EPISODE 2 BAB 41 DI SARANG MUSUH


Cio San bergerak cepat untuk memeriksa keadaan dan mengumpulkan sebanyak mungkin bukti atau apapun yang diperlukan bagi penyelidikannya dan laporannya kepada pangeran Cu.  Ia memeriksa puluhan ribu mayat yang hangus gosong. Ia meneliti jejak. Tak ada satu hal pun yang ia lewatkan. Setelah beberapa lama meneliti di dalam kegelapan, ia lalu menuliskan laporannya kepada pangeran Cu. Menceritakan segala keadaan yang lihat, lalu mengirimkan surat itu melalui burung merpati yang dibawanya.

Ia telah memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh tentang kejadian ini. Utusan yang sebelumnya dikirim untuk melaporkan keadaan pun sampai sekarang belum ia temukan. Menurut kecurigaannya, utusan ini mungkin telah menemui maut, atau paling tidak menjadi tawanan musuh.

Saat ini ia benar-benar berharap Suma Sun ada bersamanya. Dewa pedang itu adalah orang yang paling ahli dalam menelusuri jejak. Nalurinya yang begitu terlatih membuatnya memiliki perasaan dan indera bagai serigala yang mampu melacak jejak mangsanya. Cio San kini harus berusaha keras untuk mencari jejak, karena jejak-jejak ini telah kabur dan bertumpuk-tumpuk. Tetapi hal ini kemudian menjadi mudah ketika kemudian ia berhasil memahami pola jejak.

Dari pola jejak, ia kemudian bisa membedakan mana jejak pasukan sendiri, dan mana jejak musuh. Dari pola jejak ini, ia dapat menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana kejadian itu berlangsung, dan bagaimana pula keadaan saat peperangan hingga terjadinya pembakaran mayat secara besar-besaran ini.

Di sini ia menemukan kenyataan bahwa jumlah musuh sebenarnya lebih sedikit. Tetapi pasukan ini terdiri dari orang-orang yang berilmu silat sangat tinggi. Ini terbukti dari pola jejak mereka yang sangat ringan, bahkan hampir tidak meninggalkan jejak di atas tanah. Ditambah lagi dengan keadaan daerah peperangan yang jejaknya tidak mirip dengan pola peperangan. Jejak yang tertinggal justru mirip jejak pertarungan ilmu silat! Cio San memutar otak untuk mencoba memunculkan peristiwa yang terjadi di dalam benaknya. Bagaimana pasukan kekaisaran kewalahan menghadapi musuh yang amat sakti, dan dapat dikalahkan dengan cukup mudah. Padahal pasukan kekaisaran adalah pasukan yang sangat terlatih dan memiliki kemampuan tempur yang sangat tinggi.

Saat Cio San mencoba mereka-reka peristiwa ini, telinganya yang peka mendengar sebuah suara dari jauh. Seseorang datang!

Dengan sigap ia bersembunyi dan mengawasi sosok yang datang itu. Tak dinyana ternyata sosok itu adalah seorang perempuan.

Tentu saja seorang perempuan yang amat sangat cantik.

Bahkan cantiknya pun tidak kalah dengan Bwee Hua!

Di tengah kegelapan malam seperti ini, di tengah tumpukan puluhan ribu mayat yang hangus gosong, muncul sesosok perempuan secantik bidadari. Sosok ini seolah-olah berpendar di dalam kegelapan. Hampir saja Cio San mengira sosok ini adalah sesosok hantu gentayangan!

“Hah!”

Perempuan itu terperanjat kaget melihat keadaan daerah itu yang dipenuhi puluhan ribu mayat. Kekagetan itu membuatnya hampir berteriak untuk kemudian mampu menguasai dirinya. Langkahnya meskipun sangat hati-hati, tetapi terlihat ringan dan cepat. Jelas sekali kalau perempuan ini menguasai ilmu silat yang cukup tinggi.

Seperti Cio San pula, nona ini rupanya meneliti jejak dan menyelidiki keadaan sekitarnya. Cukup lama nona ini melakukan hal ini. Sampai kemudian ia memutuskan untuk mengikuti jejak yang sebelumnya akan ditelusuri Cio San. Untunglah nona itu tidak mampu melihat jejak Cio San.

Di dunia ini memang hanya dua atau tiga orang yang mampu melihat jejaknya.

Karena jika ia mengerahkan ginkangnya, tidak ada sedikitpun goresan bekas kakinya di muka bumi yang dapat dilihat dengan mata telanjang.

