Kini ia melangkah dengan ringan. Segala beban sudah terangkat dari jiwanya. Ia saat ini telah menjadi dirinya kembali. Penderitaan dapat merubah hidup seseorang. Itulah gunanya penderitaan, agar seseorang mengerti arti kehidupan. Menghargai seberapa pun yang ia dapat, menghargai siapa pun yang ia punya, menghargai setiap detik di dalam usianya.
Wajahnya jauh lebih terang, pandangan matanya jauh lebih mencorong. Inilah Cio-hiongswee! Inilah sang jenderal Phoenix!
Langkah pertama yang ingin dilakukannya adalah mencari Gan Siau Liong dan menanyakan segala rahasia ini. Apa benar ia adalah putra keluarga Suma? Apa benar ia berada di balik pembunuhan-pembunuhan ini? Cio San telah berada di luar hutan tempat Istana Ular terletak. Sebuah sungai besar mengelilingi hutan itu.
Dari kejauhan terlihat sebuah kapal mendekat. Bendera kapal itu berwarna merah. Kapal milik Gan Siau Liong!
Kadang-kadang beberapa hal terjadi dengan amat sangat kebetulan. Ia tak perlu mencari pemuda tampan itu, justru pemuda itu lah yang datang mencarinya. Cio San menunggu hingga kapal itu mendekat. Yang muncul ternyata seorang wanita cantik, anak buah Gan Siau Liong.
“Ah...akhirnya bertemu juga dengan Hongswee. Kami sudah lama sekali mencari tuan,” kata wanita itu.
“Mencariku?” kata Cio San dalam hati. Pikirannya segera bekerja dengan cepat. Ia lalu bertanya, “Ada apa dengan tuanmu?”
“Sungguh benar kata orang-orang. Tidak ada sesuatu pun yang bisa disembunyikan dari Cio-hongswee. Harap hongswee sudi naik ke atas kapal kami,” kata wanita itu.
Dengan satu kali lentingan Cio San sudah mendarat dengan sangat lembut di atas kapal itu. Ada beberapa orang wanita di sana. Kesemuanya cantik-cantik. Enak betul hidup Gan Siau Liong dikelilingi wanita-wanita seperti ini. Cio San justru merasa ngeri di dalam hatinya. Mengurusi satu orang perempuan saja, seorang laki-laki sudah hampir pecah kepalanya. Apalagi yang sebanyak ini? Tapi di luaran, wajahnya tetap tersenyum dengan tenang.
“Salam,” kata gadis-gadis ini sambil menjura penuh hormat.
“Salam,” balas Cio San pula.
“Mari masuk, hongswe,” kata si nona yang tadi berbicara kepadanya. Begitu mereka masuk dan duduk di sebuah ruangan, arak dan makanan enak sudah dihidangkan. Cekatan sekali nona-nona ini.
“Sebaiknya kami tidak bertele-tele dan langsung saja ke pokok persoalan. Kita bisa berbicara sambil menikmati hidangan, jika hongswee tidak berkeberatan,” ujar si nona.
“Bagaimana jika dimulai dengan memperkenalkan diri dulu, siocia (nona)? Aku belum mengenal nama-nama kalian,” kata Cio San sambil tersenyum.
“Aih, benar. Sungguh tidak sopan. Maafkan kami, hongswee. Tapi keadaan benar-benar mengkhawatirkan, sehingga kami lupa sopan santun. Perkenalkan nama saya Sim-ji. Ini adik-adikku, Lu-ji, Soy-ji, Tan-ji, Tin-ji, dan Yu-ji.”
Semua nama berakhiran ‘Ji’. Dalam budaya Tionggoan, ‘Ji’ adalah nama panggilan untuk orang kesayangan. Bisa untuk anak, adik, kekasih, atau istri.
“Salam kenal, namaku Cio San. Nona-nona sekalian bisa memanggilku San-ko (kakak San). Tidak perlu sungkan dengan menggunakan sebutan yang aneh-aneh,” tukas Cio San sambil tertawa. “Ada yang bisa kubantu?” sambil berkata begitu tangannya sudah menuangkan arak ke dalam mulut.
“Setelah keluar dari Istana Kaisar, Cujin (majikan) kami kemudian pergi ke gunung Himalaya,” kisah Sim-ji. Lanjutnya, “Menurut kabar yang ia kirimkan, Cujin kami ingin mencari sebuah pedang.”
Pedang?
