EPISODE 2 BAB 44 SEBUAH KALIMAT



“Kau membawa seluruh mustikamu?” tanya Cio San kepada Bwee Hua.

“Ya,” jawab wanita paling cantik di dunia itu.

“Jika kau berdiam di sini, orang-orang yang mengetahui tentang mustika itu akan menyerang kemari. Sebaiknya kau pergi juga,” kata Cio San.

“Tidak. Aku memilih tinggal di sini. Mustika itu kutitipkan padamu saja,” jawab Bwee Hua sambil tersenyum.

“Mengapa aku?”

“Mengapa bukan kau?” ia masih tersenyum.

Keadaan ini membuat Cio San merasa rikuh terhadap Cukat Tong yang sedang berpura-pura tidak melihat kejadian ini. Cio San lanjut bertanya,

“Kau telah mengumpulkannya dengan susah payah, bahkan mungkin ada banyak korban berjatuhan karena ketujuh mustika ini. Kenapa sekarang justru diberikan cuma-cuma kepadaku?”

“Aku mengumpulkannya sebagai pemenuhan janjiku atas perintah guruku. Hari ini kutitipkan kepadamu agar tempat ini tidak didatangi orang-orang. Kelak di masa depan, aku akan mengambilnya kembali darimu,” jelas Bwee Hua.

“Baik. Aku akan menjaganya sementara untukmu. Jika semua ini sudah selesai, aku akan mengembalikannya kepadamu,” tukas Cio San.

Bwee Hua mengeluarkan isi kantongnya, mengambil sebuah kotak kecil. Ketika dibuka, isi kotak itu adalah sebuah mutiara yang indah. “Ini adalah Mustika Ikan,” katanya. Lalu ia mengeluarkan sesuatu lagi dari balik kantongnya, kali ini berupa sebuah kain sutra berwarna merah yang sudah tua sekali. Kain sutra ini sangat tipis. Meskipun sudah berusia ratusan tahun, warnanya tidak memudar. Ada banyak tulisan dan gambar gerak silat. Cio San menerima sutra ini dengan penuh perasaan. Ia tahu bahwa sutra ini dulunya adalah milik mendiang gurunya, Kam Ki Hiang. Sekilas Cio San melihat sutra ini berisi banyak huruf kuno. Pantas saja Bwee Hua tidak dapat mempelajarinya secara mendalam. Tetapi meskipun begitu, ilmunya sudah berkembang sangat tinggi.

“Aku memiliki sebuah kebun tersembunyi di mana aku menanam anggrek tengah malam. Hanya inilah  yang tersisa. Selama bunganya tidak dipetik, maka tanaman itu tak akan mati. Tetapi tidak ada satu orang pun yang mengetahui rahasia ini. Ini bawalah satu helai bunganya sebagai bekal di perjalanan,” ujar Bwee Hua.

Lanjutnya, “Untuk mustika yang terakhir, aih. Aku jadi malu.....” ia berkata begitu sambil berdiri. Dengan satu gerakan saja, seluruh baju luarnya sudah tanggal. Terlihatlah Bwee Hua menggunakan sejenis pakaian dalam lengan panjang yang tipis dan berwarna keemasan. Lalu ia mencopot pula baju dalam itu. Cio San dan Ang Lin Hua hanya bisa membuang muka. Tidak ada selembar benang pun di tubuh indah Bwee Hua. Ia menyerahkan pakaian emas itu kepada Cio San yang tidak berani memandangnya sedikitpun.

Cukat Tong?

Ia seolah-olah tidak berada di sana. Segala kejadian ini seolah-olah tidak pernah berlangsung di hadapannya. Ia mungkin telah terbiasa. Semenjak belasan tahun yang lalu saat belum menikahi Bwee Hua, Cukat Tong mungkin telah mengalami kejadian seperti ini berulang kali.

Suami yang diam saja melihat perbuatan bejat istrinya, mungkin tidaklah banyak. Tetapi apakah cinta terlalu membutakan mereka? Ataukah mungkin sebaliknya, cinta dan perasaan mereka sendiri telah mati, sehingga apapun yang diperbuat istrinya tidak lagi mampu menyentuh hatinya?

