Nyonya Suma melihat kepergian ayahnya serta Hong Tang-thaysu dengan berseri-seri. Ada kedua orang ini, harapannya bertambah besar.
Ia kemudian kembali ke tendanya untuk berteduh. Ketujuh mayat orang aneh itu telah tertutup salju. Tak berapa lama si nona yang tadi tertidur sudah bangun.
“Kepalaku..pening..sekali, nyonya” katanya.
“Beristirahatlah. Kau terluka. Dalam beberapa jam lagi, keadaanmu akan membaik, dan aku bisa meninggalkanmu”
“Terima kasih sekali atas bantuan nyonya” kata Sim Lan sambil tersenyum.
Ia dan nyonya Suma itu lalu bersandar di sebatang pohon besar tempat mereka mengikat tenda. Salju sudah tidak sederas tadi. Dari kejauhan kembali terlihat orang yang datang.
Ia datang sambil berlari-lari. Semakin dekat, Sim Lan mengenalnya. Itu adalah Subo (guru perempuan) nya sendiri.
“Eh, Lan-moay (Adik Lan)? Apa yang kau lakukan di sini? Kau terluka?” tanya Bwee Hua.
Sim Lan sadar bahwa gurunya sedang bersandiwara. Dalam hati ia tersenyum, tapi di luaran ia menunjukkan wajah khawatir.
“Ting-ci (kakak Ting), kau baru datang? Aihhhhh” wajahnya menunjukkan kesedihan yang amat besar.
“Begitu mendengar kabar bahwa subo kita melarikan diri ke Paviliiun Musim Dingin, aku segera bergerak ke sini” jawab Bwee Hua yang sekarang namanya sudah diganti Sim Lan menjadi Ting-ci (kakak Ting).
“Kau....kau..terlambat...aihhh” air mata menetes dengan deras dari pipi Sim Lan.
“Terlambat? Apakah....apakah..subo..sudah...” Ting-ci pun terbata-bata.
“Subo...subo telah tewas....dibunuh Li Hiang keparat itu...hu...hu..hu..” tangisannya pun tambah membesar.
“Aih........” Ting-ci pun menangis. Menangisnya pun terlihat penuh kesedihan. Dua orang kakak-adik seperguruan ini saling berpelukan.
Suma-hujin (nyonya Suma) sangat tersentuh melihat keadaan ini. Dengan lemah lembut ia mendekat untuk menenangkan kedua nona yang sedang berduka ini.
Inilah kesalahannya.
Perempuan selalu tersentuh melihat penderitaan perempuan lain.
Bwee Hua mengerti sekali hal ini.
Karena Bwee Hua adalah perempuan.
Perempuan yang kejam.
Entah dari mana, dengan kecepatan yang tak pernah bisa dibayangkan, telapak Bwee Hua yang penuh dengan tenaga dalam yang dahsyat telah menghantam dada Suma-hujin!
Tubuhnya terpental jauh beberapa tombak.
Suma-hujin memuntahkan darah kental yang menghitam. Tubuhnya terpukul sebuah pukulan kejam yang terlalu dahsyat. Tapi ia masih bergerak.
Melihat ini pun, Bwee Hua heran, “Eh? Kau masih hidup?”
“Ka..kau..ke..jam...” nafas Suma-hujin sudah satu-satu, tetapi ia masih ingin berdiri dengan gagah.
Siapapun kau, jika kau menyandang nama ‘Suma’, kau pun akan berdiri gagah dalam keadaan seperti ini.
Tubuhnya sudah bergetar, tak ada lagi kekuatan yang tersisa. Tetapi perempuan ini tetap memaksa untuk berdiri. Dan ia berdiri. Ia memang pantas menyandang nama ‘Suma’.
Memandang ini, Bwee Hua tersenyum manis “Kau tidak mengecewakan. Orang lain pasti sudah mampus”
Suma-hujin bukan orang lain. Ia adalah Suma-hujin.
Pedang masih berada di pinggangnya. Untuk bernafas saja ia sudah kepayahan, apalagi untuk bergerak. Tapi tangannya tetap berusaha menggapai pedang yang ada di pinggangnya. Tangan dan pinggang itu jaraknya hanya sejengkal. Tetapi seolah-olah berjarak ratusan li (kilo).
Pada saat tangannya telah berhasil menyentuh pedang, wajahnya yang tadi sepucat mayat kini mulai sedikit merona merah.
Bagi keluarga Suma, pedang bukan senjata. Pedang adalah harga diri. Jika anggota keluarga Suma mati, maka matinya pun harus memegang pedang.
Dengan sisa-sisa kekuatannya, nyonya ini menarik keluar pedangnya. Dibutuhkan waktu yang sangat lama baginya untuk melakukannya.
