EPISODE 2 BAB 33 KEMATIAN




Makan malam telah berlalu. Kedua orang tuan rumah tidak bisa hadir karena harus menyelesaikan urusan dagang. Cio San berada di kamar Suma Sun. Ia sebenarnya telah diberikan kamar tersendiri. Tetapi dirasanya kamar itu terlalu besar dan terlalu luas, karenanya ia memilih ke kamar Suma Sun saja. Kamar yang ditempati sahabatnya itu pun tidak kalah besar. Penataannya sangat indah. Warna-warnanya serasi. Wangi hio (dupa) yang ada didalam ruangan memberikan perasaan yang nyaman  dan membuat tubuh terasa santai. Segala hal di dalam kamar rupanya sudah diatur sedemikian rupa sehingga penghuninya tidak ingin keluar. Arak dan hidangan makanan ringan juga telah tersedia di meja.

Suma Sun duduk menghadapi meja. Ia membelakangi pintu paviliun yang terbuka lebar memperlihatkan pemandangan indah kota itu di malam hari. Mereka berada di tingkat tiga gedung megah itu. Segala keindahan tentu terlihat dari sana. Cio San tidur malas-malasan di atas ranjang Suma Sun. Kasur ini sangat empuk dan wangi. Tentu harganya sangat mahal.

“Kau tidak bertanya, apakah kau sudah tahu?” Suma Sun buka suara.

“Tahu apa?” Cio San bertanya balik.

“Tentang keadaan Cukat Tong”

Cio San diam sejenak. Ia tidak tahu harus berkata apa. Lalu dengan perlahan ia berkata, “Sesungguhnya aku tidak ingin tahu. Ia terlihat begitu bahagia. Kehidupannya ini sangat nyaman.”

Suma Sun menghela nafas, katanya “Getaran kesedihan dari dalam suara dan gerak-geraknya terlalu besar kurasa. Ia tidak mungkin bahagia hidup seperti ini.”

“Bahagia atau tidak bahagia, apakah kita berhak menilainya? Jika ia sendiri ingin hidup seperti ini, apakah kita berhak melarangnya?”

Suma Sun termenung. Persahabatan mereka terlalu dalam, sehingga apabila salah satu dari mereka ingin terjun ke jurang api, yang lain tak akan menghalau, melainkan turut pula lompat bersama-sama tanpa perlu bertanya sama sekali. “Setidaknya kau harus memeriksa apa yang benar-benar sedang terjadi,”

“Kau belum memeriksa?” tanya Cio San.

Suma Sun menggeleng.

“Kau sendiri tidak tega, mengapa kau pikir aku bakalan tega pula?”

“Di dunia ini, segala pekerjaan yang tidak mungkin, hanya bisa dikerjakan oleh satu orang saja,” kata Suma Sun sambil tersenyum. Senyumnya adalah senyum yang menyedihkan, karena ia tahu betapa benar dan beratnya ucapan tersebut.
Cio San bangkit dari tidur malasnya. “Ia sudah bukan Cukat Tong yang dulu lagi. Semangat petualangannya telah hilang. Api membara yang membakar nyali seorang laki-laki sejati telah hilang sepenuhnya.”

Seorang lelaki petualang yang rajin mengarungi bahaya, tahu-tahu berubah menjadi menjadi seorang laki-laki penurut setelah menikah. Ini bukanlah sebuah cerita aneh. Sebagian besar laki-laki mengalami hal ini. Tapi Cio San tak dapat menerima bahwa sahabatnya itu berubah sedemikian cepat dan dalam. Cahaya semangat telah hilang sepenuhnya dari mata dan wajah Cukat Tong. Seolah-olah ia orang yang sama sekali berbeda. Langkahnya tak lagi ringan dan lincah. Gerak tubuhnya tak lagi cepat dan gesit.

“Bwee Hua,” kata Cio San. “Bwee yang merubahnya,”

Suma Sun mengangguk. “Aku tahu, tapi aku tak punya bukti, dan tak berani menyelidiki.”

