EPISODE 2 BAB 42 TUJUH MUSTIKA


Perjalanan menjadi lebih ringan karena kini mereka berdua telah memasuki kawasan milik kekaisaran Ming. Tak berapa lama mereka memasuki kawasan ini, sudah terlihat penjagaan yang amat ketat. Para pasuka yang berjaga di sana segera berjaga-jaga, bahkan ada yang menghunuskan panah.

“Berhenti! maju selangkah lagi akan kami panah! Siapa kalian?” tanya seorang prajurit.

Karena tak ingin bertele-tele, Cio San segera mengeluarkan lencana naga. Melihat lencana itu, para prajurit langsung berlutut dan berteriak serempak, “Kami dengar titah kaisar!”

“Aku adalah petugas yang diperintahkan pangeran Cu untuk menyelidiki keadaan musuh. Harap memberi jalan,” kata Cio San dengan lantang. “Dan mohon saudara-saudara sekalian berdiri.”

Para prajurit yang mendengar hal ini  segera berdiri dengan patuh. Sikap mereka menjadi penuh hormat dan sungkan. Cio San berkata bahwa ia dan sahabatnya itu ingin beristirahat sebentar untuk memulihkan tenaga. Para prajurit ada yang hendak menyiapkan 2 buah tempat di barak kecil tempat mereka tinggal, tetapi Cio San meminta mereka untuk tidak merepotkan diri, dan cukup menyediakan satu tempat untuk si nona, sedangkan dia sendiri cukup beristirahat di bawah sebuah pohon yang rendah.

Tidak butuh waktu lama bagi Cio San untuk tidur dengan lelap. Kebiasaannya mendengkurnya pun kembali lagi. Kali ini ia tidur dengan cukup pulas, selama kurang lebih 3 jam. Hari sudah mulai sore ketika ia terbangun. Ada beberapa prajurit yang berdiri mengawal di dekatnya saat ia tidur. Kata Cio San, “aih, mengapa saudara-saudara mengawalku seperti ini, aku cuma seorang pesuruh saja. Tidak perlu diperlakukan terlalu istimewa.”

“Kepada Hongswee, mana kami berani kurang ajar,” jawab mereka.

Memang selama ini baru 3 orang yang diberi hak memegang lencana naga. Yang 2 lain adalah jenderal besar dan seorang thaykam (orang kebiri) di istana. Orang angkatan muda yang memiliki lencana naga cuma Cio San seorang, oleh karena itu para prajurit dapat dengan mudah mengenal siapa dirinya.

Cio San bangkit lalu bertanya, “Kalian sudah mulai memasak?”

“Ya, Hongswee. Hari sudah semakin sore. Seorang petugas sudah harus menyiapkan makan malam dari sekarang. Apakah Hongswee sudah ingin bersantap? Bisa kami persiapkan sekarang,” jawab salah seorang petugas.

“Ah, tidak perlu. Aku justru ingin memasak,” kata Cio San sambil tersenyum. Seorang petugas lalu mengantarkannya ke sebuah tempat terbuka di halaman belakang barak yang mereka gunakan sebagai dapur. Segera Cio San menyapa petugas masak dan bercakap-cakap sebentar. Lalu ia pun turut membantu memasak dan menyiapkan makanan.

Malam itu para prajurit bersantap dengan nikmat. Belum pernah mereka menikmati masakan selezat itu. Syafini yang sudah mandi dan membersihkan diri tampak terlihat amat cantik saat ia duduk sendirian menikmati makan malamnya. Cio San sengaja tidak ‘mengganggunya’ dan membiarkannya sendirian. Ia malah bercakap-cakap dengan para prajurit dan sedikit menceritakan keadaan di sarang musuh. Ia tidak menceritakan hal secara keseluruhan karena ia takut hal itu akan melemahkan semangat mereka. Yang bisa ia ceritakan adalah letak perkemahan musuh serta beberapa titik kelemahan mereka.

Setelah selesai bercerita, Cio San lalu menuju ke Syafina yang duduk sendirian di sebuah meja yang sudah disiapkan para prajurit. “Eh, makannya kok tidak habis?” tanya Cio San. “Kurang enak?”

“Ah, ini justru merupakan salah satu makanan paling enak yang pernah kucicipi. Tetapi aku mungkin terlalu banyak pikiran, jadi agak susah makan,” jelas si nona.

