Li Hiang memeriksa ketiga mayat ini. Kelima nona berlagak jijik dan takut melihat kepala mayat-mayat yang pecah. Padahal sebagai orang dari kalangan Kang Ouw, pemandangan seperti ini terhitung biasa.
Dari ketiga mayat ini, Li Hiang menemukan beberapa kantung besar yang isinya adalah emas permata dan barang-barang berharga, selembar peta, dan bekal makanan. Alangkah kagetnya ia ketika mengetahui bahwa daging makanan itu berasal dari daging manusia. Tampangnya biasa-biasa saja, padahal hatinya terguncang juga. Dengan tenang ia memisahkan harta berharga, dan selembar peta itu, sedangkan yang lain ia tinggalkan.
“Kita harus menguburkan ketiga mayat ini” kata Li Hiang.
“Aih, kenapa kita harus repot-repot mengurus ketiga penjahat ini?” tanya Cin-Cin.
“Saat menjadi mayat, mereka sudah bukan penjahat lagi. Lagian, biaya pemakamannya kan sudah mereka bayar berlebihan” kata Li Hiang sambil mengangsurkan kantong-kantong emas permata itu.
“Hiang-ko mau mengambil harta itu? Bukankah itu harta hasil rampokan?” tanya Sim Lan.
“Jika kutinggalkan disini, atau ku kuburkan bersama mereka, bukankah harta ini malah akan terbuang percuma? Akan lebih baik jika harta ini diambil, dan digunakan untuk hal yang berguna. Menolong orang lain, atau apa saja yang bermanfaat” jelas Li Hiang.
“Wah, pemikiran Hiang-ko jauh ke depan, Aku sepakat” tukas si pipi montok.
Dengan adil Li Hiang membagi isi kantong itu. Semua orang mendapatkan porsi yang sama. Perempuan di mana saja memang sama. Selalu suka dengan harta dan kemewahan. Jika ada perempuan yang tidak, maka kemungkinan cuma dua, ia bukan perempuan, atau ia sudah gila.
Setelah pembagian harta ini, mereka lalu menguburkan ketiga mayat itu. Dibutuhkan waktu yang tidak terlalu lama untuk menggali lubang yang cukup besar untuk ketiga mayat itu. Setelah menguburkan, mereka lalu beristirahat.
Pagi kemudian datang menjelang. Li Hiang bangun paling awal daripada yang lain. Ia lalu mempersiapkan makanan dan minuman bagi nona-nona ini. Begitu mencium wangi masakan yang dibuat oleh si jubah merah, kelima nona ini berangsur-angsur bangun.
“Kalian santai saja, biar aku persiapkan dulu hidangan ini” kata Li Hiang hangat.
Laki-laki di manapun paling suka jika dilayani perempuan dalam hal apa saja. Mereka tidak paham bahwa kesukaan itu kalah besar dengan kesukaan perempuan jika dilayani laki-laki. Li Hiang paham ini. Karena ini adalah salah satu cara memikat hati mereka.
“Aku sudah menyiapkan air panas jika kalian ingin membersihkan diri. Campurkan saja air panas ini dengan air danau supaya kalian tidak kedinginan. Rendamlah kain besar ini ke dalam air danau, lalu rendam lagi ke baskom air panas lalu usapkan ke tubuh kalian.”
Melihat perhatian sebesar ini, mau tidak mau hati mereka semakin tertarik kepadanya. Ia melayani mereka bukan sambil menjilat-jilat, melainkan dengan kesabaran dan ketegasan. Jika kau tahu caranya, kau dapat menaklukan perempuan mana saja. Li Hiang tahu caranya.
Para nona ini menuruti kata-katanya lalu pergi bersama-sama ke danau untuk membersihkan diri. Begitu kembali mereka semua nampak cantik dan wangi sekali. Melihat ini Li Hiang hanya tersenyum dan memuji, “Untung kalian tidak mempunyai sayap. Jika punya. tentu aku yakin ada bidadari kesasar datang kemari”
Pujiannya disampaikan dengan ringan dan hangat. Tanpa ada unsur menjilat dan merendahkan diri sendiri. Laki-laki memang harus selalu memuji perempuan. Tetapi dengan cara yang tepat. Jika tidak, perempuan akan mudah bosan kepadamu.
