Begitu cepat Cio San bergerak sehingga dengan segera ia telah keluar dari wilayah pertahanan musuh. Dengan mengerahkan segala kemampuannya untuk mencari jejak, ia akhirnya berhasil melacak arah perginya Aghulai dan rombongannya. Dengan sabar ia terus mengikuti jejak itu sampai matahari muncul dan suasana menjadi terang benderang.
Jejak Aghulai dan rombongannya terhenti di tepi sungai besar. “Mereka menggunakan kapal,” batin Cio San. Ia harus mengakui bahwa Aghulai memang sangat cerdas. Dengan melalui sungai, meskipun harus melalui jalan yang berputar-putar mengikuti aliran sungai, perjalanan mereka menjadi lebih susah dilacak. Hal ini juga menghindarkan mereka dari kecurigaan dan kesulitan yang harus mereka hadapi jika mereka melalui jalan darat.
Tepi sungai ini bukanlah sebuah dermaga besar, tetapi ada beberapa perahu kecil yang bisa disewa di sana. Rupanya tempat ini memang sejenis tempat di mana titik-titik angkutan perairan berada. Cio San memperhatikan beberapa perahu dan ia memilih sebuah perahu yang dimiliki seorang anak muda berperawakan kasar namun wajahnya ramah.
“Boleh kusewa perahunya?” tanya Cio San.
“Tentu saja boleh,” kata anak muda itu sambil tersenyum ramah. “Tuan ingin kuantarkan kemana?”
“Aku hanya ingin jalan-jalan. Perjalananannya mungkin akan makan berhari-hari. Tetapi segala ongkos akan kutanggung,” jawab Cio San.
“Eh? Berhari-hari? Ongkosnya akan sangat mahal,”
“Ini sebagai uang muka, separuhnya lagi akan kubayarkan setelah perjalanan ini selesai. Uang makanmu akan kutanggung pula selama perjalanan” Cio San melemparkan 2 buah tael emas. “Jadi?”
Tentu saja jadi. Jadinya pun cepat sekali. Dua tael emas untuk uang muka sebuah perjalanan dengan perahu sekecil itu sudah sangat banyak!
Kini mereka sudah berlayar. Sungai yang sangat besar, ke mana arah tujuannya?
“Kita ke arah utara,” kata Cio San.
“Baik!”
“Eh siapa namamu?” tanya Cio San.
“Namaku A Hung. She (marga) Ti,” jawabnya ramah.
“Oh, salam kenal Ti Hung. Namaku Cio San,”
“Salam tuan!”
Cio San menyukai anak muda ini. Umurnya mungkin belum sampai 20 tahun. Paling banyak mungkin hanya 17 tahun. Tetapi semangat, dan keramahan pemuda ini cukup menarik baginya.
“Kau sudah menikah?”
“Belum,” jawabnya sambil tertawa.
“Oh, lelaki gagah dan menyenangkan seperti kau tentu memiliki banyak penggemar. Kenapa tidak kau manfaatkan?” tukas Cio San sambil tersenyum.
“Hahaha. Perempuan itu susah. Jika belum menikah mereka ramah, jika sudah menikah malah berubah menjadi seperti majikan,” tukas Ti Hung sambil tertawa keras.
“Haha. Kan tidak semua wanita seperti itu. Banyak pula yang patuh dan menurut kepada suami,” ujar Cio San.
“Ya benar. Mungkin saya saja yang terlalu berpikir tidak-tidak,” katanya tersenyum.
Mereka mengobrolkan tentang hal sehari-hari sambil menikmati pemandangan sungai yang indah. Beberapa kali mereka berpapasan dengan perahu lain, Ti Hung menyapa mereka semua. Rupanya ia cukup dikenal di kalangan tukang perahu.
Melihat ini Cio San menjadi lega. Ini membuktikan bahwa Ti Lung bukanlah antek musuh yang menyamar. Tetapi sudah pasti ia tidak mengendorkan kehati-hatiannya. Semua bisa saja terjadi.
“Eh, sehari yang lalu apakah engkau melihat sebuah rombongan yang mencurigakan menaiki perahu?”
“Mencurigakan bagaimana tuan?”
“Ah, cukup panggil aku toako (kakak) saja,” tukas Cio San. “Mencurigakan seolah-olah mereka menyembunyikan sesuatu. Seperti seorang tahanan, atau semacamnya. Dan wajah mereka mungkin sedikit berbeda, seperti wajah orang Goan (Mongolia).”