“Oh, tidak apa. Aku pun seperti itu jika terlalu banyak beban pikiran. Sini makananmu kuhabiskan saja,” tukas Cio San yang tanpa sungkan mengambil piring bekas makan si nona. Syafina hendak mencegahnya tetapi apa daya bekas makanannya sudah masuk ke perut Cio San. Lelaki itu makan dengan nikmat. Si nona menjadi rikuh sendiri melihat ada orang lain memakan bekas makanannya.

“Di barak seperti ini, makanan adalah hal yang sangat penting bagi prajurit. Jika tidak dihabiskan, dianggap sebagai sesuatu pelanggaran,” bisik Cio San lirih sambil tersenyum. Si nona paham dan mengangguk, “Aku..a.aku tidak tahu...maaf,” katanya.

“Ah, tak apa. Toh ini sudah habis. Nona tidak ingin minum arak?” tanya Cio San.

“Aku tidak minum arak. Kepercayaanku melarangnya. Maaf,” tukas si nona.

“Oh nona adalah seorang muslim?”

“Benar,” Syafina mengangguk.

“Maaf kalau begitu. Setahuku biasanya orang Goan beragama Buddha.”

“Ibuku seorang keturunan Kazakh. Ayahku orang Mongol. Aku mengikuti kepercayaan ibuku,” jelas Syafina.

“Oh begitu,” Cio San mengangguk. Lanjutnya, “Kakekku juga adalah seorang muslim. Ayahku juga. Tetapi ayahku tukang minum arak dan bersenang-senang,” kata Cio San sambil tertawa kecil.

“Lalu kepercayaan anda apa?” tanya Syafina.

“Ah.....” Cio San kesulitan menjawabnya. “Aku percaya bahwa ada ‘sesuatu’ yang maha kuasa. Tetapi aku masih tidak tahu mengapa manusia menjadi terpecah-pecah menjadi bermacam-macam ajaran dan golongan. Seandainya kita dapat menyatu, entah kepercayaan apa, entah suku apa, entah warna kulit bagaimana, tentu dunia lebih indah.”

Syafina mengangguk, lalu berkata, “Suatu hari nanti, anda akan mengerti jawabannya.”

“Semoga,”

Mereka bercakap-cakap sebentar lalu bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Setelah itu mereka meminta diri, dan pergi dari sana. Cio San meninggalkan kesan yang amat sangat dalam bagi para prajurit ini. Di dalam hati, rasa hormat dan kekaguman mereka terhadap pendekar ini semakin tinggi.

Perjalanan mereka berdua dilakukan dengan cepat, dalam beberapa jam, mereka telah sampai di benteng dan menemui pangeran Cu. Cio San memberi laporan secara pribadi tentang segala kejadian kemarin di ruang khusus milik pangeran, secara empat mata. Setelah itu ia menjelaskan pula tentang nona Syafina.

“Nona ini kata Hongswee adalah campuran Kazakh dan Mongol?” tanya sang pangeran.

“Benar, yang mulia.”

“Aku ingat dulu seorang raja Qara Del bernama Enke Timur memiliki beberapa orang permaisuri, salah satunya adalah orang Kazakh. Apakah nona ini ada hubungannya dengan beliau?”

“Mungkin saja, Yang Mulia. Hamba sungkan bertanya kepadanya,” jawab Cio San.

“Aih, Cio-hongswee memang memiliki liang sim (budi pekerti). Aku sungguh kagum,”

Cio San hanya menunduk saja. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan.

“Aku memiliki kabar yang sangat buruk. Kuharap Cio-hongswee memberi pandangan terhadap hal ini,” lanjutnya, “Hal yang sama banyak terjadi dengan pasukan-pasukan kita di beberapa daerah peperangan. Kita telah kehilangan puluhan ribu pasukan! Bahkan pasukan tambahan yang kubawa pun tidak dapat membantu. Kekuatan suku-suku kecil ini sungguh dahsyat. Bagaimana mungkin mereka dapat mengumpulkan ahli-ahli silat yang demikian hebat?”

“Orang-orang Bu Lim (kalangan persilatan) tertarik kepada 3 hal, Yang Mulia. Harta karun, Mustika sakti, atau kitab ilmu silat. Selain itu, mereka tidak akan merepotkan diri dalam hal lain,” jelas Cio San.

“Ah, masuk akal. Berarti raja Miao memiliki salah satu dari ketiga hal ini, atau mungkin bahkan memiliki ketiga-tiganya. Kira-kira apa yang dimilikinya?”