Kata ‘tak berani’ ini sebenarnya pantang diucapkan seorang pendekar. Tetapi demi sahabat, terkadang orang bisa pula berani untuk ‘tidak berani’. Karena mereka masing-masing telah paham, jika seorang sahabat tidak ingin menceritakan sesuatu, mereka pun tak akan bertanya. Jika seorang sahabat ingin merahasiakan isi hatinya, maka yang lain tidak punya hak untuk bertanya.

Mereka adalah orang yang suka bercanda dan saling berolok-olok. Tetapi mereka tahu persis kapan harus berhenti, dan kapan harus menghargai perasaan orang lain. Kapan harus diam, dan kapan pula harus bicara. Kapan harus datang dan kapan harus pergi. Persahabatan bukanlah tentang bertemu dan menghabiskan waktu bersama-sama. Persahabatan adalah tentang sejauh mana kau memahami isi hati dan keinginan sahabatmu. Tidak semua orang memiliki isi hati dan keinginan yang sama. Tidak pula antar sahabat harus memiliki kesenangan dan sifat yang sama. Sahabat-sahabat sejati, kadang memiliki sifat yang sangat bertolak belakang. Karena yang mereka cari bukan kesamaan sifat. Melainkan pengertian.

Oleh karena itu jika salah satu harus mengorek rahasia yang lain, maka ia telah melakukan pelanggaran berat dan kehinaan yang besar. Mereka adalah orang-orang yang mengerti tentang pemahaman ini. Karena itulah Suma Sun sama sekali tidak melakukan apa-apa.

Dan kenapa pula Cio San yang harus melakukannya?

Karena memang, di dunia ini jika ada pekerjaan yang amat mustahil, tentu saja hanya dia yang bisa mengerjakannya. Entah siapa yang pertama kali menciptakan kalimat ini, tetapi rasa-rasanya semua orang yang mendengarnya pasti setuju. Yang tidak setuju pun pasti hanya satu orang. Cio San sendiri!

Ia hanya bisa termenung dan menertawakan penderitaannya sendiri.

Di luar terdengar suara ledakan kembang api yang meriah. Cahayanya warna-warna sungguh indah. Cio San tertarik untuk melihat keramaian. Ia melangkan ke pintu besar yang sejak tadi terbuka menghadap luar. Di atas paviliun kamar itu pemandangannya sungguh indah. Saat ia menoleh ke kanan, ternyata Kao Ceng Lun pun keluar dari kamarnya untuk menikmati keramaian.

“Kau ketiduran?” tanya Cio San sambil tertawa.

“Bagaimana bisa tidur, jika perempuan-perempuan di dalam justru tidak mau tidur?” katanya sambil tertawa. Cio San tertawa pula. Ia mengerti maksudnya. Cukat Tong memang sudah menyediakan perempuan-perempuan cantik untuk menemani mereka. Untungnya ia sudah pindah ke kamar Suma Sun. Dan karena Suma Sun sudah menikah, Cukat Tong sepertinya sedikit sungkan untuk menyediakan wanita kepadanya.

Cahaya ledakan indah merona di angkasa, jalanan ramai dipenuhi manusia. Air sungai memantulkan cahaya warna-warni yang sangat indah.  Cukup lama mereka menikmati pertunjukan itu.

Sebuah panah meluncur dari atas langit!

Panah itu mengarah tepat di tengah batok kepala bagian atas Cio San. Luncuran panah itu sangat cepat, seolah-olah bintang jatuh yang menghujam dari angkasa. Panah itu berat namun tak bersuara. Tinggal sedikit lagi panah itu menghujam batok kepala Cio San, tetapi kedua orang yang berada di paviliun lantai dua itu sama sekali tidak merasakan bahaya apa-apa.

Lalu Suma Sun terhenyak. Ia dapat mendengarkan hal yang tidak dapat didengarkan manusia biasa. Tangannya meraih cangkir yang berada di depannya dan langsung melemparkannya ke arah datangnya anak panah itu.

 Cio San menggerakkan tubuhnya condong ke belakang. Sebelum cangkir yang dilempar Suma Sun mengenai anak panah itu, dua jari Cio San sudah menjepit panah itu. Dengan jari yang lain ia menangkap cangkir itu.

