Sedikit Latar Belakang



Ide untuk membuat cerita ini datang ketika kakak sulung saya mengirimkan SMS dan meminta saya untuk mencari pembeli 'Mustika Ikan'. Namanya saja menarik. Konon mustika ini berada di perut ikan. Gunanya banyak sekali, untuk menawarkan racun, untuk pesugihan, dan untuk 'jimat' saat berjudi. katanya siapa yg memiliki mustika ini tak akan pernah kalah berjudi.

Mendengar cerita ini, imajinasi saya langsung 'kemana mana'. Akhirnya jalinan cerita episode ke 2 ini menjadi lengkap dan sempurna. Setelah semua alur terjalin di otak saya, kemudian saya baru mulai menuliskannya perlahan-lahan. Untuk teman-teman yang tertarik untuk mngetahui tentang 'Mustika Ikan' ini, ada beberapa situs di internet yang membahasnya, ini salah satunya; Mustika Ikan

Sekarang kita membahas pedang. Ide tentang pedang ini juga saya dapatkan setelah membaca-baca tentang 'Pedang Damaskus'. Konon pedang ini adalah pedang tertajam di dunia, yang telah ada ratusan tahun yang lalu. Teknologi pembuatannya pun sangat canggih karena menggunakan 'nano technology'. Pada abad 18 ilmu tentang pembuatan pedang ini menghilang. Sampai sekarang, teknologi modern pun belum mampu menciptakan pedang damaskus ini. Ini linknya: Pedang Damaskus

Ketika membaca bahwa pedang ini sangat lemas dan juga sangat kuat, saya mulai menghubungkannya dengan tokoh legendaris karangan Ching Yun yang bernama To Ko Kiu Pai, atau dalam dialek mandarin di sebut Du Gu Qiu Bai. Ini adalah tokoh fenomenal karena sangat berpengaruh di dalam 3 novel karya Chin Yung tetapi orangnya sendiri tidak pernah diceritakan. Teman-teman bisa membaca sejarahnya disini:
Du Gu Qiu Bai


Okay selamat menikmati yaaaaa!

Related Posts:

EPISODE 2 BAB 3 Sebilah Pedang Ungu



Si nona cantik memeriksa orang setengah tua yang tergeletak tak berdaya itu. Setelah memeriksa sebentar, ia tersenyum ketika tangannya mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam. Dengan hati-hati dibukanya kotak itu. Wajahnya berbinar-binar saat melihat isinya.

Sebuah benda kecil bulat agak lonjong. Hampir seperti mutiara tetapi benda ini lebih bening dan bercahaya. Si nona mengeluarkan benda itu dari kotak. Ia lalu mengeluarkan sejenis botol kecil yang bening pula. Dengan cekatan ia menggunakan botol itu untuk mengambil salju yang berada di dekatnya.

Si nona lalu menggunakan tenaga dalam untuk memanaskan botol itu dan merubah salju menjadi air. Walaupun buta, Suma Sun tahu apa yang sedang diperbuat nona ini. Dan hal ini membuat Suma Sun sangat kagum, karena kemampuan seperti ini hanyalah dimiliki oleh orang-orang yang tenaga dalamnya sangat tinggi. Walaupun ia sendiri sudah cukup bisa untuk melakukannya, namun si nona ini jauh lebih cepat dalam melakukannya. Ini membuktikan bahwa tenaga dalam nona ini memang sangat hebat.

Setelah salju mencair dan mengisi botol itu, si nona lalu mencelupkan benda seperti mutiara itu ke dasar botol. Ia memperhatikan. Mutiara itu tidak mengapung melainkan tetap berada di dasar botol. Si nona tersenyum. Kali ini, ia mengambil mutiara ini dan meletakkannya di permukaan air, tidak mencelupkannya langsung ke dasar. Mutiara itu kini malah mengapung di permukaan air. Ia menunggu agak lama, dan tersenyum puas ketika mutiara ini tetap mengapung dan tidak tenggelam.




“Aha..ini asli. Terima kasih orang tua”

Sambil begitu tangannya bergerak. Sebuah jarum emas langsung menancap di leher orang tua yang nahas itu. Jiwanya melayang saat itu juga.

Suma Sun menahan nafas, nona ini begitu kejam. Dengan segala cara ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk melepas totokan ini, namun tiada hasil.
“Kau tak perlu bersusah payah, aku menotokmu dengan ilmu totok terbaik. Pendekar paling hebat pun masih membutuhkan banyak waktu agar dapat membukanya” tukas si nona.

Ia tersenyum manis. Walaupun Suma Sun tidak dapat melihat senyuman ini, ia merasa ditelanjangi oleh tatapan nona itu. Nona ini pasti siluman. Tak terasa bulu kuduknya berdiri.

“Hmmm, aku suka kau. Penuh rahasia dan penuh tanda tanya. Membuat orang penasaran.” Ia tetap tersenyum sambil memandang Suma Sun, lalu berkata “Eh, menurutmu aku cantik tidak?”

Suma Sun hanya diam.

Si nona tertawa, “Haha. Laki-laki memang sama semua. Dari yang kecil sampai yang tua bangka, selalu tak mampu bersuara memandang kecantikan perempuan”

“Menurutku kau tidak secantik yang kau kira” kata Suma Sun.

“Haha. Itu juga yang sering dikatakan laki-laki ketika aku bertanya demikian. Mereka ini menyangkal kenyataan. Kau tahu, tidak? Perempuan itu memiliki sejenis perasaan khusus yang mampu menangkap isi hati laki-laki dan maksud mereka. Kau mau berbohong jenis bagaimanapun, kami kaum perempuan tetap tahu”

Perempuan memang selalu memiliki perasaan yang peka.

“Kau, aku penasaran dengan kau. Sedang apa kau sendirian di sini? Siapa orang tua mu?” tanya si nona.

“Orang tua ku sebentar lagi datang. Kau siap-siap saja” kata Suma Sun.