“Hamba masih belum tahu. Tetapi hamba akan meneruskan penyelidikan ini. Jika tokoh kaum sesat sudah bergabung dalam pasukan musuh, maka kaum lurus pun mungkin akan bergabung turut ke dalam peperangan ini. Yang Mulia mungkin bisa mengambil hati mereka, untuk turut bergabung dengan pasukan kita. Tetapi hal ini akan menimbulkan banyak sekali korban. Jika kaum bu lim sudah terjun ke dalam kancah peperangan ketentaraan, maka hasilnya akan sangat menakutkan. Ini satu-satunya yang hamba khawatirkan,” ungkap Cio San.

“Cio-hongswee punya usul mengenai hal ini?” tanya pangeran Cu.

“Sebisa mungkin pihak musuh harus dikalahkan tanpa menggunakan tenaga kaum bu lim. Hanya itu satu-satunya cara. Tetapi hamba sendiri belum mendapatkan cara yang paling pas. Hal yang paling baik mungkin adalah melemahkan mereka dari dalam.”

“Mengadu domba mereka?”

Cio San tidak menjawab. Ia paling tidak suka kata-kata ini. Tetapi terkadang di dalam hidup seorang manusia, ia memang harus memilih pilihan yang buruk dari berbagai macam pilihan yang lebih buruk.

Pangeran Cu berpikir sebentar, lalu ia mempersilahkan Cio San pergi. Terlalu banyak beban di dalam pikiran pangeran itu. Ia terlihat bertambah tua dalam beberapa hari saja. Cio San sendiri saat keluar secara tidak sengaja bertemu dengan Bu Cin Lian yang sepertinya memang sudah menunggunya sedari tadi.
“Siapa wanita itu?”

Dari seluruh pekerjaan berat yang dilakukan Cio San beberapa hari belakangan ini, pertanyaan inilah yang ditanyakan oleh Bu Cin Lian. Setiap wanita memang sama saja.

“Dia seorang wanita suka Goan,” jawab Cio San sambil tersenyum memandang wajah Bu Cin Lian yang cemberut.

“Aku sudah tahu. Yang kumaksud, dia siapamu?”

“Aku bertemu di jalan dan menyelamatkannya,” jelas Cio San.

“Itu pun aku sudah tahu. Yang kumaksud dia itu SIAPAmu?”

“Dia adalah seorang sahabat,”

“Hanya seorang sahabat?”

“Untuk saat ini.”

“Jadi di masa mendatang ia bisa berubah menjadi istrimu?”

“Di masa mendatang ia bisa berubah menjadi istriku, atau musuhku, atau orang yang membunuhku. Memangnya nona yang cantik ini bisa membaca masa depan?” tawa Cio San.

“Tidak perlu merayu. Apa saja yang sudah kau lakukan bersamanya?” tanya nona ini lagi.

“Kami tidak melakukan apa-apa.”

“Jangan bohong. Masa berhari-hari berduaan seperti itu tidak melakukan apa-apa?” nona ini bertanya semakin lirih, tetapi semakin menusuk hati.

“Baiklah. Aku dan dia berlari bersama. Terkadang kami berpegang tangan. Terkadang kami makan bersama-sama.
“Ish!”

Bu Cin Lian pergi dengan membanting kaki.

Di hadapan perempuan, seorang laki-laki tidak boleh berbohong, juga tidak boleh jujur.

“Jika ia ternyata mata-mata, aku akan membunuhnya,” ancam Bu Cin Lian sambil beranjak dari situ.

Cio San terdiam. Masalah yang ia hadapi sekarang bertambah rumit. Segala kemungkinan memang masih ada. Semua bisa jadi lawan, bisa pula menjadi musuh. Ia sendiri masih belum bisa merunut benang merah segala peristiwa ini dengan terang benderang. Masih terlalu banyak kemungkinan.

Bu Cin Lian pun sendiri memasuki kamarnya dengan rasa cemburu yang amat besar. Cio San telah mampu menarik hatinya dengan menakjubkan. Malam yang mereka lewati beberapa hari yang lalu adalah malam yang paling indah baginya. Cio San tidak melakukan ‘apa-apa’ padanya. Ia hanya memeluknya dengan penuh kehangatan dan menciumnya dengan lembut. Mendengarkan segala keluh kesahnya, segala ketakutan, dan beban pikirannya. Itulah yang ia inginkan selama ini. Sesosok lelaki gagah yang mampu memberi perlindungan dan perhatian kepadanya. Ia telah berganti laki-laki berkali-kali. Melampiaskan nafsu dan perasaannya kepada mereka. Mencoba mencari sesuatu yang hilang di dalam jiwanya. Dan hal itu tidak ia temukan dari kesemua lelaki ini. Mereka hanya menjadi pemuas nafsunya. Tetapi Cio San memiliki hal ini. Memiliki apa yang selama ini ia cari-cari di sepanjang hidupnya. Ia bahkan rela mengorbankan segalanya bagi lelaki ini.

