“Aku memikirkan sebuah hal yang mengherankan, sayang” Li Hiang telah menggunakan kata ‘sayang’.
“Apa itu, sayangku?” Song Ling Ji pun menggunakan sebutan yang sama.
“Aku harus menceritakan satu hal kepadamu dulu” jelas Li Hiang. Lanjutnya, “Sebelum Lam Siu Kwi menghilang, aku telah kehilangan sebuah peta di dalam kamarku”
“Kau yakin dia yang mengambil?” tanya si Cengcu cantik ini.
“Dari 10 bagian keyakinan, aku yakin 8 bagian”
“Memangnya itu peta apa?”
“Aku sendiri tidak yakin. Aku menemukan peta itu dari tubuh salah seorang dari Tiga Iblis Gunung”
“Oh, Sim Lan tadi sudah bercerita bahwa kau membunuh mereka.”
“Iya. Aku bahkan menunjukkan peta itu kepada Sim Lan”
“Apa kata dia?” tanya Song Ling Ji.
“Iya mengatakan bahwa peta itu adalah peta menuju Pek Swat Ceng (Perkampungan Salju Putih)”
“Ah, jadi letak perkampungan kami sudah tersebar di dunia luar”
“Ada satu hal yang mengherankan” kata Li Hiang
“Apa itu?”
“Jika itu adalah peta menuju Pek Swat Ceng, mengapa Lam Siu Kwi harus mencurinya?”
Song Ling Ji berfikir sebentar, lalu berkata “Benar juga”
Lanjutnya, “Apakah dia adalah pengkhianat yang selama ini membocorkan rahasia kami?”
“Bisa jadi. Mungkin di dalam peta itu ada beberapa petunjuk yang memperlihatkan keterlibatannya dalam pengkhianatan itu. Misalnya mungkin saja peta itu adalah tulisan tangannya”
“Benar. Bisa jadi. Aih.....aku tak pernah menyangka dia lah pengkhianat itu”
“Sebelum semua ini jelas, kita tidak boleh mengambil kesimpulan terburu-buru. Harus memperhatikan keadaan lebih jauh”
“Baiklah. Aku ikut maumu saja, sayang” sambil berkata begitu, ia memeluk Li Hiang dan menghujaninya dengan ciuman yang panas membara.
Malam itu adalah malam yang panjang bagi mereka berdua.
Kebahagiaan.
Terlihat sangat sederhana, namun sungguh amat sangat tidak sederhana. Terlihat tidak sederhana, namun sungguh sangat sederhana.
Pagi menjelang.
Li Hiang telah mempersiapkan dirinya. Ia telah selesai mandi air hangat, dan berpakaian. Semua dilakukannya sendiri tanpa manja meminta disiapkan. Bahkan ia telah menyiapkan roti-rotian untuk sarapan. Song Ling Ji terbangun oleh aroma wangi sarapan yang sudah disiapkan Li Hiang.
Dengan manja dan sambil malas-malasan, Cengcu cantik ini makan dengan disuapi oleh Li Hiang. Perempuan sangat ingin dimanjakan. Dan jumlah laki-laki yang mengerti hal ini di kolong langit mungkin bisa dihitung dengan jari.
“Kau sudah siap?” tanya Song Ling Ji.
Li Hiang menangguk, lalu katanya “Apa rencanamu, apakah ‘bunga’ itu memang berada padamu?”
Song Ling Ji bangkit dari sikap manjanya. Sikapnya kini serius dan bersungguh-sungguh.
“Aku akan memberitahukanmu di mana letak ‘Anggrek Tengah Malam’” kata sang Cengcu cantik.
Mendengar kata ‘Anggrek Tengah Malam’, betapa jantung Li Hiang berdetak kencang. Inilah benda yang dicari-carinya selama ini. Mengorbankan hidupnya hanya untuk menemukannya. Tapi walaupun di dalam hatinya ia tak dapat menahan kegembiraan, raut wajahnya tampak tenang-tenang saja.
