Bab 64 Hujan Kematian



Thay San di waktu sore


Menjelang tengah hari.

Udara di Thay San masih sejuk dan menyegarkan. Ribuan orang Kang Ouw yang datang ke sana kini diributkan oleh surat terbuka Kam-tayhiap kepada Suma Sun. Sekarang saja kabar ini telah menyebar sampai hampir meliputi seluruh pengunjung Thay San.

Suma Sun hanya duduk di sebuah batu karang besar yang menghadap ke tepi jurang. Sahabat-sahabatnya pun tidak berani mengganggunya. Mereka mengerti bahwa tantangan ini adalah tantangan kematian. Mereka hanya bisa duduk bercengkerama di bawah sebuah pohon, tak jauh dari Suma Sun.

Dewa pedang berambut merah.

Julukan yang jika didengarkan saja membuat jiwa takluk dan hati tergetar.

Kini rambut kemerah-merahan itu tertiup angin pegunungan yang dingin. Manusia yang dulu hatinya begitu dingin dan jiwanya begitu kesepian itu kini telah berubah menjadi begitu hangat. Kehangatan itu bahkan menutupi angin yang menghembus tubuhnya.

Matanya bersinar terang. Walaupun kegelapan menyelimuti kedua mata itu, namun bisa dibilang Suma Sun jauh lebih awas daripada manusia bermata manapun. Wajahnya yang dulu kaku kini malah terlihat ramah dan bahagia. Padahal sebuah tantangan terberat dalam hidupnya sedang dihadapinya.

Kim Sin Kiam atau yang lebih dikenal sebagai Kim-tayhiap, adalah dewa pedang terkemuka pada jamannya. Sejak turun temurun keluarga Kim dikenal sebagai keluarga yang sangat menakutkan ilmu pedangnya. Bahkan nama Kim Sin Kiam berarti adalah Pedang Sakti. Sejak kecil Kim Sin Kiam telah berlatih ilmu pedang keluarganya dan telah benar-benar menguasainya. Di umurnya yang lebih dari setengah abad, pendekar besar ini boleh dikatakan sebagai pendekar pedang paling hebat setelah pendekar pedang kelana, Can Li Hoa.

Inilah lawan yang akan dihadapi Suma Sun. Ilmu pedang keluarga Kim yang tersohor sejagad raya itu memang sungguh hebat. Bahkan anak perempuan keluarga Kim saja hampir tidak mampu dilawannya. Apalagi sang Kim Sin Kiam sendiri?
Tapi Suma Sun tidak khawatir. Ia pun tidak gentar. Ia tidak sedih atau bahkan takut. Ia malah sungguh berbahagia. Karena sejak dulu ia memang merindukan lawan yang setara dengan dirinya. Pertarungan-pertarungan yang sejak dulu sampai sekarang telah dilaluinya, sebenarnya adalah jalan untuk mengasah dirinya menghadapi pertemuan ini. Pertemuan dengan dewa pedang yang lain.

Untuk menentukan siapa dewa pedang sesungguhnya.

Manusia siapapun jika menghadapi situasi seperti ini, pikirannya tidak boleh kacau. Jiwanya harus tenang dan lapang. Di dalam kepala hanya boleh terisi pertarungan ini. Ia harus menyendiri sekian lama agar bisa mengosongkan pikiran dan jiwanya. Suma Sun hanya punya waktu 4 hari untuk melakukannya.

Kini ia pun sedang mengosongkan jiwa dan pikirannya di tepi jurang pegunungan ini.

Tapi ia tidak butuh 4 hari. Ia hanya butuh beberapa jam. Karena sekarang ia telah bangkit dan berdiri. Lalu ia tersenyum kepada sahabat-sahabatnya. Senyum yang paling hangat yang pernah mereka lihat.

“Selesai?” Luk Ping Hoo bertanya.

“Selesai” jawab Suma Sun. Senyumnya semakin lebar.

“Tayhiap telah memecahkan rahasia jurus-jurus Kim-tayhiap?” tanya Luk Ping Hoo lagi.

Suma Sun hanya tersenyum, dan tidak menjawab.

