Pagi-pagi sekali Syafina sudah bangun. Ketika ia membuka pintu, sudah ada seember air hangat di depan pintunya. Seember air ini beraroma harum karena sudah ada berbagai macam kembang dan akar-akaran yang dicampurkan di dalamnya.
“Tuan putri mandilah dahulu. Aku sudah mempersiapkan pakaian dan perlengkapan untuk menyamar. Setelah sarapan, kita akan langsung berangkat,”kata Cio San yang sedang duduk di ruangan tengah bersama beberapa orang. Syafina hanya mengangguk tersenyum dan berterima kasih.
Setelah ia mandi dan berpakaian, putri mongol ini terlihat cantik sekali. Pakaiannya sederhana dan biasa. Seperti yang biasa digunakan kaum perempuan jelata. Tetapi kecantikannya justru memancar dengan sempurna. Jika kecantikan Bwee Hua bercahaya penuh gelora, kecantikan Syafina justru halus dan lembut. Jika kecantikan Bwee Hua membuat dada lelaki berkobar-kobar penuh cinta, kecantikan Syafina membuat lelaki tunduk penuh keharuan.
Ia melangkah dengan penuh keanggunan. Segala rasa takut dan khawatir yang ia perlihatkan semalam, kini telah surut menghilang. Kini yang tertinggal adalah keanggunan dan kebesaran seorang putri bangsawan. Tanpa bersuara pun ia akan dapat menundukkan semua laki-laki. Tanpa mengerling ia dapat menjatuhkan hati mereka. Tanpa tersenyum ia mampu membawa kebahagiaan. Kecantikan perempuan yang paling sejati dan murni. Tak terasa semua orang yang berada di sana berdiri dan memberi hormat.
Cio san pun berdiri dan tersenyum, lalu berkata, “Mari silahkan duduk putri,”
Ia duduk dengan sederhana. Di sebuah kursi yang sederhana. Di sebuah rumah yang sederhana. Tetapi di sekitarnya seolah-olah berubah menjadi istana yang megah. Kursi tempat duduknya seperti berubah menjadi singgasana raja-raja. Ada sebagian perempuan yang memang dapat menampilkan kecantikannya tanpa riasan, tanpa bersikap, tanpa berdandan. Syafina boleh dibilang sebagai orang nomer satu di dalam jumlah yang sebagian itu.
“Jika putri ingin pulang ke Qara Del, aku dapat meminta anggota Ma Kauw untuk mengantarkan dan mengawal putri sampai di rumah. Aku sendiri harus kembali menyelidiki keberadaan sahabatku yang bernama Gan Siau Liong,” jelas Cio San.
“Suasana di selatan sudah seberbahaya itu, apakah Hongswee lebih mendahulukan kepentingan diri sendiri?” pertanyaan ini dilontarkan sangat pelan, namun sangat tajam. Mendengar ini, Cio San hanya tersenyum. Katanya, “Di dunia ini tidak ada urusan lain yang lebih penting selain menolong sahabat.”
Putri Syafina hanya diam saja, ia hanya mengangkat dagunya ke depan. Seperti mengerti isi hati putri itu, Cio San kembali berkata, “Keadaan di Selatan tidak semenakutkan yang kita kira. Setidaknya aku sudah dapat membaca keadaan. Yang aku takutkan justru keadaan ibu kota.”
“Ibu kota?”
“Benar. Ada kabar yang mengatakan bahwa kaisar sekarang sedang bersiap-siap meninggalkan ibukota untuk terjun langsung ke medan peperangan di Selatan.”
Putri Syafina dengan tanggap lalu berkata, “Apakah musuh menggunakan taktik memancing macan keluar sarang?”
“Benar. Jika kaisar sampai keluar ibukota, maka ditakutkan akan ada usaha ambil alih dari para pejabat pemberontak di dalam istana,” jelas Cio San.
“Lalu apa yang Hongswee lakukan?”
“Aku telah mengirimkan surat kepada para ciangbun (ketua partai persilatan), dan meminta mereka untuk mengirimkan wakilnya kemari,” kata Cio San. Lanjutnya, “Daerah ini adalah daerah pertengahan. Jika seseorang berkuda dengan sangat cepat, dalam 5 hari para perwakilan dari partai persilatan ini sudah akan dapat berkumpul di sini.”
Syafina mengerti, Cio San telah mengumpulkan perwakilan partai-partai besar untuk turut berjuang menjaga ibukota jika kaisar sampai harus pergi ke selatan. “Jika para enghiong (ksatria) ini mampu datang ke ibukota, mampukah mereka memasuki istana kaisar? Dengan banyaknya persekongkolan pejabat istana, aku yakin para pendekar ini akan menemui kesulitan.”