Perempuan yang amat cantik itu kemudian menulusuri jejak dan pergi dari situ. Cio San yang sedari tadi bersembunyi, akhirnya memutuskan untuk membayangi nona itu. Cukup lama mereka bergerak. Malam telah semakin larut dan si nona masih terus menelusuri jejak. Di tengah perjalanan terkadang Cio San memetik buah untuk mengisi perutnya. Ia tahu musuh sedang mengintai di depan, dan ia harus benar-benar mengisi tenaganya. Demikian pula nona itu terkadang berhenti untuk menikmati bekal yang ia bawa. Sejenis roti kering khusus yang berguna untuk menambal perut dan mengisi tenaga. Roti kering khusus seperti ini biasanya adalah makanan orang Goan (Mongolia).

Cio San menjadi yakin bahwa nona ini adalah orang Goan. Meskipun bajunya adalah baju ringkas biasa yang umumnya dipakai oleh orang-orang persilatan di Tionggoan, wajah nona ini memiliki garis-garis yang sedikit berbeda. Setelah ia mengeluarkan roti itu, baru Cio San yakin benar bahwa nona ini adalah keturunan bangsa Goan.

Untuk apa seorang Goan datang kemari?

Saat ini, bangsa Goan yang telah terusir dari Tionggoan, pindah ke daerah mereka sendiri di utara dan mendirikan kerajaan Goan Utara di sana. Meskipun kekaisaran Ming yang menguasai Tionggoan sekarang tidak melakukan peperangan dengan mereka, tetapi terkadang masih timbul pula gesekan-gesekan di ujung perbatasan.

Lalu mengapa nona ini ada di sini? Sekarang mereka hampir berada di bagian selatan Tionggoan. Jika nona ini ternyata memang datang dari Goan Utara, berarti nona ini telah menempuh perjalanan berbulan-bulan untuk bisa sampai datang kemari. Apa yang dicarinya?

Perjalanan ini terus dilanjutkan sampai menjelang terang tanah. Si nona akhirnya memilih untuk beristirahat dan mencari tempat bersembunyi. Di dalam hatinya, Cio San sangat kagum melihat kekuatan tubuh dan hati nona itu. Tidak mudah untuk dapat terus menelusuri jejak sepanjang malam tanpa istirahat sama sekali. Apalagi saat itu sedang di dalam suasana perang sehingga bahaya yang mengancam sering datang tidak terduga. Beban pikiran dan tekanan batin yang cukup kuat dapat melemahkan kekuatan seseorang.

Nona ini memasuki hutan lebih dalam dan menemukan tempat bersembunyi yang cukup baik. Ia naik ke atas sebuah pohon yang cukup tinggi, namun dahan-dahannya tertutupi oleh dahan pohon-pohon lain. Dari bawah tidak keliahatan, dari atas pun tidak kelihatan. Cio San secara hati-hati mengikuti nona itu dan memilih pula tempat persembunyiannya. Sedari tadi nona itu memang tidak tahu sama sekali jika ia telah dibayangi oleh Cio San.

Setelah menemukan tempat persembunyian yang cukup baik, Cio San memilih untuk tidur. Orang lain jika dalam keadaan seperti ini tentu tak akan tidur, dan tak mungkin dapat tidur. Tetapi ia bisa. Rupanya ia menemukan cara agar tidurnya ini sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Kebiasaannya mendengkur ternyata hilang sama sekali saat ia melakukan tidur seperti ini. Tidur seorang ahli silat yang berguna untuk mengumpulkan tenaganya, mengosongkan pikirannya, dan mempersiapkan dirinya untuk menyambut segala perubahan. Dalam keadaan seperti ini, ada pergerakan sedikit saja, ia akan terbangun dan sadar sepenuhnya. Bahkan dapat bergerak seolah-olah telah sadar sepenuhnya. Tidur para ahli silat ini sama dengan tidurnya para hewan-hewan tertentu di musim dingin. Hewan-hewan ini seolah-olah mati karena detak jantung mereka menurun dengan sangat jauh, seolah-olah tidak berdetak sama sekali. Kerja pencernaan mereka pun berhenti, segala otot-otot yang tidak diperlukan pun berhenti bergerak. Hanya jantung yang bergerak memompa darah. Dan paru-paru yang bekerja menghirup udara. Selain itu, organ tubuh mereka yang lain tidak berfungsi sama sekali. Suhu tubuh mereka pun menurun dengan sangat jauh.