Cinta dapat merubah seseorang.

Tentu saja cinta dapat merubah sahabat menjadi orang asing. Merubah kekasih menjadi orang asing pula.

Rumus ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan.

 “Ada sebuah hal yang belum kuceritakan kepadamu,” kata Bwee Hua setelah memakai kembali bajunya. Cio San hanya menatapnya dan menunggunya melanjutkan. Lalu Bwee Hua berkata, “Aku dan suamiku tidak terlibat dalam penyeranganmu dan Suma Sun serta Kao Ceng Lun pada saat kalian mengunjungi kami. Saat itu seorang pejabat mengundang kami untuk makan malam. Dia pula lah yang melaksanakan perayaan kembang api selama berturut-turut.”

Dengan akalnya Cio San menyambung-nyambungkan pernyataan ini. “Jadi pejabat ini mengundangmu dan suamimu untuk makan malam agar kalian tidak berada di tempat selama kejadian ini berlangsung. Hal ini untuk membuat kalian tidak turut campur dalam rencana pembunuhannya. Selain itu juga justru untuk menambah kecurigaanku kepada dirimu,” katanya.

Bwee Hua mengangguk.

“Perayaan kembang api sudah direncanakan selama 7 hari untuk berjaga-jaga jika kau telat datang, atau mungkin datang lebih cepat. Perayaan ini gunanya untuk menimbulkan suara-suara keras sehingga mampu menutup suara-suara panah yang jahat itu,” tukas Cio San lagi.

Lanjutnya, “Pejabat itu pasti terlibat. Saat penyerangan ini terdapat ratusan pasukan dengan persenjataan yang sangat hebat, sehingga kami pun sangat sulit menghindar. Hanya orang-orang istana yang memiliki kemampuan seperti ini!”

“Benar. Karena itulah aku berpikir, pasti orang istana ada yang terlibat dengan peristiwa ini,” kata Bwee Hua.

“Kao Ceng Lun pernah bercerita bahwa saat ini telah terjadi gerakan rahasia untuk menumbangkan kaisar yang dilakukan oleh beberapa pejabat istana. Karena itulah ia sempat menyelundupkan aku ke dalam istana untuk membantunya memeriksa. Sayang kemudian kehadiranku sudah terbongkar dan aku terpaksa harus pergi dari sana,” tukas Cio San. “Saat itu orang yang tahu kehadiranku di sana selain Kao Ceng Lun, adalah Suma Sun. Dan Gan Siau Liong!”

“Kau mencurigai orang ini?”

“Pergerakannya terlalu aneh. Dia selalu seolah-olah ada di mana-mana. Aku belum berani mengambil kesimpulan. Tetapi satu yang aku yakin pasti, ia terlibat dengan ini semua,” ujar Cio San.

“Bisa jadi,” kata Bwee Hua sambil berpikir.

“Ada satu hal yang tidak diceritakan suamiku kepadamu,” kali ini Ang Lin Hua yang angkat bicara. Semua yang hadir di sana menoleh kepadanya. Lalu ia berkata, “Dalam penyelidikannya beberapa waktu yang lalu, suamiku berkata bahwa ia memiliki seorang sepupu. Anak itu adalah hasil hubungan haram pamannya dengan seorang murid perempuan dari Go Bi-pay. Saat kejadian di puncak Himalaya, anak itu kemudian di asuh oleh seorang Bhiksu Siau Lim-pay,” kisah Ang Lin Hua.

“Kenapa ia tidak menceritakan hal ini kepadaku?” tanya Suma Sun.

“Aku pun tidak tahu cerita ini, karena sebelum pertarungan di puncak Himalaya, guru telah memerintahkanku menjalankan tugas yang lain,” sahut Bwee Hua sambil tak sengaja melirik Cukat Tong.

 “Aku tidak tahu mengapa ia tidak menceritakan hal ini kepadamu. Mungkin ia ingin menyelidiki sendiri hal ini. Karena ini berhubungan erat dengan urusan keluarga Suma sendiri,” kata Bwee Hua.