Ti Hung berpikir sebentar. Dengan melihat gerakan mata Ti Hung, ia mengetahui bahwa lelaki muda itu memang sedang berpikir dan mengingat-ingat sesuatu. Menurut ilmu tentang gerak wajah dan tubuh yang pernah dipelajarinya, jika seseorang mengingat-ingat sesuatu, maka pandangan mata dan geraknya akan berbeda daripada jika ia mengarang-ngarang sesuatu. Ada perbedaan tentang menggunakan ingatan, dan menggunakan pemikiran untuk mengarang sesuatu. Segala hal tentang pemuda ini begitu jujur dan bebas. Tak ada satu pun yang mencurigakan.
“Aku ingat. Mereka membawa tandu. Saat itu aku berpikir mengapa ada rombongan orang kaya yang berada di tempat ini. Beberapa pengawalnya pun berbadan tegap. Ku pikir mereka mungkin para tentara. Soalnya, tempat ini memang cukup dekat dengan wilayah pertempuran di selatan sana,” jelas Ti Hung.
“Kau tahu tujuan mereka pergi ke mana?”
“Tentu saja tidak, toako. Sungai seluas ini siapa yang bisa menebak. Satu yang aku tahu dengan pasti mereka pergi ke arah utara.”
“Apakah mereka menggunakan perahu sendiri, atau menyewa perahu?”
“Mereka menyewa perahu paling besar milik Sam-toako. Harga jadinya pun sangat mahal,” jawab Ti Hung.
“Hmmm, jika nanti kita berpapasan dengan perahu-perahu lain, sudikah kau bertanya kepada sahabat-sahabat sesama tukang perahu apakah mereka berpapasan dengan perahu Sam-toako itu?”
“Tentu saja. Kami tukang perahu selalu saling memperhatikan. Jika seseorang mengalami kesulitan, sesama tukang akan saling membantu. Tetapi, kalau saya boleh tahu, kenapa toako ingin menguber mereka?”
Cio San merasa tidak enak untuk berbohong kepada tukang perahu yang baik hati ini, sehingga ia pun berkata jujur, “Mereka adalah rombongan pasukan Goan (Mongol) yang menculik seorang sahabatku,”
“Ah benarkah? Kalau begitu kita harus cepat-cepat menemukan mereka!” kata Ti Hung penuh semangat, “Aku akan menolongmu, toako! Sejak awal aku memang kurang suka dengan tingkah mereka yang sombong!”
“Aih, baik sekali hatimu Hung-te (adik Hung). Aku sangat berterima kasih sekali,” tukas Cio San terharu. Ia selalu menghargai rasa kesetiakawanan dengan sangat tinggi.
Setiap berpapasan dengan perahu yang lain, Ti Hung benar-benar menanyakan tentang perahu yang mereka kejar. Beberapa tukang perahu mengaku sempat berpapasan dan memberitahukan arah. Cio San sangat senang akan hal ini. Dari berita ini, ia dapat melacak mereka lebih cepat.
“Menurut pendapatmu, apakah kita akan sempat menguber mereka?” tanya Cio San.
“Kapal mereka cukup besar dan kuat. Cepat pula. Tetapi sepertinya muatan mereka cukup banyak. Apalagi dari kabar yang kita dengar, mereka kadang-kadang behenti sebentar di beberapa dermaga untuk mengisi keperluan dan bekal. Jika kita bergerak terus tanpa berhenti, dalam waktu setengah hari, kita tentu dapat menguber mereka toako (kakak),” jelas Ti Hung.
“Hmmm, baiklah. Untuk masalah makan, apakah kau tak keberatan untuk sementara memakan tangkapan ikan saja? Kita bisa membakarnya di sini, karena ku lihat kau pun membawa perlengkapan memasak di sini,” tanya Cio San. Perahu milik Ti Hung memang memiliki atap kecil untuk berteduh, sehingga seperti ada bilik kecil untuk penumpang. Di dalam bilik itu terdapat banyak perlengkapan seperti tali temali, alat memancing, kompor, air bersih, dan bahkan bantal untuk tidur.