“Haha” ia tertawa sambil menutup mulut, “Kau pikir aku bodoh? Jika mereka berada di sekitar sini, aku sudah akan tahu dari tadi. Kau kira aku berani naik kemari tanpa melakukan perhitungan yang matang lebih dulu? Setiap jengkal yang ku lewati telah kuperhatikan. Tidak ada manusia yang naik turun kemari dalam jangka waktu 2 hari, kecuali si pengawal barang, dan kawanan perampok yang tadi ku bunuh. Menurut perhitunganku kau mungkin bersama orang lain di atas sini. Tapi mereka dari tadi tidak muncul. Oleh sebab itu, kau pasti sendirian di sini. Jika orang tua mu muncul, paling-paling mereka akan sampai saat malam atau fajar nanti”

Mendengarkan penjelasan ini Suma Sun sangat kagum. Si nona ini selain ilmu silatnya hebat, daya pikirnya juga mengagumkan.

Si nona berjalan ke arah Suma Sun. Ia mengambil pedang di pinggang Suma Sun. Dengan santainya ia memperhatikan pedang itu.

“Sebuah pedang unik yang ditempa dengan cara-cara yang unik pula. Hmmmm, pedang semacam ini hanya dimiliki beberapa orang di dunia ini”
Si nona berpikir sebentar.

“Pedang ini ditempa dengan ilmu dari barat.” Lalu dengan mengibaskan pedang, pohon besar di sebelah sang nona tertebas dalam satu gerakan.

Mata si nona berbinar-binar. Ia memperhatikan lagi pedang itu. “Walaupun ini pedang yang unik, pembuatannya masih di daerah Tionggoan (China daratan). Menggunakan bahan-bahan dari negeri India”.

Ia memperhatikan lagi.

“Aha. Ini ciri yang kucari sejak tadi. Tanda mata sang pembuatnya” matanya tertumbuk pada sebuah huruf kecil yang tertulis secara tersembunyi di ujung gagang.

Sebuah huruf ‘Langit’.

“Pedang ini dibuat oleh pandai besi jaman dahulu kala. Kehebatannya sangat tersohor karena pembuat pedang ini menimba ilmu cara membuat pedang dari barat. Namanya adalah Thian Kong-cianpwee (cianpwee berarti senior atau yang lebih tua).”

“Seumur hidup ia hanya membuat 5 pedang. Pedang pertama bernama Pedang Phoenix (Hong Kiam) pedang ini sekarang berada di gudang senjata istana kaisar. Pedang kedua bernama Pedang Naga (Liong Kiam), pedang ini berada di tangan pendekar pedang kelana Can Li Hoa, pedang yang ketiga dan keempat adalah sepasang, bernama Pedang Iblis (Mo Kiam) dan Pedang Dewi (Sian Kiam) berada di tangan suami istri keluarga Suma. Dan yang terakhir pedang.... ahaa.. pedang yang terakhir juga berada pada keluarga Suma. Pedang Serigala (Lang Kiam) ini pasti pedang yang kupegang ini. Kau adalah putra keluarga Suma!”

Lang Kiam



Betapa mengagumkan si nona ini mengurutkan pengetahuan untuk menarik kesimpulan. Suma Sun hanya bisa takjub dalam diamnya.

“Mengapa semua bisa secocok dan semulus ini? Semua usaha dan rencanaku sepertinya direstui oleh Thian (langit). Bertemu engkau di sini, malah semakin membuka jalan bagi rencanaku. Hahahaa” ia tertawa merdu sekali.

Tapi bagi siapapun yang mengerti kekejamannya tentu akan lebih bergidik lagi mendengar tawanya itu. Tawa perempuan apakah memang seperti ini? Sungguh merdu dan indah, tapi juga menyeramkan dan menggetarkan jiwa.

Empat hari kemudian mereka sudah sampai di kaki gunung. Si nona memanggul Suma Sun kecil dengan ringan. Selama perjalanan si nona bercerita dengan riang, seperti tak ada beban atas apa yang baru saja mereka hadapi. Membunuh orang nampaknya sudah merupakan hal yang amat biasa bagi nona ini.

“Kau selalu diam saat ku tanya. Siapa namamu? Berapa sih umurmu?” tanya si nona.

Suma Sun tak berkata apa-apa, pandangan matanya menyorot ke depan. Memandang api unggun yang sekarang berada di hadapannya. Tatapan matanya kosong namun dalam. Seolah-olah sebuah lubang hitam besar yang tenang namun siap menelan apa saja.

“Biar ku tebak, umurmu pasti antara 13 sampai 15 tahun” ujar si nona. “Kalau namamu pun tidak mau kau beritahu, aku akan memanggilmu Siauw-Suma (Suma kecil) saja. Eh, cepat kau makan daging kelinci, susah payah ku tangkap dan ku bakar untukmu” kata-katanya hangat, suaranya renyah dan menggoda hati.

Selama hidup, Suma Sun belum pernah berdekatan dengan perempuan lain selain ibunya. Kini setelah 4 hari ia lewatkan bersama si nona ini, ada perasaan aneh yang timbul di hatinya. Perasaan yang sebenarnya wajar bagi anak-anak seumurannya. Tapi Suma Sun bukan anak sembarangan, sejak kecil ia telah ditempa oleh kesulitan hidup, kemampuannya untuk menahan perasaan dan gejolak jiwanya jauh di atas rata-rata orang biasa.

“Kau ini, masih semuda ini sudah keras hati, kelak jika sudah dewasa, akan ada berapa banyak perempuan yang kau lukai? Dengan wajah setampan kau, aku yakin 3 atau 4 tahun lagi kau sudah ahli menaklukan perempuan” suaranya halus lembut, tapi sungguh menggetarkan sukma Suma Sun.

Ia masih tertotok, tak mampu bergerak. Suara dan nafas nona itu mendesah-desah di telinganya.