“Kau tidak terlihat gembira” kata Song Ling Ji.
Li Hiang hanya tersenyum.
“Seluruh manusia di kolong langit ini berlomba-lomba mencari bunga ini. Dengan segala khasiatnya, bunga sakti ini mampu menjadikan manusia sebagai dewa atau dewi. Kenapa tampangmu biasa-biasa saja?” tanya Song Ling Ji.
“Aku dengar bunga itu dapat mempertahankan kecantikan dan kemolekan wanita sampai ratusan tahun lamanya. Aku curiga kau sudah pernah menggunakan khasiat bunga ini” kata Li Hiang.
“Aih, kau terlalu memuji. Memang dasar kau perayu wanita” walaupun bersungut-sungut, mau tidak mau wajah Song Ling Ji terlihat gembira dan tersipu malu.
“Sebagai ketua perkampungan, aku telah disumpah oleh para leluhur untuk tidak mempergunakannya. Seluruh murid Pek Swat Ceng (Perkumpulan Salju Putih) pun tidak tahu keberadaan bunga ini”
“Perkumpulan yang aneh” tukas si Jubah Merah.
“Memang. Tanaman itu telah menjadi rebutan orang sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Bahkan namanya telah menjadi serupa legenda yang tak dapat dipastikan kebenarannya. Khasiatnya mampu menambah kemampuan tenaga dalam seseorang hingga berlipat-lipat, mampu menyembuhkan segala penyakit yang tak tersembuhkan sekalipun, mampu membuat seseorang awet muda, bahkan memberikan umur sampai seratus tahun lebih. Itulah sebabnya menjadi rebutan orang selama ribuan tahun. Tanaman ini tersembunyi aman, terjaga oleh aku seorang. Baru beberapa bulan belakangan ini bocor keberadaannya. Aku heran, bagaimana kau bisa tahu bunga ini berada di sini?”
“Guruku pernah menceritakan rahasia ini kepadaku beberapa tahun yang lalu” jelas Li Hiang.
“Siapa nama gurumu?” tanya Song Ling Ji.
Li Hiang hanya menggeleng.
“Ah, rahasia? Baiklah, aku takkan memaksa” kata Song Ling Ji.
“Menurut pendapatku, di dalam perkampunganmu mungkin ada seorang pengkhianat yang menyebarkan rahasia itu” kata Li Hiang.
“Hmmm....eh, tapi jika kau telah mengetahui rahasia ini bertahun-tahun yang lalu, mengapa kau tidak segera datang merebutnya?”
“Karena saat itu aku belum membutuhkannya” jelas pemuda tampan itu.
“Belum?” setelah berpikir sebentar, ketua cantik ini bertanya lagi, “Apakah karena sekarang kau sedang sakit?”
“Bukan aku yang sakit. Tetapi seseorang yang benar-benar ku sayangi yang sedang menderita sakit” jelas Li Hiang.
“Siapa dia? Istrimu kah? Atau kekasihmu?”
“Dia seseorang yang sangat berharga bagi hidupku. Aku rela mengorbankan seluruh hidupku baginya” ujar Li Hiang.
“Seandainya aku adalah orang itu, maukah kau mengorbankan hidupmu pula?” tanya Song Ling Ji sungguh-sungguh.
“Tentu saja” Li Hiang mengangguk tegas.
“Sayangnya, aku bukan orang itu” tak terasa matanya memerah. Pertemuan ini baru semalam, tetapi hati dan jiwanya telah menjadi milik Li Hiang sepenuhnya. Entah berapa banyak hati dan jiwa perempuan yang sepenuhnya menjadi milik seorang laki-laki dalam semalam.
Sesungguhnya seorang perempuan jika telah mencintaimu, saat itu juga ia rela memberikan seluruh hidupnya kepadamu.