Tetapi mengapa lelaki ini kemudian berubah? Menjadi dingin dan tidak seperti yang dulu lagi. Tentu karena sudah ada perempuan lain di hatinya!

Isi hati perempuan selalu dipenuhi pertanyaan dan prasangka semacam ini. Jika lelaki yang mereka cintai sedikit tidak mengacuhkan mereka, sedikit melupakan perhatiannya, maka perempuan akan menganggap diri mereka sendiri mungkin sudah tidak cantik dan tidak menarik lagi.

Mungkin karena inilah, semakin tua seorang perempuan, terkadang justru dandanannya semakin tebal. Mencoba untuk menjadi lebih cantik dan menutupi usianya.

Cio San sendiri pun masuk ke biliknya dan menghempaskan tubuhnya di atas ranjang.

Ia telah mencoba membuka hatinya demi kebahagiaan dirinya sendiri. Ia belum memutuskan wanita mana yang akan mengisi hatinya. Tapi satu hal yang pasti, ia kagum akan kecantikan kedua nona ini. Bu Cin Lian yang menggairahkan namun tegas, Syafina yang lembut dan anggun namun berilmu tinggi.

Semua manusia memang selalu dihadapkan kepada pilihan hidup.

Juga dihadapkan kepada pilihan pasangan hidup.

Ia tidak mau berpikir lagi. Hari ini sudah cukup berat. Ia pun kemudian mendengkur dengan syahdu.

***

Kini Cio San dan Syafina sedang menghadap pangeran Cu. Mereka membicarakan tentang kemungkinan kerajaan Qara Del untuk turut bergabung dalam perang ini. Saat inilah Cio San baru tahu siapa Syafina sebenarnya. Dan tebakan pangenran Cu kembali terbukti benar. Syafina adalah putri dari raja Qara Del yang lalu, Enke Timur. Ia adalah adik dari raja yang baru saja diganti, yaitu Tuli Temur. Raja Qara Del yang sekarang adalah Boda Shili. Yang merupakan kerabatnya juga. Jadi nona ini memiliki dari keturunan kaisar Mongol. Oleh sebab itu pangeran Cu sangat menghormati nona ini.

“Setelah kakak saya turun tahta 2 tahun yang lalu, raja Boda Shili menggantikannya. Pemerintahannya berlangsung dengan damai selama 2 tahun ini. Meskipun terkadang keluarga kami kerap kali bersebrangan dengan keputusannya, sejauh ini pemerintahannya cukup memuaskan. Tetapi kami curiga ia menyimpan sebuah rencana untuk memberontak dari kekaisaran Ming. Oleh karena itu saya, sebagai satu-satunya orang dari keluarga Temur yang memiliki ilmu silat cukup tinggi, ditugaskan untuk menyelidiki hal ini. Akhirnya memang ketahuan jenderal Aghulai sudah mengikat hubungan dengan suku pemberontak di selatan.”

“Oh jadi yang tuan putri maksud menuliskan surat kepada pemimpin anda, adalah kepada keluargamu, dan bukan kepada raja Qara Del yang sekarang?” tanya Cio San.

“Benar Hongswee. Tetapi ketika Hongswee menyarankan agar aku kesini dan melaporkan hal ini kepada pejabat Ming, aku menyetujuinya. Dengan begitu, aku bisa menjelaskan kenyataan yang sebenarnya tentang keadaan kami di sana,” terang Syafina.

“Pilihan yang bijaksana. Sekarang siapa kepala keluarga anda, tuan putri?” tanya pangeran Cu.

“Namanya Tuohan Temur. Beliau adalah kakak saya dari ibu yang berbeda. Beliau juga adik kandung dari raja kami terdahulu, Tuli Temur.”

“Baik. Aku akan mengirimkan surat penjelasan tentang hal ini kepada kaisar kami Yang Mulia. Untuk saat ini, kira-kira apa yang tuan putri akan lakukan?”
“Saya masih belum pasti. Tetapi sejak semalam saya berpikir lebih baik saya tinggal disini sebagai bukti bahwa kerajaan kami masih tunduk kepada kaisar Ming Yang Mulia,” jawab si nona.