Cio San berhasil menangkap beberapa ikan. Ia pula yang membakar dan meramunya. Ia sendiri pun membawa sedikit roti kering dan bumbu-bumbu yang diberikan oleh para tentara beberapa hari yang lalu. Mereka kemudian menikmati hidangan yang sangat nikmat ini. Ti Hung terheran-heran dengan rasa masakan Cio San yang sungguh nikmat.
Hari menjelang malam, Cio San beristirahat sebentar. Sesuai kebiasaannya, ia selalu tidur dengan pulas untuk menambah tenaga dan menenangkan pikirannya jika akan menghadapi situasi yang sulit. Sejak tadi ia sudah memahami seluruhnya persoalan yang ia hadapi.
Saat menggerebek sarang musuh semalam, ia sengaja tidak menggunakan seluruh tenaganya untuk menghadapi Ma Lu Si. Ia tidak ingin musuh mengetahui kekuatannya yang sebenarnya! Ia pun memang melakukannya untuk menyimpan tenaga saktinya sendiri. Akan sangat banyak musuh yang harus ia hadapi. Ia hanya bisa mengandalkan akalnya agar ia tidak terpaksa menggunakan kekuatannya yang sebenarnya. Betapa cerdasnya pendekar muda ini. Seolah-olah setiap langkahnya sudah ia perhitungkan dengan matang. Padahal pemahaman ini ia lakukan secara alami dan mengikuti perubahan. Tanpa menggunakan tenaga yang besar, ia dapat mengalahkan Ma Lu Si yang ilmunya hampir sama tingginya dengan dirinya sendiri. Ia hanya cukup menggunakan akal dan kemampuan dirinya untuk berubah sesuai keadaan. Tidak banyak orang yang mampu melakukan hal ini. Karena itulah Cio San memang sangat berbahaya bagi musuh-musuhnya.
Karena itu pula, ia paham mengapa Aghulai membawa Syafina pulang ke Qara Del. Para musuh memang sengaja menggunakan Syafina untuk menariknya menjauh dari medan pertempuran. Ini terbukti dari perjalanan Aghulai yang seolah berputar-putar menyinggahi banyak tempat. Ia sengaja berputar-putar dahulu untuk membuang-buang waktu Cio San. Agar Cio San semakin menjauh dari sarang musuh. Siasat ini sangat pintar dan halus. Tetapi memangnya ada siasat yang mampu mengelabui sang Jenderal Phoenix? Ia mungkin akan tertipu sesaat, namun akal dan bisikan hatinya akan mampu menunjukan kebenaran yang sebenar-benarnya.
Cio San kini semakin curiga dengan hal apa yang direncanakan musuh di sana. Ia masih belum bisa membongkarnya. Tetapi ia telah mengerti apa yang harus ia lakukan. Ia bahkan telah mampu menebak tokoh di balik semua ini. Ia hanya perlu bersabar dan membongkar semua rahasia ini pada waktunya. Ia perlu memastikan bahwa seluruh tebakannya memang benar.
Ia tertidur dengan pulas, ketika di tengah malam Ti Hung membangunkannya dan berkata bahwa ia melihat kapal Sam-toako berlabuh di dermaga di depan sana. Cio San kemudian bergegas bangun dan memperhatikan. Dari jauh kapal itu terlihat cukup besar. Tidak begitu mewah jika dibandingkan dengan isi penumpangnya. Ia bertanya, “Apa nama kota ini?”
“Tung Ci, toaku,” jawab Ti Hung.
Kota ini berada di barat daya. Aghulai tidak langsung mengambil arah ke utara, tetapi menggunakan jalur barat daya. Hal ini semakin memperkuat dugaannya bahwa jenderal Goan (Mongol) ini memang sengaja berputar-putar.
Cio San lalu meminjam sebuah topi caping lebar yang biasanya dipakai para nelayan. Topi ini berada di dalam bilik perahu. Lalu ia berkata, “Hung-te (adik Hung), kau berlabuhlah. Tetapi siap-siap untuk bergerak, jika kau melihat mereka bergerak. Aku akan menyusulmu segera.”
“Baik, toako!” kata pemuda ini bersemangat.
Kata-katanya belum selesai, ia melihat Cio San melayang dengan sangat ringan dan sangat cepat. Dalam sekejap bayangan Cio San telah mendarat di daratan, jauh sebelum perahu mereka sendiri mendekat di daratan.
“Oh, ternyata San-toako (kakak San) adalah seorang pendekar sakti. Oh, sungguh beruntung aku. Aku akan memintanya untuk mengajarkan silat kepadaku,” katanya dalam hati.