Tetapi saat cintanya menghilang dan hatinya berubah, maka ia seolah-olah berubah menjadi seorang asing yang tak kau kenali lagi.
Memang tak ada seorang perempuan pun yang benar-benar kejam. Yang ada hanyalah perempuan yang berubah hatinya.
Cerita ini bukan cerita baru di dalam hidup manusia.
Song Ling Ji menatap wajah Li Hiang dengan penuh cinta dan hormat.
“Orang-orang di muka bumi ini menganggapmu sebagai seorang bajingan. Sesungguhnya kau seorang baik dan setia. Kau hanya terlalu baik kepada semua perempuan yang kau temui”
Li Hiang hanya diam. ‘Terlalu baik’ itu tidak enak. ‘Terlalu baik’ itu menyakitkan. Ia sesungguhnya telah berhenti menjadi ‘terlalu baik’ kepada orang lain.
“Jika nanti semua telah terjadi, mau kah kau mengenangku? Menyimpan rapat-rapat kenangan kita berdua, walau hanya sebentar, sesungguhnya saat itu adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupku” tak terasa air matanya meleleh.
Air mata perempuan, kadang terlihat indah. Apakah karena keindahan ini, laki-laki begitu sering menyakiti perempuan? Agar sekedar dapat melihat air matanya.
Ataukah karena keindahan ini, perempuan begitu sering menggunakannya agar setiap hati laki-laki bertekuk lutut di hadapannya?
Entahlah. Urusan manusia begitu banyak. Urusan hati justru jauh lebih banyak lagi.
“Tak akan ada sedetik pun yang terlewatkan. Tak ada sedetik pun yang terlupakan. Seseorang boleh datang dan boleh pergi dalam kehidupan orang lain. Tapi kenangan pasti membekas dan menorehkan ceritanya tersendiri”
Kadang-kadang, kenangan adalah sesuatu yang jauh lebih berharga ketimbang cinta itu sendiri.
“Baiklah. Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Asalkan kau berjanji, di dalam hidupmu, di dalam hatimu, terdapat sebuah ruangan kecil yang kau kosongkan bagi namaku. Di mana kau menemukan kebahagiaan dan kedamaian, aku sudah cukup berbahagia.” Kata perempuan cantik ini.
Ia lalu berdiri. Merobek seutas kain dari pakaiannya lalu menuliskan sesuatu. Rupanya ia menggambar sebuah peta. Dengan terang dan jelas, ia menunjukkan di mana bunga ‘Anggrek Tengah Malam” itu berada.
Li Hiang mengangguk mengerti. Setelah penjelasan itu selesai, ia mengecup bibir Song Ling Ji. Kecupan terakhir. Segala sesuatu yang terakhir memang selalu berharga. Demikian juga kecupan terakhir. Rasanya akan membekas di jiwa manusia selamanya.
Kecupan ini lama, namun tak lagi membara. Segala nafsu telah menghilang lepas entah kemana. Yang tertinggal hanya perasaan cinta yang dalam.
Lalu perpisahan pun tiba.
Perpisahan yang datang ke dalam sebuah perasaan cinta yang dalam. Adakah yang lebih menyedihkan dari hal ini?
Seperti pertemuan, perpisahan pun adalah takdir. Manusia kebanyakan mengingat pertemuan, tanpa pernah mau menghargai perpisahan. Padahal berpisah pun sama berharganya dengan bertemu. Bahkan jauh lebih berharga.
Karena walaupun pertemuan mampu merubah hidup seseorang, perpisahan justru jauh merubahnya dengan lebih dalam. Memberi seseorang pengertian akan hidup. Memberi arti kepada kenangan.
Karena kenangan sesungguhnya hanya akan berharga jika ada perpisahan.
Maka mereka pun berpisah. Tidak perduli apakah kedua orang ini suami-istri atau bukan, kekasih atau bukan, sahabat atau bukan, perpisahan selalu menggetarkan jiwa.