Mereka lalu sama-sama menikmati hidangan yang lezat yang telah dipersiapkan Li Hiang. Hari belum lagi terang benar. Embun pagi di rerumputan, serta udara dingin yang menghembus kulit membuat hidangan ini bertambah lezat.
“Kau pintar sekali memasak. Aku saja belum tentu sanggup membuat masakan sehebat ini, Hiang-ko” puji si pipi montok yang ternyata bernama Hwi Giok.
“Dulu aku pernah bekerja sebagai tukang masak” kata Li Hiang sungguh-sungguh.
“Benarkah?” tanya mereka serempak, “Di rumah makan?” tanya mereka serempak lagi.
Li Hiang hanya tersenyum. Banyak kenangan di tempat itu. Begitu ia teringat Hiang-Hiang, hatinya serasa mencelos. Hati manusia memang selalu seperti ini. Jika teringat orang yang disayanginya, selalu terasa menyaktikan dan membahagiakan di saat yang bersamaan.
Tak ada seorang pun yang mengetahui perubahan hatinya. Ia memang selalu pintar menyembunyikan perasaan. Orang jika terlalu lama dihina, selalu akan pintar menyembunyikan isi hatinya.
Mereka bercakap-cakap dengan mesra hingga terang tanah datang. Li Hiang kemudian beranjak sambil bertanya, “Kapan kita melanjutkan perjalanan?”
Sim Lan, sebagai ketua rombongan, menjawab, “Jika perbekalan sudah dipersiapkan, kita harus segera berangkat. Kita akan sampai pada danau ke delapan tengah malam nanti. Sampai di sana, kita boleh istirahat.”
Li Hiang mengangguk-anggukan kepala. Lalu katanya, “Aku ingin mencari buah-buahan dan berburu sebentar. Kiong Ji, maukah kau menemani aku?”
Kiong Ji adalah gadis yang paling pendiam di antara rombongan ini, mendengar ia diajak oleh Li Hiang membuatnya terbata-bata. Belum sempat ia menjawab, tangannya sudah ditarik dengan lembut oleh Li Hiang.
Perempuan siapapun jika tangannya ditarik oleh Li Hiang pasti akan menurut.
Dengan ringan Li Hiang bergerak melayang pergi dari situ. Meninggalkan keempat nona lain yang hanya terdiam dibakar api cemburu.
Sesudah agak jauh dan yakin bahwa tak ada seorang pun yang mengekornya, Li Hiang lalu berhenti.
“Eh, kau yakin di daerah sini ada buah-buahan?” tanya Kiong Ji.
Li Hiang melihat sekeliling dan mengangguk pelan. Genggaman tangannya tidak pernah ia lepaskan. Nona itu pun nampaknya tidak ingin melepaskan tangan itu.
Pelajaran ketujuh: Jika kau ingin melakukan sesuatu terhadap perempuan, pertama-tama kau harus memegang tangannya dahulu untuk ‘membaca’ isi hatinya.
Orang seperti Li Hiang tentu saja sudah memahami ini.
Li Hiang menatapnya dengan lembut. Tatapan mata teduh yang hangat. Tangan kanannya menggandeng tangan kiri nona itu, tangan kirinya telah membelai rambutnya yang terurai indah. Si nona diam saja tertunduk malu.
Lalu Li Hiang mengecup bibirnya. Bibir yang hangat dan merekah. Nona ini awalnya menarik mundur kepalanya, tetapi dengan lembut tangan kiri Li Hiang telah mendorong kepala itu maju kembali.
Keragu-raguan si nona berubah menjadi kecupan-kecupan yang hangat membara. Dalam hati Li Hiang tertawa. Perempuan yang terlihat pendiam, teramat sering menyimpan cinta dan nafsu yang membara. Tentu saja ia sudah memahami ini, itulah kenapa ia memilih nona ini.
Mengapa laki-laki seperti Li Hiang tidak pernah gagal dalam menaklukkan mangsa? Alasan paling utama adalah bahwa mereka selalu memperhitungkan langkah, ucapan, dan perbuatan mangsanya. Setiap mangsa mempunyai cara sendiri-sendiri untuk ditaklukkan.