“Tetapi menurut perhitungan kami, dibutuhkan 6 bulan perjalanan pulang pergi. Tetapi sudah lewat 9 bulan, kami tidak mendengar kabar darinya. Kami khawatir jika sesuatu terjadi padanya. Apalagi keadaan dunia persilatan kini sedang genting. Bengcu (ketua) dibutuhkan untuk mengatasi perpecahan dan keadaan yang sudah mulai kacau balau ini. Tetapi sampai sekarang ia belum muncul juga, kami khawatir jika sesuatu terjadi padanya.....,” Sim-ji tidak melanjutkan kata-katanya.
Mengapa semua ini terjadi bersamaan? Pembunuhan tokoh-tokoh penting, pemberontakan di selatan, perpecahan di kalangan Bulim (kalangan persilatan), dan ketua kalangan persilatan yang tahu-tahu menghilang.
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Cio San berkata, “Semua kejadian ini saling berkaitan dan berhubungan erat dengan majikan kalian. Jika aku boleh lancang, bolehkah aku bertanya latar belakangnya? Siapa nama sebenarnya, orang tuanya, kediamannya yang sebenarnya.”
Sam-ji terheran. Katanya, “San-ko (kakak San) tidak tahu? Keluarga Cujin kami adalah keluarga Gan yang kaya raya. Mereka tidak punya tempat tinggal tetap. Kemana-mana selalu meninggalkan budi....,”
“Cerita ini sih aku sudah dengar. Yang ingin ku ketahui adalah latar belakang kehidupannya yang sebenarnya,” sahut Cio San.
“San-ko mengira Cujin kami memiliki kehidupan rahasia? Tidak sama sekali. Kami semua sedari kecil di asuh menjadi pelayan di keluarganya. Jika San-ko tidak percaya, kami bisa mengantarkan San-ko bertemu dengan kedua orang tuanya,” jelas Sam-ji yang disambut anggukan oleh nona-nona yang lain.
Cio San telah mempelajari ilmu mengenal bahasa tubuh, dan ia bisa memastikan bahwa nona-nona ini berkata dengan jujur.
“Di mana tuan dan nyonya Gan tinggal? Jika tidak terlalu jauh mungkin aku bisa berkunjung untuk berkenalan,” tukas Cio San.
“Kedua lo-cujin (majikan tua) berada di kapal ini. Mereka memang ingin bertemu dengan engkau pula, San-ko,” kata Sim-ji. “Mari ku antarkan.”
“Ah kebetulan sekali!”
Sim-ji mengantarkan Cio San turun ke geladak kapal bagian dalam. Sebuah ruangan yang pintunya mewah sekali. Setelah mengetuk dan dipersilahkan masuk, Sim-ji membukakan pintu dan mempersilahkan Cio San masuk. Nona itu sendiri pun mengundurkan diri dan kembali ke atas.
“Salam, tuan dan nyonya Gan,” kata Cio San sambil menjura memberi hormat.
Kedua orang mengangguk dan menjura pula. Mereka memandang Cio San sambil tersenyum senang, dan mempersilahkannya duduk di hadapan mereka.
“Akhirnya kami bertemu lagi dengan Cio-hongswee sejak kejadian di puncak Thai-san,” kata Gan-ongya (tuan besar Gan).
“Dalam kejadian itu kan kita tidak bertemu langsung, sayang. Baru kali ini kita bertemu langsung,” tukas Gan-hujin (nyonya Gan) meralat perkataan suaminya.
Cio San tersenyum saja memandang kemesraan pasangan yang sudah setengah baya itu. “Senang berjumpa kembali,” katanya.
“Melihat kegagahan angkatan muda jaman sekarang, rasa-rasanya kita yang tua ini dapat berlega hati untuk mundur dan menikmati hidup,” ujar Gan-ongya.
“Haha, selama ini kau tidak pernah turun gelanggang, masa mau mengaku mengundurkan diri pula?” tawa Gan-hujin dengan renyah. Meskipun tua, kedua orang ini tidak kehilangan kegagahan dan kecantikan masa muda mereka. Ada keagungan dan keindahan tersendiri saat menatap mereka.
Setelah berbasa-basi sebentar, mereka kemudian sampai kepada pokok persoalan.
“Seperti yang telah diceritakan Sim-ji, Siau Liong pergi mencari pedang ke Himalaya. Bukan pedang biasa, melainkan pedang milik pendekar besar Suma Hiang,” kata Gan-ongya.
“Anak itu memang keterlaluan, sudah kubilang tidak perlu mencari kesusahan pergi ke Himalaya. Ia masih nekat saja berangkat mencari pedang milik Hiang-ko itu,” sela nyonya Gan.