Tetapi meskipun indera mereka tidak berfungsi, keadaan alam bawah sadar para ahli silat ini berfungsi dengan sangat baik, bahkan berlipat ganda. Sehingga jika ada kejadian yang membahayakan mereka, serentak tubuh mereka berfungsi seperti sedia kalanya. Hanya orang-orang yang berilmu sangat tinggi yang mampu melakukan tidur seperti ini. Cio San yang sudah sangat mengerti tentang pengendalian tenaga, urat darah, organ-organ tubuh dan indera, memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam melakukan tidur seperti ini. Karena itu beberapa orang sering heran mengapa ia bisa tidur dengan sangat pulas, tetapi mampu mengikuti segala percakapan dan kejadian yang berlangsung saat ia sedang tidur.

Oleh sebab itu kini Cio San tidur dengan nyaman dan nikmat. Tubuhnya nampak sangat tenang bahkan seolah-olah terlihat seperti orang yang sudah mati. Di alam bawah sadarnya, ia menikmati segala ketenangan alam di sekitarnya. Menikmati hembusan angin, hangatnya mentari, bisikan dedaunan, serta gemericik sungai yang tak jauh berada di sana. Keadaan ini semakin menguatkan tubuh dan pikirannya. Ia memerlukan hal ini.

Tidur ini bahkan berlangsung sampai menjelang sore. Saat itu si nona sudah turun dari persembunyiannya. Cio San sendiri pun bangkit dari tidurnya dan kemudian kembali membuntuti nona itu. Dalam setiap langkahnya nona yang amat sangat cantik itu terlihat sangat berhati-hati, karena nona itu tahu, ia semakin mendekati sarang incarannya.

Ketika malam menjelang, terlihat dari kejauhan sebuah padang rumput yang sangat luas. Di tengah padang rumput itu telihat ratusan tenda dan kemah. Rupanya inilah sarang musuh itu! Terlihat angker dan menakutkan karena banyak sekali penjaga yang berjaga-jaga di sekelilingnya.

Si nona berhenti sejenak untuk mempelajari keadaan. Gayanya yang penuh percaya diri memperlihatkan bahwa ia telah mengalami latihan yang sangat lama, dan juga menguasai ilmu untuk menyusup. Tidak sembarang orang yang bisa menguasai ilmu ini, karena dibutuhkan bakat dan latihan yang amat keras untuk bisa menguasainya. Cukat Tong adalah contoh orang yang telah menguasai ilmu ini secara sempurna. Nona ini mungkin 4 atau 5 tingkat dibawahnya. Tetapi tingkatan itu sudah cukup untuk membuat nona ini terhitung sebagai salah satu manusia yang sangat mahir dalam ilmu menyusup ini.

Nona ini lalu mengitari padang rumput dari luar. Mencoba untuk mempelajari segala hal dan mungkin mencari lubang dari penjagaan yang amat sangat ketat ini. Cukup lama ia mengatari padang rumput dari daerah hutan yang berada di tepi luar padang rumput itu. Hingga hampir tengah malam baru ia selesai mengitarinya dan mempelajarinya. Setelah selesai, nona itu memilih sebuah tempat tersembunyi di mana ia bisa menenangkan pikiran dan mengisi perutnya. Seperti para ahli silat dan ahli ilmu perang yang sangat mengerti taktik pertarungan dan peperangan, ia mempersiapkan dirinya dengan sangat seksama. Ia bersemedi cukup lama untuk memulihkan kekuatannya setelah menikmati roti kering yang ia bawa. Begitu tengah malam telah lewat, Ia lalu memakai cadar untuk menutupi wajahnya. Lalu ia bergerak!

Gerakannya amat lincah dan sangat cepat. Menghilang dibalik pepohonan. Menyusuri tanah dengan merayap. Bahkan melayang dengan amat ringan seperti seekor burung gereja. Jika gerak gerik nona ini sangat sulit untuk dilakukan, karena harus menggunakan perhitungan yang amat sangat matang supaya tidak ketahuan, gerak-gerak Cio San justru 2 kali lebih sulit. Ia harus bergerak sesuai perhitungan yang jauh lebih matang, karena ia harus menghindari penjagaan musuh, dan juga harus menjaga agar tidak sampai ketahuan oleh nona itu.

Setelah bergerak menyusup cukup lama, akhirnya berhasil lah mereka menyusup ke daerah perkemahan. Di dalam daerah perkemahan ternyata penjagaannya tidak kalah ketat pula. Cio San juga tadi sudah mempelajari keadaan sekitar, sama seperti yang dilakukan oleh nona itu. Oleh sebab itu ia sendiri paham apa yang harus ia lakukan. Entah apa yang sebenarnya nona itu cari. Rasa penasaran Cio San sendiri pun amat sangat besar mengenai hal ini. Seorang perempuan teramat cantik yang ilmunya sangat tinggi, berusaha menerobos sarang musuh yang berisi ribuan, bahkan puluhan ribu prajurit yang sangat terlatih.