“Sebelum kau pergi, totoklah aku. Lalu totoklah semua murid-muridku” pinta Song Ling Ji.
Li Hiang memandangnya dengan penuh tanya. Perempuan cantik itu berkata,
“Jika musuh-musuhku datang, aku akan berkata bahwa kau telah menotokku, dan kau pergi sambil membawa peta keberadaan ‘Anggrek Tengah Malam’.”
“Baiklah. Jadi kau ingin mereka benar-benar mengejarku?”
“Aku ingin kau mendapatkan bunga itu. Lalu pergi dan menemukan kekasihmu dan menyembuhkannya. Tapi aku ingin kau berkorban pula untukku. Dengan mengejarmu, aku ada kesempatan untuk menyingkir dan menyelamatkan anak buahku. Jika bunga itu telah berada di tanganmu, para musuh tidak akan menganggu lagi Pek Swat Ceng”
“Aku telah berjanji untuk memberikan pedang ungu kepadamu, maukah kau...?” belum selesai Li Hiang bicara, Song Ling Ji telah memotongnya, “Aku tidak pernah menginginkan pedang itu. Aku hanya inginmenggunakanmu melawan musuh-musuhku. Tapi setelah bertemu, aku tahu hatiku telah menjadi milikmu”
“Mengapa tidak kau berikan saja bunga itu kepada salah seorang musuhmu? Bukankah dengan begitu mereka akan saling menghancurkan” kata Li Hiang.
“Aku hanya memberikan bagian paling berharga dalam hidupku kepada orang yang ku cintai. Apakah penjelasanku sudah cukup?”
Li Hiang mengangguk, “Lebih dari cukup”
Tangannya bergerak menotok perempuan cantik itu. Lalu ia membisikkan bagaimana cara membuka totokan itu.
Lalu mata mereka saling memandang. Pandangan ini mungkin untuk yang terakhir kalinya. Laki-laki yang pergi demi mengejar impian hidupnya, dan perempuan yang rela melepasnya pergi dengan penuh setia dan percaya. Di dunia ini tidak ada yang lebih mengharukan selain pemandangan ini.
Jauh di hati masing-masing, mereka tahu, mereka berdua mungkin akan mati tanpa pernah bertemu kembali. Tapi masing-masing menghadapi perpisahan ini dengan kegembiraan yang menyedihkan. Karena mereka tahu, masing-masing mengorbankan dirinya demi satu sama lain.
Jika di dalam hidupmu kau sanggup melakukan hal ini satu kali saja, maka kau baru pantas mengaku sebagai manusia.
Lalu ia pergi.
Bayangan merah itu menghilang dari hadapannya. Air mata Song Ling Ji menetes dengan deras, tapi bibirnya menyungging senyum bahagia.
Kebahagiaan yang menyedihkan.
Hanya mereka yang telah mengalaminya yang betul-betul memahami artinya.
Song Ling Ji memahaminya.
Li Hiang pun memahaminya.
Oleh karena itu Li Hiang bergerak tanpa ragu-ragu. Ditotoknya seluruh murid-murid yang berada di sana. Dengan gerakannya yang sukar diikuti mata, tidak sulit baginya untuk menotok murid-murid itu satu persatu di kamar mereka masing-masing.
Lalu ia pergi menyusuri jalan kecil di belakang Pavilliun itu. Jalan kecil berkelok yang mengantarnya ke sebuah kecil.
“Gua ini adalah gerbang masuk menuju jalan di mana ‘Anggrek Tengah Malam’ disimpan” katanya dalam hati. “Hiang-Hiang, aku akan datang menyembuhkanmu. Tunggulah!”
Pagi masih gelap, cuaca masih dingin, bayangan Li Hiang telah menghilang dari dalam gua.