Di tengah hutan yang sepi, dua tubuh terlena dalam cinta yang membara. Cinta yang membara akan selalu seperti ini. Membakar dan menghanguskan. Namun apinya selalu terlihat indah dan menghangatkan.
Nona itu tergeletak tanpa daya. Ini pertama kali ia mengalaminya. Pertama kali ia merasakan kehangatan laki-laki dalam bentuk yang sebenar-benarnya. Dan Li Hiang adalah lelaki sejati. Belum ada seorang pun perempuan yang meninggalkan pelukannya dengan kecewa.
Air mata mengalir di pipi Kiong Ji, lalu menghilang bersama kehormatan terindahnya. Hampir semua wanita akan meneteskan air mata saat kehormatannya ia serahkan kepada lelaki yang bukan suaminya. Namun air mata itu adalah air mata keindahan dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. Air mata itu berarti mereka telah rela menyerahkan seluruh hidupnya kepada laki-laki di hadapannya. Air mata itu juga berarti mereka telah siap menghadapi apapun di dunia ini.
Dibutuhkan keberanian yang besar untuk menyerahkannya. Tetapi keberanian ini lahir dari sebuah kebodohan. Kebodohan yang manis!
Perempuan mana saja yang pernah mengalaminya, pasti memahami benar perasaan ini.
Li Hiang memeluknya erat. Membelai rambutnya. Memberitahukan kepadanya bahwa apapun yang terjadi, ia akan mencintai nona ini dengan segenap hatinya. Entah sudah berapa ribu kali ia membisikkan hal ini kepada orang yang berbeda. Entah sudah berapa ribu kali pula perempuan yang bahagia mendengarnya. Saat ini, apapun yang terjadi, bahkan jika langit runtuh sekalipun, perempuan manapun akan percaya sepenuh hati terhadap laki-laki yang membisikkannya.
Saat yang lebih indah selain melakukan hal ‘terindah’, bagi perempuan, adalah saat di mana laki-laki memeluk mereka dengan kehangatan dan perhatian setelah melakukan hal ‘terindah’ itu.
Dan Li Hiang memeluknya dengan penuh kehangatan, membisikkan kata-kata yang begitu indah. Memujinya dengan penuh ketulusan. Perempuan memang lebih mendengarkan bisikan ketimbang teriakan. Karena bisikan akan langsung sampai ke hati mereka.
Setelah sekian lama, akhirnya mereka beranjak dari situ. Li Hiang membantu si nona memakai baju. Ikut merapikan rambut si nona, mengikat pita sanggulnya. Membersihkan wajahnya yang penuh keringat, dan memberishkan bagian tubuhnya yang terkena debu dan dedaunan kering. Perhatian seperti ini justru membuat si nona semakin terpesona dan bertambah rasa hatinya. Dengan panas, diciumnya bibir Li Hiang.
Menerima ciuman itu, Li Hiang membiarkannya sebentar, lalu menarik kepalanya. Membuat si nona penasaran dan mengejar bibirnya. Tapi Li Hiang dengan sabar dan tersenyum, berkata “Kita harus segera pergi, mereka menunggu kita terlalu lama.”
Lalu tangannya menggandeng nona itu dan pergi dari sana.
Setelah kembali, mereka sudah membawa buah yang cukup banyak dan seekor babi hutan yang besar. Sikap mereka pun biasa-biasa saja. Li Hiang tetap tenang, dan si nona terlihat malu-malu.
“Mengapa kalian lama sekali?” tanya si kurus yang bernama, Lam Siu Kwi dengan sebal. Terlihat sekali api cemburu di wajahnya.
Li Hiang tidak memperdulikan pertanyaan nona ini, ia malah berbicara kepada Sim Lan.
“Babinya pintar berlari dan menghindar. Ia menggunakan pepohonan untuk membantu pelariannya. Lihat sampai kaki Kiong Ji pun berdarah” jelas Li Hiang.
Sadar kehadirannya tidak dianggap oleh Li Hiang, ia membanting kaki dan pergi dari situ.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Cin-Cin kepada Kiong Ji. Pertanyaan basa-basi karena ia sebenarnya tidak perduli perduli.
