersenyum. Ia suka jawaban jujur. Apalagi dari sahabatnya.

“Apakah aku akan terbunuh?”

“Ya”

Ia tersenyum dan bertanya, “Mengapa?”

“Karena kau telah kehilangan jiwa pedangmu. Seorang pendekar pedang harus tanpa perasaan. Yang ada dalam jiwanya hanya pedang. Sahabatnya hanya pedang. Jika dalam hatimu pedang sudah tergantikan oleh Cio San, Cukat Tong, atau Ang Lin Hua, maka kau akan kalah”

Sambung Cio San,

“Selama ini kau telah sampai kepada tahap puncak seorang pendekar pedang. Kau telah bersatu dengan pedang. Kau bahkan telah berubah menjadi pedang. Itu karena kau berhasil mengisi jiwamu dengan pedang, dan tidak dengan hal lain. Namun sekarang? Kau telah kembali menjadi manusia. Manusia biasa yang memainkan pedang. Kau bukanlah lagi dewa pedang”

Suma Sun malah semakin berseri-seri wajahnya,

“Jika itu harga yang harus ku bayar karena bersahabat dengan kalian, aku rela”

Air mata menetes di pipi Cio San.

Ia menyesal telah berkata terlalu jujur kepada sahabatnya ini. Seharusnya ia menguatkan hati si sahabat. Tetapi ia malah mengucapkan kata-kata yang menurunkan semangatnya.

Tapi ia tahu Suma Sun lebih menghargai kejujuran daripada kata-kata manis.

“Kali ini kau salah dalam satu hal” kata Suma Sun.

“Apa?”

“Puncak tertinggi ilmu pedang, tidak terletak pada “Manusia menjadi pedang”

“Lalu?”

“Terletak pada “manusia menjadi manusia”

Cio San terhenyak. Hanya orang-orang tercerahkan yang sanggup sampai kepada pemahaman ini.

Bukankah ini kembali kepada obrolan mereka di awal tadi? Bahwa kesempurnaan suatu ilmu terletak kepada orangnya, dan bukan kepada ilmunya.

Itulah mengapa manusia menjadi makhluk yang berkuasa di bumi. Saat mereka menggunakan akal pikirannya. Itulah yang membuat manusia lebih unggur daripada makhluk lain.

Saat manusia menjadi manusia.

Karena puncak tertinggi kemanusiaan, tidak terletak pada tingginya pangkatnya, banyaknya hartanya, dalamnya ilmunya. Tetapi terlatak pada kemanusiaannya. Pada kelemahannya. Pada sifat-sifatnya. Pada akal pikirannya.

Begitu sederhana!

Tapi juga begitu sukar dipahami.

Cio San tak bisa berkata-kata.

Ia hanya bisa menjura.

Lalu bibirnya mengucap, “Tayhiap”

Suma Sun menetaskan air mata. Jika kata ‘pendekar besar’ itu terucap dari bibir Cio San kepadanya, seolah-olah tuntaslah semua urusannya di muka bumi ini. Seolah-olah lengkaplah arti kehidupannya di kolong langit ini.

Dua sahabat. Empat tetesan air mata dari dua pasang mata yang tulus.

Malam semakin gelap dan udara semakin dingin. Tetapi jika kau memiliki sahabat karib, rasa-rasanya cukup untuk menghangatkanmu sepanjang hayat.

“Mari kita kembali”

Mereka berjalan dengan santai dan sambil tersenyum.

Ketika mereka sampai kembali ke tempat rombongan mereka tidur, ternyata keadaan sudah ramai. Tentu saja semua orang sudah terbangun.

“Ada apa?” tanya Suma Sun

“Kam-tayhiap mengirimkan surat terbuka kepada Suma-tayhiap” kata Ang Lin Hua.

“Apa isinya?” tanya si dewa pedang lagi

“Beliau menantang tayhiap untuk duel hidup mati, di malam sebelum perebutan Bu Lim Beng Cu”

Memangnya selain tersenyum, apa yang bisa dilakukan Suma Sun?

Related Posts:

0 Response to "Bab 63 Ketika Manusia Menjadi Manusia"

Posting Komentar