Song Ling Ji masih tak bergerak di atas tempat tidurnya. Ia telah memperhitungkan segalanya. Tak lama lagi akan banyak orang berdatangan kemari. Dan ia benar, dalam beberapa jam setelah Li Hiang pergi, saat terang tanah, ia telah mendengar suara di luar Pavilliun. Li Hiang menotoknya dengan sebuah totokan yang sangat sulit dibuka, tapi lelaki tampan itu telah memberitahukannya bagaimana cara membuka totokan itu. Dengan penggunaan tenaga dalam seorang ahli silat seperti dirinya, asal tahu rahasianya pasti dapat membuka totokan yang sulit itu.
Suara itu semakin mendekat, rupanya cuma ada satu orang yang datang.
“Aku Bwee Hua, datang memberi hormat” terdengar suara dari luar.
Bwee Hua? Siapa itu? Belum pernah ia mendengar tokoh bernama Bwee Hua sebelumnya.
“Silahkan masuk. Maaf kami tuan rama tak dapat menyambut tamu secara pantas” teriak Song Ling Ji dari dalam kamarnya.
“Maaf dengan siapa kami bicara? Apakah dengan Pek Swat Cengcu (Ketua Perkampungan Salju Putih) sendiri?” tanya Bwee Hua.
“Benar. Cayhe (saya) bernama Song Ling Ji”
“Baiklah. Mohon ijin” sambil berkata begitu Bwee Hua masuk ke dalam rumah indah itu. Pintunya tidak terkunci.
Dengan pandangan yang tajam, Bwee Hua memeriksa seluruh isi rumah itu. Setelah merasa aman dan yakin, ia lalu membuka suara,
“Maaf, di mana tuan rumah berada?”
“Aku berada di kamar paling kanan di ujung lorong. Silahkan datang” terdengar jawaban.
Bwee Hua beranjak kesana. Ia melangkah dengan hati-hati. Tapi pengalamannya dalam suasana seperti ini sudah terhitung banyaknya. Oleh sebab itu langkahnya ringan dan santai, seperti anak perempuan berjalan di toko pakaian. Ringan, enteng, dan gembira.
Saat membuka pintu pun ia berlaku hati-hati, tapi gerakannya gembira seolah-olah memasuki kamarnya sendiri. Begitu dilihatnya ada sesosok tubuh tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur, ia bertanya, “Cengcu?”
“Benar” jawab sang Cengcu. “Aku tertotok”
“Oh? Siapa yang melakukannya?” tanya Bwee Hua sambil tersenyum.
“Si Jubah Merah” jawab Song Ling Ji.
“Aih....laki-laki itu, sudah berapa perempuan yang dibuatnya tidak berdaya seperti ini?’ ia berkata sambil melangkah maju. Di luaran wajahnya tersenyum ramah, tapi seluruh tubuhnya telah bersiap-siap dengan segala perubahan yang ada. Di saat seperti ini, segala jebakan atau serangan tidak akan mempan terhadap Bwee Hua.
Ia adalah perempuan yang paling cerdas dan paling menakutkan di dunia ini. Segala ketenangan, pemikiran, dan perbuatannya telah terlatih melalui segenap pengalaman hidupnya.
Memang, pengalaman hidup seseorang lah yang mampu membentuk jiwanya.
Dengan hati-hati ia memperhatikan tubuh itu. Secara tiba-tiba ae melancarkan serangan yang sangat mematikan tepat ke jantung Song Ling Ji. Cengcu cantik itu memang belum sempat membuka totokannya, sebab itu tak ada yang bisa ia lakukan kecuali pasrah, dan mempercayakan nasibnya.
Dan kali ini ia benar. Serangan itu tiba-tiba berhenti tepat seujung kuku di titik jantungnya. Bwee Hua mengangguk puas dan berkata, “Kau benar-benar tertotok”
Lalu ia bertanya, “Di mana murid-muridmu?”
“Entahlah, mungkin di kamar masing-masing”
Bwee Hua cepat bergerak memeriksa. Ternyata benar murid-murid itu semua dalam keadaan tertotok. Ia lalu kembali ke kamar Song Ling Ji dan bertanya,
“Kemana Li Hiang pergi?”