“Tidak apa-apa” kata Kiong Ji sambil menunjukan lukanya. “Tapi darahnya sempat mengotori beberapa bagian bajuku”
Tentu saja itu bukan darah karena luka. Hanya Li Hiang dan Kiong Ji yang tahu itu darah apa.
“Ya sudah, cepat kita kemas perbekalan ini” tukas Sim Lan.
Mereka sibuk membungkus buah-buahan ke dalam keranjang. Sedangkan Li Hiang menyembelih babi hutan itu dan mengiris-iris dagingnya. Lalu ia mengasapkan daging-daging itu dan membungkusnya dengan rapih. Setelah semuanya beres, mereka lalu berangkat dengan kereta. Kali ini justru Li Hiang yang duduk di muka sebagai kusir bersama Sim Lan.
Perjalanan dilakukan tanpa beristirahat untuk menghemat waktu. Agar mereka bisa sampai pada tujuan tepat sebelum tengah malam. Makan dilakukan sambil jalan. Li Hiang tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mendekatkan diri kepada Sim Lan.
Dengan caranya sendiri ia telah berhasil menaklukkan Sim Lan pula. Mereka menghabiskan perjalanan sambil bercerita dan bertatapan hangat. Bahkan Sim Lan kini sudah merasa nyaman untuk meletakkan kepalanya bersandar di pundak Li Hiang. Saat memasuki hutan lebat yang tertembus cahaya matahari, Li Hiang bahkan mencium keningnya. Awalnya Sim Lan cemberut. Tetapi tidak berkata apa-apa. Li Hiang menggenggam tangannya dan berkata, “Kau jangan marah, aku tidak ingin kurang ajar. Tetapi hatiku tak bisa menahan diriku untuk tidak mengagumi kecantikanmu. Dalam hidupku, aku belum pernah melihat seorang pun yang secantik kau.” Ucapan ini disampaikan dengan tenang dan sungguh-sungguh. Mata indah Sim Lan tak dapat menyembunyikan sinarnya, walaupun bibirnya cemberut.
Tidak ada perempuan yang tidak suka dibilang cantik. Tapi jika kau mengatakan bahwa ia cantik, ia akan memasang wajah cemberut untuk menutupi kesenangan hatinya. Jika kau mengatakannya berkali-kali, ia akan bosan. Kau hanya perlu menemukan takaran yang pas untuk memuji dan menggodanya.
Dan itulah yang Li Hiang lakukan. Sepanjang perjalanan ia menggoda nona itu. Bukan godaan kurang ajar, melainkan ejekan-ejekan lucu yang membuat nona itu tertawa. Perempuan sangat suka dengan laki-laki yang dapat membuatnya tertawa.
Hari menjelang sore, matahari tenggelam di ufuk barat. Langit kemerah-merahan dan dunia perlahan-lahan menjadi gelap. Mereka memasang lentera untuk menerangi perjalanan. Sebuah perjalanan panjang yang penuh cerita tentang manusia.
Li Hiang memang tidak pernah kehabisan cerita dan candaan. Sim Lan pun sangat menikmati kedekatannya saat itu. Lalu dengan tiba-tiba Li Hiang mengeluarkan selembar kertas dari balik bajunya, “Apakah ini peta menuju Pek Swat Ceng?” tanyanya.
Sim Lan melihat sekilas dan mengangguk. Tanyanya, “Apakah peta ini yang tadi kau ambil dari mayat-mayat itu, Hiang-ko?”. Gantian Li Hiang yang mengangguk, lalu berkata, “Kalian kan tidak membutuhkan peta. Pasti ada yang membuatkan peta ini bagi orang luar. Entah bagaimana ketiga penjahat itu mendapatkannya”
“Selama ini tidak ada orang luar yang berkunjung ke perkampungan kami. Karena perkampungan itu letaknya sangat rahasia. Jika menerima tamu pun, subo (guru) hanya menerima mereka di Pavilliun Musim Dingin.” Jelas Sim Lan.
“Pavilliun Musim Dingin?” tanya Li Hiang.
“Itu sebuah bangunan kecil yang kami dirikan jauh dari perkampungan. Gunanya untuk menerima dan menjamu tamu.” Jawab Sim Lan.
“Tamu kalian dari mana saja?” kembali Li Hiang bertanya.