Sungguh tak dapat dibayangkan kecepatan dan ketepatan jemari itu!

Begitu cangkir itu tertangkap, Suma Sun sudah berdiri di samping Cio San. Kao Ceng Lun baru menyadari apa yang terjadi. Ia melihat ke sekeliling. Tiada sesuatu yang mencurigakan.

“Layang-layang!” kata Suma Sun.

Cio San menoleh ke angkasa. Nun jauh di sana, di langit yang dipenuhi cahaya kerlap kerlip kembang api, sebuah layang-layang mengambang di angkasa. Ia membutuhkan sayap agar dapat melayang kesana. Jika Cukat Tong berada di sana, siulannya akan memanggil burung-burung peliharannya. Tetapi Cukat Tong tidak berada di sana.

Ada sesuatu yang hilang di dalam perasaan Cio San.

“Layang-layang itu apakah ada orang yang mengendarainya?” tanya Cio San kepada Suma Sun.

“Ada”

“Laki-laki atau perempuan?”

“Dari jarak sejauh ini, aku tak dapat membedakan,”

Kao Ceng Lun melompat, “Aku akan menelusuri layang-layang itu. Mungkin kita bisa menyelediki arah benangnya.” Saat suaranya masih berada di situ, bayanganya telah melesat jauh sekali.

“Senang juga melihat kepandaiannya meningkat pesat,” kata Cio San.

“Kau tidak mengikutinya?” tanya Suma Sun.

“Percuma,” jawab Cio San sambil terus memandang layang-layang itu. Ternyata layang-layang itu dengan cepat telah menghilang. Langit telah kembali gelap, cahaya kembang api telah berhenti. “Petunjuk yang paling penting berada di sini,”

Ia memperhatikan panah yang dipegangnya.

“Panah ini dirancang agar tidak meninggalkan bunyi. Bagian mata panahnya terbuat dari besi yang berat. Hmmm...., di batang panahnya, ada tulisan....,”

“Kematian Berwarna Merah Darah”

Panah itu pun sendiri berwarna merah.

“Kau mengenal tulisan siapa itu?” tanya Suma Sun.

“Tidak.”

Suma Sun meraih panah itu dan mengendusnya. Ia berpikir sebentar tapi kemudian tidak berkata apa-apa.

“Semua petunjuk mengarah ke Bwee Hua, bukan?” tanya Cio San.

Suma Sun mengangguk.

“Panah ini mengandung wangi yang sama dengan wangi tubuh Bwee Hua. Pesta kembang api di depan istana ini pun adalah hasil prakarsanya. Malam ini bukanlah malam perayaan apa-apa, mengapa harus ada pesta kembang api? Ia menggunakan ledakan-ledakan ini untuk menutupi suara datangnya anak panah,” kata Cio San.

Suma Sun hanya diam.

“Tetapi justru jika semakin jelas petunjuknya, aku malah semakin yakin jika ini adalah tipu daya untuk mengelabui,” tukas Cio San.

Tahu-tahu Suma Sun menoleh ke bawah. Ia merasakan sebuah hawa pembunuh yang sangat kuat berasal dari bawah sana. Dari tengah keramaian dan tawa canda yang membahana. Cio San pun ikut menoleh. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Tetapi ia sangat percaya dengan naluri Suma Sun.

“Ada apa?” bisiknya perlahan.

“Ada seorang pendekar sakti yang memperhatikan kita. Hawa pembunuhnya sangat tajam. Tetapi aku tidak tahu keberadaannya dengan jelas,” kata Suma Sun. Ia masuk ke dalam mengambil pedang. Saat keluar, tanpa berkata apa-apa ia sudah melayang dengan ringan ke bawah.

Cio San menggumama dalam hati, “Ada satu orang yang mati lagi malam ini,” sambil ikut melayang turun pula.

Tahu-tahu Suma Sun berkata, “Tiga,”

“Eh, jadi kau bisa mendengarkan isi hati orang pula?” tanya Cio San tidak percaya sambil tertawa.

“Aku bukan cacing di dalam perutmu, tentu saja tidak bisa.” Suma Sun tertawa pula tetapi gerakannya semakin halus dan lembut. Jika gerakan Suma Sun semakin halus dan lembut, itu tandanya ia sedang bersiap-siap membunuh orang.