Mendengar perkataan ini, Cio San semakin mengagumi kecerdasan sang putri. “Aku telah mengirimkan surat pula kepada kaisar. Dalam satu dua hari, kita akan mendapatkan jawaban,” tukas Cio San.
“Oh..., aku lupa jika Hongswee memiliki lencana naga. Segala hal yang mengagumkan dapat Hongswee lakukan dengan lencana naga ini,” kata Syafina.
Sebenarnya tanpa lencana nagapun, jika Jenderal Phoenix sudah berbicara, kaisar pun harus mendengarkan.
“Kapan Hongswee akan berangkat?” tanya Syafina.
“Segera setelah aku bertemu utusan dari partai-partai besar.”
“Jika aku tidak ingin pulang?”
Jika seorang wanita tidak ingin pulang, seorang laki-laki memang tak akan dapat berbuat apa-apa.
“Putri ingin kemana?” tanya Cio San.
“Aku..., aku...masih belum tahu, ” jawab Syafina.
Jika seorang wanita tidak ingin pulang, tentunya ada masalah besar yang menantinya di rumah. Cio San tidak bertanya lagi. Jika sahabatnya tidak ingin bercerita, ia sendiri pun tak akan bertanya.
“Baik. Putri ikut aku saja,” tegas Cio San.
“Eh? Ke mana? Mencari sahabatmu itu?”
“Kita akan bertualang dan mengunjungi banyak tempat. Ku jamin banyak sekali ilmu dan pelajaran yang akan putri dapatkan dalam perjalanan. Ditambah lagi banyak sekali pemandangan indah yang bisa putri lihat,” ujar Cio San.
“Eh...aku...aku tidak boleh bepergian dengan lelaki yang bukan suami atau saudaraku,” kata Syafina terbata-bata.
“Bebarapa waktu yang lalu kan kita berpergian bersama-sama?”
“Benar. Tapi saat itu sedang dalam keadaan bahaya dan darurat,” sela Syafina.
“Keadaan sekarang justru jauh lebih berbahaya dan darurat,”
“Ehm..., beri aku waktu berpikir beberapa hari. Aku masih belum tahu apa yang harus kulakukan,” tukas Syafina.
“Baiklah. Kita punya waktu 5 hari. Setelah itu aku harus segera berangkat. Mari kita nikmati dulu sarapan ini.”
Waktu 2 hari ini kemudian mereka habiskan untuk menyelidiki banyak hal. Cio San banyak memberikan perintah kepada anggota-anggota Ma Kauw. Berita yang paling ditunggunya adalah tentang kabar Aghulai. Salah seorang anggotanya memberitakan bahwa Aghulai bersama rombongan ditemukan mati di sebuah hutan. Kepala mereka telah dipenggal dan dibuang. Tetapi si pelapor ini sangat yakin bahwa mayat-mayat ini benar adalah Aghulai dan rombongannya.
“Berarti tebakanku benar. Ia adalah kaki tangan orang dalam istana,” kata Cio San.
Saat tengah malam di hari kedua, orang yang ditunggu-tunggu Cio San pun tiba, Kao Ceng Lun!
“Ah, bagaimana kabarmu?” tanya Cio San bahagia.
“Aku baik-baik saja, San-ko (kakak San). Bagaimana dengan kau? Setelah kejadian di barak istana, aku mati-matian mencari kabarmu. Alangkah bersyukurnya aku saat kudengar kau bergabung ke daerah selatan. Eh, bagaimana luka-lukamu?
“Sudah sembuh seluruhnya. Hanya saja sepertinya kekuatanku tidak bisa pulih seperti semula. Maaf aku harus merepotkanmu dan memintamu kemari,” tukas Cio San.
“Setelah Yang Mulia kaisar menerima suratmu, dan membaca seluruh penjelasanmu. Ia langsung memerintahkan aku kemari. Aku yakin ini pasti permintaanmu juga,” kata Kao Ceng Lun sambil tertawa.
“Benar. Hanya kau lah satu-satunya orang yang dapat kupercaya di dalam istana,”
“Aku belum membaca suratmu. Tetapi dari penjelasan yang kuterima, kau menulis bahwa kau khawatir ada pergerakan pemberontakan yang akan terjadi di dalam istana, sehingga kau meminta izin kaisar untuk mengerahkan beberapa partai persilatan terbesar. Ini bukan sebuah hal yang sederhana. Masuknya sebuah pasukan tangguh milik partai-partai ini ke dalam ibukota, justru akan semakin berbahaya. Malah mungkin pasukan ini akan bisa disusupi oleh pemberontak itu sendiri,” jelas Kao Ceng Lun. Lanjutnya, “Setiap keberadaan pasukan asing, justru akan menimbulkan permasalahannya tersendiri. Ini jika kita meninjau dari sudut ketentaraan.”
