EPISODE 2 BAB 10 SALJU


Li Hiang memakai bajunya. Lalu memeriksa barang-barangnya, ada sebuah benda yang sangat ia jaga jangan sampai hilang. Dari balik sebuah kantong, tangannya menemukan barang yang dicarinya. Sebuah boneka mungil yang lucu. Boneka itu lalu dimasukkannya ke dalam saku bajunya paling dalam. Benda mungil itu mempunyai arti besar bagi dirinya.

Seringkali manusia sedemikian lucu, sampai-sampai hal kecil menjadi sedemikian penting dan hal besar sepenuhnya terabaikan.

Setelah itu ia mengendap-endap keluar dari kamarnya, menuju kamar Lam Siu Kwi. Ia ingin tahu apa yang dilakukan gadis itu terhadap peta yang hilang. Dengan hati-hati ia mengendap-endap. Pekerjaan mengendap-endap ini nampaknya sudah merupakan pekerjaan sehari-hari baginya. Ia begitu luwes, lincah, dan cepat. Lorong gang di mana kamar-kamar itu berdampingan yang sempit dan gelap, membantu menyamarkan pergerakannya.

Di dapatinya kamar itu sudah kosong. Ia berpindah meneliti kamar-kamar yang lain. Semua gadis itu telah beristirahat. Dengan menggunakan pandangannya yang tajam, ia memeriksa permadani di lantai. Jejak kaki nona itu yang basah masih meninggalkan jejak. Ditelusurinya jejak itu. Rupanya si nona tidak masuk ke kamarnya. Jejak kaki itu menuju ke kamar lain.

Kamar siapa?

Jejak itu mulai menghilang. Hilangnya tepat di di pertigaan gang. Jika lurus menuju ke kamar dua orang nona lain. Jika belok kiri menuju pintu luar. Dengan heran Li Hiang memeriksa ke luar. Tidak ada jejak. Lam Siu Kwi telah pergi meninggalkan tempat itu!

Otaknya bergerak cepat memikirkan segala kemungkinan. Apakah nona itu adalah pengkhianatnya? Ia mencuri peta itu untuk menghilangkan barang bukti. Tetapi mengapa ia pergi? Mungkinkah ia pergi karena telah tahu bahwa kedoknya telah terbuka.

Ia pergi tanpa berganti baju karena jejak kakinya langsung menuju kesini. Apakah sebelumnya ia sudah mempersiapkan perlengkapannya dan diletakkan disini? Sehingga saat keluar, tinggal mengambil saja?

Entahlah.

Li Hiang kembali ke kamarnya. Baginya hal yang terbaik sekarang ini adalah beristirahat sebanyak-banyaknya untuk memulihkan tenaganya.

Pagi-pagi sekali ia sudah terbangun saat mendengar ketukan perlahan di pintunya. Ia telah tahu apa yang terjadi,

“Apakah Kwi-ci (kakak Kwi) ada di sini?” tanya si pipi montok Hwi Giok.

Li Hiang menggeleng.

“Kwi-ci (kakak Kwi Ci) menghilang” jelas Hwi Giok.

“Sejak kapan?” tanya Li Hiang pura-pura tidak tahu.

“Entahlah. Sejak kami masuk ke kamar masing-masing, aku tidak melihatnya lagi. Pagi ini saat Cin-Cin ingin membangunkannya, ia sudah tidak berada di kamar”

“Mungkin ia keluar sebentar?” tanya Li Hiang lagi.

“Tidak mungkin. Kami semua sudah sepakat untuk bangun pagi-pagi sekali dan mengadakan rapat” tukas si nona.

“Baiklah. Kubantu kalian mencarinya” kata Li Hiang dengan tanggap.

Dengan bergegas ia bergerak ke luar mencari jejak Lam Siu Kwi dengan dibantu nona-nona yang lain. Setelah berjam-jam mencari jejaknya dan berteriak kesana-kemari, mereka akhirnya menyerah. Si nona menghilang!

“Apakah ia tidak pulang ke Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih)?” tanya Li Hiang.