Cio San diam dan berpikir. Cukup lama ia diam, lalu berkata, “Apakah Gan Siau Liong adalah putra Suma yang hilang itu?!”

Semua heran terhenyak. “Bisa saja!”

“Latar belakangnya sangat samar-samar. Segala cerita tentang keluarganya aku yakin hanya dibuat-buat. Untuk ini memang butuh penyelidikan lebih dalam. Tetapi jika kalian menyamakan ciri-ciri Gan-siauya dangan ciri-ciri Suma Hiang si jubah merah, mereka memiliki persamaan yang amat banyak. Keduanya suka memakai jubah merah. Keduanya amat sangat tampan dan dikelilingi wanita-wanita cantik. Keduanya memiliki ilmu yang sangat tinggi!”

Lanjutnya, “Ingat juga pembunuhan-pembunuhan beberapa waktu yang lalu, kesemuanya mati dengan tubuh yang ditutupi jubah merah. Putra Suma yang satu ini juga melakukan pembalasan dendam. Hampir mirip seperti Suma Sun yang dulu membunuh beberapa orang yang terlibat di dalam kejadian di puncak gunung yang menewaskan kedua orangtuanya, putra Suma yang satu ini juga melakukan hal yang sama! Karena itulah Suma Sun tidak menceritakan hal ini kepadaku, karena ia khawatir jika sepupunya itu yang membunuh ayah dari Kao Ceng Lun, maka hubungan persahabatan kita akan berantakan!”

Semua orang mendengar dan membenarkan.

“Tetapi ilmunya bukan ilmu Siau Lim-pay, bagaimana mungkin seseorang yang mempelajari ilmu Siau Lim-pay bisa menggunakan ilmu yang sama sekali berbeda?” tanya Bwee Hua.

“Mengenai hal ini aku akan mengusutnya lebih lanjut. Kuncinya berada pada Bhiksu Siau Lim-pay yang mengasuhnya. Jika kita bisa mengetahui namanya dan menemukannya, maka kita akan bisa mengetahui rahasia yang sebenarnya dari permasalahan ini,” kata Cio San.

“Seingatku hanya satu orang dari Siau Lim-pay yang ada saat kejadian itu, namanya Hong Tang-taysu,” ujar Bwee Hua.

“Hmmm, bagus juga ingatanmu,” kata Cio San. Lama ia duduk termenung memikirkan berbagai kejadian ini, hingga Bwee Hua kemudian menegurnya, “Kau tidak segera berangkat?”

“Mengapa kau selalu memintaku untuk segera berangkat?” nada suara Cio San mulai berbeda.

“Aku....,”

“Rahasia apa yang kau sembunyikan? Mengapa kau menyerahkan seluruh mustika kepadaku, padahal kau mendapatkannya dengan berusaha keras? Mengapa pula kau begitu paham perkembangan peperangan di daerah selatan? Bagaimana pula kau tahu aku mengenal Syafina, dan kau tahu ia telah tertawan?” Cio San berdiri. Dengan mata memerah ia berjalan menuju Bwee Hua.

Tampak wajah Bwee Hua memucat dan matanya berair. Sebelum Cio San mendekati Bwee Hua, sudah ada Cukat Tong yang berdiri menghalanginya. “Tidak ada satu orang pun yang boleh mengasari istriku,” katanya.

“Istrimu itu sudah keterlaluan! Ia berkomplot dengan para penjahat!” kata Cio San hampir berteriak menumpahkan kemarahan.

“Omongan bau kentut!” tangannya menghajar meja di sebelahnya. Meja itu hancur berkeping-keping. Tenaga dalam Cukat Tong ternyata masih sangat besar.

“Kau ingin kita berkelahi?” tanya Cio San.

“Aku tidak mungkin menang melawanmu. Tapi aku takkan tinggal diam melihat kau menghina istriku!” tukas Cukat Tong penuh amarah.

“Istrimu adalah penjahat! Dia....,” belum juga Cio San menyelesaikan kalimatnya Cukat Tong telah menyerangnya dengan sebuah jurus cakar yang amat sangat berbahaya. Kuku-kukunya berubah memerah seperti darah!