Begitu sampai di darat, Cio San pun menyusup dalam kegelapan. Dengan sangat hati-hati ia memperhatikan daerah sekitar. Ketika ia sudah yakin aman, dengan sekali gerak, ia melayang dan mendarat di atas kapal yang di sewa Aghulai. Ia sudah memastikan dengan benar bahwa titik mendaratnya memang benar-benar aman. Kemampuan menyusupnya ini sudah hampir mendekati kemampuan Cukat Tong, sang raja maling. Bisa dimaklumi karena ia sendiri memang sempat mempelajari ilmu menyusup dari Cukat Tong.
Dengan kelincahan yang tak dapat ditakar oleh akal manusia, Cio San menyelinap di balik kegelapan. Banyak penjaga berseliweran namun tak ada satu pun yang berhasil memergokinya. Ia lalu berhasil memasuki geladak kapal dan memulai pencariannya. Sang Jenderal Phoenix mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menemukan di mana letak keberadaan putri Syafina. Satu persatu ia menyelidiki bilik yang berada di kapal. Untungnya kapal itu bukanlah sebuah kapal yang besar, hanya berisi beberapa bilik saja.
Ia tidak menemukan jenderal Aghulai di sana, rupanya jenderal itu sedang turun ke darat untuk sebuah urusan. Bilik demi bilik di susurinya sampai ia menemukan sebuah bilik terakhir di tempat gudang penyimpanan perbekalan. Tidak banyak perbekalan yang mereka bawa. Yang ada hanya tong-tong berisi minyak yang baunya menyengat.
Akhirnya ia menemukan bilik tempat Syafina disekap! Ada dua orang penjaga yang berada di sana. Kedua penjaga ini tidak sempat berkedip ketika tahu-tahu Cio San sudah berada di depan mereka dan menotok urat penting mereka yang membuat kedua orang itu tak berkutik. Ia lalu memeriksa kantong kedua penjaga itu dan menemukan kunci untuk bilik itu.
Begitu dibuka tampaklah si putri sedang berbaring tak berdaya. Cio San masuk dan mendekatinya ketika ia mendengar sebuah dentuman yang terdengar di luar. Suara dentuman itu sama sekali tidak besar, dan hanya terdengar kecil sekali. Tetapi Cio San telah memahami apa yang terjadi.
Jenderal Aghulai tidak berada di tempat, penjaga yang malas-malasan, letak bilik penyekapan Syafina yang tepat berada di tengah-tengah geladak, tong-tong berisi minyak berbau menyengat, bunyi dentuman mencurigakan yang terdengar di kejauhan. Semua membentuk sebuah kesimpulan!
Ia segera meraih tangan Syafina, lalu dengan tangan satunya ia menghajar lantai kapal sampai hancur berantakan dan jebol ke sungai. Hanya sepersekian detik kemudian, kapal itu meledak dengan dahsyatnya.
Dhuaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrr!!!!!!!!!
Segala kejadian ini digambarkan dengan cukup panjang, padahal kejadian aslinya tidak lebih cepat dari kedipan mata.
Cio San dan Syafina berhasil masuk ke dalam sungai sebelum kapal kecil itu meledak berkeping-keping!
Di permukaan sungai, api menjalar begitu besar sampai-sampai menerangi malam yang gelap gulita itu. Kapal itu kini berubah menjadi potongan-potongan kayu kecil-kecil. Cio San menyelam sambil terus membawa putri Syafina dalam pelukannya. Ia mengerahkan segala tenaganya untuk menyelam dan menjauh dari daerah itu. Setelah dirasa cukup jauh, ia akhirnya menepi dan membawa sang putri ke daratan yang gelap, sebelum benar-benar memastikan bahwa daerah itu benar-benar aman.
Begitu sampai di daerah yang aman, segera ia memompa dada sang putri untuk mengeluarkan air dari paru-parunya, sambil juga menotok titik-titik penting di tubuh sang putri. Ia lalu mendekatkan mulutnya ke mulut sang putri untuk menyedot air dari dalam paru-parunya.
Tubuh putri cantik itu dingin, namun bibirnya hangat. Lembut dan terasa manis. Cio San sudah sering mengecup bibir perempuan, tetapi bibir yang selembut dan semanis ini baru kali ini dirasakannya. Tak berapa lama sang putri lalu tersadar, ketika ia membuka mata, betapa kagetnya ia ketika ad seorang laki-laki sedang mengecup bibirnya.