“Tidak mungkin. Perintah guru jelas. Kami berlima harus mengawalmu sampai ke sana” kata Sim Lan. Ada bayangan kepanikan di wajahnya yang indah.

“Mungkin saja ia menemukan suatu petunjuk dan harus buru-buru melaporkannya kepada suhu kalian” kata Li Hiang mencoba menenangkan.

“Petunjuk apa?” mereka hampir serempak bertanya.

“Petunjuk tentang siapa pengkhianatnya” tukas Li Hiang.

Para nona saling memandang. Kemungkinan itu bisa saja terjadi.

“Atau bisa saja ia pengkhianatnya” tegas Cin-Cin.

“Bisa jadi” jawab Li Hiang sambil mengangguk perlahan-lahan.

Mereka semua kembali ke Pavilliun Musim Dingin itu. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri. Kelima orang ini memutuskan untuk menikmati makan pagi sambil membahas kejadian yang barusan saja terjadi.

“Sungguh tak kusangka Kwi-ci (kakak Kwi) lah pengkhianatnya” tukas Cin-Cin.

“Sebelum kita mengetahui kejadian sebenarnya, kita tidak boleh mengambil keputusan terlalu cepat” sanggah Sim Lan.

“Tapi jika tidak terjadi apa-apa, mengapa ia menghilang secara tiba-tiba?” tegas Cin-Cin.

Li Hiang sebenarnya ingin membuka permasalahan hilangnya peta, namun ia mengurungkan niatnya. Ia memilih untuk mencermati keadaan dulu sebelum mengatakan atau melakukan sesuatu.

Sim Lan menoleh kepadanya,

“Hiang-ko, apakah kau...tidak ada..hubungan dengan menghilangnya Kwi-moy (adik Moy)?” tanya Sim Lan.

Li Hiang menggeleng, katanya, “Jika aku ingin membunuh atau menghilangkan kalian, mengapa harus menunggu sekarang? Selama di perjalanan kan aku bisa membunuh kalian semua”

“Bisa saja kau memang menunggu agar kami membawamu ke Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Hijau) baru membunuh kami” sanggah Sim Lan.

“Lalu mengapa aku harus membunuh Lam Siu Kwi sekarang?”

“Karena....ah...aku tidak tahu...bisa saja karena ia mengerti rahasiamu! Atau kau memaksanya melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukannya!”

“Lan-moy (adik Lan), kau sedang panik, semua tuduhanmu tidak berdasar. Kau boleh menuduhku sombong, tapi aku jamin, aku tak perlu memaksa wanita untuk melakukan hal yang tidak ingin mereka lakukan.” Jelas si Jubah Merah.

Jauh di dalam hati masing-masing nona itu, mereka paham betul apa yang Li Hiang maksudkan. Karena mereka tahu kata-katanya memang benar.

Sim Lan menutup wajahnya, air mata telah meleleh di pipinya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Dengan lembut, Li Hiang menyentuh pundaknya dan menenangkannya. Tak berapa lama, si nona cantik bermata indah ini akhirnya dapat menenangkan dirinya.

“Jika ada musuh yang datang, kita pasti akan tahu. Tapi nona Lam Siu Kwi menghilang dengan sendirinya, tanpa jejak pula. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu dan melihat perubahan” kata Li Hiang menenangkan.

Keempat nona itu memang tidak bisa melakukan apa-apa selain menanti. Li Hiang sendiri memikirkan beberapa kemungkinan yang mungkin telah terjadi. Lama berpikir, ia masih belum dapat memastikan kemungkinan mana yang benar-benar terjadi.

Hari menjelang sore dan si nona langsing yang cantik itu masih tetap menghilang. Seharian mereka semua duduk di ruang tengah Pavilliun yang indah itu. Selain untuk menenangkan pikiran, duduk bersama-sama seperti ini berguna sebagai pertahanan jika ada musuh tak terduga. Karena masing-masing orang yang ada di sini semuanya mencurigakan!