“Biasanya sahabat-sahabat subo. Atau utusan dari perguruan lain.” Jawab si Nona.
“Jadi selama ini, tak ada satu pun orang luar yang mengetahui markas kalian?”
“Benar. Sebelum penyerangan-penyerangan beberapa waktu yang lalu, tak ada seorang pun pihak luar yang mengetahuinya”.
“Dengan adanya peta ini, membuktikan bahwa ada pihak jahat yang sengaja membongkar rahasia letak perkampungan kalian. Peta ini entah bagaimana bisa tersebar, lalu menimbulkan gejolak besar di kalangan Kang Ouw (dunia persilatan)”.
Sim Lan melamun sedih. Mengingat nasib perkampungannya, tak terasa air matanya menetes. Li Hiang sambil memegang pipi si nona menghapusnya air mata itu dengan lembut. Katanya, “Aku dengan segenap pikiran dan tenagaku akan membantu kalian. Tenang saja.” Bisikan yang lembut untuk telah mampu menenangkan hatinya. Bahkan ia tak tahu sejak kapan bibir Li Hiang telah bersatu dengan bibirnya. Semua terjadi dengan tiba-tiba. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan yang menggelora. Ciuman itu halus lembut. Tidak terburu-buru, tidak memaksa. Tetapi justru menariknya ke dalam pusaran perasaan yang begitu dalam. Sim Lan tak pernah bisa menyangka bahwa sekuat apapun ia menahan dirinya, ia tidak mampu menahan bibirnya untuk mengecup dengan penuh hasrat seperti ini.
Ciuman sangatlah berbahaya. Ia adalah jendela menuju dunia yang tak terduga. Kecupan kecil ini bagaikan hujan rintik-rintik. Jatuh ke bumi satu persatu dan perlahan-lahan. Lalu tanpa diduga-duga berubah menjadi badai yang menyapu segalanya. Hasrat adalah tempat dimana kesenangan dan penyesalan menjadi satu. Ketika semua sudah terjadi, seseorang hanya bisa memilih, bahagia atau menyesal.
Sim Lan tidak menyesal.
Tidak ada seorang perempuan pun yang menyesal dikecup oleh Li Hiang. Bahkan jika Li Hiang mencacah tubuhnya menjadi potongan daging kecil-kecil pun, para perempuan ini tak akan menyesal.
Dalam satu kecupan saja, seorang wanita tahu apakah ia harus menyerahkan jiwa raganya kepada lelaki itu atau tidak. Bagi Sim Lan, jangankan jiwa raganya, jika harus memberikan jiwa raga orang lain pun ia bersedia mencarikannya.
Kereta kuda berjalan di dalam kegelapan malam. Tangan kanan Li Hiang mengendalikan kuda, sedangkan tangan kirinya memeluk Sim Lan dengan hangat. Di malam yang gelap itu, entah tangan kiri itu telah menyentuh bagian mana saja dari tubuh Sim Lan.
Gadis seumur dia, yang baru saja mengerti akan cinta. Apa yang tidak berani mereka korbankan? Cinta adalah kebodohan yang indah. Siapapun yang mengatakannya tentu sudah pernah mengalaminya.
Li Hiang tahu bagaimana menahan diri. Ia tahu bagaimana membuat perempuan penasaran. Jika kau tidak memberikan sesuatu kepada perempuan, ia akan berusaha mendapatkannya apapun yang terjadi. Justru ketika kau mengumbar pemberianmu, ia akan semakin tidak menghargainya. Mungkin karena inikah, perempuan tidak pernah menghargai lelaki yang mencintai mereka? Justru laki-laki yang menyakiti dan mengacuhkan mereka lah yang mereka rindukan.
Oleh karena itu, lelaki yang bijak tahu, ia lebih baik menyimpan perasaannya dalam-dalam. Ia lebih baik menyembunyikannya. Daripada kemudian perasaan itu tersia-siakan dengan percuma.
Malam semakin larut, perjalanan semakin panjang, cinta pun semakin membara.