Pendekar pedang setingkat dewa seperti dirinya, sepertinya sudah paham bahwa ilmu pedang lawan hanya untuk dihadapi, bukan untuk dipikirkan.

Pendekar setingkat Luk Ping Hoo, yang bahkan telah pernah menjadi Pangcu dari Kay Pang pun sepertinya belum memahami rahasia ini. Karena hanya orang-orang yang menjual hidupnya kepada pedang saja yang bisa memahaminya.

Hanya orang seperti Suma Sun dan Kim Sin Kiam lah yang benar-benar memahaminya.

Di muka bumi ini, selain mereka berdua tentunya tak ada seorang pun yang benar-benar memahaminya.

“Bagaimana kalau kita minum arak?” ajak Suma Sun masih tetap sambil tersenyum.

Para sahabatnya mengerutkan alis.

Pertarungan tingkat tinggi haruslah dihadapi dengan pemusatan pikiran tingkat tinggi. Dengan kondisi tubuh paling baik. Dengan keadaan hati paling tenang. Karena pertarungan seperti ini, terlambat sepersekian detik saja atau salah perhitungan satu mili saja, maka akhirnya adalah kematian.

Mengapa ia malah memilih minum-minum?

Pendekar sehebat apapun, sekuat apapun ia minum arak, pastilah akan mempengaruhi keadaannya. Bagaimana mungkin ia malah minum-minum. Jarak 4 hari ini seharusnya diisi dengan latihan keras, meditasi mendalam, dan istirahat yang cukup.

Tapi Cio San cukup tahu diri untuk tidak memperingatkan Suma Sun. Karena ia percaya sepenuhnya kepada Suma Sun. Bahwa nanti kalah dan menangnya Suma Sun, ia tidak berhak mencampuri keputusan apapun yang diambil oleh sahabatnya itu.

Karena baginya, kalah atau menang, mati atau hidup, salah atau benar, Suma Sun adalah sahabatnya.

Maka ia lah orang pertama yang bangkit berdiri menyambut ajakan Suma Sun untuk minum arak. ANg Lin Hua, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun pun akhirnya bangkit mengikuti mereka ke arah warung.

Warung yang memang tidak pernah sepi selama beberapa hari, kini ketambahan banyak orang yang mendengar kabar bahwa Suma Sun berada di sekitar situ. Mereka tentunya sejak semalam telah mendengar kabar tantangan surat terbuka Kim Sin Kiam itu.

Semua orang itu kini memandangnya dengan heran, saat Suma Sun menenggak berguci-guci arak dengan bahagia. Sebagian pandangan heran itu berubah menjadi kecewa, lalu berubah menjadi takut. Sebagian pandangan heran lain, berubah menjadi senyum kecil dan tawa bahagia. Kao Ceng Lun yang pertama kali membicarakan hal ini,

“Orang-orang ini tentunya telah bertaruh rupanya” katanya

“Bertaruh?” tanya Ang Lin Hua

“Ya. Begitu mendengar tantangan Kim-tayhiap kepada Suma Sun, mereka pasti bertaruh siapa pemenangnya” jelas Kao Ceng Lun.

Ang Lin Hua mengangguk mengerti.

Sifat dasar manusia ternyata sama saja. Baik ia menyandang gelar pendekar atau tidak. Selalu ada celah bagi mereka untuk menarik keuntungan.

Yang berwajah kecewa tentunya yang bertaruh atas nama Suma Sun.

Yang tertawa bahagia tentunya yang bertaruh atas nama Kim Sin Kiam.

Karena dalam pandangan mereka, Suma Sun kini bukan lagi pendekar besar yang tenang dan dingin dalam menghadapi pertarungan hidup matinya. Melainkan seorang pengecut penakut yang menenggelamkan diri dalam arak guna menghilangkan ketakutannya.

Di lihat dari sudut manapun, Suma Sun tetap kalah.

Jika memang ia tidak takut, arak tetap akan melambatkan gerakannya. Melambatkan pikirannya.

Jika ia memang penakut, tentu saja tidak ada lagi yang perlu dibahas.

Oleh karena itu begitu banyak orang kecewa, namun begitu banyak juga yang bahagia.

Begitu benar ujar-ujaran orang bijak jaman dulu, bahwa penderitaan orang lain bisa saja adalah kebahagian orang yang lainnya pula.