Song Ling Ji tidak menjawab.
Bwee Hua tertawa. Saat tertawa, wajahnya yang cantik itu jauh bertambah cantik. Lalu tangannya bergerak. Dengan satu jarinya ia menyerang sebuh titik di telapak kaki Song Ling Ji. Serangan yang sangat tidak berperikemanusiaan, karena titik itu membawa penderitaan yang amat sangat bagi Song Ling Ji. Seolah-olah kakinya direndam ke dalam sebuah kuali berisi minyak yang amat sangat panas.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”
Teriakannya bahkan membahana ke segala penjuru tempat itu. Teriakan yang sangat memilukan.
Bwee Hua hanya tertawa, “Aku tak akan menghilangkan penderitaanmu sebelum kau memberitahukan ke mana Li Hiang pergi”
Teriakan Song Ling Ji masih berlanjut. Tak dapat dipungkiri bagaimana kekuatan hatinya menahan siksaan sedemikian berat.
“Kau tahu, ilmu yang barusan ku pakai bernama ‘Ilmu Totok Naga Api’” jelas Bwee Hua.
Sebagai seorang yang berkecimpung di dalam dunia persilatan, Song Ling Ji pernah mendengar tentang kedahsyatan ilmu ini, tapi sedikit pun tak pernah ia bayangkan bahwa ia sendiri yang akan mengalaminya.
Dengan segenap hati ia menahan penderitaannya. Teriakannya kini telah berubah menjadi bisikan lemah yang penuh kesedihan. Suaranya telah habis. Air matanya telah menetes dan bahkan mungkin telah mengering. Entah berapa lama ia bertahan dalam penderitaan ini.
Namun kekuatan seseorang dalam menerima penderitaan memang ada batasnya, akhirnya ia menyerah.
“Ba....baik...lah...a...ku...menye...rah...”
Bwee Hua lalu menotoknya lagi. Dalam sekejap penderitaan itu menghilang. Tapi Song Ling Ji tidak lagi punya kekuatan untuk melepaskan totokan seperti yang diajarkan Li Hiang. Ia kini hanya bisa pasrah.
“Ia...ia pergi mengambil ‘Anggrek Tengah Malam’”
“Nah, jika kau menjawab dari tadi kan kau tidak perlu menderita seperti ini Cengcu” desah Bwee Hua sambil tersenyum manis. Sebagai sesama perempuan, Song Ling Ji harus mengakui, inilah perempuan yang tercantik yang pernah ditemuinya. Bagi perempuan untuk mengakui hal ini, dibutuhkan kebesaran hati tersendiri.
Dalam ketidakberdayaannya ini, pelan-pelan Song Ling Ji mengumpulkan tenaga untuk membuka totokannya. Sedikit demi sedikit totokan itu mulai terbuka, namun ia tetap tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Dari luar kamar terdengar langkah. Alangkah kagetnya ketika yang muncul ternyata Sim Lan.
“Subo (guru)” kata Sim Lan.
Song Ling Ji akan menjawabnya, ketika ternyata disadari bahwa Sim Lan menyapa kepada Bwee Hua!
“Ka..kau...” hanya itulah kata-kata yang muncul dari mulut Song Ling Ji.
Sim Lan menjura dan memberi hormat kepada Bwee Hua.
“Bagus! Kau menjalankan tugasmu dengan baik. Aku telah membuka totokanmu dan kini kau bebas. Aku ingin menugaskan sebuah hal yang penting kepadamu”
“Teecu (murid) siap menerima perintah” kata Sim Lan dengan penuh hormat.
