“Menarik...” Bwee Hua tersenyum.
Yang lain hanya bisa melongo. Kejadian yang tidak ada siapa pun menduganya.
“Ke...mar..i” panggil Suma Tian perlahan.
Li Hiang maju dengan perlahan. Mendekatkan kepalanya kepada orang yang barusan memanggilnya ‘adik’ ini.
“Dulu..ibu...melahir..kan dua...orang..anak..kembar...”
Semua orang memperhatikan dan mendengarkan suara lirih itu.
“Men...urut..peraturan..ke..luar..ga..Suma...anak yang...ter..pi..lih..hanya..lah ..yang..ber..tangan..kidal..”
“Yang..tidak.kidal...harus..di..bu..nuh..ke..luarga..Su..ma..hanya...boleh..mempunyai..sa..tu..ke..turunan...”
“Teta..pi...ayah...ti..dak..te..ga.....mem..bunuh..mu..beli..au..menitipkan...mu...ke..pada..sese..orang”
“Raha...sia..ini..ha..nya..aku..yang..diberi..ta...hu...tapi..beli..au..ti..dak..memberitahu..kan..kepada..sia..pa..beliau..menitipkan..engkau...”
“Hanya...ka..lung..ini..seba..gai..penanda..nya”
Mendengar hal ini, entah apa yang berkecamuk di dalam pikiran Li Hiang. Ia adalah keturunan keluarga Suma. Namun keturunan yang terbuang!
Selama hidupnya ia telah menjadi orang sisa-sisa. Lahir tidak diinginkan, hidup pun akhirnya dikejar-kejar. Mendapat pengetahuan baru seperti ini membuat jiwanya benar-benar terguncang.
Air matanya menetes. Semarah apapun dirinya, di hadapannya berbaring kakaknya yang sedang sekarat karena serangan pedangnya.
“Na..ma..mu...Suma..Hiang..se.la..mat..kan..keponakan...mu.., a..dik....kau..adalah..seorang..Suma”
‘Suma’ adalah kata terakhir Suma Tian.
Li Hiang menutup mata kakaknya itu.
Pada akhirnya, setelah selama ini hidup menjadi orang terbuang, ia memiliki saudara. Seberat apapun beban hidupnya, semarah apapun hatinya, setidaknya ada satu orang di dunia ini yang menganggapnya saudara.
Persaudaraan selalu lebih berharga dari apapun juga. Sayangnya manusia selalu terlambat memahaminya.
“Bwee Hua!” Li Hiang akhirnya berdiri.
Ia adalah seorang Suma!
Bwee Hua tersenyum mengerling.
“Jika namaku disebut oleh Li Hiang-tayhiap yang terhormat, rasanya sungguh merupakan sebuah kehormatan” tukas Bwee Hua.
“Namaku Suma Hiang”
Siapapun yang mendengar nama Suma pasti hatinya tergetar. Suma yang satu ini bukan pengecualian.
Suma yang manapun memang bukan pengecualian.
Ia memindahkan pedang dari tangan kanan ke tangan kiri.
Gaya pedang keluarga Suma.
Karena walaupun ia dulu terbuang, kakaknya telah menerimanya kembali.
“Para hadirin yang datang, dengarkanlah! Bwee Hua-siocia (nona Bwee Hua) adalah seorang penculik. Ia telah menculik putra dari keluarga Suma. Perbuatan hina dan penuh cela ini harus dihentikan!”
“Urusan kami semua datang kesini adalah untuk mencarimu! Urusan keluarga Suma adalah urusan keluarga Suma! Pertama-tama kau tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!” hampir serempak orang-orang ini ramai berteriak.
Tan Hoat, satria dari Butong-pay itu mencoba menenangkan. Tetapi keadaan sudah tidak terkendali. Semua orang sudah mencabut senjata. “Tenang...saudara-saudara...tenang!”
Belum selesai Tan Hoat menenangkan mereka, Suma Hiang sudah bergerak cepat. Meskipun tenaganya telah habis bertempur seratus jurus, dengan semangat yang membara ia telah menyerang Bwee Hua.