Meskipun saat itu suasana sudah sangat sepi karena hampir sebagian besar penghuni tenda-tenda itu sudah tidur, tetap saja penyusupan harus dilakukan sangat hati-hati. Sampailah mereka di sebuah tenda yang amat sangat besar. Rupanya tenda itu adalah sebuah balai pertemuan!

Ada banyak sekali orang yang menjaga di sekeliling tenda itu. Dan keadaan di dalam tenda sendiri masih sangat ramai. Ada sebuah perayaan yang mereka adakan. Perayaan kemenangan.

Dari kejauhan Cio San dapat melihat isi tenda itu. Yang dilihatnya itu ternyata cukup mengagetkan. Banyak sekali tokoh-tokoh golongan hitam (Liok Lim) yang berada di sana. Ia mengenal banyak sekali tokoh-tokoh itu, tetapi tokoh-tokoh yang tidak dikenalnya pun tidak kalah banyak. Tetapi ada beberapa tokoh yang amat sangat terkenal dan amat sakti yang berada di sana.

Ca Hio Lo, raja golok dari timur. Sampai saat ini ia adalah orang satu-satunya yang mungkin dapat menandingi kecepatan dan kehebatan Suma Sun. Ma Lu Si, tokoh pemuda suku Uyghur yang ilmu Tiat Ciang (telapak besi) nya terkenal sampai ke seluruh Tionggoan. Namanya bahkan setara dengan Cio San! Lalu ada pula Lu Hu Tu, seorang sesepuh dari perguruan Hwee Liong pay (partai Naga Api). Ilmu Hwee Liong Ciang (Telapak Naga Api) nya merupakan ilmu yang konon kabarnya tidak kalah dahsyat dengan Ilmu Hang Liong Sip Pat Ciang (18 Tapak Naga) yang melegenda itu. Ada pula seorang nenek tua ahli racun bernama Pek-Giok Kwi Bo (biang iblis Giok putih). Nenek inilah yang paling dikhawatirkan Cio San. Seluruh manusia di Tionggoan pernah mendengar namanya. Bahkan manusia yang belum dilahirkan pun mungkin sudah mendengar namanya. Namanya ini sering digunakan orang tua untuk menakut-nakuti anaknya jika mereka nakal. Nama yang sudah sangat melegenda karena kekejamannya dan keganasannya. Beberapa tahun yang lalu, Cio San dan kawan-kawannya sempat berusaha mencari nenek ini, tetapi terdengar kabar bahwa ia sudah meninggal karena usia tua, sehingga pencarian itu dihentikan. Ternyata nenek ini muncul di sini. Bergabung dengan pasukan suku-suku kecil yang ingin memberontak.

Cio San sekali pandang dapat mengenalnya, karena ada sebuah hal yang aneh dan unik dari nenek ini. Saat ia bernafas, terlihat udara panas yang menyembur dari hidungnya. Konon katanya karena ketinggian ilmunya, ia dapat menghembuskan api beracun dari mulutnya!

Tampilannya pun sangat menakutkan mirip hantu-hantu yang sering diceritakan orang. Rambut putih yang sudah sangat jarang sekali. Kemana-mana selalu membawa tongkat berwarna hitam dan berbau sedikit amis. Selalu memakai baju berwarna putih salju.

Pantas saja seluruh mayat pasukan yang lihat kemarin mati hangus secara menakutkan! Rupanya merupakan perbuatan nenek ini.

Selain tokoh-tokoh tadi, banyak sekali ahli silat tinggi yang berada di sana. Cio San mengenal pula satu orang, dan ia malahan pernah bertarung dengan orang ini. Hek Lama (bhiksu hitam dari Tibet). Lama (sebutan untuk bhiksu Tibet) dulu pernah dikalahkannya saat mencoba merebut kitab Bu Bhok dari seorang mantan kaisar. Lama ini bersama murid-muridnya yang juga hadir di sana merayakan pesta kemenangan.

Sang raja dari suku Miao yang diangkat sebagai pemimpin pemberontakan suku-suku kecil ini juga berada di sana. Usianya sudah cukup sepuh. Mungkin sekitar 50 tahun lebih. Semua berbaur dalam pesta yang dipenuhi arak dan hidangan mewah. Tari-tarian perempuan yang hampir tidak berbaju menjadi suguhan tontonan bagi para pendekar yang baru saja memenangkan pertempuran mereka.