Suasana di sana hangat, walaupun di luar hujan salju turun rintik-rintik. Perapian di ruang tengah itu diatur dengan baik sehingga panasnya menjalar ke seluruh ruangan. Masing-masing termenung dengan pikirannya sendiri-sendiri.

Di tengah suasana sepi seperti ini, segala gerakan yang terjadi di luar akan cepat dapat diketahui dari dalam. Letak Pavilliun yang sedikit lebih tinggi dari daerah sekitar, memberi pandangan yang luas dan keutungan tersendiri. Selain sebagai rumah peristirahatan, Pavilliun ini sebenarnya adalah sebuah benteng yang bagus.

Dengan pendengarannya yang tajam, Li Hiang mendengar sesuatu di luar sana. Hari telah menjelang gelap, dan salju telah menutupi tanah. Gerak langkah kaki di salju. Li Hiang bangkit berdiri. Ke empat nona yang sedang duduk-dudukan itu pun ikut berdiri. Rupanya mereka kemudian mendengar langkah-langkah ini. Serentak mereka bergegas menuju jendela untuk mengintip ke luar.

“Guru!”

Rombongan yang terdiri dari 3 orang itu ternyata adalah rombongan Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih). Li Hiang dapat merasakan perasaan cemas ke empat nona yang telah berlari keluar menyambut guru mereka. Ia sendiri mengikuti mereka dari belakang sambil berjaga-jaga. Segala kemungkinan bisa terjadi.

“Guru, murid memberi salam!” kata keempat nona itu serempak sambil berlutut.

“Bangkitlah” jawab sang guru.

Pandangan sang guru tertuju kepada laki-laki di belakang ke empat muridnya itu. Setiap perempuan yang memandang Li Hiang pasti akan memiliki pandangan seperti ini. Pandangan kagum sekaligus tak percaya bahwa ada orang setampan itu di kolong langit ini.

Li Hiang memberi salam duluan, “Cayhe (Saya) Li Hiang, memberi hormat kepada Cengcu (ketua perkampungan)” katanya sambil menjura.

Sang guru yang melihat keadaan Li Hiang yang tidak terikat dan bergerak dengan santai dan tenang, dapat memahami bahwa orang ini bukanlah tahanan seperti yang direncanakannya. Ia lalu bertanya,

“Apakah cayhe (saya) sedang berhadapan dengan Si Jubah Merah yang tersohor itu?”

“Nama cayhe Li Hiang. Tapi orang-orang memang suka menjuluki cayhe dengan nama Si Jubah Merah. Sebuah nama kosong belaka, sungguh tidak pantas terucap oleh bibir Cengcu (ketua perkampungan) yang terhormat” jawab Li Hiang sambil menunduk sopan.

Sang guru yang ternyata masih sangat cantik walau sudah tua itu hanya mengangguk sambil tersenyum sinis,
“Sudah mampu menaklukkan murid-muridku, tentu saja bukan nama kosong” tukasnya.

Dalam hati Li Hiang ingin tertawa. Murid-murid pingkan dan kemayu seperti ini mana bisa dibanggakan? Tapi di luaran wajahnya tetap tenang dan penuh hormat. Katanya, “Sesungguhnya justru cayhe yang merasa takluk oleh murid-murid Cengcu. Karena itulah cayhe tunduk dibawa kesini”

Sang guru tersenyum, “Bagus. Setidaknya kau bukan orang yang suka menjilat”

Li Hiang memang pintar memilih kata-kata. Dengan mengatakan “merasa takluk”, Li Hiang seperti mengatakan bahwa ia “tidak takluk”, hanya “merasa” saja. Jika diadu sungguh-sungguh tentu saja ia sanggup mengalahkan nona-nona ‘mungil’ ini.

“Eh, kemana Siu Kwi?” tanya sang guru.

“Guru sebaiknya masuk dan beristirahat dulu” kata Sim Lan, yang diikuti dengan anggukan kepala sang guru.
Setelah masuk dan melepas mantelnya, tampak lah tubuh semampai sang guru yang sintal dan menggairahkan. Menurut taksiran Li Hiang, umurnya mungkin sekitar 50an. Tetapi wajah dan tubuhnya seperti wanita berumur 30an.