“Anak muda memang suka penasaran,” kata Gan-ongya. “Kini kami menjadi susah karena sudah selama ini ia masih belum pulang. Jadi dengan tidak tahu malu, kami ingin meminta pertolongan Cio-hongswee untuk mencari-cari tahu kabarnya,” ujar majikan separuh baya itu.
“Tentu saja, tuan dan nyonya,” kata Cio San. “Tetapi permasalahannya, cayhe (saya) harus pula pergi ke selatan untuk menyelamatkan seorang sahabat cayhe yang tertawan. Jika sudah selesai, cayhe akan segera mencari kabar tentang Gan-bengcu (ketua Gan).”
“Tidak apa-apa. Anak itu bukan anak yang lemah. Aku hanya khawatir jika ia mengalami kesulitan dan membutuhkan pertolongan. Eh, Cio-hongswee mau pergi ke selatan dengan menumpang apa?” tanya Gan-ongya.
“Sesungguhnya cayhe masih belum tahu,” tawa Cio San.
“Oh, baiklah. Mari kami antarkan engkau ke sana. Kapal ini sangat cepat. Dalam 10 hari kita bisa sampai ke selatan.”
“Terima kasih banyak, tuan dan nyonya,”
Satu hal yang Cio San ketahui dari percakapan ini adalah bahwa ia kini yakin Gan Siao Liong adalah putra Suma yang hilang itu. Gan-hujin tadi menyebut Suma Hiang dengan sebutan ‘Hiang-ko’ (kakak Hiang). Sebuah sebutan yang sangat akrab, padahal tadi tuan Gan menyebutnya dengan sebutan ‘Suma Hiang-tayhiap’ (pendekar besar Suma Hiang). Hal ini saja sudah menjadi tanda bagi Cio San.
Perempuan memang tidak suka berterus terang. Jika mereka ingin mengatakan sesuatu, mereka akan mengatakannya melalui tanda-tanda dan bahasa yang berbeda. Cio San sudah sangat paham dengan hal ini.
Ia memang merasa sungkan untuk mengorek rahasia pribadi seseorang, atau mengorek rahasia keluarga. Apalagi yang berhubungan dengan anak angkat atau semacamnya. Tetapi untuk memastikan, ia menanyakan sebuah hal yang penting yang tentunya dengan maksud tertentu,
“Apakah tuan dan nyonya mengenal Hong Tang-taysu dari Siau Lim Pay?”
“Oh, tentu saja. Aku pernah bertemu beberapa kali dengan beliau. Aku bahkan pernah menerima satu-dua petunjuk tentang ilmu silat dari beliau. Sayangnya beliau pergi mengasingkan diri dan sampai sekarang tidak pernah terdengar lagi kabarnya,” jawab Gan-ongya.
Tanda-tanda dari kalimat yang mengandung rahasia. Kedua orang ini tentu saja tidak akan bebas bercerita bahwa Gan Siau Liong adalah anak angkat mereka yang mereka terima dari Hong Tang-taysu. Tetapi semua sudah jelas dengan jawaban ini.
Tidak terbayang betapa leganya Cio San mendengar jawaban itu.
***
Perjalanan ke selatan memang memakan waktu lebih cepat dengan menggunakan kapal ini. Rupanya kapal ini sejenis kapal penjelajah yang dirancang sangat mewah. Sepanjang perjalanan mereka singgah di beberapa kota untuk membeli perbekalan dan lain-lain. Mereka juga mencari-cari kabar perkembangan peperangan di sana.
Pasukan pemberontak sudah mulai merengsek masuk masuk ke daerah kekuasaan kekaisaran Beng. Hanya benteng tempat pangeran Cu berdiam lah yang masih kokoh bertahan. Benteng-benteng lain sudah berhasil direbut seluruhnya oleh pasukan pemberontak. Setidaknya kenyataan ini masih membuat Cio San merasa lega. Yang perlu ia khawatirkan hanyalah keselamatan Syafina.
Akhirnya di tengah malam di hari yang ke 10, sampai lah mereka di pelabuhan sebuah kota di Selatan. Pelabuhan itu dijaga ketat ratusan tentara. Bahkan mereka sempat dicegat di tengah laut oleh tentara laut kekaisaran Beng. Setelah Cio San menunjukkan Lencana Naga, mereka baru mendapat sambutan yang penuh hormat dan dipersilahkan berlabuh. Hanya Cio San yang turun sedangkan seluruh penumpang kapal yang lain memilih menunggu di kapal. Tuan Gan sempat menawarkan mengirimkan beberapa orang anak buahnya untuk menemani Cio San, tetapi ditolak secara halus oleh pemuda itu. Setelah sampai di darat, ia lalu menemui pemimpin pasukan penjaga di pelabuhan itu. Ia menanyakan berbagai hal yang berhubungan dengan peperangan dan lain-lain. Ia juga memastikan bahwa Syafina memang benar-benar tertawan. Pemimpin pasukan itu bercerita bahwa Syafina tertangkap saat ia ikut bertempur bersama tentara kekaisaran.