Dalam hati, Cio San dan Pangeran Cu teramat kagum. Secara tidak langsung, tuan putri menyerahkan dirinya sebagai jaminan kesetiaan kepada kekaisaran!
“Tuan putri memang sangat bijaksana. Segara saya perintahkan petugas kami untuk mempersiapkan segala hal untuk kenyamanan tuan putri tinggal di sini,” ujar pangeran Cu.

“Jika diperbolehkan, hamba juga ingin turut berperang dalam pasuka kekaisaran. Pengkhianat Aghulai memang harus kami sendiri yang menghakiminya,” pinta tuan putri.

“Baik. Aku mengijinkan. Sungguh aku kagum kepada keberanian dan kesetiaan tuan putri. Aku akan menuliskan hal ini tersendiri di dalam surat kepada kaisar kami yang mulia,” ungkap pangeran Cu.

Pembicaraan lalu selesai.

Cio San kemudian meminta ijin untuk meninggalkan benteng. Ia bermaksud untuk mencari Suma Sun dan meminta pertolongannya. Dalam keadaan genting seperti ini, hanya Suma Sun satu-satunya orang yang bisa ia percaya, selain Kao Ceng Lun yang kini menjadi petugas kerajaan. Orang satunya lagi yang bisa Cio San percaya, justru kini tidak percaya kepadanya. Begitu sedih hatinya memikirkan keadaan sahabatnya itu.

Cukat Tong, apakah kau berbahagia saat ini? Semoga kau terus berbahagia.

Air matanya meluncur tanpa bisa ditahannya.

Setelah mendapat ijin, Cio San segera berangkat. Sebelumnya ia ingin bertemu dengan Bu Cin Lian, tetapi nona itu tidak ingin bertemu dengannya. Cio San hanya bisa bertemu Putri Syafina dan meminta diri. Nona itu melepas kepergiannya dengan doa. Cio San berjanji akan kembali secepatnya.

Dengan sebuah kapal kecil milik kerajaan, Cio San mengarungi samudra laut timur dan sampai di sebuah kota. Ia mencari markas Mo Kauw terdekat dan meminta salah seorang anak buahnya untuk mengirim kabar kepada Suma Sun di mana pun mereka bisa menemukannya. Dalam beberapa hari, Suma Sun mengabarkan bahwa ia akan segera sampai di kota itu dalam 3 hari.

Dalam 3 hari ini, sambil menunggu Suma Sun, Cio San mencari-cari kabar perkembangan peperangan. Sudah hampir sepuluh hari ia meninggalkan benteng selatan, dan kabar yang ia dengar cukup mengkhawatirkan. Tersiar kabar bahwa pasukan kekaisaran mengalami kekalahan di mana-mana bahkan ketika pasukan tambahan milik pangeran Cu dan pasukan cadangan milik kaisar diterjunkan. Dalam hati ia begitu bingung bagaimana tentara yang kuat ini bisa dikalahkan dengan mudah.

Di beberapa titik peperangan di garis perbatasan selatan pun tentara kekaisaran mengalami kekalahan besar. Hanya benteng selatan yang diduduki pangeran Cu saja yang masih aman, karena letaknya jauh ke dalam daerah kekuasaan Ming. Dalam hati ia berpikir, jika kaum lurus Bu Lim tidak turun tangan, maka bukan tidak mungkin kekaisaran ini akan ambruk dan Tionggoan akan kembali dikuasai suku-suku luar. Tetapi ia mengerti betul jika kaum Bu Lim turun tangan, maka perpecahan dan kerusakan yang lebih besar akan terjadi.

Betul-betul pilihan yang sulit.

Begi Cio San, lebih baik ia masuk sendiri ke sarang musuh, menghabisi berapapun tokoh sesat yang berada di sana. Sebuah misi bunuh diri. Tetapi jika ia bisa sedikit mengurangi kekuatan musuh, pengorbanannya ini bisa berarti besar. Apalagi jika ia berhasil menghabisi raja pemimpin suku-suku itu.
Menghentikan naga memang harus memotong kepalanya.

Dan itu yang akan dilakukannya!

Lalu hari yang dijanjikan tiba. Pagi-pagi sekali Suma Sun sudah muncul di markas Mo Kauw yang tersembunyi di balik sebuah toko kelontong. Tetapi ia tidak sendirian. Ia mengajak Ang Lin Hua, istrinya. Alangkah senangnya Cio San bertemu dengan wanita yang sudah dianggapnya sebagai adik kandungnya sendiri itu.