Menerima serangan pedang yang ganas itu, Bwee Hua melakukan hal yang persis sama dengan yang dia lakukan saat menghadapi serangan Suma Tian. Ia hanya menyodorkan Suma Sun untuk menyambut serangan itu.
Tapi kali ini Bwee Hua salah perhitungan. Pedang yang dipakai Suma Hiang bukanlah pedang sembarangan. Tahu-tahu pedang lemas itu bisa membengkok sendiri. Ujungnya yang semulah menuju leher Suma Sun, kini berbelok arah dan malah menyerang tangan Bwee Hua yang mencengkeram leher belakang Suma Sun!
Dengan licik Bwee Hua menyorongkan pula tubuh Suma Sun ke arah belokan pedang itu. Maksudnya untuk menutup arah gerakan pedang itu, tetapi gerakan ini justru membuat tubuh bagian depannya terbuka. Tanpa ampun, seruling emas Suma Hiang telah masuk ke rusuk Bwee Hua.
Suma Sun akhirnya terlepas, dan perempuan cantik itu terhempas ke belakang. Untunglah ada Gouw Han Sing yang menahannya. Raksasa gundul itu segera menyalurkan tenaga dalamnya untuk menolong tuannya itu.
Serangan Suma Hiang, atau Li Hiang ini, sebenarnya jika dilakukan pada saat ia di dalam keadaan terbaik, pasti akan dapat membunuh Bwee Hua. Tetapi ia barusan saja menghadapi pertarungan terbesar di dalam hidupnya. Tenaga yang tersisa sudah tidak bisa diandalkan lagi.
Bwee Hua juga walaupun tadi sempat meremehkan serangan Suma Hiang, memiliki ketinggian ilmu yang sangat sulit diukur. Tidak ada seorang pun yang mengetahui berapa dalam ilmunya.
Mendapatkan serangan seperti itu tidak membuatnya terluka berat. Ia hanya kaget, dan menyadari bahwa Suma Hiang adalah lawan yang pantas baginya.
Suma Sun pun kini jatuh di tangan Tan Hoat.
“Tenanglah wahai putra Suma” katanya pelan dan gagah.
Anak kecil yang dipanggil ‘putra Suma’ itu memang tenang. Jika bumi seluruhnya hancur pun dia akan tetap tenang. Hati dan hidupnya telah mati sejak beberapa saat yang lalu.
“Tan-enghiong (Ksatria Tan), cayhe menitipkan keponakan cayhe kepada enghiong.” Kata Suma Hiang sambil berlutut. Air mata menetes di pipinya. Ia tahu ia tak akan mungkin mempunyai kesempatan untuk menjaga anak itu.
Lalu ia berkata kepada Suma Sun, “Maafkan pamanmu tidak bisa menjagamu terlalu lama. Apapun yang terjadi, ingatlah bahwa kau adalah putra Suma”
Suma Sun hanya memandang kosong ke depan. Walaupun raut wajahnya kosong dan pucat pasi, walaupun sinar matanya redup dan tak bercahaya, ada api yang membakar perlahan-lahan di jiwanya.
“Minggir!” dengan gemas Bwee Hua memerintahkan Gouw Han Sing untuk mundur. Ternyata raksasa botak itu hanya bergerak jika diperintah tuannya.
Begitu Bwee Hua ingin maju, ternyata puluhan orang-orang lain telah menyerang Suma Hiang. Mereka ini adalah antara lain adalah tokoh-tokoh terkemuka dunia persilatan dari beberapa partai. Sehingga menyebabkan serangan mereka benar-benar dahsyat dan tak mungkin dihindari.
Nona dari Gobi-pay, Hok Lian Si, tak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya memandang pemandangan itu dengan pandangan yang menyedihkan. Anak yang sedang digendongnya pun hanya bisa menatap sendu.
Mereka ini pun sebenarnya adalah orang-orang yang terbuang.
Hal yang paling menakutkan dari manusia adalah bahwa dalam melakukan apapun, selalu ada korban baik sengaja atau tidak sengaja. Korban hati, korban perasaan, korban nasib, maupun korban nyawa.