Cio San kemudian meminjam kuda dari pasukan kekaisaran dan segera berangkat masuk ke dalam daerah kekuasaan musuh. Ia pergi dengan membawa perbekalan secukupnya serta sebuah peta yang menunjukkan lokasi-lokasi yang telah dikuasai musuh. Cio San memilih lokasi yang pertahanannya paling kuat dan yang paling banyak pasukan musuh yang berada di sana. Baginya, semakin kuat pertahanan di sana, semakin berharga pula apa yang mereka pertahankan di sana. Tujuannya kali ini cuma satu. Menyelamatkan Syafina sambil membuat kerusakan di daerah itu sejauh yang ia bisa.
Benteng pertahanan musuh itu ternyata adalah sebuah benteng milik kekaisaran yang berhasil direbut pasukan pemberontak. Cio San sudah turun dari kudanya dan melepas kuda itu pergi. Kini ia sepenuhnya telah mulai memasuki daerah kekuasaan musuh. Malam mulai menjelang subuh, dan ia harus bergerak cepat sebelum terang tanah.
Ia menyusup di dalam kegelapan malam. Begitu hati-hati ia melangkah dan mencoba mengitari benteng itu. Banyak sekali penjaga yang berada di dalam dan di luar benteng. Cio San yakin, hanya dengan mengandalkan ginkangnya yang sangat tinggi itu, ia baru dapat lolos dari penjagaan para tentara musuh yang amat sangat ketat.
Pemuda tampan yang sakti itu bergerak seringan angin, secepat kilat. Apabila ada orang yang melihat pergerakannya, tentu mereka mengira ia bergerak dengan seenaknya saja. Tak akan ada yang menyangka bahwa pergerakan itu dilakukannya dengan perhituangan yang amat sangat matang. Terlambat sedikit saja ia akan ketahuan.
Tak mudah baginya untuk dapat lolos dengan mudah. Ia harus benar-benar menggunakan pemikiran dan kecepatannya. Di malam dingin di musim gugur, tubuhnya berkeringat dengan deras. Penyusupan ini baginya jauh lebih sulit dari pertarungan manapun.
Akhirnya dengan upaya yang sangat keras dan hati-hati, berhasil lah ia memasuki benteng yang sangat berbahaya itu. Ia melayang dan mendarat dengan ringan di ranting kecil sebuah pohon. Ranting kecil itu bahkan tidak bergerak saat menerima tubuhnya. Entah seberapa tinggi ilmu ginkang (meringankan tubuhnya), tak ada seorang pun yang dapat mengukurnya.
Di atas pohon ada seorang penjaga, Cio San sudah tahu itu. Karenanya ia mendarat tepat di belakang penjaga itu tanpa diketahui sama sekali. Dengan sebuah totokan kecil, ia berhasil melumpuhkan si penjaga. Dari balik rerimbunan pohon, ia mengamati suasana sekali lagi.
Semua harus cermat, cepat, dan tepat. Perhitungan harus matang dan tak boleh salah seujung kuku pun.
Setelah mempelajari semuanya, dengan keyakinan yang tinggi, ia melayang sekali lagi. Tanpa suara, dan tanpa beban. Dalam sekedip mata, ia telah mendarat di atap benteng. Bagian atap ini, adalah bagian yang paling tertutup dari bagian atap lainnya. Karena ada sebuah bendera besar milik tentara musuh. Dengan berlindung di balik bendera itu, ia bisa berdiam di sana tanpa ketahuan.
Ada 10 orang penjaga di atas atap itu. Satu orang berada dekat dengan tempat ia bersembunyi. Cio San bergerak, penjaga itu pun tertotok dengan mudahnya. Ia berdiri mematung kaku karena totokan Cio San. Setelah menotok, ia langsung bergerak tanpa memperdulikan penjaga itu. Ia yakin benar bahwa penjaga itu sudah berhasil dilumpuhkan. Ia memang selalu yakin dengan kemampuannya sendiri.