Tapi apapun pandangan orang lain terhadapnya, Suma Sun tidak perduli. Beguci-guci arak telah ditelannya. Wajahnya memerah. Senyumnya semakin berkembang. Tawanya pun semakin membahana.

Sahabat-sahabatnya pun tidak bisa tidak, harus pula mengiringnya minum.

Urusan minum memang urusan yang paling disukai Cio San. Urusan mati atau hidup baginya mungkin bisa ditunda. Tapi urusan minum tidak. Apalagi jika minum bersama sahabatnya.

Luk Ping Hoo, Ang Lin Hua, dan Kao Ceng Lun pun tidak bisa menutupi kesedihan mereka. Walaupun tetap mengiringi Suma Sun minum dan bercengkerama. Mereka tidak bisa menutupi kesedihan hati mereka yang telah paham bahwa Suma Sun kini sedang menghadapi akhir dari hidupnya.

Jika hidup harus berakhir, kenapa tidak memilih menjalaninya dengan bahagia?

Jauh di lubuk hatinya pun Suma Sun tahu ia tidak mungkin menghadapi pedang Kim Sin Kiam. Ia masih belum sampai pada tahap manusia menjadi manusia. Keraguan sekecil apapun yang hadir di hati para dewa pedang, akan membawa mereka kepada kematian.

Tapi ia tidak takut. Demi langit dan bumi ia tidak takut.

Ia minum-minum pun bukan untuk mengeraskan hati dan membuat dirinya lebih berani. Ia minum-minum adalah untuk menghargai waktunya yang tersisa bersama sahabat-sahabatnya.

Ia minum-minum bukan untuk lari dari kenyataan. Ia minum untuk bersenang-senang.

Karena ia telah mengerti arti dari kehidupan. Ia benar-benar telah paham bahwa pada akhirnya manusia akan mati.

Sesakti dan sehebat apapun ia, ia toh akan mati.

Jadi mengapa berlomba-lomba menjadi yang paling kaya, yang paling hebat, yang paling dikagumi, jika pada akhirnya manusia akan mati?

Selama ini ia membawa kematian kepada orang lain, jiwanya sepi dan dingin. Kini saat kematian akan datang menghampirinya ia begitu hangat, bahagia, dan merasa damai.

Tidak ada seorang pun yang paham isi hati Suma Sun. Mengapa manusia yang telah mencapai tingkatan dewa seperti itu malah rela menurunkan derajatnya kembali menjadi manusia biasa. Karena untuk mencapai tahap dewa, seseorang harus bisa mematikan hatinya, medinginkan perasaannya, dan menjual kehidupannya kepada pedang.

Tidak mudah untuk menjadi orang seperti itu. Karena hanya orang yang benar-benar berbakat yang mampu melakukannya.

Orang-orang seperti ini akan menjadi aneh di hadapan orang lain, tapi tidak ada satu pun manusia yang akan menyangkal betapa mereka telah berubah menjadi ‘dewa’.

Suma Sun telah mencapai tahap ini. Tapi ia melepaskannya dan memilih menjadi ‘manusia biasa’. Yang merasakan duka dan bahagia. Yang memiliki sahabat, dan teman karib.

Dewa seharusnya berada jauh tinggi di atas sana. Tak ada satu pun manusia biasa yang menyentuh mereka. Ia seharusnya sendirian. Satu-satunya sahabatnya adalah pedangnya. Itulah sebabnya kenapa Suma Sun selalu terlihat kesepian. Tapi kini ia telah memiliki sahabat, memiliki orang-orang yang ia cintai. Ia telah menjadi manusia biasa lagi!

Oleh karena itu, dalam pertarungan nanti ia pasti kalah. Manusia biasa tak akan mampu mengalahkan dewa.

Pemahaman tentang ‘Manusia menjadi manusia” yang akan mampu mengalahkan “Manusia menjadi pedang” sampai sekarang belum pernah terbukti.

Pemahaman ini hanya berada di angan-angan tapi belum pernah ada kejadiannya.