Cio San tahu Cukat Tong pasti akan menyerangnya, tetapi ia tidak menyangka bahwa serangan itu teramat dahsyat. Gerak-gerik si raja maling selama ini terlihat begitu lemah dan tak bertenaga, tak tahunya saat menyerang gerakannya berubah menjadi sedahsyat ini.

Cio San menerima serangan itu dengan tenang. Tangan kanannya membentuk moncong naga yang terbuka lebar seperti hendak mencaplok mangsa. Badannya malah condong ke belakang dan membiarkan cakar Cukat Tong lewat dahulu. Baru ketika cakar itu mendekati wajahnya, tangan kanannya mencaplok siku Cukat Tong. Gerakan tubuhnya yang condong ke belakang adalah merupakan pancingan agar Cukat Tong semakin merengsek ke depan. Begitu tangannya berhasil menangkap siku Cukat Tong, tubuh Cio San semakin condong ke belakang. Melihat keadaan ini, Cukat Tong terpancing untuk menendang perut Cio San, karena daerah ini adalah daerah kosong yang paling dekat dengan kakinya. Tendangan pun ia luncurkan dengan sangat cepat. Cio San yang sudah menduga hal ini, segera menggerakkan kakinya untuk menyongsong tendangan itu, dan bahkan menguncinya. Dalam satu gebrakan saja, Cio San sudah mampu membelit Cukat Tong!

Pertarungan ini teramat sederhananya sampai-sampai mungkin banyak orang yang tidak akan percaya ketika diceritakan. Bagaimana mungkin petarung-petarung kelas tinggi seperti mereka bergerak sesederhana itu?

Perlu diketahui, dalam ilmu silat, semakin tinggi ilmu seseorang maka pergerakannya akan menjadi amat sangat sederhana. Ia tidak memerlukan kembangan-kembangan. Segala sesuatunya mengalir apa adanya. Justru gerakan dasar yang dilakukan dengan tepat, cepat, dan sempurna, biasanya membawa hasil yang sempurna.

Cukat Tong kini hanya memiliki tangan kiri untuk menyerang. Kebanyakan orang yang menggunakan tangan itu dalam posisi seperti ini. Tetapi Cukat Tong malah melompat dan menggunakan satu kakinya yang masih tersisa untuk menendang. Gerakan ini adalah seperti berjudi karena dengan melompat, ia harus mengorbankan kuda-kudanya yang kokoh.

Dalam hati Cio San memuji gerakan ini. Karena jika Cukat Tong menyerang dengan menggunakan tangan, maka dengan mudah tangan itu bisa ditangkap dan dibelitnya pula. Cukat Tong memilih menendang ke daerah bagian bawah Cio San agar tangan Cio San tak dapat menjangkau serangan itu. Jika Cio San menggunakan kakinya yang satu lagi untuk menghalau tendangan itu, maka ia akan kehilangan kuda-kudanya dan hal ini bisa membuatnya terpelanting ke belakang.

Gerakan serangan Cukat Tong pun ini terlihat begitu gampang dilakukan, tetapi untuk bisa melakukannya diperlukan kecerdasan pikiran, naluri, dan pengalaman yang teramat matang.

Cio San tetap tenang dan menerima serangan ini sambil memutar badannya. Karena sebelah tangan dan kaki Cukat Tong ‘terlilit’ oleh tangan dan kaki Cio San juga, maka serta merta tubuhnya sendiri ikut berputar. Hal ini membuat tendangannya kehilangan tenaga yang besar sehingga Cio San dan melilit pula tendangan itu dengan kakinya. Gerakan memutar ini membuat tubuh Cukat Tong yang gantian berada di bawah, dan tubuh Cio San yang berada di atas. Kini Cio San memiliki tangan kiri untuk menyerang, dan Cukat Tong pun memiliki tangan kiri yang masih belum dipakainya. Tetapi karena posisi Cio San berada di atas, maka keadaannya lebih unggul. Kini ia berada di dalam posisi menyerang dan Cukat Tong berada di posisi bertahan!