“Lalu kenapa jawabanmu persis sama dengan ucapanku di dalam hati?” Cio San masih tertawa heran.

“Mungkin karena aku terlalu banyak menghabiskan waktu mendengarkan ocehanmu. Sehingga aku tahu hal-hal apa saja yang tidak sempat kau ocehkan,” tawa Suma Sun. Jalannya semakin lambat dan halus. Tetapi ia masih tertawa.

Ada semacam keanehan di dalam diri mereka. Jika semakin besar sebuah bahaya datang, semakin mereka akan sering bercanda dan tertawa. Ini mungkin untuk melonggarkan seluruh otot dan syaraf, agar benar-benar siap menghadapi perubahan. Hal ini juga untuk mengelabui keadaan kepada musuh.
Di tengah keramaian seperti itu, segala bahaya dapat datang kapan saja.

“Tuan...tuan, tolong....aku..aku..hilang..” seorang anak gadis kecil datang di hadapannya denga menangis.

“Hilang? Kau kan ada di sini, kata siapa kau hilang?” canda Cio San.

“Hu.....hu...ayah..dan ibu...tak tahu...hu...hu...” tangis si mungil ini malah bertambah deras.

“Oh, kau datang dengan ayah bundamu, lalu kau terpisah dari mereka?” tanya Cio San ramah.

Anak mungil itu masih menggunakan lengannya untuk menyapu air matanya, tetapi kepalanya mengangguk. Tangisannya terdengar menyedihkan sekali.

“Jangan khawatir, ayo kita cari ayah-ibumu. Apakah rumahmu jauh dari sini?”
Saat mendengar kata ‘rumah’ tangisan si kecil semakin membahana.

Cio San menggandeng tangan mungil itu dan berkata, “Jangan bersedih. Yuk, kita cari ayah-ibumu.”

Mereka lalu jalan bergandengan, Suma Sun mengikuti dari belakang.

“Eh adik kecil yang baik, siapa namamu?” tanya Cio San.

“Aku she (marga) Sim, namaku Ning Ning.....,” jawab si anak mungil.

“Oh, nama yang bagus sekali,” puji Cio San. Ia senang kepada anak kecil. Dan anak kecil ini manis dan polos. Ia tidak lagi menangis, tapi wajahnya masih menampakkan kekhawatiran. Dari tampilannya, Cio San bisa melihat bahwa anak ini berasal dari keluarga berada. Baju kembang-kembang yang dipakainya terbuat dari bahan yang cukup mahal. Tusuk rambutnya meskipun sederhana, juga terbuat dari bahan pilihan.

Langit kembali bergemuruh. Kembang api kembali dinyalakan. Sim Ning Ning memperhatikan langit dengan sedikit bahagia. Kekhawatiran masih terbayang, tetapi melihat cahaya warna-warni kembang api, sedikit banyak kekhawatiran itu agak menghilang.

Cio San tersenyum memandangnya.

Mereka berkeliling-keliling sambil mencari orang tua Ning Ning. Cio San bertanya tentang ciri-ciri orang tua Ning Ning.

“Ayah tinggi besar. Lebih tinggi daripada kau, paman. Ibu lebih pendek sedikit dari engkau. Ayah memakai baju biru. Rambutnya disanggul dengan pita putih. Ibu memakai baju biru muda. Sanggulnya berawarna biru muda pula.”

Cio San hanya mengangguk-angguk. Dengan seksama ia memperhatikan diantara kerumunan ratusan bahkan ribuan orang yang tumpah ruah di jalanan ini. Setelah lama mencari dan berkeliling, Cio San berkata, “Ning-Ning, kita beristirahat dulu ya. Siapa tau saat istirahat kita akan bertemu dengan ayah ibumu.”

“Baiklah,” jawab gadis mungil itu patuh. “Eh, kakak, aku tahu sebuah kedai teh langganan ayah. Siapa tahu ia berada di sana,”

“Baiklah!”