Kini ia meluncur dengan rendah, dadanya bahkan hampir menyentuh atap. Ia seolah-olah terbang menyusuri atap itu bagaikan seekor burung walet yang melayang ringan. Sekali lagi, satu penjaga berhasil di lumpuhkan. Tidak sampai 2 detik, kesepuluh penjaga di atas atap itu berhasil ia lumpuhkan dengan cara yang sama.
Ketika ia hendak bergerak turun, telinganya mendengar sebuah suara, “Apakah aku berhadapan dengan Cio-hongswee yang terkenal itu?”
Cio San menengok. Orang yang mampu bergerak di belakangnya tanpa ia ketahui sama sekali, hanyalah Suma Sun. Tetapi orang yang di hadapannya ini mampu melakukannya!
Ia mengenal orang ini. Wajahnya keras dan kasar. Pandangan matanya tajam. Ia memakai baju khas suku Uyghur. Seorang pendekar terbaik dari suku-nya. Bernama Ma Lu Si. Tentu Cio San mengenalnya, karena ketenaran ilmu Tapak Besi ini sudah terdengar ke seluruh dunia. Tentu pula Cio San mengenalnya, karena orang suku Uyghur yang mampu menangkap basah dirinya memang cuma Ma Lu Si.
“Ah, Ma-enghiong (ksatria). Salam,” kata Cio San.
“Kau mengenalku?” tanya Ma Lu Si.
“Jika Ma-enghiong sudah mau mengenalku, masa kah cayhe (aku) berani tidak mengenal Ma-enghiong?” tukas Cio San sopan.
“Bagus. Melihat cara engkau bergerak, aku sudah tahu siapa dirimu. Aku memang menantikan kesempatan untuk bertarung denganmu!” kata Ma Lu Si. “Apakah tempat ini leluasa bagi Cio-hongswee? Jika tidak, kita bisa pindah ke tempat yang lebih tenang.”
Dalam hati Cio San mengakui sifat satria pendekar ini. Ia tidak segera berteriak memanggil para penjaga, malahan memberinya kesempatan untuk memilih tempat yang sepi untuk bertarung. Orang-orang suku Uyghur memang terkenal dengan sifatnya yang ksatria. Pantas saja mereka berhasil menaklukkan beribu-ribu pasukan kekaisaran Beng.
“Di sini saja sudah cukup, Ma-enghiong,” ujar Cio San. Ia lalu membuka kuda-kuda. Pertarungan dua ksatria kelas tertinggi memang tidak membutuhkan basa basi.
Ma Lu Si sedikit kaget melihat kuda-kuda Cio San yang begitu santai, tetapi wajah ksatria Uyghur itu tetap keras dan tenang. Ia pun memasang kuda-kuda.
“Lihat serangan!”
Ma Lu Si bergerak. Ilmu Tiat Ciang (Tapak Besi) nya yang tersohor, memang bukan nama kosong. Sekali bergerak, hawa pukulannya berdesing dan terdengar berat. Dengan pukulan seperti itu, ia dapat menghancurkan batu karang sebesar 2 ekor sapi dengan sekali pukul.
Cio San menerima pukulan itu dengan Thay Kek Koen (Tai Chi). Melawan keras dengan lunak. Ia memutar jari-jarinya ke depan, dan menyambut kepalan Ma Lu Si. Betapa dahsyat kekuatan kepalan itu sehingga dada Cio San bergetar saat menerimanya. Tetapi ia cukup cerdas untuk tidak berada tangan. Begitu kedua tangan mereka bersentuhan, Cio San segera mengalirkan tenaga lembut ke telapaknya dan kemudian melakukan gerakan memutar.
Biasanya, gerakan ini akan berhasil membuat arah pukulan lawan berbelok, dan memberi ruang kosong bagi Cio San untuk menyerang. Tapi kali ini Thay Kek Koen gagal!
Pukulan itu tetap menghujam lurus ke wajahnya dengan amat cepat. Melihat ini Cio San segera memutar kepala agar pukulan ini lewat di hadapannya. Tak tahunya, kepalan besi itu pun berubah arah dalam seketika dan menghajar dadanya!
Duaaaaar!!!!!!
Tubuh Cio San terhempas ke belakang dan melayang dengan deras menuju tembok batu di atas atap. Untung dengan sedikit lentingan ujung kaki, tubuhnya telah berubah arah ke atas. Dengan berjumpalitan, ia telah berhasil mendarat di tembok atap dengan ringan.
Ma Lu Si tersenyum puas, katanya “Jika orang lain, tentu sudah mampus menerima pukulanku. Kau orang pertama yang selamat.”