Sang guru bersama kedua orang pengawalnya lalu memilih ruang tengah untuk duduk dan beristirahat. Murid-muridnya lalu menyiapkan makanan dan minuman. Li Hiang sendiri tidak tahu harus berbuat apa, ia hanya berdiri memandang pemandangan luar Pavilliun itu melalui jendela.

Sim Lan lalu melaporkan hasil tugas mereka, termasuk kejadian hilangnya Siu Kwi. Diceritakan secara ringkas dan jelas. Sang guru hanya manggut-manggut mendengar cerita itu. Setelah selesai, ia lalu bertanya, “Di mana pedang ungu itu?”

“Ini guru” kali ini Hwi Giok, si pipi montok, maju dan menyodorkan sebuah pedang.

Sang guru menerima pedang itu dengan mata berbinar. Di keluarkannya pedang itu dari sarungnya. Cahaya ungu merona keluar dari badan pedang yang berwarna perak menyala.

“Pedang ini palsu!” lalu pedang itu dibantingnya.

Dengan marah ia menoleh ke Li Hiang, “Pedang asli masih berada padamu, bukan?”

Li Hiang hanya mengangguk.

“Serahkan padaku!” perintah sang guru cantik ini.

Si Jubah Merah tersenyum, “Baik” katanya tenang.

Tapi ia tidak melakukan apa-apa, pandangannya malah kembali ia tujukan ke luar jendela. Seolah sang guru dan murid-muridnya tidak pernah berada di hadapannya.

Setelah menunggu beberapa saat sikap Li Hiang tidak berubah, dengan sang guru membentaknya, “Serahkan pedang itu sekarang!”

Li Hiang hanya menoleh dan tersenyum, “Aku akan memberikannya kepadamu jika saatnya tiba”. Kata-kata itu tenang dan dalam. Seperti memerintah. Sang guru seolah-olah tersihir menjadi patuh, ia hanya menjawab, “Baiklah”

Ketenangan, rasa percaya diri, sikap, dan ketegasan, adalah unsur utama yang paling menarik dari laki-laki. Seluruh unsur inilah yang paling membuat perempuan tertarik dan merasa penasaran. Li Hiang sudah lulus pelajaran ini. Ia sangat ahli di bidang ini.

“Cengcu beristirahatlah. Aku telah berjanji, dan janjiku selalu ku tepati” ujar Li Hiang.

“Mulut lelaki mana pernah bisa dipercaya?” kali ini Cin-Cin yang menukas.

“Mulut laki-laki bernama Li Hiang pasti bisa dipercaya!” jawab Si Jubah Merah sungguh-sungguh. Melihat ketegasan dan ketenangan ini, mau tidak mau mereka tunduk juga.

Dengan segala pesona, ketampanan, dan pembawaannya, Li Hiang telah berhasil menguasai kumpulan guru dan murid ini hanya dengan kata-katanya. “Bukankah Cengcu sekalian sedang dalam pelarian dari kejaran musuh?” tanyanya.

Sang guru hanya bisa sedikit terhenyak, lalu mengangguk dan mengiyakan.

“Apakah Pek Swat Ceng sudah hancur?” tanyanya.

“Tidak” jawab sang guru tenang.

“Lalu mengapa Cengcu kemari?”

“Kehadiranku di sini justru untuk memancing para musuh datang ke mari” jawabnya tenang.

“Ahhh” Li Hiang hanya bisa tersenyum dan tertawa. “Rupanya cayhe harus mengakui kelihayan dan kepintaran Cengcu”

“Hmm” hanya itu yang keluar dari bibir sang guru.

“Cengcu ingin menggunakan cayhe untuk mengalahkan musuh-musuh itu. Betul tidak?” tanya Li Hiang.

“Benar sekali”

“Dan Cengcu yakin bahwa cayhe akan membantu menghadapi karena Cengcu memiliki sebuah benda yang cayhe cari-cari?” tanya Li Hiang.