“Kurang ajar!,” tangannya pun bergerak menampar. Yang ditampar pun tidak menghindar. Meskipun ia sanggup menghindar, ia tetap saja membiarkan pipinya ditampar sang putri.
“Kau?”
“Maafkan aku harus melakukannya, tuan putri. Hanya itu cara menyedot keluar air dari paru-parumu,” jelas Cio San sungguh-sungguh.
“Eh, apa yang terjadi?” walaupun ia bertanya-tanya, otaknya cukup cerdas untuk kemudian memahami apa yang terjadi. “Hongswee menyelamatkan aku dari kapal itu?”
Cio San hanya mengangguk.
“Terima kasih banyak, dan eh....ma..maafkan aku menamparmu....,” katanya salah tingkah. Sete;ah berkata begitu, ia mengambil posisi semedhi untuk mengumpulkan kekuatan sambil mengeringkan bajunya yang basah dengan menggunakan tenaga dalamnya. Di dalam hati, Cio San mengakui kesigapan si putri ini. Ia sendiri membiarkan tubuh dan bajunya tetap basah kuyup. Baginya tenaga dalam hanya digunakan untuk bertarung.
Sambil menunggu sang putri selesai semedhi, ia terus memperhatikan tempat di mana kapal itu meledak. Api membumbung tinggi. Banyak orang berkumpul di sana.
Syafina membuka mata, semedhinya telah selesai. Melihat Cio San tetap basah kuyup, ia bertanya, “Hongswee tidak mengeringkan tubuh dahulu?”
Maklumlah, pendekar yang bajunya basah kuyup dianggap cukup memalukan dan tidak memiliki tenaga dalam yang cukup untuk mengeringkan tubuhnya sendiri.
Cio San tidak membalas pertanyaan itu, ia malah balik bertanya, “Apakah pasukan Qara Del memiliki meriam?”
“Meriam? Tidak. Sebagai kerajaan kecil yang harus tunduk kepada kekaisaran Beng, negara kami bahkan harus membatasi jumlah prajuritnya. Apalagi memiliki meriam?” ia berkata seperti ini namun pikirannya pun berjalan cukup baik. Sambil melihat api besar yang berada di atas sungai, ia bertanya kepada Cio San, “Apakah api besar itu adalah hasil ledakan meriam?”
“Benar. Itu adalah kapal tempat engkau disekap. Aku berhasil mengeluarkanmu dari sana sebelum kapal itu meledak ditembak meriam,” jelas Cio San.
“Kami tidak memiliki meriam, dan para ahli pembuat meriam dari kerajaan kami seluruhnya sudah dihukum pancung oleh raja kami dahulu sebagai bentuk kesungguhan kami untuk mengabdi dan tunduk pada kekaisaran Beng. Suku-suku di selatan yang memberontak pun seperti itu. Satu-satunya pihak di seluruh Tionggoan yang memiliki meriam hanyalah kekaisaran Beng,” ujar Syafina.
“Ya, aku tahu. Karena itulah aku curiga. Pihak yang ingin membunuh kita berdua adalah orang-orang dalam kekaisaran sendiri,” kata Cio San.
“Mengapa mereka ingin membunuhmu, Hongswee?” tanya Syafina.
“Karena akulah satu-satunya orang yang dapat menghalau keinginan mereka,”
Memang di dunia ini orang yang sanggup melakukan hal itu hanyalah ia seorang.
“Mari kita pergi!” kata Cio San.
“Kemana?”
“Menemui beberapa orang,”
“Baiklah,” Syafina pun bergegas mengikuti Cio San.
Entah mengapa hatinya kini percaya penuh kepada lelaki ini. Lelaki pertama yang mengecup bibirnya!
***
Cio San dan Syafina kini sudah berada di markas Mo Kauw di kota itu. Inilah hebatnya partai Mo Kauw, cabang mereka berada hampir di setiap kota yang berada di Tionggoan. Inilah pula kenapa banyak pihak yang begitu takut kepada Mo Kauw. Bahkan kekaisaran sendiri pun menganggap partai ini sebagai partai terlarang.
Ia kini telah menjelaskan segala kejadian di malam itu kepada beberapa anggota di markas itu. “Kejam sekali mereka itu, Kaucu (ketua). Berani menggunakan tuan putri untuk memancing Kaucu dan membunuh Kaucu di sana. Untunglah Thian (langit) selalu melindungi Kaucu kami!” kata salah seorang anggota.