Cio San tersenyum dengan tenang. Di dalam dadanya, tenaga pukulan Ma Lu Si hampir saja menghancurkan seluruh isi dadanya. Untunglah tenaga sakti Thay Kek Koen masih melindunginya. Meskipun jurus tangkisan Thay Kek Koen masih dapat ditembus oleh pukulan Ma Lu Si, tetapi saja tenaga pemuda Uyghur itu tak akan mampu menembus pusaran tenaga dalam Thay KeK Koen yang berada di dalam tubuh Cio San.
“Serangan hebat!” pujinya.
Gebrakan mereka berdua telah menimbulkan suara yang amat sangat besar sehingga para tentara mulai berdatangan. Melihat seorang laki-laki asing sedang berhadapan dengan ksatria kebanggan mereka, tentu saja mereka merasa tenang. Tidak ada satu pun orang yang pernah keluar hidup-hidup saat bertarung dengan Ma Lu Si, satria kebanggaan Uyghur!
Bahkan kini para pendekar yang berada di pihak lawan pun sudah mulai berdatangan. Ini adalah sebuah tontonan yang menarik, yang mungkin hanya bisa disaksikan 100 tahun sekali!
Ma Lu Si merasa berada di atas angin. Semangatnya berkobar-kobar. Jurus keduanya datang lebih cepat dan lebih mematikan. Kali ini kedua tangannya menyerang bergantian. Dalam sekejap mata, sudah ada tujuh pukulan yang ia lancarkan bertubi-tubi.
Cio San kali ini hanya bisa mengandalkan ginkangnya. Ilmu meringankan tubuhnya hanya lebih tinggi sedikit daripada Ma Lu Si. Malahan mungkin tidak sampai setengah lebih tinggi. Tetapi perbedaan yang sedikit ini, sudah mampu menyelamatkan Cio San dari gempuran Ma Lu Si.
Melihat Cio San hanya bisa menghindar dan tak mampu membalas, para prajurit sudah bersorak sorai dengan senang. Sudah lewat 10 jurus, Cio San tidak mampu membalas sama sekali. Tinggal menunggu waktu saja saat pukulan itu mencapai sasaran dan ia akan segera terpukul mati.
Memasuki jurus ke 17, serangan Ma Lu Si semakin menjadi-jadi. Cio San pun sudah mulai keserempet pukulan-pukulan pemuda Uyghur itu. Ia tidak mungkin dapat memenangkan pertarungan hanya dengan menghindar saja. Ia tidak mungkin menggunakan ilmu Menghisap Matahari, karena kedahsyatan kekuatan pukulan Ma Lu Si yang terhisap, bisa menyerang balik dirinya. Inilah kelemahan dari ilmu Menghisap Matahari. Kini Cio San hanya bisa mengandalkan ginkang dan Thay Kek Koen untuk menghindar dan menghilangkan sedikit pengaruh kekuatan pukulan Ma Lu Si.
Jurus ke 20, sebuah pukulan dari serangan yang bertubi-tubi mengenai sasarannya. Perut Cio San terasa bergetar dan ia hampir saja memuntahkan seluruh isi perutnya. Thay Kek Koen berhasil melindunginya lagi kali ini, tetapi jika ini berlangsung terus-menerus, getaran pukulan itu pada akhirnya akan mampu melukai dan melumpuhkannya.
Kekuatan pukulan Tapak Besi milik Ma Lu Si ini memang sedikit aneh. Tidak bisa dibelokkan dan tidak bisa dipunahkan. Rupanya pusaran kekuatan pukulan itu telah diatur sedemikian rupa sehingga amat sulit untuk dibuyarkan!
Darah menetes keluar dari mulut Cio San. Ia hanya mampu menghindar, namun tak lama lagi, kecepatannya akan berkurang jika terlalu serang menerima getaran pukulan Ma Lu Si.
Jurus ke 25 datang dengan membabi buta. Posisi Cio San sudah terjepit. Ia berada di ujung atap. Jika mundur ia akan terjatuh ke bawah dan akan disambut serangan ratusan prajurit. Untuk maju ke depan pun tidak mungkin karena kedua kepalan Ma Lu Si telah mencecarnya.
Tak ada tempat lagi. Hanya ujung kakinya saja yang masih menempel di ujung atap. Tak ada kuda-kuda yang mampu menopangnya dan memberiknya kekuatan untuk menahan serangan ini.