Begitu banyak ahli silat golongan di tenda itu sampai-sampai Cio San bahkan tidak berani bernafas. Salah gerak sedikit saja, kehadirannya mungkin akan ketahuan. Di dalam hati, ia berdoa  semoga nona ini tidak membuat gerakan yang menyebabkan diri sendiri ketahuan pula.

“Saudara-saudara sekalian!” kata sang raja. “Tadi pagi kita baru saja sampai di padang rumput ini setelah melewati pertarungan yang amat sangat hebat melawan tentara penjajah. Malam ini kita berpesta pora secukupnya agar esok hari dapat memulihkan kekuatan untuk menghadapi peperangan selanjutnya. Kiranya, malam ini sudah cukup panjang kita lalui. Cayhe (saya) sudah cukup tua sehingga perlu beristirahat memulihkan kekuatan sendiri. Untuk itu cayhe meminta ijin saudara-saudara sekalian untuk mengijinkan cayhe mengundurkan diri untuk beristirahat sejenak.”

“Silahkan yang mulia! Silahkan!” jawab para hadirin yang masih sibuk dengan arak dan hidangan yang ada. Sang raja pun keluar dari tenda itu diiringi pengawal-pengawalnya. Beberapa orang pun tak lama mengundurkan diri kembali ke tenda masing-masing. Sebagian besar pendekar yang lain masih berpesta pora dengan kenikmatan yang ada. Arak, makanan mewah, dan perempuan. Tampaknya tiada kenikmatan lain di dunia selain ketiga hal itu.

Si nona masih tetap dengan sabar bersembunyi. Rupanya ia mengincar salah seorang yang berada di sana. Cio San meraba-raba siapa kira-kira orang yang diincar nona itu. Ketika matanya tertumbuk ke salah seorang lelaki yang cukup tampan yang berada di sana. Lelaki ini berbeda dengan yang lain karena ia memakai pakaian perang khas bangsa Goan (mongol).

Siapa dia? Mengapa ada orang Goan yang bergabung pula dengan pemberontakan ini? Kerajaan Goan berada jauh di utara, sedangkan pemberontakan suku-suku ini berada jauh di selatan. Apakah kerajaan Goan kini secara diam-diam menyatukan kekuatan sehingga dapat mengepung kekaisaran Ming dari Utara dan Selatan?

Bisa jadi!

Ini adalah kemungkinan yang paling masuk akal dari kejadian ini.

Tetapi jika kerajaan Goan bergabung dengan pemberontakan, mengapa nona ini harus mengintai dan menyusup dengan diam-diam? Ada rahasia apa dibalik semua ini?

Benak Cio San dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan besar yang membuatnya berpikir keras.

Malam menjelang pagi. Pesta masih berlangsung. Tetapi satu persatu orang-orangnya mulai kembali ke tempat masing-masing. Tentunya berpasang-pasangan. Dalam keadaan mabuk dan hampir telanjang, mereka masuk ke bilik masing-masing untuk meneruskan pesta mereka. Laki-laki gagah berpakaian Goan itu pun kembali ke tendanya. Kali ini ia ditemani 2 orang perempuan yang digandengnya dengan mesra. Mereka tertawa terbahak-bahak menikmati senda gurau dan kebahagiaan di dalam ketidaksadaran mereka akibat arak.

Mabuk karena arak memang nikmat. Mabuk karena perempuan justru lebih nikmat. Bagaimana jika kedua golongan mabuk ini digabung menjadi satu? Tentu saja kenikmatannya menjadi berkali-kali lebih besar. Apalagi perempuannya tidak cuma satu.

Cio San tidak bisa melihat mimik wajah si nona yang sedang mengintai itu, karena letak Cio San berada di belakangnya. Begitu dilihatnya nona ini sudah mulai bergerak, Cio San pun bergerak pula. Nona itu membuntuti lelaki Goan itu yang kini sudah masuk di biliknya. Tak lama terdengar suara tawa-tawa mereka diganti oleh lenguhan dan desahan penuh kenikmatan. Hampir di seluruh padang rumput ini terdengar suara-suara seperti ini dari hampir semua tenda.