Ia tampak cantik sekali. Rambutnya kini sudah hitam seluruhnya. Wajahnya mencerminkan kebahagiaan dan ketenangan hidup. “Kauwcu (ketua), apa kabar?” katanya sambil menjura.

“Aih, Kauwcu apa kabar?” senyum Cio San. “Sekarang kau adalah kauwcunya. Masa memanggil aku seperti demikian? Hahaha,” ia tertawa sambil mengelus-elus kepala Ang Lin Hua. Memang di antara mereka sudah tidak ada lagi sekat pebatas. Cio San benar-benar memperlakukan Ang Lin Hua sebagai adiknya sendiri.

“Kau sehatkah Hua-moay (adik Hua)?” tanya Cio San.

“Tentu saja. Bahkan aku membawa keponakanmu di dalam perutku ini,” jawabnya sambil tertawa.

“Ah, kau mengandung? Syukurlah. Ini berita baik. Oh,aku sungguh senang sekali mendengarnya,” tukas Cio San kegirangan. “Sudah usia berapa kandunganmu?”

“Hampir 3 bulan,” jawab Ang Lin Hua tersenyum.

“Eh, kenapa kau tahu-tahu ikut juga ke sini?” tanya Cio San lagi.

“Dia sudah meninggalkan aku berbulan-bulan. Aku sendirian di Istana Ular. Aku mengirim pesan kepadanya, jika tidak segera pulang, segera akan kugetok kepalanya dengan gagang pedang. Setelah pulang, tak lama kemudian kami mendapat kabar darimu. Akhirnya aku memaksa ikut. Rasanya tidak enak sendirian terus di sana,” jelas Ang Lin Hua.

“Aih, jika begini aku jadi merasa bersalah. Kau sedang mengandung, melakukan perjalanan berat bisa berbahaya bagi kandunganmu,”

“Anak yang kukandung ini adalah anak dari keluarga Suma. Sejak di dalam kandungan ia harus mengalami petualangan yang seru. San-ko (kakak San) menyuruh dia tinggal di rumah memangnya kau pikir dia anak pejabat yang manja?” tawa Ang Lin Hua. Suma Sun pun ikut tertawa. Cio San memperhatikan, setiap Suma Sun berada dekat dengan Ang Lin Hua, dewa pedang itu menjadi lebih hangat dan lebih bersemangat. Ia menjadi ‘manusia’.

Cinta memang bisa memanusiakan seseorang. Cinta juga bisa membuat manusia menjadi seperti hewan tanpa akal.

 Setelah sepasang suami itu beristirahat sejenak sambil menikmati sarapan pagi yang sudah disiapkan Cio San, Suma Sun mulai menceritakan hasil perjalanannya selama ini.

“Setelah mendengar kabar bahwa kau hanya bisa disembuhkan oleh bunga Anggrek Tengah Malam, aku lalu memulai perjalananku. Di dalam perjalananku, aku mulai mengingat-ingat kejadian dulu saat aku masih kecil,”

Suma Sun mengisahkan kisah masa kecilnya saat ia diculik Bwee Hua tua, tentang kematian orang tuanya dipuncak Himalaya, sampai dengan kenyataan bahwa ia memiliki seorang paman bernama Suma Hiang yang dijuluki Ang Tiung-Sha (si Jubah Merah). Ia juga menceritakan kejadian tentang Wu Ye Lan Hua (Anggrek Tengah Malam).

“Pamanku Suma Hiang di masa hidupnya dituduh sebagai ‘pemetik bunga’ bahkan ia dijuluki Jai Hua Sian (dewa pemetik bunga). Ia juga mencari Anggrek Tengah Malam, dan dalam perjalanannya ia sempat bertarung dengan ayahku. Secara tidak sengaja ayahku terbunuh olehnya, dan pada saat itu mereka berdua baru tahu bahwa mereka ternyata bersaudara. Di saat itu, orang yang mengincar Suma Hiang sudah sangat banyak karena merasa anak-anak perempuan mereka menjadi korbannya. Banyak juga pendekar kaum lurus yang ingin menghukumnya karena kejahatannya. Saat itu di Himalaya, musuh-musuhnya sudah berkumpul semua dan ingin membunuhnya,” cerita Suma Sun.