“Siauw-Suma kau tak boleh terlalu keras hati” katanya berbisik di kuping Sum Sun. “Jika nanti ada perempuan yang terluka karena sikapmu, kau akan repot sendiri” ia berkata begitu sambil tangannya memegang dada Suma Sun. Sentuhan iu sederhana saja, tapi bukan sentuhan yang dibuat-buat. Laki-laki manapun yang terkena sentuhan ini ditanggung lupa umur, lupa sanak saudara, bahkan lupa jika ia manusia biasa.

Anak seumuran Suma Sun yang baru akan beranjak dewasa, yang fungsi-fungsi kelaki-lakiannya telah tumbuh dengan sempurna, mana mungkin sanggup menerima sentuhan seperti ini.

Dan sentuhan ini turun dari dada ke perut, dan ke berbagai tempat lain.

Di luarnya wajah Suma Sun tetap kosong dan tenang, di dalam dadanya gejolak dorongan wajar seorang laki-laki telah menggedor-gedor jiwanya.

“Entah kenapa aku heran pada setiap laki-laki, jika kami para perempuan mendiamkan, kami dituduh bersikap dingin, jika kami membuka diri kami malah dituduh murahan. Kau tahu? Kami para perempuan ini cuma makhluk yang lemah. Butuh tempat bersandar dan berlindung” sambil berkata begitu ia merebahkan kepalanya di paha Suma Sun.

Rambutnya yang bersanggul indah menyeruakkan semerbak aroma bunga melati yang lembut. Wajahnya yang putih bersih jauh mengalahkan indahnya salju yang menempel di ujung-ujung rambutnya. Walaupun Suma Sun tidak dapat menyaksikan semua ini, bayangan yang timbul di dalam benaknya jauh lebih indah.

Lama sekali kepala itu bersandar di pahanya, saat kemudian si nona mengangkat kepalanya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Suma Sun.

Begitu dekat.

Begitu halus.

Begitu indah.

Begitu mendebarkan.

Jantung Suma Sun berdebar menggelora. Belum pernah ia mengalami hal seperti ini. Bibir si nona begitu sangat dekat sampai sampai hampir menyentuh bibirnya. Walaupun dalam keadaan tertotok, Suma Sun berusaha menjangkau ke depan.

Lalu nona itu menarik kepalanya. Bibir itu menjauh. Tak tersentuh.

Mengapa perempuan selalu seperti ini? Di saat ia begitu dekat, tiba-tiba terasa begitu jauh.

Si nona tertawa, “Kau ini, masih kecil-kecil sudah berani mencium bibir orang. Huh, aku tidak bisa membayangkan jika kau sudah sedikit lebih dewasa nanti” ia berkata begitu sambil tangannya memukul pundak Sum Sun dengan lembut.
“Kau mau makan tidak? Jika mau akan ku suapkan”

Tanpa menunggu jawaban, si nona lalu menyuapkan daging kelinci panggang ke mulut Suma Sun. Suapan yang halus ini membuat Suma Sun terpaksa membuka mulut dan mengunyahnya. Ia sendiri memang sudah beberapa hari ini menahan lapar.

“Enak bukan? Kau sih sok jual mahal tidak mau makan” bisiknya lembut.

Bisikannya tidak dibuat-buat untuk menggoda. Apa yang nona ini lakukan semuanya tidak dibuat-buat. Bisikannya, desahannya, tawanya, cara ia berbicara, semua dilakukannya dengan wajar. Justru hal semacam ini yang membuat ia semakin menarik.

“Kau masih tidak mau memberitahukan namamu?” tanyanya lembut.

“Aku akan memberitahukan namaku jika kau memberitahukan namamu” kata Suma Sun.

“Aaaah, mengapa tidak sejak tadi kau tanyakan? Namaku Bwee Hua”

“Namaku Suma Sun”

“Wah, jadi benar kau putra keluarga Suma? Aku hanya menebak-nebak saja tadinya. Hmmm, memang keluarga Suma bukan keluarga bernama kosong. Sejak dahulu kala nama mereka sudah bersinar terang. Sayangnya jarang ada orang yang bertemu keluarga ini. Bisa bertemu kau di sini, boleh dibilang rejeki cukup besar”

“Bwee-siocia (nona Bwee) bolehkah aku bertanya?”

Si nona mengangguk.

“Mengapa kau begitu kejam membunuh mereka semua?” tanya Suma Sun.

Si nona tersenyum, “Kau belum pernah membunuh orang?”

Suma Sun menggeleng.

“Jika nanti kau membunuh orang, kau akan tahu rasanya”

“Seperti apa rasanya?”

“Menyenangkan” tukas si nona sambil tertawa.

“Sungguh kejam”

“Bila aku tidak kejam, aku tak dapat hidup sampai sekarang” ujar Bwee Hua.
Suma Sun terdiam. Ia ingat kata-kata orang tuanya, bahwa di dalam hidup seorang pendekar, ada saat dimana ia harus membunuh orang. Walaupun tidak menyenangkan, hal itu harus tetap dilalui. Tapi si nona ini, menganggap membunuh itu menyenangkan.

“Sejak kecil aku terlunta-lunta. Ditolong orang, aku hanya dimanfaatkan. Orang-orang hanya membutuhkan kecantikanku. Kaum perempuan adalah kaum yang lemah. Kami tidak mempunyai kekuatan seperti laki-laki. Kaum masyarakat pun menempatkan perempuan di posisi yang lebih rendah daripada lelaki. Jika tidak bertindak kejam, apa kau pikir dunia ini akan lemah lembut terhadap kami?”

Suma Sun mendengarkan dengan seksama.

“Aku telah mengalami kehidupan yang menyenangkan, tapi setelah itu mengalami kehidupan yang penuh penderitaan. Penyiksaan, penodaan, dan segalam macam hal tak pernah bisa kau bayangkan, semuanya telah ku lalui. Semua yang ku lakukan saat ini, hanyalah bagian dari caraku mempertahankan hidupku. Jika kau mengalami yang ku alami, apa yang akan kau lakukan?”
Meskipun ia belum terlalu dalam memahami permasalahan dunia, mau tidak mau Suma Sun memahami juga perasaan nona cantik ini.