Bwee Hua hanya tertawa, “Kau akan melawanku? Dalam satu dua langkah saja kau akan jatuh tergelepar mampus.”
“Kau...kah..Bwee..Hua..?”
“Tidak ada yang lain” senyum manis itu tetap tersungging di wajahnya.
“Di...ma..na..anak...ku..?”
“Sebentar lagi tiba. Jika kau tidak keburu mampus, kau mungkin masih bisa bertemu dengannya” sambil berkata begitu matanya memandang dari kejauhan, seperti menunggu kedatangan seseorang.
Mendengar ini, nyonya Suma terlihat sedikit lega. Di akhir hidupnya ia masih bisa bertemu dengan anak kesayangannya. Semangatnya pulih kembali.
Konon katanya, keinginan yang besar untuk menemui seseorang, dapat menunda kematian.
Perkataan ini mungkin ada benarnya. Di dunia ini tidak ada seorang pun yang bisa bertahan selama ini terhadap pukulan telapak Bwee Hua. Jika bukan karena cinta yang membara terhadap anaknya, tidak mungkin nyonya Suma sanggup berdiri selama itu. Dengan menggunakan pedang sebagai tongkat, ia menunggu dengan sabar.
Orang yang ditunggu pun datang. Ia bertubuh tinggi besar dengan kepala botak namun memiliki janggut lebat berwarna keemas-emasan. Ia membawa sebuah karung besar di pundaknya. Begitu melihat Bwee Hua, ia berlutut dan memberi hormat. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya karena ia bisu.
“Kau tepat waktu. Tadinya kupikir ibu cantik ini tak akan punya kesempatan untuk melihat anaknya. Keluarkan dia!” perintah Bwee Hua.
Orang tinggi besar mengangguk dengan penuh hormat dengan mengeluarkan isi kantong besarnya. Ternyata Suma Sun adalah isinya. Anak ini tertotok, tak bergerak dan tak bersuara.
Melihat anaknya, betapa gembiranya Suma-hujin (nyonya Suma).
“San..ji...san..ji (anak San)” suara dari mulutnya lirih hampir tak terdengar. Tetapi telinga Suma Sun tentu mendengarnya. Karena tertotok, ia tidak sanggup membalas panggilan itu.
Si gundul kekar itu lalu meletakkan Suma Sun dengan posisi duduk di tanah. Sang ibu berusaha maju meraih anak satu-satunya itu.
Jarak mereka demikian dekat, namun demikian jauh. Suara sang ibu terngiang-ngiang di telinganya begitu jelas. Tetapi ia tak sanggup menjawab panggilan itu.
“San..ji...kau...sehat..kah?”
Begitu dalam cinta seorang ibu, sehingga yang ia khawatirkan bukanlah dirinya sendiri yang sudah hampir sekarat, melainkan anaknya yang paling dicintainya.
“San..ji...ba..ik..kah..kau?”
Hanya air mata yang menetes.
Menetes dari mata ibu dan anak.
Cinta manusia tak akan bisa sedalam ini.
Tak akan bisa melebihi cinta seorang ibu terhadap anaknya.
Anaknya yang paling dikasihinya hanya berjarak selangkah lagi. Tangan sang ibu sudah meraih ke depan. Tapi wajah orang yang paling dicintainya itu terasa begitu jauh. Begitu sukar diraih.
Cinta memang selalu seperti ini. Begitu dekat namun begitu sulit diraih.
“San..ji..sa..yang...”
Pemandangan ini adalah pemandangan yang tak ada satu pun pemandangan yang sanggup mengalahkan nilai kesedihan, kedukaan, dan penderitaannya.
Seorang anak yang tak dapat membalas panggilan ibunya yang sekarat.
Seorang ibu sekarat yang tak dapat menyentuh wajah anak yang paling dikasihinya.
Gerakan sang ibu begitu lemah. Begitu lunglai. Wajahnya memucat pasi bagai salju yang putih bersih. Tapi sorot matanya begitu bercahaya. Begitu penuh kasih yang murni.
Hanya cinta kasih seorang ibulah yang membuat dunia tidak segelap ini. Seperti cahaya kecil di dalam kegelapan malam yang paling pekat.
Tangan itu gemetar meraih ke depan. Tubuh Suma Sun yang telah tertotok pun bergetar. Begitu besar cinta dan harapannya sehingga membuat tubuh yang telah tertotok itu sanggup bergerak sedikit deni sedikit.
“Menarik” tukas Bwee Hua sambil tersenyum.
Tangan itu sudah hampir meraih wajah mungil itu. Wajah itu pun sudah seperti merasakan sentuhannya.
Sedikit lagi.
Sedikit lagi.
Tapi yang sedikit itu sering kali tidak pernah terjadi.