Mereka pun sampai kepada danau tujuan. Di daerah pegunungan Himalaya memang terbentang banyak danau mulai dari kaki gunung, sampai pada daerah pegunungannya. Danau tempat mereka berhenti ini adalah sebuah danau yang tidak terlalu besar. Mereka lalu turun dan membongkar muatan. Sim Lan dan Li Hiang bersikap biasa saja seolah-olah tidak terjadi suatu apapun saat perjalanan tadi. Tetapi siapapun yang matanya jeli pasti akan dapat memperhatikan betapa mata Sim Lan semakin berbinar-binar dan pipinya memerah jika berdekatan atau berbicara kepada Li Hiang.
Saat Li Hiang menurunkan beberapa barang, baru disadarinya di depan sana terdapat sebuah bangunan. Karena gelap ia tidak bisa melihat dengan jelas bangunan apa itu. Saat dilihatnya para nona ini menuju ke sana segera ia menduga, tentu bangunan itu adalah Pavilliun Musim Dingin.
Salju mulai turun di kegelapan malam. Bangunan itu memang tanpa penerangan. Baru saat mereka semua masuk, lentera-lentera lalu dinyalakan. Li Hiang kagum dengan betapa indahnya bangunan itu. Semua perabotan sangat bersih, dan tertata rapih. Semua keperluan untuk melayani tamu ada di sana. Mulai dari peralatan makan, sampai kamar-kamar. Segalanya tertata rapi, wangi, dan menyenangkan. Memang jika perempuan yang menata rumah, segala sesuatu akan tampak jauh lebih indah.
Perapian sudah menyala pula. Pavilliun ini memang sungguh menyenangkan. Li Hiang bahkan sudah dipilihkan kamar oleh nona-nona ini. Sebuah kamar yang paling besar yang tepat berada di tengah-tengah. Ia lalu menyiapkan air panas untuk membersihkan diri.
Di jaman itu, orang menggunakan sejenis baskom yang sangat besar yang terbuat dari kayu atau porselen untuk berendam. Kadang dibuat secara permanen dalam suatu ruangan khusus, tetapi ada juga yang bisa dipindahkan seperti baskom biasa. Namun ukurannya besar, dua atau 3 orang manusia bisa berendam di bak ini sekaligus.
Di bawah bak seperti ini biasanya ada sejenis tungku untuk menghangatkan air, jadi orang akan berendam saat api di tungku itu itu masih menyala. Begini pula yang Li Hiang lakukan. Ia sangat menikmati saat berendam sendirian. Rendaman bunga-bungaan khusus, membawa aroma yang menenangkan perasaannya.
Para gadis-gadis itu pun mungkin sedang membersihkan diri pula. Perjalanan tadi walaupun hanya dilakukan sambil duduk di kereta, ternyata menguras tenaga. Berendam di air hangat saat cuaca dingin seperti ini memang akan mengembalikan tenaga dan membuat tubuh lebih segar.
Li Hiang bersandar sambil memejamkan mata. Entah berapa lama ia memejamkan mata, air rendamannya terasa semakin menghangat, ia pun terlelap.
Sebuah suara lirih terdengar dari belakangnya. Suara sepelan itu saja sudah mampu membangunkannya. Saat ia menoleh, terlihat si nona kurus, Lam Siu Kwi, sudah berada di belakangnya.
Nona ini melepas baju tipisnya, dan membiarkan gaun indah jatuh di lantai. Dengan perlahan-lahan, tubuh yang tambah sehelai benang pun itu pun turut masuk ke dalam bak mandi Li Hiang. Tubuhnya bukan kurus, melainkan amat langsing. Bentuk tubuh yang digemari perempuan, namun kurang digemari laki-laki pada umumnya.
Saat ia masuk bak, harum keringat perempuan yang khas turut bercampur pula dengan aroma bunga-bungaan di air hangat ini. Membangkitkan perasaan dan gairah dalam diri Li Hiang. Tetapi walaupun jantungnya berdetak keras, wajahnya masih tampak tenang, bahkan tersenyum pun tidak.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Li Hiang.
“Aku ingin mandi bersamamu” jawab Lam Siu Kwi sambil tersenyum. Pipinya berubah kemerahan-merahan, matanya membesar.
“Kau tidak bisa mandi sendiri? Memangnya kau bayi berumur 3 tahun?” tanya Li Hiang ketus.
Dengan marah, nona itu membanting tangannya di air.