Cio San sangat memahami ini. Karena itulah saat Suma Sun mengatakan tentang pemahaman ‘manusia menjadi manusia’ ia sebenarnya sangsi. Tapi ia percaya betul kepada Suma Sun. Bahkan jika Suma Sun salah sesalah-salahnya, ia akan tetap percaya kepada Suma Sun.

Hari telah menjelang sore. Mereka masih minum. Masih bercanda tawa.

Pertaruhan telah berubah menjadi 3 banding 1. Sudah jelas 3 untuk Kim Sian Kiam dan 1 untuk Suma Sun. Mereka sudah mendengar pertaruhan ini dari obrolan orang-orang di warung. Tapi mereka tidak perduli.

Karena sahabat yang baik adalah sahabat yang mengingatkanmu akan salahnya perbuatanmu. Tetapi sahabat yang lebih baik lagi adalah sahabat yang percaya kepadamu. Terhadap keputusan apapun yang kau buat. Dan percaya bahwa kau akan bertanggung jawab sepenuhnya atas keputusan-keputusanmu.


Daya tahan orang minum arak itu ada batasnya. Sayangnya batasnya minum arak Suma Sun dan teman-temannya masih belum terukur. Arak, sahabat, makanan enak, dan candaan. Rasa-rasanya sudah cukup sebagai alasan untuk menjadi bahagia.

Pengunjung warung datang dan pergi. Melihat keadaan Suma Sun yang seperti ini, tentu saja mengundang kehebohan. Banyak yang tidak percaya jika ‘gentong arak’ di hadapan mereka ini adalah dewa pedang yang namanya begitu ditakuti.

Malam telah datang dan warung pun semakin ramai. Kabar bahwa Suma Sun sedang mabuk-mabukan di warung ini dengan sahabatnya, membuat orang semakin berdatangan ke warung ini. Pasar taruhan pun memanas. Kini taruhan telah berubah menjadi 5 banding 1. Melihat keadaan Suma Sun seperti ini, banyak orang yang menaruh harapan taruhan padanya yang kecewa, bahkan menjadi sedikit ‘gila’. Awalnya banyak yang bertaruh atas namanya. Taruhan pun berupa apa saja. Uang, tanah, rumah, bahkan ada pula yang bertaruh dengan taruhan aneh seperti jika kalah akan jadi budak selama setahun kepada yang menang. Ada juga yang bertaruh jika kalah akan salto sebanyak mungkin selama satu jam. Orang-orang Kang Ouw memang sering berlaku aneh.

Jika kini taruhan menjadi 5 banding 1, seharusnya agak sedikit mengherankan. Karena jika dilihat dari keadaan Suma Sun yang sedang bersenang-senang dengan arak, seharusnya tak ada seorang pun yang bertaruh atas namanya. Tapi yang namanya orang bertaruh, selalu saja ada yang bertaruh dengan nasib. Mereka ini memilih pilihan yang paling tidak dipilih orang, sehingga jika menang keuntungan mereka akan berlipat-lipat.

Suma Sun sendiri seperti tidak perduli. Ia bahkan mentraktir minum orang-orang. Mereka yang bertaruh atas nama Kim Sin Kiam malah juga ikut urun membelikannya arak agar dia semakin mabuk. Ang Lin Hua yang kesal melihat keadaan itu, menegur

“Tuan-tuan, harap jangan ikut menambah ruwet suasana”

“Ruwet bagaimana, Suma-tayhiap kan sedang bersenang-senang. Kami pun turut berbahagia jika beliau senang” kata salah seorang.

Orang ini badannya ceking. Kukunya panjang dan menghitam. Jelas-jelas orang ini menguasai sejenis ilmu cakar beracun.

“Ang-siocia, biarkan saja, jangan kau usik teman-teman baruku” kata Suma Sun sambil tersenyum.

Karena tidak tahan, Ang Lin Hua pun pergi dari situ. Ia keluar warung dan pergi ke padang rumput untuk mencairkan suasana hatinya.

Ia memang tidak tega melihat keadaan Suma Sun. Jika menuruti kehendaknya, ia ingin sekali melarang Suma Sun untuk minum. Tapi memangnya dia siapa?

Kao Ceng Lun bergegas menyusul nona berambut putih ini,

“Ang-liehiap” serunya pelan.