Bwee Hua telah melempar sebuah pedang yang memutus tangan indah itu. Tangan indah seorang ibu yang ingin menyentuh anaknya untuk yang terakhir kali.
Darah muncrat dari tangan kutung itu.
Membasahi wajah mungil di depannya.
Suma Sun tahu apa yang terjadi. Darah ibunya telah bercampur dengan air matanya.
“Te..nang..sa..yang...se..mua..akan...baik..ba..ik..saj..a..” suara itu tanpa tenaga, namun begitu lembut menenangkan.
“Kau...ada..lah..se..orang..Suma..”
Lalu ia roboh.
Tanpa pernah menyentuh anaknya untuk yang terakhir kali.
Hanya air mata bercampur darah di wajah Suma Sun.
Ia adalah seorang ‘Suma’.
Kata-kata ini akan diingat selamanya.
Seorang ‘Suma’ bukanlah sebuah nama yang sia-sia. Nama ini telah menggetarkan jantung orang ratusan tahun yang lalu. Ribuan tahun ke depan pun nama ini akan menggetarkan jantung orang.
Dan nama yang akan paling menggetarkan sukma adalah ‘Suma Sun’. Di dalam hatinya ia telah menjanjikan hal itu.
Di masa depan nanti, saat bibir seseorang mengucapkan nama ‘Suma’, maka pemilik bibir itu harus merasakan ketakutan dan kepedihan yang dialaminya sekarang ini.
Karena ia adalah seorang ‘Suma’.
“Apalah arti nama ‘Suma’ jika kemampuannya hanya sekosong ini?” tawa Bwee Hua mengejek.
Suma Sun mendengarkan perkataan itu dengan jelas. Suara lembut dan menggairahkan dari seorang perempuan.
Suara itu dulu begitu lembut dan penuh cinta. Suma Sun bahkan telah jatuh cinta kepada pemilik suara lembut ini.
Tapi cinta itu telah berubah seketika menjadi kebencian yang amat sangat dalam.
Begitu mengherankan ketika cinta berubah menjadi benci. Terkadang karena dendam yang begitu membara. Terkadang hanya karena perkara sepele.
Kebencian yang mendalam justru kadang lahir dari perasaan cinta yang mendalam pula.
Suatu saat nanti, suara yang lembut ini akan merasakan jawaban dari pertanyaan itu. Jawaban dari pertanyaan “Apa hebatnya keluarga Suma?”
Hatinya telah membeku. Air matanya telah mengering. Jika air mata seseorang telah mengering, yang tinggal di hatinya hanyalah api yang membara.
Dan api yang membara itu sangat menakutkan.
Ia telah berhenti menangis. Karena ia adalah seorang ‘Suma’.
Memiliki nama ‘Suma’ baginya sudah cukup. Sudah amat sangat cukup.
“Gouw Han Sing, masukkan kembali anak itu ke dalam karung mu”
Si raksasa bisu itu kemudian menuruti perintah.
Bwee Hua sendiri kemudian berjalan menuju tubuh nyonya Suma. Ia lalu mengeluarkan sebuah botol kecil. Ketika tutupnya dibuka, tercium aroma harum tajam yang menusuk. Ia lalu mengeluarkan satu tetesan saja ke tubuh nyonya malang itu.
Tak berapa lama terdengar suara mendesis. Tubuh itu sedikit demi sedikit hancur dan menguap!
Suara desis yang menyeramkan itu bercampur dengan bau daging terbakar dan bau harum yang menusuk. Tak berapa lama, tubuh nyonya malang itu hancur seluruhnya. Tanpa bekas!
Hanya pedangnya yang tertinggal.
Pedang itu dipungut Bwee Hua, sambil tertawa senang ia menukas, “Lumayan”
“Sim Lan, bereskan tenda itu lalu tumpuk rapat-rapat dengan salju. Jangan sampai orang menemukan jejak” perintahnya.
Dengan sigap Sim Lan melaksanakan perintah itu.
“Orang-orang yang datang, sebagian sudah bisa diatasi orang-orang kita. Cecunguk-cecunguk tak penting sudah mati semua. Hanya beberapa orang dari perguruan ternama yang masih susah untuk diatasi. Tapi orang-orang kita berhasil menahan perjalanan mereka untuk sementara” kata Bwee Hua.
“Oh pantas saja teecu (murid) belum melihat mereka berdatangan” tukas Sim Lan.
“Ayo kita pergi menyusul. Di atas sana suasana pasti sudah ramai sekali. Aku ingin menonton keramaian”
Salju putih turun di musim dingin.
Bagi Suma Sun, musim dingin kali ini mungkin adalah yang paling dingin di sepanjang umurnya.
0 Response to "EPISODE 2 BAB 13 CINTA"
Posting Komentar