Justru inilah keselahannya.

Inilah kesalahan lelaki pada umumnya.

Terhadap penderitaan perempuan, mereka begitu mudah hanyut dan terbeli hatinya.

Sekarang Suma Sun telah sepenuhnya membuka dirinya untuk Bwee Hua.

“Di mana rumah keluargamu?” tanya Bwee Hua.

“Ada perlu apa nona dengan keluargaku?”

“Aku ingin menukarmu”

“Menukarku dengan apa?”

“Dengan sebuah pedang” jawab Bwee Hua.

“Apa nona pikir ayah ibuku mudah diancam?”

“Siapapun mudah diancam jika anaknya sedang disandera”

“Dengan pedang apa nona hendak menukarku? Sepasang pedang Iblis dan Dewi milik orang tuaku?”

Si nona menggeleng.

“Selain sepasang pedang itu, dan pedangku yang telah kau ambil, keluarga kami tidak memiliki pedang lagi”

“Memangnya siapa yang ingin mengincar pedang kalian” kata si nona sambil tertawa renyah. Lalu sambungnya, “Aku mencari pedang milik Tok Ko Kiu Pay.”
“Tok Ko Kiu Pay (sedih karena tak pernah kalah)?”

“Masa kau tak pernah dengar nama ini?” tanya si nona.

“Tentu saja, beliau adalah pendekar tanpa tanding di jaman dahulu. Ia dijuluki si Iblis Pedang (Kiam Mo). Dari namanya saja, beliau tak pernah terkalahkan. Sepanjang hayatnya beliau memiliki beberapa pedang. Pedang yang pertama digunakan saat beliau berumur belasan tahun. Dengan pedang ini, beliau menguasai daerah utara tanpa terkalahkan” jelas Suma Sun.

“Benar. Lanjutkan” tukas si nona.

“Pedang yang kedua berwarna ungu, sebuah pedang lemas yang sangat kuat. Dengan pedang ini, beliau menguasai dunia persilatan pada umur 20 tahunan. Beliau kemudian membuang pedang ini ke dalam jurang karena kesalahan tangan membunuh orang yang tidak bersalah”

Si nona mengangguk-angguk.

“lalu pedang ketiga, adalah sebuah pedang berat. Pedang ini kemudian ditemukan oleh leluhur Yo Ko saat beliau terjatuh ke dalam jurang. Seratus tahun setelah pendekar Yo Ko dan istirinya Siau LiongLie menghilang, pedang itu muncul dalam wujud dua buah senjata mustika bernama Golok Pembunuh Naga, dan Pedang Langit”

“Bagus sekali” sahut nona Bwee Hua.

“Tapi kedua mustika ini sudah patah. Pecahannya sekarang tersimpan di Bu Tong-pay dan Go Bi-pay. Nona mengincar pedang yang mana?”

“Tentu saja pedang yang kedua, pedang ungu itu adalah buatan para tetua di luar Tionggoan. Ilmu membuat pedang mereka sangat hebat sehingga pedangnya bisa menjadi sangat lemas, namun sangat kuat. Pedang ini bisa ditekuk sampai ke gagangnya, tapi mampu menebas batu karang. Bahkan memotong putus sutra yang dijatuhkan di atasnya.”

“Tak seorang pun tahu keberadaan pedang sakti itu. Entah berapa ribu jurang yang ada di tionggoan ini” kata Suma Sun.


“Justru itulah kedua orang tuamu harus mencarikannya untukku” ujar si nona sambil tersenyum.


Related Posts:

EPISODE 2 BAB 2 Cerita Di Puncak Salju


Salju menutupi seluruh permukaan bumi. Sejauh mata memandang, hanya hamparan putih bersih yang terlihat. Angin dingin bertiup menembus sampai ke dalam tulang. Manusia manapun yang sanggup bertahan di dalam cuaca seperti ini, bisa dibilang bukan manusia biasa.

Suara angin menggelegar menghempas telinga, namun suasana di atas gunung ini terasa sangat sunyi.  Kesunyian itu memang sesuatu yang aneh, ia bisa datang di tempat yang paling ramai sekalipun.

Di tengah kesunyian itu, 3 manusia melangkah. Seolah-olah hawa dingin itu tidak mampu membekukan tulang dan darah mereka. Seolah olah jika mereka berhenti berjalan, mereka berhenti hidup. Yang mengherankan lagi, salah satu dari ketiga manusia ini adalah seorang anak-anak.

 Jika ditilik lebih jauh, usianya mungkin baru 9 atau 10 tahun.  Rambutnya yang kemerah-merahan dikuncir dengan rapih. Sinar matanya mencorong namun memancarkan cahaya yang aneh. Mata itu sendiri  malah berwarna kebiru-biruan.

Kedua orang lainnya, adalah laki-laki dan perempuan. Tentu saja mereka adalah orang tua anak laki-laki yang aneh tadi. Yang laki-laki tinggi dan gagah. Wajahnya tampan. Ada beberapa bekas goresan luka di wajahnya. Herannya luka itu malah semakin membuat wajahnya terlihat tampan dan mengagumkan.

Yang perempuan, sangat cantik. Rambutnya berwarna kemerah-merahan pula. Salju putih yang menyelimuti rambutnya, tidak bisa menutupi keindahan rambut itu. Rambut panjang yang memancarkan keindahan cahaya mentari. Bahkan salju pun tak dapat menyembunyikannya. Kulit perempuan ini sedikit berbeda dari kulit orang Han (Tionghoa) asli. Warnanya kemerahan bercampur kecoklatan. Wajahnya pun bukan seperti wajah orang Han pada umumnya. Matanya lebar. Tulang pipinya tinggi. Bibirnya tipis dan merona merekah. Matanya sama birunya dengan mata anaknya.

Siapa pun yang dipandang oleh mata perempuan itu tentu akan merasa beruntung telah dipandang olehnya. Pula, siapapun yang memandang mata perempuan itu tentu akan merasa beruntung telah diberi kesempatan untuk menikmati salah satu keindahan terindah di muka bumi.