Cio San memiringkan tubuhnya ke belakang dengan cepat. Ia seolah-olah jatuh ke belakang. Ujung kaki kanannya masih menjadi poros tubuhnya ia berfungsi seperti kait yang menahan agar tubuhnya tidak terjatuh. Serangan pukulan Ma Lu Si sudah ia hentikan karena ia menganggap Cio San telah terjatuh ke bawah.
Inilah kesalahan terbesarnya. Ia mudah puas, dan merasa telah menang. Melihat Cio San yang tak dapat membalas dan telah terluka, ia berpikir dirinya telah menang. Apalagi melihat tubuh Cio San yang terjatuh ke bawah.
Kaki kiri Cio San secara aneh telah mengait kaki Ma Lu Si. Jurus ular derik yang ia pelajari di dasar goa, telah ia pindahkan dari tangan ke kaki. Kini kakinya mengeluarkan getaran bagaikan getaran ekor ular derik. Kaki itu lalu mengait dan melibat kaki Ma Lu Si.
Harap diketahui, ketika seseorang mengumpulkan tenaga besar untuk melepaskan pukulan, dan pukulan itu sudah terlepaskan, maka ada waktu sepersekian detik ketika tubuhnya kosong oleh kekuatan. Karena kekuatan itu telah terlepaskan seluruhnya. Ditambah dengan keyakinan dirinya yang terlalu besar, Ma Lu Si tidak menyangka bahwa kaki Cio San akan mampu membelitnya dan menghilangkan kekuatan kuda-kudanya.
Begitu kuda-kudanya hilang, kekuatan pukulannya pun tidak mampu terkumpul secara sempurna. Saat ia melancarkan serangan dan memukul Cio San agar dapat terlepas dari belitan itu, kekuatan pukulannya sudah menghilang separuhnya. Walaupun yang separuh itu bisa dapat menghancurkan bebatuan besar menjadi debu, pusaran kekuatan itu tidaklah sesempurna pukulan-pukulannya yang sebelumnya. Karena itu Cio San dapat menerima pukulan itu dengan kakinya dan ia segera menggunakan jurus Thay Kek Koen untuk merubah arah pukulan-pukulan itu.
Dengan amat sangat cepat, kaki kanannya ia lepaskan dari ujung atap, karena kaki kirinya kini telah membelit di kaki Ma Lu Si sehingga ia tak akan terjatuh. Lalu dengan gerakan yang indah dan gemulai, kaki kanan itu menyapu seluruh pukulan Ma Lu Si dan merubah arahnya.
Duaaaarrr!!! Duaaaarrrr!!!
Pukulan kedua kepalan Ma Lu Si kini menghantam wajah dan dadanya sendiri. Cio San bergerak lagi dengan sangat cepat, memanfaatkan waktu sepersekian detik di mana Ma Lu Si terhantam pukulannya sendiri. Jenderal Phoenix itu memutar tubahnya bagai pusaran topan badai dan melancarkan sebuah tendangan memutar yang masuk tepat di ulu hati Ma Lu Si. Tendangan itu bagaikan sebuah bor yang terus merengsek masuk memanfaatkan tenaga dorongan pukulan yang tadi di lancarkan Ma Lu Si sendiri.
Dengan satu kali gerakan, Cio San telah mampu menangkis pukulan Ma Lu Si, membelokkan arahnya sehingga ksatria itu memukul dirinya sendiri, dan memanfaat tenaga serangan Ma Lu Si itu untuk memutar tubuhnya dan menghujamkan sebuah tendangan yang amat dahsyat!
Tubuh Ma Lu Si terhempas dengan sangat dahsyat ke belakang. Tangan Cio San menotol ujung atap dan dalam sekejap mata, ia telah berhasil menyusul luncuran tubuh Ma Lu Si. Lalu dengan sedikit gerakan ringan, telapaknya memutar ujung kaki Ma Lu Si.
Gerakan ini telah menyelamatkan hidup ksatria muda itu. Jika tidak, arus tenaga tendangan Cio San akan menghancurkan isi perutnya. Dengan Thay Kek Koen, Cio San memutar tubuh Ma Lu Si, agar perputarannya tidak berlawanan dengan perputaran arus tenaga tendangan tadi.
“Hueeeeekkkkkkk!” ksatria muda dari suku Uyghur itu memuntahkan darah segar. Untung saja ia tidak sampai mati. Jiwanya terselamatkan, tetapi membutuhkan waktu yang lama agar ia bisa segera pulih.
“Serang! Serang!” terdengar suara para prajurit menggelegar.