Dalam sekejap mata, Cio San berhasil mengubah pertahanan menjadi serangan hanya dengan sebuah gerakan memutar. Dan keselurahan gerakan ini terjadi bahkan sebelum tubuh mereka menyentuh lantai akibat gerakan memutar ini. Bisa dibayangkan begitu cepatnya mereka bergerak.

Cio San lalu melancarkan serangan tangan kiri. Sebuah totokan melesat tepat di daerah bagian bawah dadanya. Totokan ini membuat Cukat Tong langsung pingsan tak sadarkan diri. Dengan Thay Kek Koen, Cio San membuat gerakan jatuhnya tubuh mereka berdua menjadi sangat lambat sehingga tidak menyakiti Cukat Tong yang berada di bawah.

Cio San memang sengaja menunggu Cukat Tong menyerang lebih dahulu baru ia melancarkan totokan itu. Ini semua karena ia sendiri kagum dengan betapa cepatnya Cukat Tong bergerak, padahal sahabatnya itu sedang bukan dalam kondisi terbaiknya. Bayangkan jika Cukat Tong berada dalam kondisi terbaik, tentu kecapatannya dapat menyamai kecepatan Cio San. Dalam hal ini, Cio San melakukan pengamatan terlebih dahulu, baru kemudian melancarkan serangan. Ini tanda betapa matangnya ia dalam pertarungan. Betapa cerdik dan cerdasnya ia mengambil keputusan.

Setelah Cukat Tong tidak sadarkan diri, Cio San membuka baju sahabatnya itu dan menotok beberapa titik di punggungnya. Tak berapa terlihat cairan berwarna hitam kehijau-hijauan keluar dari mulut si raja maling ini. Cio San tidak berkata apa-apa selain memandang Bwee Hua dengan penuh kemarahan.

Ia tahu Cukat Tong adalah seorang sahabat yang amat setia. Apakah mungkin jiwanya akan berubah hanya karena cintanya kepada Bwee Hua? Cemburu mungkin dapat mempengaruhi persahabatan.

Tetapi yang berlaku di dalam jiwa Cukat Tong saat ini adalah sesuatu yang timbul bukan karena cinta dan kecemburuan semata. Cio San mencurigai satu hal tetapi ia tidak berani mengatakannya kepada Cukat Tong. Ia yakin Bwee Hua telah memberikan sejenis obat atau masakan tertentu pada Cukat Tong yang merubah kejiwaan dan perasaannya.

Obat-obatan tertentu memang dapat mempengaruhi jiwa dan perasaan seseorang.

Tidak mungkin Cukat Tong yang dulunya begitu setia kawan, yang begitu penuh semangat dan jiwa yang berkobar, kini berubah menjadi sosok yang lunglai seperti tanpa sukma. Seolah-olah seluruh jiwa dan tubuhnya telah menjadi milik Bwee Hua. Selama ia belum mampu melepaskan pengaruh Bwee Hua ini, maka selamanya hidupnya akan menderita seperti ini. Hidup namun tanpa jiwa.

“Kau pintar.....,” kata Bwee Hua sambil tersenyum. “Kau sengaja memancing kemarahannya agar ia menyerangmu. Lalu kau menotok dan mengobatinya.”

“Mengapa kau melakukan ini?” tanya Cio San penuh amarah.

“Jika seorang wanita ingin menguasai dunia, ia harus mampu menaklukkan suaminya. Masa kau tidak mengerti pemahaman ini?”

“Apa yang kau dapatkan saat kau telah memiliki seluruh dunia?” tanya Cio San heran.

“Kau!”

Cio San tak dapat berbicara lagi. Bwee Hua lah yang berbicara,

“Seorang laki-laki bodoh dapat menjadi pintar, buruk rupa kemudian menjadi tampan, miskin papa lalu menjadi kaya raya, semuanya dilakukan agar ia bisa mendapatkan perempuan yang ia mau. Mengapa seorang perempuan tidak boleh melakukannya pula?”

“Tapi kau sudah memiliki suami!”