Mereka berdua menenteng pedang. Yang laki-laki membawa buntalan besar di bahunya. Yang perempuan membawa buntalan yang sedikit lebih kecil. Si anak lelaki juga membawa buntalan.

“Sun-ji (anak Sun) di sini tempat kita berpisah, ayah dan ibu akan menjemputmu di tempat ini 3 tahun lagi. Kau siap kah?”

“Siap ayah” jawab anak kecil itu.

“Walaupun ayah dan ibumu khawatir, tapi kami yakin kau akan sanggup menjalaninya. Seluruh anak keluarga Suma harus menjalaninya”

“Tentu saja anak mengerti, ibu” kata anak kecil itu sambil tersenyum.

Sejak kecil, bahkan sejak lahir, ia telah dipersiapkan untuk ini. Sudah tentu ia telah siap lahir bathin. Semua anak keluarga Suma harus menjalani hal ini. Hidup sendirian di atas gunung bersalju hanya berteman pedang selama tiga tahun.

Kenapa?

Karena mereka putra keluarga Suma.

Jawaban ini saja rasanya cukup untuk menjawab segala pertanyaan.

Ketiga orang itu berpelukan dengan mesra, lalu saling mengucapkan “Sampai jumpa!”.

“Ayah dan ibu akan menantikanmu di sini 3tahun lagi. Kau berangkatlah” kata sang ibu sambil tersenyum. Anak kecil itu pun mengangguk dan tersenyum. Segera ia membalikkan badan dan berjalan dengan gagah menembus salju yang pekat.

Tak ada air mata yang menetes di pipi kedua orang suami istri itu saat melihat putranya menerjang bahaya sendirian. Apakah karena air mata itu telah membeku terhantam dinginnya udara?

Ataukah karena air mata itu sudah membeku di dalam hati mereka?

Orang tua siapa yang tega melihat anak satu-satunya, yang belum genap 10 tahun pergi menyongsong bahaya seperti ini?

Ia hanya bisa mengeraskan hatinya, menguatkan perasaannya. Tak terasa suaminya telah menggenggam tangannya dengan erat.

Ia akan kuat.

Putranya adalah putra keluarga Suma.
Tentu saja ia akan kuat


Satu tahun tlah berlalu.

Suma Sun walaupun hanya bertambah tua setahun, telah memperlihatkan perubahan yang besar. Tubuhnya telah menjadi tegap. Wajahnya biarpun masih nampak kanak-kanak, telah menggariskan kedewasaan yang membayang di dalam rautnya.

Tatapan mata itu.

Tatapan itu masih tetap saja kosong. Tapi sinar cahayanya memperlihatkan api yang sangat membara. Ia memang hanya bisa menatap kosong. Ia telah buta sejak lahir. Ayah ibunya menggembleng dia dengan sangat keras. Mengajarkannya berbagai hal agar ia tidak menyerah kepada takdir dan keadaan.

Dalam budaya keluarga Suma, seorang anak laki-laki harus menjalani ‘upacara’ hidup di atas gunung sendirian selama satu tahun. Tapi ayahnya mewajibkan 3 tahun kepadanya. Semuanya untuk melatih jiwa dan raganya agar tangguh menghadapi kehidupan.

Awal-awal kehidupannya di puncak gunung ini memang terasa berat. Yang membuat berat dalah rasa sepi dan sunyi. Sejak kecil ia telah terbiasa berburu, memasak, dan mengerjakan keperluannya tanpa meminta bantuan orang lain. Kedua orang tuanya telah melatihnya sejak dahulu.

Tapi ia belum pernah merasakan sunyi. Selama ini kedua orang tuanya selalu ada bersamanya. Selalu ada kehangatan di dalam keluarga kecil ini.

Baru kali ini ia mengalami betapa menyeramkannya kesunyian itu.

Tapi syukurlah Suma Sun bukan seorang anak manja putra pembesar atau saudagar ibu kota. Ia adalah putra keluarga pendekar. Nama keluarga Suma Sun telah turun temurun menghasilkan pendekar-pendekar gagah yang menggetarkan dunia. Menjadi pendekar bukan hal mudah, menggetarkan dunia lebih tidak mudah lagi.

Setiap putra keluarga Suma dididik dengan keras dan ditempa dengan sangat kuat. Apalagi kenyataan bahwa Suma Sun terlahir buta, ayah ibunya menempanya tiga kali lebih keras dari tradisi keluarga yang seharusnya.
Inilah dia, putra keluarga Suma.

Tubuhnya berlompatan dengan ringan. Ia menggerakan pedangnya dengan sangat lincah. Jurus-jurus ini bahkan mungkin sudah dikenalnya sejak ia dilahirkan.

Gerakan ilmu pedang keluarga Suma sangat khas dan unik. Jurus-jurus mereka menggunakan tangan kiri. Ini mungkin juga tidak terlepas dari keunikan keluarga itu sendiri. Sejak dahulu sampai sekarang, setiap lelaki keluarga Suma, hanya akan memiliki satu anak lelaki tunggal. Tidak ada perempuan dalam keluarga Suma, tidak ada pula kakak atau adik, tidak ada pula paman dan bibi.

Dan yang lebih aneh lagi, semuanya kidal.

Keunikan keluarga ini semakin menambah daya pengaruhnya yang menggetarkan. Orang mana pun di kolong langit ini, jika mendengarkan nama Suma, pasti akan berdebar-debar jantungnya.

Pedang di tangan Suma Sun bergerak bagaikan keadaan udara di gunung itu. Dingin, menusuk, dan menderu-deru. Setiap gerakannya tak ada yang percuma. Dilakukan dengan ketepatan, kecepatan, dan kekuatan terbaik.

Tak ada satu orang pun yang percaya gerakan seperti itu mampu dilakukan oleh seorang anak belasan tahun.

Tentu saja.