“Memangnya apa salah ku kepadamu sehingga kau memperlakukanku begitu buruk? Apakah wajahku jelek buruk rupa, sehingga menatapku saja kau begitu muak?”
Li Hiang tidak menjawab, tidak juga tersenyum seperti biasa. Ia membiarkan nona itu menumpahkan kemarahannya.
Matanya memerah, lalu beranjak pergi dari situ sambil menangis. Saat beberapa langkah dari bak, terdengar suara Li Hiang, “Kembali.”
Nona itu menghentikan langkahnya. Menoleh ke belakang dengan tidak percaya.
“Jika kau keluar dari pintu itu, aku tak akan mau kenal denganmu lagi” kata Li Hiang.
Si nona masih terdiam, “Kenapa kau begitu jahat kepadaku?” kali ini pertanyaannya begitu lirih.
Li Hiang menjawab dengan perlahan pula, “Karena aku takut, jika aku bersikap baik kepadamu, justru kaulah yang akan bersikap jahat kepadaku.”
Nona itu tersenyum sambil menangis, “Bagaimana aku tega berbuat jahat kepadamu?”
Ia tidak menerima jawaban Li Hiang. Karena ujung jarinya telah ditarik dengan lembut. Tubuhnya pun telah terhempas jatuh dengan lembut di air hangat beraroma bunga itu. Tubuhnya benar-benar milik Li Hiang saat itu. Siapapun tak dapat memiliki tubuh dan jiwanya, kecuali Li Hiang. Bahkan dirinya sendiri tak memiliki lagi tubuh dan jiwa itu.
Entah berapa lama mereka menikmati keindahan ini. Kenikmatan terindah dalam hidup sebagian besar manusia.
“Kau tidak boleh jahat lagi kepadaku” kata Lam Siu Kwi manja, sambil mencemberutkan bibirnya. Saat melakukan ini wajahnya terlihat lebih menyenangkan. Memang ada sebagian wanita yang jika ia semakin membuat wajahnya bertambah jelek, ia justru kelihatan tambah cantik, lucu, dan menggemaskan.
Li Hiang hanya mengangguk dan berbisik, “Iya, sayang”
“Kau benar-benar sayang kepadaku? Tidak mempermainkan aku?” matanya berbinar, tetapi bibirnya tetap mencibir.
“Kenapa kau bertanya seperti ini? Apakah janjiku saja tidak cukup?” tanya Li Hiang lembut.
“Aku tak percaya kepada janjimu. Sudah berapa perempuan yang kau tipu, lalu kau bunuh” matany mengejap membayangkan kekejaman yang dilakukan Li Hiang.
“Saat kau mendengar berita itu, apakah kau pernah bertemu denganku?” tanya Li Hiang tegas.
“Tidak” jawab Lam Siu Kwi.
“Saat bertemu, apakah kelakuanku persis seperti yang diceritakan?”
“Tidak”
“Lalu mengapa kau masih begitu tega menuduhku yang tidak-tidak?”
Si nona terdiam.
Sambil becanda, Li Hiang mencipratkan air ke wajah si nona. Ia lalu tersenyum dan berkata, “Jika ditanya, harap menjawab. Jangan membuatku panik dengan mengiramu berubah menjadi gagu”
Si nona tertawa. Tawa perempuan saat setelah cemberut adalah tawa yang paling menyenangkan untuk dilihat. Li Hiang memeluknya dan berkata, “Kembalilah ke kamarmu, aku tak ingin mereka curiga dan menuduhmu macam-macam”
“Aku tak perduli” jawab Lam Siu Kwi.
“Aku tahu kau tak perduli. Tapi justru aku yang perduli. Aku tak ingin mereka memperlakukanmu dengan buruk.”
Setelah berpikir sebentar, Lam Siu Kwi lalu bangkit dari bak itu dan memakai kembali bajunya. Sebelum ia melangkah pergi, Li Hiang menciumnya dengan sangat mesra.
Lalu bayangan si nona menghilang dari kamarnya. Li Hiang hanya tersenyum kecut. Ia tahu lembaran peta yang tadi berada di jubah merahnya sudah hilang.
0 Response to "EPISODE 2 BAB 9 KEBODOHAN YANG INDAH"
Posting Komentar