Cio San hanya tersenyum. Berkali-kali ia sudah meminta seluruh anggota Mo Kauw untuk tidak memanggilnya ‘Kaucu’, tetapi mereka tetap melakukannya. Ini mungkin karena kecintaan dan kebanggaan mereka kepada Cio San.
“Bagaimana keadaan kekaisaran sekarang?” tanya Cio San kepada mereka.
“Sejauh ini, sudah banyak sekali pasukan yang dikirim untuk menguatkan daerah selatan. Pasukan yang tertinggal hanyalah pasukan penjaga ibukota. Bahkan menurut kabar yang terdengar, Kaisar sendiri sudah bersiap-siap memimpin sendiri pasukannya ke selatan,”
“Wah, sudah sampai segenting ini keadaannya. Apakah sudah terdengar pergerakan dari partai-partai terkemuka?”
“Setahu yang kami dengar, Bu Tong pay benar-benar sudah menarik diri dari dunia Kang Ouw sejak kejadian di puncak Thay San. Bahkan para murid-muridnya pun tidak ada yang diperbolehkan untuk turun gunung. Siauw Lim pay masih menunggu perintah dari kaisar. Jika tidak ada perintah dari kaisar, murid-murid mereka tidak ada yang dikirimkan ke peperangan,” jelas salah seorang.
“Bagaimana dengan Gobi pay, Hoa San pay, Hing San pay, serta Kay Pang?” tanya Cio San lagi.
“Sepertinya mereka pun mengikuti sikap Siauw Lim pay. Tanpa ada permintaan resmi dari kaisar, mereka tidak berani turun tangan secara langsung.”
“Banyak pendekar yang sudah ditarik yang mulia pangeran Cu ke dalam ketentaraan, tetapi sepertinya pendekar-pendekar yang ikut kepadanya bukan pendekar-pendekar kelas tinggi. Ini mungkin penyebab dari kekalahan pangeran Cu secara terus menerus. Selama ini mereka hanya sanggup bertahan di selatan. Untuk merebut posisi sudah tidak mungkin,” kata Cio San.
“Apakah pendekar-pendekar yang bergabung dengan pihak musuh di selatan adalah pendekar-pendekar hebat, Kaucu?” tanya salah seorang.
“Ya. Aku sudah bertemu dengan beberapa orang di antaranya. Yang paling menakutkan bernama Pek Giok Kwi Bo,” kata Cio San.
“Hah? Dia? Iblis itu? Sudah puluhan tahun namanya tidak kedengaran di dunia persilatan. Kini muncul kembali bergabung dengan pihak musuh. Apa yang hendak dicarinya?” kata salah seorang.
“Siapa Kwi Bo ini? Mengapa aku baru pertama kali mendengar namanya?” tanya Syafina.
“Ia adalah seorang pendekar maha sakti. Umurnya sudah tak ada yang dapat memastikan. Saat ia merajalela dulu, mungkin kita semua belum lahir. Konon katanya ia tidak pernah tertarik dengan urusan Kang Ouw. Tetapi kesenangannya adalah menangkap pendekar-pendekar hebat lalu merebus mereka. Sari pati hasil rebusan itu kemudian ia minum untuk mendapatkan tenaga dalam yang besar,” jelas Cio San.
“Berarti Hongswee harus berhati-hati karena bisa-bisa ia pun mengincarmu,” kata Syafina khawatir.
“Ada hal yang membingungkanku,” tukas Cio San. “Jika Aghulai bekerja sama dengan raja selatan dan Pek Giok Kwi Bo, kenapa mereka ingin membunuhku? Bukankah aku mangsa yang baik bagi Pek Giok Kwi Bo?” ujar Cio San. Lanjutnya, “Ini berarti memang ada pihak lain yang ingin mengambil keuntungan dari hal ini. Pihak ini sudah sejak dulu ingin membunuhku sejak awal!”
“Siapa mereka?”
“Aku masih belum bisa memastikan. Tetapi seingatku, sahabat baikku Kao Ceng Lun pernah berkata bahwa ada pemberontakan yang sedang direncanakan di dalam istana. Pemberontakan yang dipimpin oleh beberapa pejabat tinggi. Sejauh ini merekalah pihak yang paling ku curigai,” kata Cio San.