Ang Lin Hua menoleh. Air mata mengembeng di matanya. Bagaimanapun ia tidak ingin kehilangan Suma Sun.

“Kao-enghiong” balasnya.

Mereka hanya bisa saling menatap. Kao Ceng Lun pun hanya bisa tersenyum. Ia lalu berkata,

“Kira-kira apa yang bisa kita lakukan untuk menolong Suma-tayhiap? Keadaannya begitu memprihatinkan”

Ang Lin Hua tidak bisa berkata apa-apa. Karena memang sesungguhnya tidak ada satu hal pun yang dapat mereka lakukan.

Rembulan di langit yang hitam. Bersinar penuh kelembutan. Dua orang manusia duduk tanpa suara. Angin menghembus begitu dingin. Tapi masakah mampu lebih dingin dari hati manusia?

Rasa kehilangan atau takut kehilangan, kadang membuat manusia begitu rapuh. Padahal jika manusia tahu bahwa pada hakekatnya mereka tidak memiliki apa-apa, bukankah dunia tak akan semuram ini?

Lama mereka duduk di sana. Hingga kini terdengar bahwa taruhan telah mencapai 7 banding 1. Keadaan Suma Sun sudah hampir terdengar oleh seluruh orang Kang Ouw yang datang ke Thay San. Mengetahui hal ini Kao Ceng Lun dan Ang Lin Hua segera kembali ke warung tadi.

Begitu kembali ternyata Suma Sun sudah tidur dengan nyenyaknya di atas sebuah bangku panjang. Luk Ping Hoo tetap duduk di sampingnya menjaga pendekar itu. Lie Sat entah ke mana.

“Tayhiap, ke mana sahabat boanpwee?” tanya Kao Ceng Lun.

“Entahlah. Ia buru-buru pergi. Katanya ada urusan yang harus ia selesaikan”.

Kemana perginya Cio San?

Ia ternyata pergi mencari Kim Sian Kiam.

Tidak susah mencari keberadaannya. Tenda mewah tempat ia beristirahat ternyata ramai di kelilingi orang-orang kang Ouw yang ingin tahu perkembangan cerita pertarungan ini.

Ia sesungguhnya khawatir dengan nasib Kim Sin Kiam.

Jika orang hampir seluruhnya bertaruh atas namanya, lalu kemudian ia celaka, bukankah yang paling berbahagia adalah mereka yang bertaruh atas nama lawannya?

Oleh sebab itu Cio San sungguh-sungguh khawatir.

Orang-orang Kang Ouw yang sudah terlanjur bertaruh sudah sangat banyak. Orang-orang yang bertaruh atas nama Suma Sun pun tentunya ingin Kim Sin Kiam kalah. Bagaimana caranya ia kalah, padahal ilmu pedangnya telah mencapai tahap dewa, dan Suma Sun pun kini sedang berleha-leha dengan arak.

Satu-satunya cara agar Kim Sin Kiam kalah adalah adalah dengan mencelakainya. Meracuninya. Atau apa saja. Agar ia lemah, dan kalah dalam pertarungan nanti.

Orang yang berpikiran seperti ini untungnya bukan Cio San saja. Makanya di sekitar tenda Kim Sin Kiam sudah banyak sekali orang Kang Ouw yang berjaga-jaga.

Daerah itu terang benderang dengan cahaya beberapa obor. Tenda mewah itu terlihat sangat mengesankan. Ukuran tenda itu besar juga. Cukup untuk menampung Kim Sin Kiam dan rombongan. Beberapa anak buahnya berjaga-jaga di sekeliling tenda.

Lama juga Cio San duduk di sana.

Walaupun banyak orang berada di sana, suasana tetap langgeng dan khidmat. Siapapun memang tidak berani buka suara lantang-lantang jika ada Kim Sin Kiam di sekitarnya.

Telingan Cio San yang sangat tajam mendengar suara desingan.

Serta merta ia memperingatkan,

“Awas senjata rahasia!”  Ribuan senjata rahasia berupa jarum beracun yang sangat kecil disambitkan dengan sangat cepat. Senjata ini datang bagaikan tumpahan air hujan lebat dari atas langit. Walaupun semua orang yang berada di sana adalah mereka yang berada di tingkat silat kelas tinggi, tak urung banyak juga yang terkena sambitan ini.