Begitu melihat jagoan mereka terkapar, segera mereka memuntahkan ratusan anak panah ke arah tubuh Cio San. “Hati-hati panah kalian, tubuh tuan Ma Lu Si bisa terkena panah kalian,” seru Cio San. Di dalam suasana seperti itu, ia masih memikirkan nasib musuhnya.
Ia lalu mengangkat tubuh itu dan melayang ke bawah. Melihat jagoan mereka masih hidup, mau tidak mau mereka menghentikan serangan panah mereka.
Mata Cio San menyapu daerah yang kini sudah dipenuhi oleh para tentara itu. Matanya tertumbuk pada seorang Lama yang dulu pernah bergebrak dengannya. Katanya, “Tuan, harap terima Ma-enghiong dan tolong alirkan tenaga dalam untuknya,” kata Cio San.
Dulu juga Cio San pernah menolong sang Lama, ketika Lama itu terluka oleh serangan Cio San. Terhadap lawan-lawannya, Cio San memang selalu berlaku penuh kasih.
Para tentara ini yang sebagian besar terdiri dari suku Miao dan Uyghur, yang melihat Cio San memperlakukan jagoan kebanggan mereka penuh hormat, kini menjadi salah tingkah. Mereka bingung apakah harus menyerang atau memberi hormat. Bahkan sebagian malah ada yang memberi pujian.
Suku Miao dan Uyghur memang selalu mengedepankan rasa ksatria. Cio San sangat tahu hal ini, makanya ia benar-benar memanfaatkannya.
“Siapa namamu?” suara ini terdengar sangat berwibawa. Cio San menoleh, ia sudah mengenal siapa orangnya. Sang raja suku Miao, yang memimpin pemberontakan melawan kaisar Beng.
“Salam paduka. Nama hamba Cio San,” katanya sambil menjura.
“Oh, kau enghiong yang terkenal itu,” tukas si raja. “Apa maumu datang kemari? Ingin memata-matai?”
“Maafkan kelancangan hamba datang kemari. Hamba hanya datang ingin menjemput putri Syafina,” jawab Cio San tenang.
Si raja tertegun, katanya “Putri Syafina siapamu kah?”
“Ia adalah sahabat hamba,” jawab Cio San.
“Hanya sahabat?”
Cio San mengangguk.
“Ia hanya sahabatmu tetapi kau berani datang kemari dan membuat kekacauan?” tanya sang raja lagi.
“Demi seorang sahabat, hamba pun tidak akan ragu-ragu jika harus mengobrak abrik istana Giam Lo Ong (raja akherat/dewa kematian),” suaranya tenang dan dalam.
Tidak ada seorang pun yang meragukan kata-katanya. Memang, jika sang jenderal Phoenix berbicara, musuh-musuhnya pun tak ada yang meragukan kata-katanya.
“Sayang kau terlambat,” ujar sang raja.
“Terlambat?”
“Putri Syafina bukan tawanan kami. Ia kami perlakukan sebagai tamu kehormatan. Kami tidak mungkin mencari permusuhan dengan kerajaan Qara Del. Saat ini, beliau telah diantar pulang ke utara oleh jenderal Aghulai, jenderal dari sukunya sendiri.”
“Kapan?” tanya Cio San.
“Kemarin malam. Mereka berangkat menaiki kapal rahasia,” jawab si raja.
Cio San berpikir sebenar, lalu katanya, “Apakah paduka mengijinkan hamba pergi dari sini?”
Sang raja, tersenyum lalu berkata, “Jika tidak?”
“Hamba akan mati di sini. Tetapi sebelum hamba mati, mungkin saja ada ribuan orang yang turut mati bersama. Kerusakan ini akan merugikan paduka sendiri,” katanya tenang.
Raja itu berpikir sejenak, lalu katanya, “Baik lah, kau boleh pergi.”
“Terima kasih paduka. Salam,” ia lalu menjura dan menghilang dari situ.
Ketika ia sudah menghilang dari pandangan, sang raja kembali ke kediamannya. Di situ sudah ada seorang nenek tua yang penampilannya sangat menyeramkan. Dari nafasnya tercium bau belerang yang sangat busuk. Nenek itu berkata, “Kau melepasnya?”
“Ya. Jika kita bersikeras melawannya, kita tak akan dapat menahannya hidup-hidup. Jika demikian, nenek tak akan bisa merebusnya hidup-hidup agar dapat menghisap sari kekuatannya,” kata si raja.
“Pintar!”
0 Response to "EPISODE 2 BAB 45 PERTARUNGAN DI ATAP BENTENG"
Posting Komentar