Cukup lama ‘pesta’ di dalam bilik itu berlangsung. Kemudian mereka tertidur karena lelah. Si nona masih sabar menunggu sampai ia yakin benar bahwa penghuni tenda itu sudah benar-benar pulas. Lalu ia bergerak dengan sangat perlahan. Langkah yang sangat ringan dan sangat pasti. Ia lalu membuka pintu kain tenda itu dengan sangat hati-hati. Melangkah masuk dengan sangat tenang.

Cio San melihat semua ini dengan khawatir. Khawatir jika nona itu ketahuan dan tertangkap basah.

Lalu si nona mengeluarkan sebuah pisau kecil dari balik kantongnya. Pisau yang berkilat tajam di dalam kegelapan malam. Tiga sosok tubuh yang telanjang bulat sedang tertidur pulas di atas permadani indah. Ia lalu berjalan mendekat.

Pelan.

Amat sangat pelan.

Lalu ia menghujamkan pisau itu ke dada si laki-laki. Gerakan yang cepat, mantap, dan penuh perhitungan. Gerakan khas ahli silat dan ahli penyusup. Seluruh gerakannya sempurna, nyaris tak ada cacat. Cio San tak berani mengejamkan mata. Pisau itu menghujam dengan derasnya, tetapi kemudian berhenti. Sebuah tangan telah memegang tangan nona itu. Tangan yang tidak kalah indah dengan tangan si nona.

“Siapa kau?”

Kata itu terucap beriringan dengan tendangan dari pemilik kata-kata itu. Ternyata pemilik kata-kata itu tidak tidur. Setelah menjadi pemuas nafsu si laki-laki Goan, kedua perempuan ini ternyata bertugas untuk berjaga-jaga dan melindungi sang laki-laki.

Si nona tidak dapat menarik mundur tubuhnya karena tangannya telah terpegang, ia terpaksa menggunakan tangan kirinya untuk menangkis tendangan itu, dan melancarkan sebuah tendangan balasan. Perempuan telanjang tadi akhirnya harus melepaskan pegangannya dan melompat mundur. Kawannya yang satu lagi pun kini sudah dalam kuda-kuda menyerang. Keduanya masih dalam keadaan telanjang bulat.

“Penyusuppppp!!!! Tangkap penyusupppp!!!!!”

Suara kedua perempuan telanjang ini menggelegar dan membangunkan hampir seluruh isi padang rumput.

Cio San tak dapat berkata apa-apa lagi. Ia memutar otak memikirkan cara di dalam keadaan seperti ini. Si nona Goan tetap bersikap tenang. Bagian bawah wajahnya tertutup cadar, sedangkan matanya masih bersinar-sinar dengan tajam namun indah. Si laki-laki Goan sudah terbangun dan kini memakai celananya dengan seadanya.

Dengan cepat si nona sudah terkurung. Ia tidak mungkin bisa lari lagi. Para pengawal yang bertugas menjaga di sana sudah berdatangan. Beberapa ahli silat yang tidak terlalu mabuk juga sudah berdatangan.

Tahu-tahu terdengar suara, “Tenda raja kebakaran! Tenda raja kebakaran!”

Tentu saja itu suara Cio San. Tentu pula kebakaran itu disebabkan olehnya. Dengan sigap ia telah memikirkan cara untuk mengalihkan perhatian para pengepung itu. Menghadapi kejadian yang berbarengan seperti ini, para pengawal seperti bingung harus melakukan apa. Ada yang buru-buru berlari ke tenda sang raja. Ada pula yang ragu-ragu untuk bergerak dan akhirnya hanya bisa terdiam penuh kebingungan.

“Naga Menggerung Menyesal!”

Cio San mengeluarkan jurus pertama dari ilmu 18 Tapak Naga. Jurus yang kedahsyatannya baru mencapai tingkat tertinggi jika dilakukan sambil berteriak. Ia terpaksa harus meneriakannya agar tenaga yang ia keluarkan mencapai kedahsyatan yang dibutuhkannya. Pukulan ini sangat berguna untuk menghalau kepungan musuh yang amat sangat banyak.

Angin pukulan dan dorongan hawa tenaga dalam yang tercipta mampu menyapu puluhan prajurit itu sehinggat terlempar mundur. Si nona sudah paham bahwa ada seseorang yang datang membantunya dan membukakan jalan mundur baginya. Begitu melihat jalan lowong itu segera ia bergerak dengan cepat dan sangat ringan menghilang dari situ.

Para pendekar kelas tinggi yang baru menyadari apa yang terjadi segera mengejar nona itu. Sebagian lagi mengejar ke arah suara Cio San. Tetapi Cio San sudah tidak berada di sana. Ia kini malah sudah bersama si nona melayang dan melarikan diri dari sana.