Cio San walaupun sanggup menghindarnya dan menepis ribuan jarum yang menghujam mereka itu dengan angin pukulannya, tak urung merasa sangat kesulitan karena ia khawatir senjata itu akan mental dan melukai orang lain. Ia hanya bisa menghindar dan sesekali menepis jarum-jarum laknat itu.

Terdengar teriakan kesakitan dari puluhan orang yang terkena sambitan. Sedangkan mereka yang bisa menghindar hanya bisa mengeluarkan suara keluhan karena ribuan senjata itu seperti tak habis-habis banyaknya.

Secara refleks Cio San melihat ke arah tenda Kim Sin Kiam. Tenda itu tak luput dari hujaman jarum beracun. Malah jarum beracun itu banyak pula yang mental keluar dari tenda Kim Sin Kiam. Bisa di tebak, pasti dewa pedang itu sedang menghalau jarum-jarum itu dengan pedangnya pula.

Ada beberapa saat lamanya baru serangan ganas itu berhenti. Puluhan orang tergeletak dan mengerang kesakitan. Jarum ganas itu saking beracunnya sampai meninggalkan bau busuk di udara. Cio San berhati-hati. Ia berjaga-jaga jangan sampai serangan itu berlanjut lagi.

Semua orang yang masih bertahan pun melakukan hal yang sama.

Sunyi.

Sepi.

Senyap.

Bahkan suara erangan kesakitan pun sudah mulai menghilang.

Racun itu sangat ganas sampai-sampai mengeluarkan suara pun sangat menyakitkan!

“Saudara-saudara, harap tetap waspada. Hati-hati melangkah karena jarum-jarum itu banyak yang menempel di tanah” kata Cio San memperingatkan yang dibalas dengan anggukan mereka yang masih selamat.

Tak ada seorang pun yang berani bergerak, karena keadaan di sana gelap gulita. Beberapa obor yang ada di sana sudah padam.

Salah seorang kemudian menyalakan api, karena kebetulan ia memang membawa batu api. Dengan  sangat hati-hati ia menggunakan sobekan kain bajunya sebagai obor. Dengan adanya tambahan cahaya sekecil ini, Cio San kemudian bergerak. Hal yang pertama ia lakukan adalah menyalakan obor-obor yang lain.

Begitu daerah sana terlihat terang benderang, semua orang baru terasa agak lega. Bairpun sampai sekarang mereka belum berani bergerak, setidaknya dengan adanya penerangan membuat mereka terasa lebih leluasa.

Hanya Cio San yang berani bergerak.
Ia duduk berjongkok dan mulai menggerakan tangan. Gerakan tangan yang lembut itu adalah sebuah jurus Butong Pay bernama “Pelajar Memintal Huruf”. Sebuah jurus unik ciptaan Thio Sam Hong yang didasari gerakan menenun dan menulis huruf kaligrafi tionggoan.

Karena dulu Cio San tidak pernah mempelajarinya dengan tuntas, secara iseng ia menggabungkan jurus itu dengan juus ular derik miliknya. Dengan menggunakan angin pukulannya, ribuan jarum di tanah dengan lembut tecabut dari tanah. Ia melakukannya sambil melangkah maju, sehingga gerakan jurus itu seperti membersihkan jalannya dari ribuan jarum beracun itu.

Cio San melakukannya dengan sangat hati-hati. Jarum jarum terangkat dengan lembut dan perlahan-lahan. Angin lembut dari gerakan tangan Cio San ini membuat jarum-jarum bergerak seperti ada tali yang menyambungkan jarum-jarum itu dengan jari-jarinya.

Segera setelah seluruh tempat itu ia bersihkan dari jarum-jarum laknat itu, baru semua orang lega dan bergerak, walaupun dengan agak sedikit berhati-hati.

Cio San segera mendekati orang-orang yang terkapar di tanah. Keadaan mereka sungguh memperihatinkan. Hampir semua sedang meregang nyawa. Yang tenaga dalamnya lumayan bagus, masih sanggup bertahan. Tapi keadaan mereka ini juga tidak terlalu baik.