“Perempuan yang menikahi laki-laki yang tidak dicintainya itu bagaikan butiran pasir di lautan!”

Ya, perempuan seperti ini teramat banyak. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka.

“Perempuan yang berhenti mencintai suaminya pun teramat banyak,” lanjut Bwee Hua. “Menurutmu aku termasuk golongan yang mana?”

“Kau hanyalah seorang perempuan,” kali ini Ang Lin Hua yang berbicara.

“Apa maksudmu, nyonya Suma?” tanya Bwee Hua sambil menoleh kepadanya.
“Di dunia ini, mungkin hanya Cio-hongswee yang tidak menginginkanmu. Karena itu kau berusaha keras ingin menaklukannya. Mungkin di masa depan jika ia sudah takluk kepadamu, kau malahan akan menjadi bosan kepadanya,” kata-kata Ang Lin Hua begitu tenang tetapi menusuk dengan sangat dalam. Memang, hanya perempuanlah yang mengerti perasaan perempuan.

Lama sekali Bwee Hua termenung.

Sepertinya kata-kata Ang Lin Hua itu telah memasuki lubuk hatinya yang paling dalam.

Siapakah orang yang paling menderita di dunia ini? Merekalah orang-orang yang tidak mengerti keinginan hatinya sendiri. Tidak mengerti batas kebahagiaannya sendiri. Orang-orang semacam ini tidak memiliki akhir dari pencariannya. Sukma mereka terus berkelana mencari kebahagiaan yang bahkan mereka sendiri pun tidak mengerti. Mereka telah memiliki segala-galanya, tetapi jiwa mereka kosong dengan kebahagiaan. Karena segala-galanya tidak pernah berarti apa-apa bagi mereka. Sebanyak apapun yang mereka miliki, tak ada kebahagiaan sedikit pun yang mereka dapatkan.

Mungkin inilah pertentangan mendasar yang ada pada hati umat manusia. Mereka berusaha sekuat tenaga mendapatkan apa yang mereka inginkan, tetapi jika sudah didapatkan, semua itu terasa membosankan dan tak ada lagi tantangan.

Hal ini berlaku bagi laki-laki. Terlabih-lebih lagi berlaku bagi perempuan.

Air mata meleleh di pipi Bwee Hua. Ang Lin Hua telah mengatakan sebuah kalimat yang betul-betul menggambarkan penderitaan batinnya.

Siapakah yang lebih menyedihkan keadaannya daripada Bwee Hua?

Perempuan tercantik di dunia yang telah memiliki segalanya. Tetapi jiwa dan batinnya kosong sehingga perempuan yang paling buruk rupa dan paling miskin di dunia ini pun jauh lebih berbahagia daripada dirinya.

Ang Lin Hua mendekatinya dan menggenggam tangannya. Di saat-saat seperti ini, hanya genggaman tangan seorang sahabatlah yang paling memiliki arti di dalam kehidupan. Nyonya muda itu menarik tangan Bwee Hua dan pergi dari situ.

Cio San hanya duduk termenung. Ia tidak pernah membayangkan betapa menderitanya kehidupan Bwee Hua. Orang lain hanya akan dapat mencibir dan mengutuk perbuatan Bwee Hua. Tetapi mereka tidak pernah mampu mengerti betapa beratnya beban hidup perempuan ini. Perempuan yang terlalu memiliki semangat dan keinginan hidup yang setinggi langit, sampai-sampai ia sendiri tak tahu lagi bagaimana kembali turun ke bumi.

Akhirnya Cio San memutuskan untuk melanjutkan merawat Cukat Tong. Dikerahkannya tenaga saktinya untuk membersihkan seluruh aliran darah Cukat Tong. Dibutuhkan waktu berjam-jam agar seluruh aliran darah dan organnya bersih seluruhnya. Ditambah lagi dengan tenaga dalam Cukat Tong yang teramat tinggi sehingga pemulihannya berjalan dengan sangat cepat. Setelah itu, ia memasukkan selembar Anggrek Tengah Malam ke mulut Cukat Tong.