Walaupun kau seorang anak kecil, jika nama keluargamu adalah Suma, ilmu pedangmu tentu saja bukan sekedar kemampuan memotong sayur di dapur.
Salju mencair di ujung pedang.

Kecepatan gerakannya membuat pedang itu terasa panas membara.
Suma Sun tersenyum. Ia merasakan kehadiran sesuatu.

Ada 5 serigala yang sedang mengintainya.

Serigala-serigala itu diam dan bergerak perlahan. Suma Sun sendiri suka serigala. Ia mengagumi dan menghormati mereka.

Tak berapa lama serigala-serigala itu telah mengurung dirinya. Langkah mereka perlahan namun pasti. Hampir tak ada suara. Tapi tidak bagi telinga Suma Sun. Telinga itu telah menjadi ‘mata’ baginya sejak ia lahir. Tentu saja ia percaya kepada telinganya.

Begitu serigala-serigala untuk berhasil mengurung Suma Sun, mereka baru bergerak dengan liar dan ganas. Suara gonggongan dan raungan kelima serigala itu akan menggetarkan hati siapa saja.

Suma Sun meletakkan pedangnya dan menyongsong serigala-serigala itu dengan tangan kosong.

Gerakan tangannya seperti membentuk jurus-jurus pedang. Anak ini rupanya ingin menaklukkan serigala-serigala buas ini tanpa membunuh mereka.
Anak kecil dan lima ekor serigala menari di tengah rintikan salju putih yang bercahaya.

Pemandangan yang indah namun menakutkan.

Ia bergerak sambil tertawa-tawa. Menyongsong gigitan-gigitan yang berbahaya dari moncong 5 makhluk buas yang kelaparan. Mereka menyerang seperti berirama. Seperti ada pola serangan. Yang satu mengejar kaki, yang satu mengejar tangan, yang satu mengejar urat leher, yang satu mengincar perut dan yang satu lagi menyerang dengan bebas.

“Ah, kalian sudah semakin pintar” ujarnya sambil tersenyum. Gerakannya pun semakin cepat. Tidak ada satupun serangan moncong itu yang mampu menyentuhnya.

Ia seperti menikmati hal ini. Lama mereka ‘menari’ hingga terdengar suitan keras Suma Sun. Serta merta kelima serigala itu menghentikan serangan.

“Kurasa sudah cukup kakak-kakak sekalian. Hari sudah sore, mari kita berburu”
Rupanya kelima serigala itu adalah sahabatnya.

Seorang anak kecil buta, berteman dengan lima ekor serigala. Ini bukanlah hal yang tidak masuk akal. Bahkan hal yang tidak masuk akal pun sering terjadi di dunia ini.

Mereka lalu pergi. Tak berapa lama, mereka telah kembali dengan membawa seekor kijang yang amat besar.

Suma Sun memotong-motong tubuh kijang itu sementara kelima kijang itu menunggu dengan sabar. Ia lalu membagikannya sama rata kepada kelima serigala itu, baru menyisakan sepotong kecil untuk dirinya.

Ia lalu memakannya mentah-mentah.

“Hari telah gelap, kalian pulanglah” kata Suma Sun begitu ia selesai memakan daging mentah itu. Para serigala itu seperti mendengar perintahnya, lalu bangun dan beranjak pergi dari sana.

Ia sendiri lalu beranjak dari situ menuju sebuah gubuk kecil yang tak jauh dari situ. Gubuk turun temurun milik keluarga Suma. Di situlah ia hidup selama satu tahun ini. Mengembangkan ilmu silatnya, mengasah inderanya, melatih tubuh dan jiwanya.

Manusia yang sanggup hidup dalam keadaan seperti ini selama setahun, bolehlah mendapatkan rasa hormat dari manusia-manusia yang lain. Apalagi anak sekecil ini.

Pertama kali tinggal di sana, ia telah dikeroyok serigala. Awalnya Suma Sun terpaksa membunuh mereka. Tapi gerombolan serigala ini seperti tak pernah habis. Hari ini mati satu, besok bertambah dua. Hari ini mati dua, besok bertambah tiga. Rupanya sosok manusia ini menjadi musuh tersendiri yang harus dimusnahkan kawanan serigala ini.

Hingga suatu saat Suma Sun memutuskan untuk tidak membunuh mereka. Pilihan ini ternyata benar, setelah berbulan-bulan melawan dan menaklukkan mereka, Suma Sun akhirnya berhasil mengikat tali persahabatan yang aneh.

Dari kawanan serigala itu ia belajar banyak hal. Cara berburu, cara mengintai mangsa. Serigala adalah makhluk yang pintar. Mereka pandai mengintai dan mengincar mangsa. Bagaimana mereka menyimpan tenaga dan menggunakannya di saat yang dibutuhkan. Semua dipelajari Suma Sun dengan sangat baik. Dalam hitungan bulan saja, ia sudah sangat mahir.

Telinganya, hidungnya, indera perasanya semua semakin meningkat sejak ia mempelajari tindak tanduk kawanan serigala ini.

Suma Sun memperlihatkan rasa hormatnya yang mendalam terhadap kawanan serigala itu. Sebisa mungkin ia tidak melanggar wilayah kedaulatan mereka. Jika datang pun, ia membawa makanan bagi mereka.

Rasa saling menghormat ini menimbulkan persahabatan yang mendalam di antara mereka.

Hari demi hari, ilmu pedangnya meningkat. Di atas gunung itu ia tidak saja ‘bertempur’ melawan cuaca yang ganas. Ia juga bertempur melawan makhluk-makhluk gunung lain seperti beruang es, dan lain-lain. Semuanya mampu ia taklukkan. Namun musuh terbesar seseorang saat di alam terbuka bukanlah keganasan alam tersebut, melainkan dirinya sendiri.

Sifat asli manusia akan terlihat setelah ia menghabiskan waktu di alam bebas. Jika hidup di tengah masyarakat, manusia akan terikat norma, hukum, dan aturan. Di alam bebas, manusia akan memperlihatkan watak aslinya.