Terlihat puluhan orang memanah, melempar tombak, dan mengejar. Tetapi Cio San dan si nona sedang dalam keadaan jiwa dan tubuh yang siap sedia. Mereka masing-masing telah mengumpulkan kekuatan, ketenangan pikiran dan jiwa raga dalam melakukan penyusupan di malam itu. Sedangkan para pengejar ini meskipun berilmu sangat tinggi, sebelumnya telah menikmati pesta pora yang penuh arak, dan hubungan badan. Kondisi tubuh mereka masih belum mencapai tahap terbaik, bahkan mungkin berada di tahap terendah. Sebagian bahkan menggunakan pakaian sekenanya sehingga untuk lari menguber pun mereka melakukannya dengan sepenuh hati.

Di dalam kegelapan malam, panah dan tombak terus dilanjarkan. Ada juga ahli silat yang melemparkan Am Gi (senjata rahasia) secara membabi buta. Hasilnya kosong melompong karena dalam keadaan mabuk lemparan mereka tidak mungkin menngenai sasaran dengan tepat. Malahan ada yang nyasar terkena prajurit yang ikut mengejar.

Di tengah kekacauan itu, dibantu dengan gelapnya alam, akhirnya Cio San dan si nona dapat meloloskan diri dari padang rumput itu. Mereka memasuki hutan lebat dan terus berlari. Meskipun si nona ini sedikit ketinggalan, ilmu ginkangnya rupanya tidak berada jauh dibawah Cio San. Mungkin sekitar 3 atau 4 tingkat. Tetapi tingkatan itu lagi-lagi merupakan tingkatan yang amat sangat tinggi bagi kalangan persilatan. Terpaksa Cio San harus memegang tangan nona itu dan menariknya agar tidak terus ketinggalan. “Terima kasih atas pertolongannya,” kata nona itu dengan pandangan mata penuh pesona.
Mereka terus berlari dan berlari. Sambil lari si nona mengeluarkan bekalnya untuk menambah tenaga. Mereka makan roti kering itu sambil lari. Walaupun hal ini sedikit mengurangi kecepatan mereka, tetapi hal ini sangat berguna untuk menambah kekuatan mereka. Begitu roti roti itu tertelan segera saja Cio San merasa tubuhnya justru jauh lebih segar, sehingga ia dapat menambah kekuatannya untuk bergerak jauh lebih cepat.

Setelah akhirnya mereka yakin para pengejar itu sudah tidak mungkin lagi mengejar mereka, baru kedua orang ini dapat berhenti untuk beristirahat sejenak. Cadar nona ini masih menutup wajahnya. “Cayhe sangat berterima kasih atas pertolongan In-kong (tuan penolong), harap In-kong memberitahukan jati diri agar kelak cayhe dapat membalasnya,” kata nona itu.

“Namaku Cio San, harap nona jangan terlalu sungkan,” kata Cio San tanpa basa-basi. Begitu nona itu mendengar nama itu, matanya berbinar-binar. Katanya, “Ah, nama besar tuan sudah lama kudengar, meski kita berbeda pihak, cayhe harap di masa depan kita tidak bermusuhan.”

“Siocia (nona) ini apakah orang Goan?” tanya Cio San.

Nona itu mengangguk, “Sebenarnya cayhe ingin merahasiakan jati diri cayhe, tetapi amat sangat tidak sopan jika cayhe melakukan itu terhadap orang yang sudah menolong. Nama cayhe adalah Syafina,” katanya sambil menjura.

“Nama yang indah,” kata Cio San sambil tersenyum.

“Terima kasih, mari kita lanjutkan perjalanan Cio-hongswee,” kata si nona mongol. Sebagai orang yang menguasai silat, si nona ini tentu saja mengenal nama julukan Cio San yang sangat tersohor itu.

Di tengah jalan Cio San tidak bertanya apa-apa. Malahan si nona yang penasaran dan bertanya, “Apa yang Hongswee lakukan di padang rumput tadi?”

“Aku menguntitmu,” kata Cio San sambil tersenyum malu.

“Menguntitku? Sejak kapan?”

Cio San lalu mengisahkan awal pertemuannya dengan nona itu. Tetapi ia tidak menceritakan siapa yang mengutusnya. Ia hanya bercerita bahwa ia sedang berkelana mencari sesuatu, dan secara tidak sengaja sampai di medan pertempuran. Lalu ia tertarik menguntit nona itu.

“Oh begitu, lalu kenapa tuan menolongku?”