“Benar lagi”

“Cengcu yakin pula bahwa cayhe tak akan membunuh cangcu sekalian guru dan murid, karena hanya Cengcu lah yang tahu di mana letak benda yang cayhe cari?”

Sang guru hanya mengangguk, lalu menjawab “Kau memang seorang yang cerdas”

Li Hiang tertawa.

“Walaupun cayhe bukan orang paling sakti di dunia persilatan, rasanya cayhe pun bukan orang lemah. Tapi jika menghadapi keroyokan banyaknya tokoh-tokoh persilatan yang nanti akan datang kemari, rasa-rasanya jika Li Hiang membelah diri menjadi 10 orang pun belum tentu bisa mengalahkan mereka”

“Kau tak perlu mengalahkan mereka. Kau hanya perlu mengalihkan mereka” jawab sang guru tenang.

“Oh?”

Sang guru tersenyum manis.

Li Hiang bertanya, “Apakah Cengcu akan memberikan barang yang cayhe cari itu dengan sukarela, lalu membiarkan cayhe yang gantian diuber orang-orang dunia persilatan?”

“Ah tidak. Barang itu terlalu berharga jika diberikan secara cuma-cuma” jawab sang guru penuh rahasia.
“Lalu?”

“Mengapa aku harus membeberkan rencanaku?” jawab sang guru sambil tersenyum.

“Haha. Baiklah. Aku tak akan bisa mengancammu. Lebih baik kau ku ajak minum arak saja” setelah berkata begitu, dengan santai Li Hiang maju dan duduk di hadapan sang guru. Para murid hendak mencegah, namun sang guru memberi tanda untuk membiarkan saja.

“Kalian para murid beristirahatlah. Besok adalah hari penentuan. Kumpulkan tenaga sebanyak-banyaknya”

“Subo (guru perempuan) biarlah teecu (murid) berjaga di sini. Siapa tahu orang ini punya rencana jahat” kata salah seorang murid yang tadi datang bersamanya.

“Tidak perlu. Patuhi saja perintahkku”

“Baiklah, teecu mematuhi”

Keenam murid yang ada di sana kemudian masing-masing masuk kamar. Masih ada beberapa kamar kosong yang bisa dipakai oleh kedua murid yang baru datang. Mereka sendiri merapikan dulu kamar untuk guru mereka sebelum menggunakan kamar sendiri.

Kini tinggal Li Hiang berduaan dengan sang guru.

Malam sudah datang. Tatapan mata mereka beradu. Harus diakui, perempuan yang sudah hampir setengah abad ini masih sangat cantik dan menggiurkan. Sebaliknya, ia sendiri belum pernah melihat lelaki setampan Li Hiang.

Mereka duduk berhadap-hadapan. Bersila di lantai, hanya dipisahkan sebuah meja kecil. Seguci arak berada di sana. Li Hiang menuangkkannya ke dalam cawan. Gerakannya tegas, tanpa ragu-ragu. Dengan lembut dan sambil tersenyum, ia lalu menyodorkan cawan itu kepada wanita di hadapannya. “Silahkan Cengcu”

“Kau pintar sekali melayani wanita” kata sang Cengcu.

“Wanita memang sukar dilayani keinginannya. Cengcu memuji cayhe terlalu tinggi” katanya sambil menuangkan sendiri arak ke dalam cawannya.

“Mari”

“Mari”

Mereka mengangkat cawan tinggi-tinggi lalu menenggaknya.

“Mohon maaf, cayhe (aku) belum mengetahui nama Cengcu” kata Li Hiang. Sebenarnya, seorang tamu menanyakan nama tuan rumah bukanlah hal yang sopan. Tapi ia tahu caranya. Ia mengerti bagaimana cara bersikap tidak sopan dengan amat sopan. Begitu pula sebaliknya.

Sang cengcu tersenyum, sambil memandang wajah Li Hiang dalam-dalam, ia berkata,

“Namaku Song Ling Ji”

“Bagus sekali nama cengcu” pujian dari mulut Li Hiang selalu terdengar merdu.

“Selain pintar melayani perempuan, kau juga pintar memuji perempuan” matanya tetap menatap wajah Li Hiang.