Mungkin ini sebabnya seluruh putra keluarga Suma harus mengalaminya. Inilah latihan untuk menumbuhkan kejujuran, kekuatan jiwa, dan ketegaran hati. Inilah sebenar-benarnya latihan. Pantasan saja keluarga Suma menjadi seperti ini.

Memasuki tahun kedua.

Suma Sun sedang bersemedi mengumpulkan tenaga chi nya, ketika telinganya menangkap suara dari kejauhan. Derap kaki seseorang yang berlari di dalam badai.

Manusia siapa yang datang kemari?

Jika bukan karena dikejar sesuatu yang menakutkan, tidak nanti ada manusia mau datang kemari.

Suma Sun menghentikan meditasinya dan bangkit. Segera ia menerjang badai untuk mencari tahu siapa adanya orang ini.

Semakin dekat, semakin Suma Sun memperhatikan derap langkah itu semakin lemah. Rupanya pemilik langkah ini telah kehabisan tenaga.
Tak berapa lama, langkah itu malah terhenti.

Dengan melesat cepat, dalam lima langkah Suma Sun telah tiba di hadapan orang itu.

“Aaaahhh” terdengar suara kaget orang itu.

Suma Sun hanya diam.

“Jika kau mau bunuh, bunuhlah aku!” teriak orang itu. Di tengah rasa takutnya, seseorang memang terkadang menjadi berani.

Suma Sun tidak memperdulikan orang itu, ia hanya diam. Selamanya ia memang tidak pernah bicara jika tidak perlu.

Telinganya menangkap suara derap langkah lagi dari kejauhan. Lagkah-langkah ini lebih ringan. Ada 3 atau 4 orang yang datang dari kejauhan.
“Siapa orang-orang itu? Mengapa mengejar tuan?” tanya Suma Sun.

“Ka…kau…bukan salah satu dari mereka?” tanya orang itu, sejenak terasa cahaya harapan menyeruak.

Suma Sun kembali diam. Dalam hitungan detik ia harus membuat keputusan. Menolong orang ini dan menyingkir, atau menyongsong orang-orang yang akan muncul beberapa saat lagi.

Ia mempercayai nalurinya. Ia memilih pilihan pertama.

Dengan cepat dipanggulnya orang itu dan menyingkir dari sana.

Umurnya baru belasan tahun, tapi sudah dapat membopong orang dewasa berusia setangah baya. Itu pun dilakukan dengan gerakan yang amat cepat.

Suma Sun tidak membawa orang itu ke gubuknya, melainkan menjauh dari sana. Ia pergi ke sisi lain gunung. Ke hutan pinus yang sangat lebat.

Ia melakukan suitan. Suitan lirih yang tak dapat didengar manusia, namun mampu didengar makhluk lain.

Tak berapa lama terdengar auman makhluk-makhluk buasa dari kejauhan. Serigala sahabat-sahabatnya sudah datang.

Mendengar auman ini, para pengejar di belakangnya takut juga.
“Lam-ko, kau dengar itu?” tanya salah seorang.
“Ya, itu auman kawanan serigala” jawab orang yg disebut Lam-ko (kakak Lam) itu. Lanjutnya, “Hati-hati, jika jumlah mereka banyak, kita akan kerepotan” ia lalu mencabut golok yang ada di pinggangnya.

Kawanan serigala itu muncul. Jumlah mereka puluhan. Namun mereka tidak menyerang. Hanya menunggu di kejauhan. Tak berapa lama rombongan pengejar itu sudah terkepung.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya salah seorang.
“Jangan melakukan gerakan apa-apa” kata orang bernama Lam itu.

Salju turun dengan lebat.

Ke empat orang itu masih berdiri mematung.

Dari kejauhan muncul sesosok manusia.

Mereka memicingkan mata menanti sesosok bayangan itu menjadi jelas. Ketika bayangan itu menjadi jelas, tampaklah sesosok anak kecil.

Orang-orang itu tak percaya mengapa ada seorang anak kecil yang tahu-tahu muncul di tempat seperti ini.

“Lam-ko, jangan-jangan dia adalah setan gunung?” tanya salah seorang.
“Setan gunung tak perlu membawa pedang” jawab Lam-ko.
Mendengar itu, mereka menjadi lebih berani. Salah seorang kemudian bertanya,
“Hey, anak kecil! Apa kau lihat seorang tua lewat daerah sini”
Anak kecil yang ditanya itu diam saja.
“Heh! Apakah kau tuli?!”

Tetap saja tak ada jawaban.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” si anak kecil ini malah balik bertanya.
Melihat sikap anak ini yang gagah dan penuh percaya diri, mau tidak mau ke empat orang ini menjadi salah tingkah.

“Jangan-jangan ia putra pendekar ternama. Jangan ceroboh” bisik Lam-ko.
“Siau-enghiong (ksatria muda), kami Empat Serangkai Macan Gunung. Jika boleh tahu, siapakah namamu?” tanya orang she (marga) Lam.
“Tuan-tuan ada keperluan apa memasuki daerah ini?” tanya Suma Sun.
“Siau-enghiong belum menjawab pertanyaan kami” tukas orang she Lam ketus.
“Ini daerah keluarga kami, harap tuan-tuan semua keluar dari sini” jawab Suma Sun tenang.
“Ah, benar dugaanku. Ia berasal dari keluarga pendekar. Teman-teman jangan ceroboh” bisik orang she-Lam. Lalu ia berkata, “Baiklah, jika ini memang wilayah keluarga siau-enghiong (ksatria muda), kami meminta maaf dan mohon diri” ujarnya sambil menjura.

Teman-temannya pun mengikuti langkahnya pergi dari situ.

Suma Sun tertawa dalam hati, mudah sekali mengusir pendekar-pendekar jalanan seperti mereka. Ia segera pergi ke tempat tadi ia menyembunyikan orang yang ia tolong.