“Jumlah mereka ratusan orang, dan aku saat itu hafal nama mereka semua. Saat itu aku sudah menetapkan hatiku untuk mencari  dan membunuh mereka satu persatu. Dalam perjalanan hidupku, aku menemukan bahwa orang-orang ini kebanyakan justru orang-orang dari kaum sesat. Sebagian sudah kubunuh, namun sebagian lagi sudah mati karena pertarungan dengan orang lain. Ada juga beberapa yang masih hidup dan belum sempat kucari. Berhubung kita semua orang persilatan, dan kematian adalah hal yang biasa, maka aku tidak menaruh curiga atas kematian orang-orang ini.”

Lanjutnya, “Ketika beberapa bulan yang lalu saat aku mencari Anggrek Tengah Malam, aku baru menyelediki secara mendalam atas kematian mereka, dan juga mencari orang-orang yang masih hidup. Ternyata orang-orang yang tadinya masih hidup dan belum sempat kubunuh itu sudah mati semua! Kematian mereka pun hampir berdekatan. Yang paling aneh, saat mayat mereka ditemukan, telah ditutup dengan sebuah jubah berwarna merah!”

Cio San sedikit terhenyak. Kasus pembunuhan dengan jubah merah ini awalnya ia dengar dari Kao Ceng Lun yang mengisahkan tentang kematian ayahnya yang juga ditutupi dengan sebuah jubah merah. Dan memang, kasus pembunuhan ayah Kao Ceng Lun ini menjadi kasus pertama yang memulai pembunuhan atas tokoh-tokoh lainnya. Semua mayat ditutupi dengan jubah merah!

Suma Sun menyebut nama tokoh-tokoh yang terbunuh karena jubah merah itu. Ada sekitar 9 orang dan hampir sebagian besar Cio San mengenal nama-nama mereka.

“Apakah ayah Kao Ceng Lun berada juga di puncak Himalaya saat kejadian itu?”

“Tidak. Itulah yang mengherankan aku. Dari sembilan korban tadi, hanya beliau satu-satunya orang yang tidak berada di Himalaya,” jawab Suma Sun.
“Hmmmmm......”

“Ada lagi sebuah rahasia besar yang ingin kuceritakan kepadamu,” kata Suma Sun. “Penyelidikanku membawaku kepada Bwee Hua. Aku bertemu dengannya saat ia telah berhasil menyembuhkanmu dengan Anggrek Tengah Malam. Dengan susah payah, aku baru bisa mengorek keterangan yang sebenarnya tentang Anggrek Tengah Malam.”

Lanjutnya, “Pada jaman dulu, orang dinasti Goan mempunyai sebuah legenda. Legenda itu mengatakan, jika seseorang berhasil menguasai 7 mustika, maka orang itu akan menguasai dunia. Legenda ini hanya beredar secara rahasia di kalangan keluarga Khan (keturunan raja Mongol). Dan ketujuh mustika itu adalah: Mustika Ikan yang ampuh memusnahkan segala racun, Mustika Ular yaitu sebuah baju dari kulit ular yang membuat pemakainya kebal dari segala jenis senjata, Mustika Kulit yang merupakan sebuah peta penyimpanan harta karun peninggalan purbakala, Mustika bunga yaitu anggrek tengah malam yang dapat menyembuhkan sakit apa saja, Mustika Pedang yaitu sebuah pedang buatan seorang empu jaman dahulu yang bisa memotong apa saja dan tak bisa dihancurkan. Lalu Mustika Sutra, yaitu sebuah kain sutra maha tipis yang berisi inti sari segala ilmu silat. Aku percaya dulu Mustika ini yang membuat engkau terusir dari Bu Tong-pay. Kemudian ada Mustika Kitab yang merupakan kitab ilmu perang. Kitab Bu Bhok yang dulu sempat berada kepadamu.”

“Wah.......” hanya ini yang keluar dari mulut Cio San. Ia berpikir lama sekali, hingga kemudian berkata, “Mari kita bikin sedikit kesimpulan. Bwee Hua ternyata mengerti tentang rahasia ketujuh Mustika ini, dan kemungkinan ia sedang berusaha mengumpulkannya. Yang kita tahu, Mustika Bunga sudah pasti berada di tangannya. Mustika Ular juga berhasil ia curi dari gudang istana. Berarti saat ini ia telah memiliki 2 mustika. Eh, aku lupa. Dulu Mustika Sutra yang dimiliki guruku Kam Ki Hiang, kemungkinan besar jatuh ke tangan Bwee Hua tua. Jadi seluruhnya ada 3 mustika yang berada di tangan Bwee Hua muda saat ini.”