Dengan tangan kosong Cio San mengambil jarum itu. Ia memang kebal terhadap racun apapun, sejak tadi gerakan yang ia lakukan bukanlah untuk keselamatan dirinya sendiri, melainkan untuk keselamatan orang lain.

Diperhatikannya jarum itu. Cio San tahu racun apa itu. Dari pengetahuannya, racun itu adalah racun Cit Coa Ong Tok atau Racun 7 Raja ular. Racun ini sangat mematikan karena dalam beberapa menit saja akan mencabut nyawa orang yang terkena racun itu. Bahkan sebelum mati tubuh mereka akan lumpuh dan bagian yang terkena racun akan membusuk.

Racun ini walaupun termasuk kelas racun sangat berbahaya, bukanlah racun yang terlalu sulit untuk dipunahkan. Oleh karena itu Cio San segera mengambil kesimpulan bahwa orang yang melontarkan ini bukan ahli racun kelas atas. Hanya saja cara menyambitkan ribuan jarum beracun yang sangat cepat dan sambung menyambung seperti itu sangat mengagumkan, dan dia sendiri belum pernah mendengar ada orang memiliki kemampuan seperti ini.

Semua orang yang berada di sana memang saat itu sedang panik, karena ada saudara, atau temannya yang menjadi korban serangan itu, sehingga mereka panik dan tak tahu harus berbuat apa. Beberapa orang yang agak tenang, sempat memperhatikan perbuatan Cio San, sehingga bertanya,

“Apakah Ciokhee (tuan) ahli racun?”

Cio San menggeleng sambil tersenyum, “Cayhe bukan ahli racun, tapi cayhe tahu racun apa ini. Ini adalah Cit Coa Ong Tok. Memunahkannya cukup mudah. Tapi cayhe harus merepotkan para enghiong yang ada di sini”

“Katakan saja apa yang bisa kami lakukan?” kata mereka srentak dengan semangat.

“Harap para enghiong mencari katak sebanyak-banyaknya”

“Katak apa saja?”

“Ya katak apa saja. Besar kecil tua muda. Harap secepat mungkin karena racunnya sudah mulai bekerja” jawab Cio San.

Mereka segera melesat dari sana meninggalkan Cio San. Sambil menunggu Cio San mencari beberapa tanaman yang akan dipakainya untuk campuran obat. Setelah lengkap ia kembali ke tempat tadi. Di lihatnya Kim Sin Kiam sedang berdiri mematung di depan pintu tendanya. Memandang dengan sedikit tidak percaya atas kejadian yang baru saja terjadi. Wajahnya pucat dan kelam.

“Salam hormat, tayhiap” kata Cio San menjura.

Kim Sin Kiam hanya mengangguk.

Segera ia masuk kembali ke dalam tendanya.

Cio San tidak perlu heran melihat kekurangramahan sang dewa pedang itu. Mereka yang berjulukan dewa pedang pasti akan bersikap seperti itu. Dingin dan senyap seperti pedang. Dalam hatinya ia membatin, “Jika 100 orang saja di dunia ini yang menjadi dewa pedang, tentu bumi akan menjadi sunyi”

Tak lama kemudian orang-orang yang mencari katak sudah kembali. Banyak juga hasil tangkapan mereka.

Cio San pun segera bergerak. Ia mencabut jarum-jarum yang menembus kulit puluhan korban itu. Gerakannya ringkas dan cepat, sehingga menimbulkan kekaguman mereka yang melihatnya. Lalu setelah seluruh jarum itu ia cabut, ia lalu berkata,

“Para enghiong, cayhe sudah mencabut seluruh jarum yang ada. Mohon para enghiong sudi menolong cayhe”

Tanpa banyak bicara orang-orang itu segera bergerak, “Apa yang bisa kami lakukan?”

“Lihat apa yang cayhe lakukan lalu ikuti dan lakukan kepada korban-korban yang lain”

Cio San lalu menempelkan mulut sebuah katak kepada luka bekas tusukan jarum. Ajaibnya, katak itu lalu menghisap racun si koban. Melihat itu orang-orang kaget tapi mereka pun segera melakukan hal yang sama kepada korban yang lain.