Bwee Hua menoleh kepada Song Ling Ji. “Kau tidak perlu kaget seperti itu. Sim Lan memang muridku sejak kecil. Dia kususupkan menjadi orang perkumpulanmu untuk mencari rahasia ‘Anggrek tengah Malam’”
“Jadi yang menyebarkan tentang rahasia perkumpulan kita adalah kau, Sim Lan? Yang menghilangkan Lam Siu Kwi juga adalah kau? Mengapa?” Song Ling Ji begitu marah, namun suaranya begitu lemah.
“Saat kusadari bahwa peta yang ditemukan oleh Li Hiang adalah peta hasil gambar tanganku, aku panik. Peta itu harus kurebut agar nantinya tidak ketahuan. Aku menyuruh Lam Siu Kwi untuk merayu dan mencuri peta itu dengan mengelabuinya dengan berkata bahwa peta itu harus diserahkan kepada kau. Sebagai pemimpin rombongan, kata-kataku pasti dipatuhinya. Dengan tanpa curiga ia membawa peta itu ke kamarku” jelas Sim Lan sambil tersenyum. Senyumnya pun cantik sekali. Bahkan hampir mirip dengan Bwee Hua!
“Kau lalu membunuhnya?”
“Tentu saja. Mayatnya kini berbaring tenang di atas langit-langit kamarku” senyum Sim Lan.
Begitu senyum itu hilang, Song Ling Ji sudah berkelebat dengan cepat. Ia telah mampu membuka totokan. Serangannya sangat dahsyat menuju ke kerongkongan Bwee Hua.
Bwee Hua adalah perempuan yang sudah sangat matang dengan segala intrik seperti ini. Oleh karena itu ia telah siap menerima segala perubahan dan jebakan apapun. Urusan akal-mengakali memang tidak ada seorang pun yang mengalahkan Bwee Hua!
Serangan Song Ling Ji disambutnya dengan bergerak ke samping. Ia sedikit menunduk lalu melepaskan sebuah tendangan maha cepat yang menyerang paha Song Ling Ji. Tanpa ampun Song Ling Ji terjengkang ke samping. Pada kesempatan itu, Sim Lan sudah maju memburu dan melancarkan serangan pedang yang dahsyat.
“Tunggu!” teriakan Bwee Hua menghentikan serangan Sim Lan.
Song Ling Ji ingin maju menyerang sekali lagi, tapi kekuatannya telah sirna karena sejak tadi menahan siksaan ‘Totokan Naga Api’, gerakannya menjadi lambat dan tak bertenaga. Dengan sekali gerakan, Bwee Hua kembali menghempaskannya ke tembok. Kali ini darah segar keluar dari mulut Song Ling Ji.
“Subo, sebaiknya perempuan bodoh ini dibunuh saja” tukas Sim Lan.
“Aku masih merasa ada keanehan” kata Bwee Hua.
Lanjutnya, “Jika Li Hiang memang memaksa dia atau memperalat dia agar mendapatkan letak daerah tempat bunga itu, tentu ia tak akan sesehat ini seperti pertama kali ku menemukannya”
“Tentu Li Hiang sudah menggunakan kekerasan dan perempuan ini pun melawan, jika dilihat dari betapa kuatnya ia menjaga rahasia. Kecuali jika Li Hiang telah menjatuhkan hatinya. Dengan rayuan mautnya Li Hiang pasti sudah berhasil memperalat dia agar mendapat peta keberadaan bunga itu”
“Lalu, jika peta itu sudah diberikannya sepenuh hati, mengapa Li Hiang harus menotoknya? Jika aku menjadi dia, tentu aku akan turut pergi mengambil bunga itu bersama Li Hiang. Mengambil khasiatnya bersama-sama lalu hidup bersama-sama”
“Ah aku tahu. Kau sudah memanfaatkannya. Kau rela membiarkannya pergi untuk mengambil bunga itu, sedangkan kau bertahan di sini, mencoba memberikan tipu muslihat agar orang yang datang percaya bahwa Li Hiang telah mendapatkan bunga itu. Lalu seluruh orang di dunia Kang Ouw akan mengalihkan perhatian kepada Li Hiang. Seluruh dunia akan mengejarnya, dan kau memiliki kesempatan untuk kabur dan menyelematkan dirimu sendiri”
“Tapi pengertian ini terlalu sederhana, dan terlalu ‘kejam’ untuk orang sepertimu. Kau pasti mempunyai rencana lain”
Bwee Hua berpikir dan diam sebentar.