“Empat. Aku yakin Mustika Ikan juga berada padanya. Saat aku kecil dahulu, aku pernah ‘melihat’ Bwee Hua tua merebut Mustika itu dari tangan seseorang,” tukas Suma Sun.

“Ah, berarti 4. Kemungkinan besar, ia memang ingin meneruskan cita-cita gurunya. Mengumpulkan ketujuh Mustika itu dan menguasai dunia. Satu mustika yang lain, yaitu Mustika Kitab berada dalam penjagaan istana kaisar sekarang. Sisanya, yaitu Mustika Pedang dan Mustika Kulit belum kita ketahui keberadaannya,” ujar Cio San.

“Mustika Pedang ikut hilang bersama paman Suma Hiang. Pedang itu sejenis pedang lentur yang amat sangat tajam. Pedang itu terjatuh di jurang saat paman Hiang meninggal,” kata Suma Sun.

“Oh begitu. Aku sekarang pun dapat menebak dimana keberadaan Mustika Kulit. Kemungkinan besar mustika itu berada di tangan raja suku pemberontak di selatan. Justru karena hal inilah aku memanggilmu kemari,” kata Cio San. Ia lalu mengisahkan segala pengalaman dan pengamatannya saat berada di sana. “Tapi ngomong-ngomong, mengapa Bwee Hua menceritakan hal ini kepadamu?” tanya Cio San.

“Kata Bwee Hua, kau akan mengerti alasannya,” jawab si dewa pedang.

Cinta. Memangnya ada alasan lain selain cinta?


Cio San termenung, lalu berkata, “Ada beberapa hal mencurigakan di jejak-jejak yang kutemukan. Aku mohon kau dapat memeriksanya. Aku masih belum memiliki ilmu yang cukup tinggi untuk memeriksa hal-hal ini. Misalnya tentang beberapa jejak aneh yang kutemukan, serta beberapa petunjuk yang tidak terlalu penting. Tetapi hatiku belum puas jika belum bisa mendapatkan jawabannya,” kata Cio San.

“Jika kita pergi kesana, jejak-jejak dan petunjuk ini mungkin sudah hilang seluruhnya,” tukas Suma Sun.

“Apabila orang ini pintar, ia tidak akan menghapusnya,” senyum Cio San.

“Mengapa?”

“Karnena jika ia menghilangkannya maka itu akan menunjukkan bahwa ia takut jika rahasianya ketahuan.”

“Menghapus bukti kan akan menutup rahasia?” tanya Suma Sun.

“Benar. Tetapi orang ini ingin membuat kejadian ini sebagai sesuatu yang alami. Jika ia menghilangkan bukti-bukti, maka itu akan menunjukkan bahwa memang benar ada beberapa rahasia yang disembunyikan.”

“Baiklah. Kapan kita berangkat?”

“Kalian kan baru saja datang. Mungkin besok kita sudah bisa berangkat. Namun aku tidak ikut. Aku ingin menyelediki tentang Tujuh Mustika yang kau ceritakan itu. Aku akan menulis surat pengantar bagimu dan Hua-moay. Kau bisa menunjukkan surat itu kepada Pangeran Cu dan pasukan di sana. Dan mereka akan menerimamu dengan baik.”

Esok harinya pagi-pagi sekali, Suma Sun dan Ang Lin Hua sudah siap. Cio San menyerahkan surat pengantar  kepada Suma Sun. Lalu mengantar mereka ke sebuah dermaga kecil di mana sebuah kapal kecil milik ketentaraan sudah siap menunggu mereka.

Saat perjalanan di dermaga yang ramai, terdengar seseorang berteriak, “Pencuri!!!! Tangkap pencuri!!!!”

Orang-orang mulai berkejar-kejaran dan suasana menjadi kacau balau.

Cio San melihatnya sambil tersenyum. Masih ada saja orang mengambil kesempatan di tengah keramaian seperti ini. Tetapi ia kemudian menyadari satu hal. Kejadian pencurian ini adalah sebuah sandiwara. Ia dapat membaca raut wajah orang. Tetapi sayang sungguh sayang, ia menyadari hal ini dengan sangat terlambat. Padahal terlambatnya pun hanya bebearap detik. Suma Sun pun terlambat menyadarinya karena ia tak dapat melihat raut wajah manusia seramai ini.

Sebuah panah meluncur dengan deras. Panah kecil tanpa suara, yang dirancang dengan segala kepintaran manusia.


Panah ini menembus perut Ang Lin Hua!


Related Posts:

0 Response to "EPISODE 2 BAB 42 TUJUH MUSTIKA"

Posting Komentar