“Jika tuan-tuan merasa katak yang tuan pegang menjadi dingin, segera buang katak itu jauh-jauh dan ganti dengan katak yang lain. Lakukan terus sampai katak yang tuan-tuan pegang tidak menjadi dingin setelah menghisap racun”

Mereka hanya mengangguk.

Tak berapa lama, usaha itu berhasil dan seluruh korban akhirnya membaik. Cio San lalu memasukkan tanaman obat yang tadi ia kumpulkan ke dalam mulut mereka.

“Coba bersemedi dan atur jalan darah. Dalam beberapa jam, saudara sekalian akan sehat sepenuhnya”

“Terima kasih In-Hiap (tuan penolong) terima kasih” ramai mereka mengucapkan terima kasih.

“Kalau boleh tahu, siapa nama in-hiap, dan berasal dari perguruan manakah tuan?” tanya salah seorang mewakili yang lain.

“Nama cayhe Lie-Sat. Cayhe tidak punya perguruan.”

“Ah, jika Lie-tayhiap tidak mau menjelaskan asal-usul, kami pun tidak berani bertanya” kata mereka sambil menjura.

Lalu terdengar suara dari arah tenda. Seorang perempuan.

“Atas apa yang telah terjadi, cayhe mewakili keluarga Kim mengucapkan turut berduka sekali. Semoga semua korban sehat sentosa. Keluarga kami hanya bisa memberikan 34 pil khusus milik keluarga kami yang berguna untuk memulihkan kesehatan. Dalam sehari, orang yang minum pil ini akan mendapatkan kembali tenaganya”

Ia lalu menyambitkan pil-pil itu ke masing-masing korban. Yang ditimpali dengan ucapan terima kasih para korban.

Hanya saja Cio San merasa cara ini agak kurang menghormat. Orang-orang yang jadi korban ini kan terluka karena berada di situ. Mereka berada di situ karena ingin menjaga keselamatan Kim Sin Kiam. Setidaknya keluarga Kim bisa sedikit menghormati mereka dengan cara yang lebih baik.

Tapi jika nama keluargamu Kim, dan kau memiliki kemampuan pedang seperti mereka, mungkin kau berhak pula bersikap angkuh dan jumawa seperti mereka.

Perempuan cantik di depan pintu tenda kemudian melanjutkan,

“Atas kebaikan dan perbuatan Lie-tayhiap, ayahanda cayhe mengundang tayhiap ke dalam tenda”

Ingin ia berkata, “Jika ayahmu memiliki keperluan, silahkan dia yang keluar”. Tapi ia memang tidak punya bakat jadi orang sombong sehingga mau tidak mau ia lalu bangkit dan menuju tenda.

Tidak ada kata “mari silahkan”. Si perempuan hanya bergesar sedikit memberi jalan kepada Cio San, lalu kemudian menutup pintu kain tenda itu setelah Cio San masuk.

Suasana di dalam tenda itu mewah sekali. Permadani tebal, hiasan-hiasan, dan lain-lain. Cio San merasa seperti berada di dalam rumah mewah.

Seorang pengawal tergeletak di lantai tenda.

Dengan segera ia bergerak dan ingin menolong pengawal itu, tapi ia tahu sudah terlambat. Pengawal itu baru saja mati. Luka tempat jarum itu menempel sudah membusuk. Memang racun itu amat cepat dan ganas pergerakannya. Tapi di leher pengawal itu pun ada luka sabetan.

“Kenapa siocia (nona) tidak bilang kalau di dalam masih ada korban?” tanya Cio San sedih

“Ia terkena racun karena ketidakbecusan diri sendiri, kenapa harus merepotkan orang lain?” kata si nona. Ia berkata begitu dengan lantang seolah-olah ingin orang-orang di luar tenda mendengarkan juga.

Cio San cuma bisa mengerutkan kening. Tidak ada satu pun hal dari keluarga ini yang membuatnya senang.

Si nona lalu menunjukkan sebuah bilik. “Masuklah, ayah menunggumu di dalam”

Cio San membuka pintu kain bilik itu. Alangkah herannya ketika di lihat si dewa pedang itu sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Ia keracunan pula!

Related Posts:

0 Response to "Bab 64 Hujan Kematian"

Posting Komentar