Hanya itu selembar anggrek yang tersisa di muka bumi ini. Anggrek yang benar-benar ia butuhkan untuk menyembuhkan sakit dari mantan kekasihnya, Khu Ling Ling. Tetapi dengan tanpa ragu, ia memberikan anggrek itu kepada sahabatnya.

Membersihkan racun adalah perkara yang mudah, akan tetapi membersihkan pikiran dan perasaan adalah sesuatu yang teramat sulit. Karena hal inilah yang menjadi penyebab seluruh perubahan Cukat Tong. Sebagai lelaki yang normal, ia pastilah memiliki perasaan cemburu. Jika Bwee Hua selalu sengaja memancingnya untuk terus cemburu, ditambah lagi dengan racun yang ia berikan, jiwa Cukat Tong amat sulit untuk disembuhkan. Tak ada seorang pun yang sanggup menyembuhkannya kecuali dirinya sendiri. Cio San hanya bisa berharap dan berharap. Ia telah melakukan semua hal yang bisa ia lakukan. Semuanya tergantung pada kekuatan hati Cukat Tong.

Selama berhari-hari Cio San menemani Cukat Tong yang berangsur-angsur sadar. Sambil ia terus melakukan pengobatan kepada Suma Sun. Ang Lin Hua pun terus menemani Bwee Hua yang selama ini hanya bisa diam membisu. Ketika suatu hari Cukat Tong benar-benar pulih, ketiga orang itu sedang duduk saling diam.

“Hua-ji (Hua sayang)....,” itu kata-kata pertama yang keluar dari mulut Cukat Tong saat ia akhirnya membuka matanya.

Bwee Hua bergegas mendekatinya dan menggenggam tangannya. Katanya sambil tersenyum manis, “Iya sayang, aku di sini.”

Cukat Tong tersenyum lega.

“Tong-heng (kakak Tong) sudah sadar. Sepertinya hal ini harus kita rayakan, “ kata Ang Lin Hua.

Cio San berada sedikit jauh dari tempat Cukat Tong berbaring. Ia tidak berani mendekati sahabatnya itu. Selama ini ia tidak pernah takut atau khawatir. Baru kali ini ia mengalaminya. Karena rasa persahabatannya yang begitu tinggi.

“San-ko (kakak San), mengapa tidak segera kesini melihat keadaan saudaramu ini?” kata Bwee Hua.

Pandangan Cukat Tong dan Cio San saling beradu.

“Kau masih di sini? Kenapa tidak segera pergi?” tanya Cukat Tong dengan amat dingin.

Mendengar hal ini, darah di dalam tubuh Cio San seolah-olah membeku.

“Baik, kau sudah siuman. Aku segera pergi,” kata Cio San. Segala jerih payahnya selama ini ternyata sia-sia. Jadi, jika tidak segera pergi, memangnya apa yang bisa ia lakukan?

Ia berdiri dan beranjak. Dalam beberapa hari ini ia telah menyiapkan dirinya untuk menerima kenyataan ini. Tetapi saat kenyataan itu benar-benar terjadi, ia tidak mampu menahan kesedihan hatinya. Dengan mata berkaca-kaca ia berkata, “Tolong jagalah Suma Sun untukku. Bantulah pengobatannya. Aku telah mengajarkannya kepada kalian semua.”

Lalu ia mengucapkan selamat tinggal dan pergi dari situ. Langkahnya teramat berat. Padahal permasalahan yang menantinya di depan sana sudah teramat berat. Baru kali ini ia mengalami penderitaan yang sedemikian berat. Dulu ia pernah terluka karena cinta tapi perihnya tidak pernah seperih ini.

Ketika kakinya tepat berada di luar pintu, terdengar suara Cukat Tong dari dalam, “Saat kau pulang nanti, jangan lupa bawakan arak untukku!”

Cio San menoleh dan tersenyum. Ia hanya bisa tersenyum.

Betapa cepatnya sebuah beban kehidupan bisa terangkat dari dalam batin manusia hanya karena sebuah kalimat.


Kalimat seorang sahabat!


Related Posts:

0 Response to "EPISODE 2 BAB 44 SEBUAH KALIMAT"

Posting Komentar