Orang itu sudah kepayahan bersembunyi di balik dahan pohon kering. Salju telah hampir menyelimuti tubuhnya. Nafasnya tinggal satu-satu.
“Tuan siapakah?” tanya Suma Sun kecil.
“Aku adalah anggota Hu Liong Piawkok (Jasa Pengawal Barang Naga Terbang)”
“Orang-orang itu perampok?” tanya Suma Sun.
“Benar, mereka telah membunuh belasan kawan-kawanku. Hanya aku yang berhasil lolos” jelas orang itu.
“Tuan pasti membawa barang yang mereka cari, bukan?” selidik Suma Sun.

Orang itu terdiam sejenak, lalu berkata “Entah kenapa aku percaya denganmu, nak. Memang aku membawa sebuah mustika. Tapi mustika ini adalah amanat yang harus dijaga. Ku harap engkau mau berbaik hati menjaganya”

Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dari kejauhan. Dengan ketajaman telinganya, Suma Sun tahu itu teriakan manusia yang meregang nyawa.

Segera ia menoleh, “Tuan, harap tunggu disini” ia segera melesat kencang ke sumber teriakan tadi. Alangkah kagetnya ketika ia menemukan banyak sekali mayat bergelimpangan.

“Mayat-mayat ini adalah mereka yang tadi berhasil ku usir. Siapa yang membunuh mereka?” ia menajamkan telinganya. Jika ada orang lain datang dan ia sampai tidak tahu, berarti kemampuan silat orang ini tidak bisa dianggap main-main.

Tiba-tiba terdengar suara di belakangnya,

“Anak kecil, kau lihat seorang yang kabur lewat sini?”

Suara perempuan.

Suma Sun menoleh ke sumber suara. Walaupun ia tidak dapat melihat, ia yakin betul pemilik suara ini pasti cantik sekali. Ia tidak berkata apa-apa.

“Tampan sekali wajahmu, sayang masih belum cukup umur” perempuan itu tertawa lepas. “Eh, kau tidak tuli bukan? Kenapa diam saja?”

“Nona yang membunuh mereka semua?” kali ini Suma Sun balas bertanya.

“Kau memanggilku nona? Wah terima kasih sekali. Hihihi” tawanya lepas dan renyah. Suaranya mendesah, dan lembut.

“Aku tidak ingin menyulitkanmu, cepat katakan dimana orang itu kabur, aku akan membiarkanmu pergi.” Kata si perempuan.

Suma Sun tetap diam.

“Kau ini ada bakat tampan, tapi juga ada bakat pikun. Ditanya tidak menjawab, malah balas bertanya.” Kata si perempuan sambil membanting kaki.

Suma Sun tidak tahu, justru perempuan paling suka jenis laki-laki seperti ini. Jenis laki-laki yang mampu membuat mereka penasaran.

“Kau mau bicara tidak?” tanya si perempuan sedikit sebal.

Tentu saja Suma Sun tidak bicara. Pada dasarnya Suma Sun sendiri juga bingung harus bicara apa.

“Sebaiknya, nona pergi saja. Aku akan menguburkan mayat-mayat yang kau bunuh” kata Suma Sun.

“Eh, kau mengusirku? Punya kelebihan apa kau berani mengusirku?”

“Jika kau tidak pergi aku akan membunuhmu” kata Suma Sun.

“Eh, ada apa ini main bunuh? Kau tidak kasihan padaku? Aku perempuan yang lemah, datang kesini di tengah badai salju, mencari seseorang yang mencuri barang ku. Kau malah menuduhku membunuh orang dan mengusirku pergi. Coba pikir, kau kejam tidak?” katanya marah namun suaranya tetap lembut.
Suma Sun terhenyak.

“Bukan kau yang membunuh mereka? Lalu siapa?” tanyanya

“Kau bertanya kepadaku, lalu aku bertanya kepada siapa?” tukas si nona berlagak sebal.

“E...entahlah...” Suma Sun kehabisan kata-kata. Lalu kemudian ia berkata, “Jika bukan nona yang membunuh mereka, berarti ada orang lain di sini yang membunuh mereka”

Si nona terhenyak, lalu dengan sedikit berteriak, ia berkata, “Celaka!”
Suma Sun kaget pula, “kenapa?” tanyanya.

“Jangan-jangan Kim Hoat Lo-Mo (Iblis tua berambut emas) yang membunuh mereka” teriak si nona.

“Siapa Kim Hoat Lo-Mo?” tanya Suma Sun.

“Aih, tak ada waktu untuk menjelaskan, jangan-jangan ia sudah sampai di sini. Coba kau periksa mayat-mayat ini apakah mereka memiliki luka jarum beracun berawarna emas di lehernya?”

Suma Sun segera bergegas, dan benar. Ia menemukan jarum-jarum emas menancap di leher mayat-mayat itu.

“Ada?”

Suma Sun mengangguk.

“Celaka. Kim Hoat Lo Mo sejak dulu memang telah mengincar mustika itu!” kata si nona panik.

“Mustika apa?”

“Sebuah mustika yang mampu menawarkan segala jenis racun. Kim Hoat Lo Mo memang mengincarnya karena itulah satu-satu mustika yang dapat menawarkan racun jarum emasnya”

Suma Sun tak tahu apa yang harus ia lakukan.

“Eh dimana orang yang kabur mencuri mustika emas itu? Nyawanya dalam bahaya pula!” kata si nona panik.

Suma Sun segera melesat, si nona pun berlari mengikutinya.

Begitu sampai di sana, si orang tua itu masih berada di sana. Tapi ia tak bergerak. Salju telah menutupi seluruh tubuhnya.

Suma Sun mendekatinya dengan hati-hati mencoba memeriksanya. Orang itu masih hidup, nafasnya sangat lemah.

“Syukurlah”

Tiba-tiba sebuah tangan menotok urat besarnya. Suma Sun mematung kaku.

“Mengapa kalian kaum laki-laki begitu mudah dibodohi?”

Si nona tersenyum, suaranya halus lembut.


















Related Posts: