EPISODE 2 BAB 14 PERTARUNGAN DI GUNUNG SALJU


“Sim Lan, kau harus segera menemui Can Li Hoa, pendekar pedang kelana. Katakan bahwa nyonya Suma sedang bertarung mati-matian di bawah sini melawan Bwee Hua. Usahakan agar ia kembali bersamamu ke sini, Jika mereka tidak menemukan nyonya Suma, katakan bahwa mungkin nyonya itu sudah mengejar Bwee Hua, karena kau melihat Bwee Hua membawa Suma Sun. Sampai di bawah sekali, ada orang-orang kita siap melayani mereka. Begitu pertarungan di mulai, kau harus bersiap-siap menghilang. Ada orang yang akan membantumu nanti”

“Baik. Suhu”

Setelah Sim Lan berangkat, Bwee Hua dan Gouw Han Sing pun menyesulnya. Cuma kali ini mereka memilih masuk ke hutan di samping jalan setapak di dekat pavilliun itu dan bersembunyi di sana. Untuk urusan bersembunyi ini Bwee Hua memang sudah sangat ahli.

Setelah menunggu cukup lama, ternyata Sim Lan berhasil. Dari kejauhan ia terlihat berlari bersama Can Li Hoa, dan Hong Tang-thaysu.

Bwee Hua tersenyum puas melihat kerja murid kesayangannya itu. Setelah bayangan mereka menghilang, dengan cepat ia pergi ke arah pavilliun. Mencoba mengikuti jejak Li Hiang dan Suma Tian, serta nona dari Go Bi-pay itu.

Sim Lan memang berhasil. Sejak kecil ia telah dilatih sendiri oleh Bwee Hua. Tipu menipu, muslihat, serta akal-akalan keji memang adalah senjata utama Bwee Hua.

Ketika sampai di tempat semula, Sim Lan melakukan hal yang diperintahkan Bwee Hua, mengatakan bahwa nyonya Suma mungkin sudah mengejar Bwee Hua ke bawah.

Kedua orang ini, Can Li Hoa serta Hong Tong-thaysu bukanlah orang-orang baru dalam dunia persilatan. Pengalaman mereka sudah sangat matang dalam pertempuran. Tetapi mereka orang-orang berhati lurus yang mengabdikan hidup memepelajari ilmu silat. Segala macam tipu muslihat keji tidak pernah terpikirkan dalam jiwa mereka yang putih bersih itu. Apalagi Sim Lan adalah seorang nona cantik yang lemah.

Di situlah memang kesalahan laki-laki. Justru nona cantik muda usia yang terlihat begitu polos dan tak berdosa, malah sebenarnya menyimpan rahasia dan kelicikan-kelicikan yang menakutkan.

Laki-laki yang tertipu perempuan jenis ini memang sungguh banyak. Laki-laki yang belum pernah tertipu perempuan jenis ini juga sama banyaknya.

Laki-laki yang tidak tertipu perempuan jenis ini, malah bisa dihitung dengan jari.

Mereka dengan sekuat tenaga menyusul ke jalan bawah gunung. Untuk kemudian menerima ratusan, bahkan ribuan serangan Am Gi (senjata rahasia).
Senjata seperti ini walau tidak berbahaya, juga tidak bisa dianggap remeh. Kedua orang yang namanya mungkin sudah patut diperhitungkan sebagai jago-jago terkemuka di jamannya, menerima serangan itu dengan tenang.

Tetapi di dalam hati mereka sungguh heran mengapa senjata ini disambitkan dengan kecepatan yang sangat tinggi, dan seolah-olah tidak ada habisnya.

Entah berapa lama baru serangan Am Gi itu selesai.

Begitu mereka menoleh, Sim Lan sudah melompat ke dalam sebuah air tarjun yang sangat dalam!

Air terjun itu seolah-olah membeku. Can Li Hoa ingin melompat juga, tetapi dicegah oleh Hong Tang-thaysu.

“Tayhiap, jangan. Ini sebuah adalah jebakan!”

Dengan mara Can Li Hoa menghambur ke berbagai jurusan tempat sumber Am Gi itu meluncur. Ketika sampai di sana ia hanya menemukan beberapa kotak aneh. Kotak itu tersebar di mana-mana, terikat di cabang-cabang pohon secara tersembunyi.

“Jadi kotak-kotak ini lah yang menyambitkan Am Gi (senjata rahasia) beracun itu” katanya.

“Hati-hati tayhiap (pendekar besar), siapa tahu serangan berikutnya akan datang lagi” kata Hong Tang-thaysu mengingatkan.

“Aih, siapa orangnya yang sanggup menciptakan senjata macam begini. Di dalam kotak ini mungkin terdapat semacam pegas yang sanggup melontarkan ribuan Am Gi” tukas sang Pendekar Pedang Kelana.

“Angkatan muda jaman ini sungguh telah maju pemikirannya. Menciptakan benda-benda yang sangat mengagumkan” puji Hong Tang-thaysu tulus.

“Thaysu, ku mohon thaysu segera kembali ke gunung di atas. Cayhe (aku) akan mencoba menemukan putriku”

“Baiklah. Hati-hatilah cianpwee (panggilan kepada yang lebih tua)”

Mereka berpisah.

Sampai ke ujung dunia pun pendekar tua ini mencari putrinya, ia tak akan pernah menemukannya.

Manusia yang tidak pernah menemukan apa yang dia cari, adalah manusia-manusia yang patut dikasihani.


Suma Tian memandang lelaki di depannya. Setelah sekian lama ia mencari jejaknya, akhirnya bertemu juga.

Lelaki itu memang sangat tampan, seperti cerita yang pernah didengarnya. Belum pernah ia melihat lelaki setampan itu.

Ia memakai jubah merah. Duduk sendirian di atas batu besar yang sudah hampir tertutup salju. Udara dingin seperti tidak berpengaruh pada dirinya sama sekali.

Di tangannya, ia menggenggam sebuah bunga.

“Kau yang bernama Li Hiang?” tanya Suma Tian.

Yang ditanya hanya diam. Lalu memandang sebentar. Ia tersenyum kecut, kemudian mengangguk.

“Aku datang ingin meminta kemurahan hatimu, lalu kemudian meminta nyawamu”

Perkataan ini sungguh aneh. Tidak kalah aneh dengan orang yang mengucapkannya.

Li Hiang tertawa, “Boleh ku tahu siapa nama tuan yang terhormat?”

“Namaku Suma Tian”

“Ah, keluarga Suma?”

Siapapun di kolong langit ini memang pernah mendengar nama ini. Tapi sangat jarang yang pernah bertemu langsung dengan salah satu pemilik nama ini.

“Jika kau menginginkan bunga ini, mohon maaf aku tak dapat memberikannya”
“Aku tidak ingin bunga itu. Aku hanya menginginkan sebuah pedang”

Li Hiang paham pedang apa yang dimaksud.

“Aku tidak bisa memberikannya kepadamu. Aku telah berjanji untuk memberikannya kepada orang lain” jawab si jubah merah.

“Siapa?” tanya Suma Tian.

“Aku tidak bisa memberitahukannya kepadamu”

“Ketahuilah bahwa anakku telah diculik oleh seorang wanita bernama Bwee Hua. Ia ingin menukar anakku dengan pedangmu” jelas Suma Tian.

“Jadi apapun yang terjadi, kau harus merebut pedang itu dariku?” tanya Li Hiang sambil tersenyum.

Suma Tian hanya mengangguk.

“Apakah kau pernah punya dendam kepadaku sebelumnya?” tanya Li Hiang lagi.

Suma Tian menggeleng, lalu berkata, “Manusia yang punya dendam kepadamu sudah tidak bisa dihitung. Tapi aku bukan salah satunya. Aku hanya ingin membantu mereka membalas dendam itu” jawab Suma Tian datar.

“Dendam seperti apakah gerangan?”

“Bukankah tidak perlu kujelaskan?” sahut Suma Tian.

“Apa maksudmu dendam beberapa orang tua yang anaknya kunodai? Atau dendam lelaki yang kurebut kekasihnya?”

“Dendam dari keluarga nona-nona yang kau bunuh” jawab Suma Tian singkat.

“Walaupun aku pernah membunuh orang, aku tak ingat pernah membunuh nona-nona”

“Seorang enghiong (ksatria) tidak akan berbohong menutupi dosanya. Kupikir kau tidak serendah ini” ujar Suma Tian.

“Walaupun aku bukan enghiong, aku tidak perlu malu mengakui dosaku” sahut Li Hiang.

Suma Tian menatapnya. Di lubuk hatinya entah kenapa ia percaya dengan ucapan lelaki berjubah merah di hadapannya ini.

“Sepanjang perjalananku mencari jejakmu, aku telah mendengar kabar bahwa semua nona yang pernah kau bawa lari, telah mati seluruhnya” jelas Suma Tian.

“Apa?” Li Hiang terbalalak tak percaya. Ia diam dan berpikir sejenak. “Lidah keluarga Suma, adalah lidah keluarga Suma, bukan?”

Lidah keluarga Suma memang lidah keluarga Suma. Tidak pernah berbohong dan selalu dapat dipegang kata-katanya.

Suma Tian mengangguk.

“Pasti ada orang yang ingin memfitnahku” kata Li Hiang masih sambil melamun.

Jika kau berbuat banyak kesalahan, orang yang membencimu akan sangat banyak. Tetapi jika kau berbuat kebaikan, orang yang membencimu akan jauh lebih banyak.

Manusia memang aneh.

Lin Hiang tersenyum, “Biarlah. Suatu saat aku akan mengetahui siapa pelakunya.” Lalu lanjutnya, “Nah, karena kau tidak punya dendam kepadaku, dan kau pun ingin meminta kebaikan dariku, bolehkan aku meminta sesuatu dari mu?”

“Silahkan”

“Ku lihat kau membawa sebotol arak”

Tanpa bertanya Suma Sun sudah melemparkan arak itu ke arah Li Hiang. Lemparan itu pelan, namun mengandung tenaga dalam yang luar bisa.
Li Hiang menangkapnya dengan enteng. Membuka tutup botol itu dan meminumnya.

“Arak bagus!” pujinya.

“Sisakan sedikit untukku. Kutemani kau minum” kata Suma Tian.

“Baik! Hahah” sambil tertawa botol itu dilemparnya pula. Dengan kekuatan tenaga dalam yang tak kalah dahsyat dengan lemparan Suma Tian.

Pendekar pedang itu menangkap botol itu dengan enteng pula. Masing-masing telah mampu menakar tenaga masing-masing.

Sebanding!

Pantas jadi kawan, pantas pula jadi lawan. Jika bisa menjadi kawan, kenapa pula harus menjadi lawan?

Suma Tian melompat ringan, lalu duduk di sebelah Li Hiang.

Mereka minum arak bergantian dari botol yang sama. Sifat mereka pun begitu sama.

Kadang-kadang memang ada sebagian orang yang kelakuannya sama persis. Orang-orang semacam ini biasanya menjadi sahabat yang sangat akrab.

Lama mereka minum. Menghabiskan arak sedikit demi sedikit. Sekadar menikmati persahabatan baru, yang pada akhirnya mungkin harus diakhiri dengan permusuhan.

Selama masih bisa menjadi teman, selama itu pula harus dinikmati.
Hari sudah beranjak gelap.

Dua orang laki laki duduk di sebuah batu yang sangat besar menikmati arak.

Hanya laki-laki dan peminum arak yang bisa menghargai pemandangan seperti ini.

“Aku telah berjanji menyerahkan pedang ini kepada seseorang, aku tidak bisa memberitahukan namanya kepadamu, karena aku khawatir kau akan membunuhnya” kata Li Hiang.

“Bagaimana jika aku berjanji untuk tidak membunuhnya?” tanya Suma Tian.

“Bagaimana jika ia tidak mau memberikannya?” Li Hiang balik bertanya.

“Aku pasti akan menemukan caranya” jawab Suma Tian.

“Baiklah aku percaya” lanjutnya, “Namanya Song Ling Ji, ia cengcu (ketua perkampungan) dari Pek Swat Ceng”

“Pek Swat Ceng? Hmmmm”

“Ada apa?” tanya Li Hiang.

“Aku menemukan beberapa mayat di bawah sana, di pavilliun kecil itu”

“Apaaaaaa?” dengan kaget Li Hiang segera beranjak dari situ, “Aku harus melihat keadaan mereka”

Saat mereka berdua berlari turun ke bawah, mereka bertemu dengan seorang perempuan.

Hok Lian Si.

“Si-moay (adik Si)?”

“Aku datang, Liang-ko (kakak Liang)”

“Kau....apa yang kau lakukan di sini? Mengapa membawa anak kecil pula?”
“Aku...aku..terusir dari Go Bi-pay” jawab nona itu.

“Mengapa?”

“Aku...hamil....”

Jawaban itu membelalakan mata Li Hiang.

“Apakah..dia..?” tanya lelaki itu sambil menuding anak yang digendong Hok Lian Si.

“Benar....dia..dia..anakmu”

“Hahaha...tidak mungkin!” bentak Li Hiang.

“Mengapa kau menyangkal darah dagingmu sendiri? Liang-ko?” air mata telah menetes di pipi Hok Lian Si.

“Hahahaha.....mengapa semua orang di dunia ini ingin memfitnah ku?!” ada kemarahan, ada kesedihan, ada ketidakberdayaan di dalam perkataan ini.
Tawanya membahana. Namun terdengar sangat menyedihkan.

“Liang-ko, kau jangan mengingkarinya. Aku menempuh perjalanan begitu jauh hanya untuk mencarimu” tukas Hok Lian Si.

“Kau perempuan jalang, tutup mulutmu!”

Sambil berkata begitu Li Hiang berlari turun ke bawah. Tapi Suma Tian mencegahnya.

“Kawan, kau jangan sampai lari dari kenyataan”

Teguran itu halus dan sopan, tetapi membangkitkan gelegak amarah di hati Li Hiang.

“Kau tahu apa? Apa urusannya aku denganmu?” bentaknya.

“Aku pernah minum arak denganmu. Bagiku kau adalah sahabatku”

Kata sahabat saja sebenarnya sudah cukup untuk menangkan hati laki-laki. Tapi entah ada apa yang timbul di pikiran dan perasaan Li Hiang sehingga ia begitu marah. Ia seolah-olah berubah menjadi seorang yang asing.

“Jika kau menahanku pergi, aku akan melawanmu!”

Ia menggerakkan tangannya. Ia mencopot sesuatu yang melingkar di pinggangnya. Ternyata itu adalah sebuah ikat pinggang kain yang selama ini selalu dipakainya. Di dalam kain yang membungkus itu ternyata tersimpan sebilah pedang.

Sebilah pedang ungu.

Pedang legendaris milik Tok Ho Kyu Pai.

Ia adalah pendekar pedang paling hebat yang pernah terlahir du kolong langit ini. Pedang lemas ini begitu tajam namun begitu lemas. Pedang itu masih ada di dalam sarungnya ketika kain pembungkusnya di buka.

Saat Li Hiang melolos pedang itu, terlihat warna ungu yang berbinar menyelimuti batang pedang yang berwarna keperakan itu.

Saat melihat pedang itu, hati Suma Tian mencelos juga. Melihat pedangnya, sama seperti melihat orangnya. Orangnya bernama Tok Ho Kiu Pai. Mendengar namanya saja hati pendekar manapun akan tergetar, apalagi melihat pedangnya.

Setiap pendekar pedang di manapun di dunia ini memiliki sifat yang hampir sama, selalu tertarik kepada ilmu pedang dan pedang. Ketika melihat pedang itu, darah Suma Tian bergejolak juga.

Tangannya pun kini sudah menyentuh pedang di pinggangnya.

“Majulah!” teriak Li Hiang.

Tak jauh dari sana, dua bayangan muncul. Bwee Hua dan Gouw Han Sing datang.

Masih dengan senyum yang manis, Bwee Hua menyapa,

“Aih ternyata aku belum terlambat. Baguslah!”

Perhatian Suma Tian hanya terpusat kepada pedang di hadapannya. Ia tidak mengenal kedua orang yang datang itu.

“Suma-tayhiap, ini anakmu kubawa dalam karung” lalu Gouw Han Sing pun mengeluarkan isinya. Terbelalak mata Suma Tian melihat anaknya yang kaku tak bergerak.

“Jangan khawatir ia cuma tertotok. Rebut pedang itu dan berikan kepadaku. Nanti ku tukarkan Suma Sun kepadamu”

Suma Tian tak perdulu, ia maju melangkah ke arah Bwee Hua.

“Jika kau maju selangkah lagi, aku akan membunuh anak ini.” Telapak tangan Bwee Hua telah menempel di kepala Suma Sun.

“Kalau kau menyakitinya seujung rambut saja, aku tak akan mengampunimu” ancam Suma Tian.

“Tidak perlu banyak bacot”, senyuum Bwee Hua, “Rebut dulu pedang itu baru bicara”

Dengan geram Suma Tian memandang Bwee Hua. Lalu ia seakan tersadar. Jalan menuju puncak gunung ini cuma memiliki satu jalur. Harusnya Bwee Hua bertemu dengan istrinya serta mertuanya dan Hong Tang-thaysu.

“Di..di mana istriku?” ada getaran yang terasa dalam ucapan ini.

“Sudah mampus” jawab Bwee Hua ringan sambil tersenyum.

Dengan marah Suma Tian menerjang Bwee Hua. Serangan pedang keluarga Suma adalah serangan pedang keluarga Suma. Tak ada satu orang pun yang bisa lolos dari kejaran pedang itu.

Tapi sambil tertawa Bwee Hua mengacungkan Suma Sun ke depan. Dengan serta merta serangan pedang itu berhenti tepat di depan hidung Suma Sun.

“Kau ingin memutus keturunan? Jika kau mati, dan anakmu mati, keluarga Suma akan musnah dari dunia ini” tawa dan katanya sungguh manis. Diucapkan seolah-olah bukan ancaman melainkan gurauan manis dari seorang kekasih.

Mendengar kata keturunan, Li Hiang kembali menjadi seperti gila. Ia tertawa lepas, “Hahahaha. Suma Tian, kau tak akan bisa mengalahkan tipu daya perempuan. Lebih baik kemari mengadu jiwa denganku. Jika kau menang maka pedang ini bisa kau tukarkan kepadanya”

Dari jauh terlihat pula Hong Tang thaysu sudah datang. Dari belakangnya, di kejauhan terlihat pula banyak sekali orang yang datang. Ada puluhan orang.
Suma Tian tak tahu lagi harus melakukan apa.

Ia hanya memandang Suma Sun dan berkata, “Jangan khawatir”

Suma Sun tak bergerak, wajahnya pun tidak menunjukkan apa-apa. Seolah-olah jiwanya sedang tidak berada di situ.

Suma Sun yang ini memang bukan Suma Sun yang dulu. Suma Sun yang ini adalah seorang anak kecil yang telah berubah seluruhnya. Batinnya, jiwanya, sudah bukan anak-anak lagi. Bahkan mungkin sudah bukan manusia lagi.

“Li Hiang, maafkan aku harus merebut pedang itu.”

Sebagai pendekar pedang ia tentu lebih memilih bertarung demi pedang itu ketimbang meminta baik-baik. Kemarahan dan keputusasaannya telah membutakan seluruh pikirannya.

Li Hiang mengangkat pedangnya ke depan. Di tangan kirinya ia mengeluarkan sebuah suling emas.

Seruling itu berputar-putar mengeluarkan suara berdengung yang menakutkan.
Suma Tian melangkah maju dengan perlahan. Di saat seperti ini satu gerakan saja akan menentukan hidup dan mati.

Tapi mereka masih diam tidak bergerak. Padahal jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah saja.

Dari kejauhan rombongan itu sudah datang pula. Hampir semuanya adalah orang ternama. Puluhan orang ini rupanya mencari Li Hiang!

“Hey penjahat mesum keparat! Ada kami seluruhnya di sini kau sudah tak dapat lari lagi”

Li Hiang memandang mereka semua.

“Kalian datang meminta pertanggungjawabanku?”

“Benar! Jika sudah paham, segara gorok tenggorokanmu sendiri!”

“Kalian semua dengarkanlah. Walaupun aku memang bejat, aku bersumpah bahwa aku tak pernah membunuh seorang pun nona yang terpikat denganku. Entah kalian mau percaya atau tidak”

“Pembohong busuk! Kami tidak percaya!” teriakan mereka serempak.

Orang-orang ini adalah orang-orang yang termasuk terkemuka di dalam dunia persilatan. Mereka dipimipin oleh seorang pendekar Bu Tong-pay.

Pendekar itu lalu berkata,

“Li Hiang, namaku Tan Hoat dari Bu Tong-pay. Kami datang mencarimu untuk menghukummu atas perbuatanmu. Jika kau mengaku tidak bersalah, maka yakinlah bahwa aku akan memastikan pengadilan yang layak kepadamu”

“Orang-orang Bu Tong-pay biasanya berpikiran luas dan terbuka. Jika hukumanku adalah hukuman mati, untuk apa pula aku menolak mengakuinya? Pada akhirnya aku pun akan mati di gantungan. Tapi kau, sebagai murid partai persilatan yang terhormat, bukankah kau berpegang bahwa omongan seorang enghiong harus bisa dipegang?”

“Benar” Tan Hoat mengiyakan.

“Mau kah kau percaya bahwa bukan aku yang melakukannya dan aku hanya difitnah?”

“Jika bukan kau yang melakukannya, aku berjanji untuk menyelidikinya untukmu. Tetapi sebelumnya kau harus menyerah dulu untuk kami bawa ke pengadilan”

“Aku tidak setuju! Orang itu harus mati di sini!” teriak salah seorang.

Yang lain pun menyahuti, “Ya! Harus mati disini! Harus!”

Teriakan ini semakin lama semakin membahana, sehingga Tan Hoat pun kesulitan menenangkannya.

Bwee Hua hanya tersenyum dalam hati melihat keramaian ini. Memang sebenarnya orang-orang ini, kecuali Tan Hoat, sebagian besar adalah anak buahnya.

“Pancung kepalanya disini! Pancung!”

Mereka adalah orang-orang terhormat. Ada yang merupakan ketua sebuah partak kecil, sebuah perguruan besar, pejabat pemerintahan, dan lain-lain.
Semua berteriak penuh amarah!

Lupa dengan kedudukan terhormat yang disandangnya.

“Omitohoud.....Li Hiang-enghiong (ksatria Li Hiang) menyerahlah. Pertanggung jawabkan perbuatanmu di hadapan pengadilan. Jika nanti tidak terbukti, pinceng (saya) bersedia menerimamu sebagai murid Siau Lim Pay. Jadilah Bhiksu dan ikutilah jalan Buddha” suara Hong Tang-thaysu menenangkan.

Orang-orang yang mendengar ini tentu menjadi sedikit jerih melihat seorang pendeta Buddha angkat bicara. Perlu dimaklumi bahwa Siau Lim-pay adalah partai paling terkemuka di dunia persilatan. Perkataan sala seorang anggotanya harus didengarkan dengan seksama. Apalagi yang berbicara ini adalah pendeta terkemuka.

Tapi orang-orang ini kebanyakan adalah anak buah Bwee Hua. Mereka sama sekali bukan keluarga korban. Hanya menimbulkan fitnah besar untuk menyudutkan Li Hiang. Memang dari puluhan orang itu ada juga belasan orang yang anaknya menjadi korban. Tetapi jumlah mereka lebih sedikit daripada anak buah Bwee Hua.

Para anak buah ini, yang juga terdiri dari kaum-kaum terhormat, semua meneriaki agar Li Hiang di pancung saat itu juga!

“Pancung!”

“Pancung!”

Teriakan itu membahana.

Li Hiang hanya tertawa. Baginya ini adalah ujung perjalanannya. Petualangannya mungkin harus berakhir di puncak gunung ini.

“Jika aku harus mati, baiklah! Aku terima!”

Mendengar kata-kata itu semua orang bersorak. Tan Hoat mencoba menengkan mereka.

“Tapi aku hanya ingin mati di tangan Suma Tian” kata si jubah merah.

Suma Tian mengangguk. Ada rasa bangga yang timbul di hatinya saat Li Hiang memilihnya menjadi algojonya.

“Jika aku mati, silahkan ambil pedang ini dan juga bunga ini” katanya kepada Suma Tian.

“Tidak bisa! Tidak bisa! Semua barang milikmu adalah rampasan perang. Serahkan pada kami untuk diputuskan!” teriak orang-orang itu.

“Ah, jadi inikah maksud kalian sebenarnya? Hahahahaha. Suma Tian, jika aku mati, maukah kau berjanji untuk menjaga bunga ini? Tolong serahkan kepada seorang wanita di desa Hui San, di kaki gunung Thay San. Sedangkan pedang ini boleh kau tukarkan kepada perempuan itu. Seruling ini mohon kau jaga selamanya”

“Kekasihku, aku ingin bertarung bersamamu” kali ini Hok Lian Si angkat bicara setelah sekian lama bungkam.

“Pergilah! Aku bukan siapa-siapamu! Bawa anak itu pergi dari sini, jangan sampai ia mendapat musibah yang lebih besar” teriak Li Hiang.

“Suma Tian, mari!”

“Mari!”

Li Hiang pun menerjang. Suara seruling ditangannya mengeluarkan suara dinging yang menggetarkan. Orang-orang yang berada di sama merasakan seolah-olah dengungan itu menggetarkan jantung mereka!

Lalu pedangnya menyambar!

Gerakannya lihay dan cepat. Li Hiang ternyata bukan pendekar pedang sembarangan. Apalagi ditambah dengan legenda pedang itu sendiri.

Menerima serangan itu Suma Tian memundurkan tubuh bagian atas. Kakinya tetap ‘menancap’ di tanah.

Saat pedang itu lewat, tahu-tahu tangan kiri Li Hiang sudah menyerang bagian tubuh Suma Tian yang sebelah bawah dengan serulingnya.

Melihat serangan itu, Suma Tian memiringkan tubuhnya tanpa bergeser sedikit pun. Pedangnya masih tersimpan di sarungnya. Tapi tangan kirinya telah menggenggam pegangan pedang.

Li Hiang hanya melancarkan 2 buah gerakan sederhana, namun gerakan ini sebenarnya sangat mematikan. Jurus ini terlihat mudah dipatahkan, namun sebenarnya menyimpan bahaya yang tersembunyi.

Pengalaman bertarung Suma Tian sudah sangat banyak sehingga ia tahu, gerakan itu bukan gerakan silat kelas pemula.

Begitu ia akan mencabut pedang, tahu-tahu pedang lemas Li Hiang telah menyambar ke arah tangan kirinya itu pula. Mau tidak mau Suma Tian bergeser sedikit.

Geseran ini membuka ruang yang cukup besar baginya untuk menyerang. Tangannya bergerak cepat. Pedangnya sudah keluar mengincar sebuah titik di dahi Li Hiang. Tetapi Li Hiang masih memiliki seruling sakti yang menangkis serangan itu!

Ilmu pedang keluarga Suma adalah ilmu pedang yang mengandalkan kecepatan dan ketepatan. Gerakan tubuh ilmu ini akan menciptakan ruang-ruang sempit bagi para penyerang. Tetapi justru ruang sempit inilah di mana ilmu pedang keluarga Suma terlihat kehebatannya. Justru di dalam kesempatan yang sempit, serta ruang yang sempit inilah, jurus mereka dilancarkan.

Para penyerang tak akan percaya bagaimana dari sudut yang sesempit itu, dengan posisi tubuh yang tidak menguntungkan, serta kesempatan yang demikian kecil, ilmu pedang itu dapat menembus dahi orang.

Di sepanjang hayatnya, belum pernah ada orang yang lolos dari jurus pertama keluarga Suma jika ia yang memainkannya. Dan Li Hiang adalah orang pertama. Betapa heran Suma Tian ketika melihat Li Hiang sanggup mematahkan jurus itu!

Begitu jurus pertama Suma Tian berhasil dipatahkannya, Li Hiang bergerak lagi. Kali ini ia bergerak rendah, pedangnya meliuk membabat paha Suma Tian.

Dengan geseran kecil, ia berhasil menghindari tusukan itu. Tapi entah bagaimana, pedang itu tahu tahu membengkok dengan sendirinya dan mengincar lututnya.

Suma Tian bergerak lagi. Sebuah gerakan sederhana yang menciptakan sudut kecil lagi. Sudut ini memperpendek jarak mereka berdua.

Tangannya menyabet kencang. Cahaya pedang dari tangan kirinya tak akan bisa tertangkap mata. Bagaikan kilat yang memecah kegelapan, cahaya pedang itu kembali menyambar dahi Li Hiang.

Dengan gerakan yang aneh Li Hiang memutar tubuhnya berjumpalitan berputar. Pedang itu lewat di atas wajahnya yang menyusur tanah.

Dari bawah kaki Suma Tian, Li Hiang menggunakan serulingnya untuk menutuk pinggang Suma Tian. Gerakan ini sama cepatnya dengan gerakan Suma Tian sendiri.

Tanpa panik, Suma Tian kembali menggunakan langkah anehnya. Hanya satu langkah namun ditempatkan pada posisi yang tidak mungkin sehingga membuka posisi menyerang yang menguntungkan baginya.

Ilmu pedang keluarga Suma memang sangat mengunggulkan kecepatan pedang. Tetapi intinya sebenarnya adalah bergerak dan menciptakan peluang. Setiap kali bergerak, terciptalah peluang menyerang yang sangat menguntungkan. Serangan harus dilakukan dengan cepat pula, karena ruang kosong ini sempit sekali, namun mematikan.

Inti jurus pedang keluarga Suma adalah menerima serangan sambil menciptakan peluang serangan balasan dengan hanya bergerak se-sedikit mungkin.

Setiap gerakan serangan lawan sesulit dan sedahsyat apapun, jurus keluarga Suma pasti akan bergerak melangkah sedikit dan menciptakan peluang untuk menyerang. Selama ini tidak ada seorang pun yang bertahan satu jurus.

Tapi Li Hiang mampu!

Pertarungan sudah berjalan puluhan jurus, setiap jurus menghasilkan decak kekaguman orang-orang yang menyaksikan. Bagi mereka ini pelajaran silat tanpa perlu membayar atau mengambil guru.

Walaupun kecepatan kedua jagoan ini sangat sukar diikuti mata, tapi kebanyakan orang yang berada di sini adalah ahli-ahli silat kelas atas sehingga mata mereka telah terbiasa menyaksikan pertarungan dengan gerakan secepat ini.

Pada jurus ke 83, terlihat gerakan Li Hiang semakin berkurang kedahsyatannya. Walaupun serangannya semakin bertenaga dan semakin berbahaya, kecepatannya terlihat sangat berkurang.

Memasuki jurus ke 90, tibalah peluang yang ditunggu-tunggu Suma Tian. Seruling emas milik Li Hiang mengarah ke tenggorokannya, sedangkan pedang Li Hiang agak ke belakang tubuh si jubah merah itu. Suma Tian mundur sedikit. Selama ini Li Hiang tidak berani menyambitkan seruling emas itu seperti yang dulu ia lakukan melawan tiga orang di hutan. Ia paham jika Suma Tian berhasil menghindarinya, maka ia tidak punya kesempatan untuk melindungi diri.

Saat serulingnya telah berhasil dihindari, Li Hiang menyusulkannya dengan pedang ungu itu. Pedang itu mengeleluarkan suara seperti angin sepoi-sepoi h=tetapi datang dengan sangat cepat.

Suma Tian mengetahui ini, ia tetap menunggu sampai pedang itu datang. Lalu ketika pedang itu hampir menusuk dadanya, dengan cepat ia memindahkan pedang dari tangan kiri ke tangan kanan. Dengan melakukan ini, Suma Tian memiliki keunggulan posisi tangan yang lebih dekat ke arah musuh.

Pedangnya menyambar tajam. Li Hiang telah kehilangan posisi dan keadaan, menghindar pun sudah terlambat. Dengan cepat ia melempar seruling emas di tangannya itu untuk menutuk pedang Li Hiang, karena pedang itu paling dekat dengan pedang Li Hiang.

Tak dapat dihindar lagi pedang itu mengenai dada Li Hiang. Jika tidak ada seruling emas yang menolongnya, tentu jantungnya sudah tertembus pedang Suma Tian.

Darah muncrat dari dada Li Hiang. Pakaian bagian depannya robek dan mencipratkan darah.

Tapi Suma Tian tidak memberi ampun. Pedangnya yang tadi sempat bergeser posisi karena lemparan seruling milik Li Hiang, kini diteruskannya.

Li Hiang pun pasrah. Jika ia mati, ia harus mati saat perlawanan terakhir!

Semua orang yang di sana paham bahwa Li Hiang sudah tidak memiliki harapan lagi. Ia kalah posisi dan kalah keadaan dari Suma Tian. Serangannya itu hanya sebuah serangan putus asa yang dilancarkan secara sembarangan.

Pedang Suma Tian telah menuju tenggorokan Li Hiang.

Sejengkal lagi.

Seujung kuku lagi.

Lalu pedang itu terhenti.

Tak ada yang menyangka dan paham mengapa pedang itu terhenti.

Lalu pedang Li Hiang lah yang berhasil mengenai ujung dada Suma Tian, tepat di jantungnya!

Li Hiang sendiri terheran-heran mengapa pedang Suma Tian terhenti.
Dunia seolah-olah berhenti pula.

Ia menatap Suma Tian dengan sangat dalam.

Pendekar itu mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Sebuah kalung yang menempel di lehernya.

Kalung itu ternyata sebuah kalung giok berbentuk naga. Tetapi kalung itu cuma separuh.

Yang separuhnya lagi berada di leher Li Hiang.

Ternyata saat bajunya robek tadi, kalung itu muncul keluar dan terlihat oleh Suma Tian.

“A....dik..”


Related Posts:

0 Response to "EPISODE 2 BAB 14 PERTARUNGAN DI GUNUNG SALJU"

Posting Komentar