Mereka lalu menuju sebuah jalanan yang agak sepi karena bukan merupakan pusat keramaian. Di situ ada gang sempit yang agak menjorok ke dalam. Ada sebuah kedai teh di pinggiran sungai.

Secara tiba-tiba, Cio San melemparkan anak kecil itu ke udara. Tubuhnya meluncur cepat ke arah dinding kedai. Perbuatan yang tak disangka-sangka untunglah tidak mengakibatkan anak ini terluka, karena secara tidak disangka-sangka pula, anak kecil yang polos ini sudah berjumpalitan. Kakinya menendang dinding dan melenting ke atas. Tubuh itu lalu melayang turun perlahan.

“Paman sungguh kejam!” kata anak kecil itu tertawa.

“Dan kau sungguh bodoh,” tawa Cio San.

“Ku akui kepintaranmu dalam membongkar penyamaranku. Tapi, bagaimana kau bisa tahu?” tanya Ning-Ning.

“Di dalam cuaca musim gugur seperti ini, orang tua bodoh mana yang membiarkan anaknya yang masih kecil keluar tanpa mantel? Kuperhatikan semua orang di keramaian ini memakai mantel. Jika bukan karena tenaga dalam yang cukup, anak sekecil kau tidak mungkin mampu melawan dinginnya angin malam musim gugur,” jelas Cio San.

“Oh, jadi hanya dari baju saja kau bisa menebak semua ini? Sungguh tidak masuk akal!” kata Sim Ning Ning.

“Aku mengajak kau berkeliling cukup lama. Langkahku pun sedikit kupercepat. Ku lihat kau sama sekali tidak capek dan ngos-ngosan. Padahal untuk ukuran sepertimu, harusnya kau sudah lelah dari tadi,” ia menjelaskan masih sambil tersenyum.

Gang sempit ini cukup gelap, karena merupakan bagian kumuh dari kota yang indah ini. Suma Sun masih berdiri di belakang Cio San, ia berkata, “Mereka sudah datang,”

Dua orang muncul di gang sempit itu. Laki-laki dan perempuan. Ciri-cirinya persis seperti yang diungkapkan Sim Ning Ning.

“Kita rasanya tidak perlu basa basi.” Suma Sun langsung berdiri tegap menghadap kedua orang itu. Letak tubuhnya membelakangi Cio San yang sedang berhadapan dengan Sim Ning Ning.

Keramaian masih terdengar di luar. Herannya, keramaian itu semakin dekat dan mendekat.

Ratusan orang sudah berada di sana! Dari keramaian itu muncul ribuan anak panah!

Para pengunjung keramaian ini semuanya rupanya adalah pembunuh!

Ribuan panah menghujam dengan cepat. Melesat meninggalkan bunyi yang menyeramkan. Saat Cio San menoleh sejenak, Sim Ning Ning telah menghilang dari sana! Sepasang pendekar ‘ayah-ibu’ dari Ning-Ning juga sudah menghilang dari sana.

Suma Sun dan Cio San lalu merapatkan badan saling membelakangi. Hujan panah datang dari segala arah. Untuk ukuran pendekar kelas wahid seperti mereka, hujan anak panah bukanlah hal yang terlalu berbahaya. Tetapi jika para pemanahnya dapat menyembunyikan hawa pembunuh dan hawa kematian yang mereka bawa, tanpa ‘tercium’ oleh Suma Sun, maka mereka sama sekali tidak boleh dianggap remeh!

Ribuan panah ini seperti tidak pernah habis. Suma Sun dan Cio San seperti tidak punya kesempatan untuk maju ke depan dan menyerang para pemanah. Cio San tak dapat menggunakan pukulan jarak jauhnya karena ia tahu, jarak para penyerangnya terlalu jauh. Ia hanya dapat mengarahkan pukulannya untuk memunahkan panah. Tetapi panah selalu datang dan datang, seperti tiada akhir.

Kejadian ini hanya berlangsung beberapa detik, tetapi bahaya yang mereka hadapi ini sangat sukar dilukiskan.

Sebuah panah yang datang dari tempat berbeda, dari tempat yang gelap dan tersembunyi, datang bagaikan sebuah ular berbisa yang mematuk dari balik bayang-bayang. Cepat, dingin, dan mematikan.