“Ah aku tahu! Bunga itu palsu! Peta yang kau berikan kepada Li Hiang memang benar, tapi bunganya palsu. Kau sengaja mengalihkan perhatian orang-orang untuk mengejar Li Hiang, sedangkan kau bisa menyelamatkan diri dan menyelamatkan bungamu!’
“Eh, tapi, jika kau bisa menyelamatkan diri dan bungamu, mengapa sejak tadi kau tidak segera kabur? Hmmmm, apakah karena kau takut orang-orang itu akan tahu bahwa bunga itu palsu? Jika orang-orang tahu bunga itu palsu, kan memang sebaiknya kau menghilang sejak tadi?”
“Aha! Aku tahu sekarang! Kau memang ingin berada di sini seolah-olah kau telah mempertahankan hidupmu dan bunga itu dengan sepenuh hati, sedangkan bunga yang asli tersimpan dengan selamat di suatu tempat!”
Begitu Bwee Hua selesai bicara, Song Ling Ji telah membunuh dirinya sendiri. Seluruh darah mengalir dari semua lubang di tubuhnya. Cengcu itu memilih mati untuk menyimpan rahasia itu rapat-rapat!
“Aih, dia sudah mati, bagaimana mungkin kita mengorek keterangan lebih dalam, subo?” tanya Sim Lan.
“Aku sudah tahu ia bakalan bunuh diri. Walaupun aku menyiksanya dengan lebih kejam pun, ia pasti memilih mati daripada memberitahukan rahasia bunga itu”
“Jadi apa yang harus kita lakukan, subo?”
“Segera selidiki keberadaan bunga yang asli. Namun itu akan merupakan tugas yang panjang dan berat, sebelum itu aku membutuhkanmu untuk merayu seseorang”
“Siapa dia?”
“Dia adalah murid dari Tong Hong Siansing. Umurnya mungkin sedikit lebih tua darimu. Tapi ia memiliki banyak ilmu dan kemampuan yang bisa kita pergunakan di masa mendatang nanti” jelas Bwee Hua.
“Baiklah, subo. Siapa namanya?”
“Cukat Tong”
“Baiklah” saat berkata begitu, tiba-tiba ada seekor burung rajawali datang menghampiri melalui jendela.
Bwee Hua lalu menghampiri rajawali itu dan mengelusnya. Dari kaki rajawali itu, ia mengambil sebuah bungkusan yang ternyata berisi sepucuk surat.
Setelah membaca ia mengangguk dan tertawa senang. “Sudah mulai ramai!”
“Ada apa subo?”
“Orang-orang sudah mulai berkumpul di kaki bukit. Tak berapa lagi mereka mungkin akan sampai kemari?”
“Oh, siapa saja?”
“Bhiksu Hong Tam dari Siu Lim Pay, Pendekar Pedang Kelana Can Li Hoa, Pendekar wanita dari Go Bi Pay bersama seorang anaknya yang masih kecil, Singa dari Barat Gow Han Sing, Raja Golok Utara Sie Man Hok, seorang pendekar Bu Tong Pay yang belum ketahuan namanya, beberapa iblis tak berguna dari rimba hijau yang tak perlu disebutkan namanya, ada lagi beberapa tokoh hitam yang masih bergerak dalam kegelapan yang perlahan-lahan menuju kemari. Dan tak lupa, yang paling seru, sepasang suami istri keluarga Suma yang mencari anaknya”
0 Response to "EPISODE 2 BAB 11 KEBAHAGIAAN YANG MENYEDIHKAN"
Posting Komentar