“Seorang musuh dari musuhku, bukankah adalah sahabatku?” tukasnya.

Nona itu mengangguk mengerti.

Lama mereka berjalan, si nona justru semakin penasaran, “Hongswee tidak ingin tahu alasan mengapa aku harus membunuh lelaki itu?”

“Jika seorang sahabat tidak mau menceritakan rahasianya, aku cukup tahu diri untuk tidak menanyakannya,” jawabnya.

“Ah,” angguk nona bernama Syafina itu.

Sambil berjalan ia rupanya meneteskan air mata.

Sekuat dan sehebat apapun seorang wanita, jika ada sebuah hal yang menyangkut perasaannya, ia akan mudah meneteskan air mata. Cio San tidak mengatakan apa-apa selain menenangkan nona ini dengan tepukan-tepukan halus dipunggungnya.

“Maafkan aku yang begitu lemah dan merepotkan anda, Hongswe.....” kata Syafina.

“Menangis bukan sesuatu yang memalukan. Apalagi nona baru saja mengalami kejadian seperti itu. Laki-laki setegar apapun mungkin akan menangis pula.”

Syafina mengangguk, dalam hatinya ia begitu berterima kasih atas kata-kata Cio San ini. Tetapi sebagai perempuan, ia tidak mungkin mampu menahan gejolak hatinya untuk menumpahkan segala perasaannya. Ia berkata,
“Laki-laki itu bernama Aghulai. Ia adalah seorang jenderal dari bangsaku. Aku berasal dari Qara Del,”

Cio San tahu tentang Qara Del. Daerah ini adalah tempat di mana salah satu suku pelarian bangsa Goan tinggal. Setelah mereka terusir dari Tionggoan, sebagian dari mereka mendirikan Kerajaan Goan Utara, ada pula sebagain kecil dari suku ini yang menetap di Qara Del. Tempat itu kini merupakan daerah kekuasan kekaisaran Ming yang bernama daerah Sinkiang. Karena merupakan daerah kekuasaan Ming, maka penguasa daerah Qara Del yang merupakan orang Goan pelarian ini kemudian tunduk di bawah kekuasaan Ming. Setiap tahun mereka mengirim upeti kepada kaisar sebagai bentuk ketundukannya. Jadi jika Syafina mengaku sebagai penduduk Qara Del maka secara tidak langsung dianggap sebagai warga negara kekaisaran Ming.

“Dan Aghulai..., adalah ehm...calon suamiku,” kata Syafina. Matanya berlinang air mata.

Tentu saja Cio San sudah mampu menebaknya. Hanya wanita yang sedang cemburu rela masuk ke dalam sarang naga untuk mengetahui keberadaan kekasihnya. Hanya wanita yang cemburu yang berani melakukan apa yang ia lakukan.

“Tetapi aku ingin membunuhnya bukan karena ia bercinta dengan perempuan lain. Aku ingin membunuhnya karena ia sudah berkhianat pada Qara Del. Dengan tindakannya itu, kekaisaran Ming bisa salah paham dan menganggap kami semua ingin memberontak. Padahal ini hanyalah perbuatan salah satu jenderal pengkhianat,” kata Syafina.

“Aku mengerti,” tukas Cio San. “Sekarang apa yang akan dilakukan anda?” tanyanya.

“A...aku tidak tahu. Tetapi sebaiknya aku pulang dan melaporkan hal ini kepada pemimpin kami,” kata Syafina.

“Menurut perhitunganku, perjalanan anda pulang ke Qara Del akan memakan waktu berbulan-bulan. Jika terlalu lama, kekaisaran Ming akan mengetahui pembelotan Aghulai dan mungkin menganggapnya sebagai pemberontakan daerah Qara Del. Cara yang paling baik adalah bertemu dengan pemimpin pasukan Ming sekarang dan menjelaskan tentang perbuatan Aghulai. Aku akan membantumu menjelaskan. Dengan begitu, walaupun pemimpin anda terlambat menerima kabar ini, setidaknya kekaisaran Ming sudah mengerti keadaannya dan tidak berpikiran macam-macam. Bagaimana?”


“Usul yang baik!” kata si nona tersenyum. Akhirnya segala kepercayaannya terhadap Cio San tumbuh dan ia membuka cadarnya. Baru kali ini Cio San melihat dengan jelas wajah nona ini. Dan di sepanjang hidupnya, baru kali ini ia melihat wanita secantik dan seanggun ini.




Related Posts:

0 Response to "EPISODE 2 BAB 41 DI SARANG MUSUH"

Posting Komentar