Hanya sebuah panah.

Tetapi panah itu tersembunyi di balik ribuan panah yang datang susul menyusul bagai badai. Siapa yang dapat mengira akan datangnya sebuah panah semenyeramkan itu, di tengah serbuan ribuan panah yang lain?

Sehebat dan sesakti apapun seorang manusia, ia tak akan pernah dapat lolos dari maut, jika takdirnya telah tiba.

Cio San adalah manusia.

Suma Sun pun adalah manusia.

Panah itu datang dan menghujam jantung Cio San!

Suma Sun hanya dapat mendengar suaranya, ketika panah laknat itu menembus dada sahabatnya!

Ia tahu apa yang terjadi. Ia tahu betapa dahsyatnya panah itu. Ia pernah ‘berhadapan’ dengan panah itu beberapa menit yang lalu. Dengan segala naluri yang dimilikinya, ia baru mengetahui kedatangan panah itu ketika hampir menembus batok kepala sahabatnya. Kini, ditengah hujan badai panah dan keramaian kembang api, serta kesibukannya menangkis semua panah yang datang, bagaimana mungkin ia dapat mendengar sebuah panah yang memang dirancang dengan sangat hebat itu?

Siapapun yang dapat menembak panah dengan demikian tepat dan cepatnya, sungguh pantas mendapatkan rasa takutnya. Kaki Suma Sun bergetar, dalam sepersekian detik itu ia hanya bisa bergerak maju untuk menutupi tubuh kawannya dari hujaman panah lain yang datang.

Dengan marah ia hanya dapat menangkis panah-panah yang datang entah dari mana itu. Tangkisannya banyak yang mengembalikan panah itu kepada pemanahnya. Tapi mereka telah bersiap-siap. Tameng baja telah tersedia bagi para pemanah itu untuk menangkis hujaman panah yang dilesatkan kembali oleh Suma Sun.

Ia dapat merasakan genggaman tangan Cio San di punggungnya. Tangan itu belepotan darah yang hangat. Baju putih Suma Sun yang semula bersih tanpa noda, kini memerah terkena cipratan darah sahabat terdekatnya ini. Suma Sun tak tahu apa yang harus ia lakukan. Jika menyerang maju, ia tentu saja berani. Ia tidak perduli pada nyawanya. Tetapi ia sungguh perduli pada nyawa sahabatnya. Tidak ada yang lebih penting dari nyawa sahabatnya, bahkan nyawanya sendirinya pun tidak cukup penting.

“Pe..per..gi...lah....” itu sebuah kata terakhir yang keluar dari mulut Cio San. Sebelum akhirnya ia menutup mata di dalam kegelapan yang tak bertepi.

Sayup-sayup, Cio San masih mendengar Suma Sun berkata, “Hey, keparat. Ini bukan saat yang baik untuk mati.....”

Tetapi ucapan ini semakin lama-semakin mengecil, menjadi sayup-sayup, lalu menghilang di telan kegelapan dan kesunyian.

Suma Sun masih menangkis panah. Ia hanya punya satu tangan. Selama hidupnya, ia menggantungkan nasib dan takdir kepada tangannya. Dulu di tangan kanannya, beberapa waktu yang lalu di tangan kirinya. Kini ia benar-benar menggantungkan seluruh harapan itu kepada tangan satu-satunya ini. Ia sendiri tahu, ada beberapa panah yang telah menghujam dirinya. Tetapi ia tidak khawatir akan ada panah yang berbahaya yang akan datang. Karena ia tahu, untuk melepaskan panah seperti itu, seorang pemanah harus mengumpulkan nafas, ketenangan, tenaga dalam yang tinggi, serta pemusatan kesadaran tertinggi. Dan hal itu butuh waktu.

Segala kejadian ini hanya berlangsung beberapa detik, tetapi seolah-olah berlangsung seumur hidupnya. Nasib manusia, siapa pula yang tahu dan bisa menebak? Takdir adalah rahasia langit, baru diketahui saat sudah terjadi.

Kematian.





















Related Posts:

0 Response to "EPISODE 2 BAB 33 KEMATIAN"

Posting Komentar