Ibu dan anak ini hanya memandang begitu lama menyaksikan keroyokan berat sebelah ini. Tan Hoat dan Hong Tang-thaysu yang mencoba merelai pun tidak dapat berbuat banyak. Karena walaupun ilmu mereka sangat tinggi, orang-orang yang mengeroyok ini pun memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Ibu muda ini lalu membisikkan kata-kata terakhir kepada anaknya yang mungkin baru berusia 6 atau 7 tahun ini.
Kata-kata terakhir memang selalu bersemayam di jiwa manusia. Anak itu memandang ibunya sambil menangis. Anak-anak kecil sebenarnya selalu bisa mengerti keadaan. Sayangnya mereka tidak tahu bagaimana bersikap.
Ibu itu memandangnya. Untuk yang terakhir kalinya, dan mengecupnya.
“Anakku sayang, laki-laki berjubah merah itu adalah satu-satunya orang yang ibu cintai di dunia ini. Jika tidak bisa hidup bersamanya, maka ibu harus mati bersamanya”
Cinta.
Seluruh permasalahan di kolong langit ini sumbernya sebenarnya hanya karena satu hal.
Satu hal.
Mengapa manusia tidak pernah mengerti?
“Hong Tang-thaysu, boanpwee (saya yang lebih rendah) menitipkan anak kepada cianpwee (yang lebih tua). Semoga di masa mendatang bisa menjadi manusia yang baik dibawah bimibingan Siau Lim-pay”
Betapa kaget Hong Tang-thaysu mendengar hal ini. Tapi apa dinyana, sang ibu ternyata sudah berbuat nekat, dan menerjunkan diri ke dalam pertempuran.
“Liehiap (pendekar wanita)....mohon dipertimbangkan kembali..” kata bhiksu baik hati ini.
Tetapi keadaan yang sangat kacau balau membuatnya tak mampu melakukan apa-apa. Tan Hoat yang mendengar ini pun tak sanggup berbuat apa-apa karena ia harus menjaga Suma Sun.
Manusia yang sudah putus asa, tidak lagi memiliki pertimbangan yang matang. Manusia yang tidak lagi memiliki cinta, akan berhenti mencintai dirinya sendiri.
Perempuan muda itu dengan nekat terjun dan menerima serangan. Ia hanya ingin mati dengan orang yang dikasihinya. Entah ini merupakan cinta yang dalam atau sebuah kebodohan.
Memang, cinta yang terlalu dalam akan berubah menjadi kebodohan.
Tetapi menjadi bodoh karena cinta, adalah sebuah perbuatan yang manis.
Seseorang tidak pernah dapat disalahkan saat ia berbuat bodoh demi cinta.
Oleh karena itu pula perempuan muda ini tidak dapat disalahkan ketika ia memasang badan menerima serangan pedang mematikan yang terarah kepada lelaki yang sangat dipujanya.
Pedang itu menusuk jantungnya, dan bukan jantung Suma Hiang. Tetapi karena serangan ini pula, Suma Hiang terhempas ke belakang.
Ada orang yang bersedia mati untuknya.
Perempuan ini walaupun bukanlah cinta sejatinya, ia tetap pantas mendapatkan rasa hormat dan sayang yang mendalam.
Meskipun perempuan ini bukan kekasihnya, perempuan ini pantas mendapatkan jiwanya.
Sejak dahulu, orang yang dicintai dan orang yang dinikahi memang seringkali berbeda.
Kehidupan manusia memang selalu penuh rahasia.
Suma Hiang pun akhirnya merelakan kenyataan bahwa ia tidak dapat menyembuhkan Hiang-Hiang. Perempuan yang paling dikasihinya.
Ia meraba kantongnya, bunga itu ternyata telah terjatuh. Mungkin saat ia bertempur tadi.
Ia memejamkan mata menguatkan hatinya.
Jika tidak bisa bersatu di bumi, bukankah masih bisa bersatu di langit?