“Ada orang yang bilang, cayhe ini memang tercipta untuk menyenangkan hati perempuan. Entah perkataan ini betul atau tidak” katanya Li Hiang.

“Orang yang berkata begitu, pasti telah kau senangkan hatinya” tukas Song Ling Ji. “Orang yang kau senangkan hatinya tentu sudah tak terhitung lagi jumlahnya.”

“Orang yang cayhe lukai hatinya, rasa-rasanya jauh lebih banyak” saat berkata begitu mata Li Hiang seperti menerawang di kejauhan.

“Laki-laki seperti engkau mungkin memang ditakdirkan untuk menyakiti hati perempuan” kata Song Ling Ji.
“Ada yang bilang cayhe (aku) tercipta untuk menyenangkan, ada pula yang bilang cayhe tercipta untuk menyakiti. Entah sebenarnya cayhe masuk golongan mana?”

Kesedihan dan kesenangan adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Seseorang hanya bisa disakiti oleh orang yang menyenangkan hatinya. Jika ia sudah tidak senang, ia pasti sudah tidak perduli apapun yang orang itu lakukan. Manusia memang hanya bisa menyakiti hati orang yang mencintainya.

“Ku lihat kau pun menyimpan penderitaan yang cukup dalam.” Ucapan Li Hiang ini menusuk tepat di jantung hati Song Ling Ji.

Ia sedikit terhanyak, namun dalam sekejap ia telah mampu menguasai dirinya.

“Hanya orang-orang yang pernah terluka yang mampu menyelami penderitaan orang lain. Betul tidak?” tanya Song Ling Ji.

Li Hiang tidak menjawab. Ia memang tidak perlu menjawab.

Ia bangkit berdiri dan menarik tangan Song Ling Ji. Semua perempuan di muka bumi ini pasti menurut jika tangannya ditarik pergi oleh Li Hiang.

“Kau hendak membawaku kemana?”

“Ikut saja” jawab Li Hiang pendek. Perempuan memang suka dengan hal-hal yang rahasia. Semakin rahasia, hati mereka semakin penasaran.

Di luar salju telah turun dengan deras. Li Hiang menarik wanita itu pergi keluar. Dengan lembut ia menuntun wanita itu. Lalu mereka berhenti,

“Kau lihat salju-salju itu?” tanya Li Hiang.

Song Ling Ji mengangguk.

“Salju-salju itu seperti hatimu. Dingin, rapuh, namun putih bersih. Terlihat sangat indah, namun di saat yang sama terlihat kesepian.”

Entah bagaimana, Song Ling Ji merasakan matanya berair. Ia hanya bisa menghela nafas.

“Tapi musim dingin yang paling panjang dan penuh penderitaan pun pada akhirnya akan berganti musim semi. Salju akan mencair, dan bunga-bunga akan tumbuh berkembang lagi. Jika cahaya matahari datang dan menyinari, tempat yang paling dingin dan gelap pun akan berubah menjadi hangat dan bercahaya” kata Li Hiang.

Genggaman tangan Song Ling Ji semakin mengeras. Ia merasakan kehangatan tangan Li Hiang.

“Jika kau mau, kau bisa meninggalkan musim dingin dan beranjak ke musim semi. Cahaya matahari akan selalu menunggumu di sana”

Salju turun dan memenuhi rambut Song Ling Ji. Ia tidak bisa dibilang muda lagi. Tapi tak ada seorang pun yang bisa berkata bahwa ia tidak cantik. Masih sangat cantik. Wajahnya yang putih bersih memerah diterpa angin dingin pegunungan. Matanya masih bersinar cerah seperti seorang gadis pingitan yang bertemu kekasihnya untuk pertama kali. Walaupun mata itu dipenuhi air mata, mata itu tetap indah dan bercahaya.

“Apa maumu?” tanya Song Ling Ji.

“Aku hanya ingin kau bahagia”

“Kau tahu apa tentang kebahagiaan?” tanya Song Ling Ji lagi.