“Apakah kau sudah tahu siapa saja mereka?” tanya Syafina lagi.
“Belum. Hal itu sih tidak mudah diusut. Bahkan Kao Ceng Lun dan pasukan baju sulam (pasukan rahasia khusus kerajaan) belum berhasil menguak tabir ini,” jawab Cio San.
“Hmmmmmm.....,” semua orang sibuk dengan pikiran masing-masing.
Lalu Cio San berkata, “Aku ingin meminta bantuan kalian saudara-saudaraku. Selidiki di mana Aghulai berada. Jika ia masih hidup, berarti ia benar-benar bekerja sama dengan raja selatan. Jika ia sudah mati, berarti ia bekerja sama dengan kelompok pemberontak rahasia kerajaan.”
“Aha, aku tahu alasan mengapa kelompok rahasia ini membunuhnya. Mereka tak ingin rahasia mereka bocor,” tukas Syafina.
“Benar. Aku sih sudah yakin ia telah mati. Tetapi aku benar-benar butuh kepastian ini sebelum mengambil kesimpulan.”
“Baik, kaucu!” kata mereka, “Sekarang juga kami laksanakan!”
“Eh, ada satu lagi. Harap salah satu dari kalian mencari seorang tukang perahu di dermaga. Ia banyak membantuku tadi. Pastikan ia masih hidup dan jaga dia sampai ia pulang ke desanya. Sesampai di desanya, kalian pun harus menjaganya secara diam-diam. Ini sebagai bentuk terima kasihku kepadanya. Aku tak ingin ada orang lain yang tahu bahwa aku masih hidup. Kalian pun harus menutup rapat-rapat rahasia keadaanku. Jika nanti seluruh urusan ini sudah selesai, aku akan menemuinya.”
Cio San lalu menjelaskan nama dan ciri-ciri pemuda tukang perahu itu dan tak lupa ia mengeluarkan beberapa tael emas untuk mereka. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka kemudian pergi. Hanya ada satu dua orang yang tetap berjaga-jaga di sana.
Melihat kesigapan merka, Syafina berdecak kagum. “Pantas saja Mo Kauw mempunyai nama yang gemilang dan menjulang. Anggota-anggotanya memiliki kesetiaan yang mengagumkan.”
“Dari seluruh orang yang ada di dunia, jika aku membutuhkan bantuan, aku hanya bisa meminta bantuan kepada mereka. Ketulusan dan kesetiaan mereka memang tiada bandingannya,” ujar Cio San. Lalu katanya, “Tuan puteri beristirahatlah, besok pagi-pagi sekali kita harus segera ke selatan,” ia lalu merebahkan diri.
Puteri itu hanya mengangguk. Rupanya Cio San segera menyadari isi hati wanita itu dan segera berkata kepada salah seorang anak buah Mo Kauw, “Lao-heng (kakak Lao), adakah bilik kosong bagi nona ini untuk beristirahat?”
“Oh, tentu saja ada Kauwcu. Mari nona silahkan saya antar,” kata orang itu.
Syafina hanya mampu tersenyum dan berterima kasih. Sebagai seorang pemeluk agama yang cukup taat, ia memang merasa tidak nyaman jika tidur di ruangan yang sama dengan laki-laki yang bukan suaminya atau saudaranya.
Cio San turut mengantarkan dan memastikan kamar itu nyaman bagi Syafina. Ia turut pula membersihkan beberapa bagian. “Kita punya persedian baju-baju untuk wanita?” tanya Cio San kepada Lao-heng. “Oh tentu saja, Kaucu,” pria itu segera menghilang lalu kembali membawa tumpukan baju. “Mohon maaf jika baju-baju ini berbahan kain yang agak kasar. Biasanya memang baju-baju ini disiapkan untuk penyamaran,”
“Aih, aku sungguh tidak enak merepotkan paman. Justru aku sangat senang sekali dengan baju-baju seperti ini. Terima kasih banyak,” kata Syafina tersenyum manis. Cio San dan Lao Heng segera keluar, dan Syafina menutup bilik pintu.
Laki-laki yang dapat memperhatikan hal-hal kecil, amatlah sangat menarik bagi perempuan. Tentu saja hatinya senang.
0 Response to "EPISODE 2 BAB 46 MENYELAMATKAN SANG PUTRI"
Posting Komentar