Tubuh indah milik Hok Lian Si lunglai namun berdiri gagah. Suma Hiang memegang pundaknya, lalu tersenyum, “Mari kita mati sama-sama”
Lalu Suma Liang menggandeng tangan nona itu.
“Ciiiiih!” Bwee meludah muak melihat pemandangan itu. Ia memang selalu muak melihat cinta sejati.
“Hahahaha” Suma Hiang tertawa lalu melemparkan pedangnya jauh-jauh.
Ke dalam sebuah jurang yang amat pekat gelap gulita.
Semua yang melihat kejadian ini sama-sama menyesalkan. Dalam lubuk hati mereka memang ada keinginan untuk mendapatkan pedang itu.
Karena marah karena keinginan mereka tidak terkabul, dan karena melihat Suma Hiang sudah tidak memegang senjata lagi, mereka menyerang dengan bersemangat.
Sebuah serangan yang mengakhiri segalanya!
Seolah-olah semua kekuatan bumi dikumpulkan dan dihempaskan kepada kedua orang ini!
Terdengar dentuman yang sangat keras dan suara bagaikan pohon tumbang.
Tubuh mereka terhempas melayang jauh ke dalam jurang.
Tubuh yang perempuan terhempas lebih jauh karena tubuhnya lebih ringan.
Tapi tangannya tertinggal di tangan Suma Hiang. Putus dari tubuhnya.
Walaupun mati ia tetap menggenggam tangan itu.
Berdua mereka menghilang ditelan kegelapan jurang.
Batas antara cinta dan benci memang sungguh tipis. Hanya orang-orang yang pernah mengalaminya yang mengerti pemahaman ini.
Suma Hiang akhirnya mengerti.
Hok Lian Si pun mengerti.
Sayangnya seseorang harus mengalami dulu baru mengerti.
Hong Tang-thaysu hanya bisa memeluk anak kecil yang ditinggalkan kedua orang tuanya itu.
Tan Hoat pun juga hanya bisa memeluk anak kecil yang diam tak bergerak dalam pelukannya.
Bwee Hua tentu saja sudah tidak ada sejak tadi di sana.
Ia sudah dalam perjalanan menuruni gunung salju itu dengan sepatu khususnya.
Di tangannya terdapat sebuah bunga anggrek yang indah.
Ia tadi sengaja membiarkan Suma Hiang menyerangnya dengan serulingnya, agar ia dapat mengambil bunga itu dari kantong Suma Hiang.
Dalam amarahnya, Suma Hiang lupa bahwa ia harus memberikan bunga itu terhadap seseorang. Dan Bwee Hua benar-benar memanfaat hal ini.
Urusan licik dan perencanaan memang adalah kelebihannya.
Mulutnya tersenyum manis.
Jika Bwee Hua tersenyum memang seperti membuat kebencian yang ditujukan kepada dirinya luruh sepenuhnya.
Ia bagaikan bidadari putih suci bersih tanpa noda yang turun dari langit mengenderai awan.
Bayangannya telah menghilang.
Meninggalkan darah dan air mata di atas gunung itu.
Semua orang akhirnya pulang.
Ketika dendam dan kebencian sudah ditunaikan, biasanya yang tertinggal hanyalah kehampaan. Justru ketika dendam dan benci masih mengisi jiwa, kedua hal itulah yang memberi semangat dan kekuatan.
Kebencian, seperti juga cinta, membuat orang mampu melakukan hal-hal yang mengagumkan.
Lalu apa beda cinta dan benci jika hal-hal yang dihasilkan ternyata serupa?
Hong Tang-thaysu pergi sambil menggendong anak kecil itu.
“Siapa namamu, anak baik?” tanya bhiksu tua itu.
Ia tidak menjawab, dan hanya meneteskan air mata.
“Jangan takut. Mulai sekarang, akulah yang melindungimu. Katakan siapa namamu?”
Anak itu menguatkan hatinya, terisak sejenak, lalu berkata,
“Aku she (marga) Suma”
0 Response to "EPISODE 2 BAB 15 AMANAT MARGA"
Posting Komentar