“Walaupun aku tidak begitu jelas tentang makna bahagia, setidaknya aku tahu persis apa itu penderitaan” jawab Li Hiang.

“Dan kau ingin memberikan kebahagiaan itu kepadaku?” tanya perempuan cantik ini.

“Jika kau pergi sampai ke ujung dunia untuk mencari orang yang dapat membahagiakanmu, kau tak akan pernah menemukannya. Kau hanya perlu mencari cermin. Karena sesungguhnya satu-satunya orang yang dapat membahagiakanmu adalah dirimu sendiri. Tetapi jika kau menginginkan seseorang untuk menemani perjalananmu, aku bersedia.” Kata-kata ini diucapkan dengan sungguh-sungguh, dengan polos, dan dengan kepercayaan diri yang amat kuat.

Song Ling Ji hanya bisa menutup matanya. Saat itu juga sukmanya telah melayang entah kemana. Bersama ciuman hangat seorang pemuda paling tampan yang pernah ditemuinya. Segala penderitaan hatinya pun seolah-olah terangkat seluruhnya dari jiwanya. Ketika ia benar-benar tersadar, tubuhnya telah tergeletak penuh peluh di atas ranjang di dalam kamarnya.

Ia tidak memakai apa-apa.

Li Hiang juga tidak memakai apa-apa.

Laki-laki dan perempuan yang sedang melakukan hal-hal seperti ini memang biasanya paling suka jika tidak memakai apa-apa.

Dan ketika semua ini selesai, yang tertinggal adalah pelukan hangat sepasang kekasih. Justru saat-saat seperti inilah, perasaan manusia berada di tingkat yang paling menyenangkan.

Li Hiang memeluknya dari belakang. Song Ling Ji menikmati sekali pelukan itu. Hal yang dirindukannya sejak puluhan tahun yang lalu.

Seseorang jika pernah terluka karena cinta yang terlalu dalam, memang kadang-kadang lebih memilih kesendirian selama ribuan tahun daripada membiarkan dirinya terluka lagi.

Sejak jaman dahulu, orang-orang seperti ini telah ada. Kelak di masa mendatang, jumlahnya tidak berkurang, malah selalu bertambah.

Orang-orang yang tidak pernah mengenal cinta sejati, selamanya tidak akan pernah mengerti dan memahami hal ini.

Apakah karena di dunia ini manusia selalu lebih suka dengan cinta yang sementara?

Sementara karena tidak ada. Sementara karena yang ditunggu tidak juga datang. Sementara karena yang disayang sedang pergi jauh. Sesuatu yang sementara, memang seperti namanya, ‘sementara’, memang tak akan bertahan lama.

Orang-orang seperti ini walaupun terlihat sangat bahagia, sebenarnya penderitaannya jauh lebih dalam dan menyakitkan.

Justru karena hal inilah, penderitaan di muka bumi seperti tidak pernah berakhir.

“Besok, jika musuh-musuhku datang, maukah kau menghadapinya bersamaku?” tanya Song Ling Ji lembut.
“Tentu saja”

“Aku merasa bersalah karena memanfaatkanmu” ujar Song Ling Ji

“Sebenarnya, apa rencanamu pada awalnya?”  tanya Li Hiang.

“Seperti yang kau bilang, aku berencana untuk mengatakan bahwa barang itu sudah kau rebut, agar musuh-musuhku mengubermu” kata Song Ling Ji.

“Lalu kenapa tidak kau akui tadi saat ku tanya?” tanya Li Hiang sambil tertawa.

“Perempuan bukan perempuan jika ia kalah bicara dengan laki-laki. Orang seperti kau seharusnya mengerti hal ini” kata Song Ling Ji manja sambil cemberut.

Tentu saja Li Hiang paham. Tapi ia juga paham, beradu mulut dengan perempuan adalah hal yang sia-sia. Cari terbaik adalah dengan membuat mereka mengakui sendiri perbuatan mereka. Dan tentang cara ini, Li Hiang sudah lulus seluruhnya.




Related Posts:

0 Response to "EPISODE 2 BAB 10 SALJU"

Posting Komentar