“Benar. Aku pun paham hal ini. Tetapi sejauh pengetahuanku, tiga partai besar yaitu Siau Lim-Pay, Bu Tong-pay, dan Go Bi-pay telah berhasil membersihkan unsur-unsur kotor dalam perkumpulan mereka. Kay Pang, sebagai perkumpulan terbesar di Tionggoan, mungkin masih belum bisa. Tetapi jika kita hanya mengandalkan ketiga partai besar ini, maka setidaknya penjagaan ibu kota akan lebih baik. Toh, sejauh ini tidak terdengar adanya kabar pasukan besar yang menyusup ke dalam ibu kota. Aku telah menyelidiki hal ini melalui penyelidikan anggota-anggota Ma Kauw,” ujar Cio San.
“Jadi bagaimana rencanamu sebenarnya, San-ko?” tanya Kao Ceng Lun.
“Para pendekar dari ketiga partai besar mungkin tidak perlu kau susupkan ke dalam istana. Jumlah mereka pun tidak perlu besar, seperti pasukan ketentaraan. Cukup tokoh-tokoh terkemukanya saja yang menjaga. Jika ada pergerakan mencurigakan, kau hanya cukup membukakan pintu agar mereka bisa masuk ke dalam istana.”
Kao Ceng Lun berpikir sebentar, lalu mengangguk.
Kata Cio San, “Yang perlu kaisar lakukan adalah menempatkan beberapa jenderal kepercayaannya untuk menjaga ibukota. Ia sebenarnya tidak perlu pergi ke selatan. Tetapi jika ia menggunakan hal ini untuk melatih kemampuan taktik tempurnya, ku pikir hal ini tidak terlalu menjadi masalah.”
“Benar. Kaisar kita memang masih cukup muda. Darah panasnya mendorongnya untuk terjun langsung ke peperangan. Setiap kaisar memang harus punya pengalaman peperangan. Jika ia hanya ongkang-ongkang kaki saja di istana, kekuasaannya akan cepat dijatuhkan dengan mudah,” kata Kao Ceng Lun.
Cio San mengangguk, katanya, “Tugasmu bukan hanya membuka pintu bagi barisan pendekar tiga partai saja. Tugasmu yang terbesar adalah membaca dan mempelajari pergerakan musuh. Jika kau salah mengambil keputusan, justru kau lah yang akan dituduh memberontak.”
“Ya. Aku paham sekali resiko ini. Memasukan sebuah pasukan yang tak dikenal ke dalam istana adalah sebuah perbuatan makar. Tetapi jika pasukan ini telah memiliki ijin dari kaisar, maka beban ini menjadi lebih ringan,” kata Kao Ceng Lun.
“Benar. Untuk sementara ini hanya itulah yang bisa kita lakukan. Dalam 3 hari, perwakilan dari ketiga partai besar akan datang. Kita bisa menyusun rencana yang lebih matang,” kata Cio San.
“San-ko sendiri apakah akan turut bergabung ke ibukota, atau pergi ke selatan?’
“Aku akan berangkat ke Himalaya,” jawab Cio San.
“Eh? Ada urusan apakah?”
“Aku mencari keberadaan Gan Siau Liong.”
“Ah ya. Kudengar ia sudah menghilang beberapa bulan. Apa yang ia lakukan di Himalaya?”
“Kemungkinan besar mencari tahu asal-usul seseorang,” jawab Cio San.
“Orang ini tentu sangat berkaitan erat dengan kehidupannya.”
“Kemungkinan besar begitu.”
Mereka berdua lalu bercengkerama sepanjang malam hingga pagi menjelang. Di balik biliknya, Syafina dapat mendengarkan percakapan kedua orang sahabat itu. Perlahan-lahan ia menjadi begitu kagum dengan kemampuan dan kecerdasan Cio San.
Pagi-pagi sekali Syafina sudah bangun dan mandi. Air hangat selalu tersedia saat ia membuka pintu kamarnya. Begitu selesai, ia pergi ke dapur belakang untuk membantu menyiapkan masak. Tahunya Cio San sudah berada di sana dan sibuk memasak.
“Putri sudah bangun? Kenapa kesini?”
“Aku mencium aroma yang sedap sekali. Jika sekiranya aku dapat membantu.......,”
“Membantu? Wah, kami baru saja selesai. Sebaiknya putri membantu kami menghabiskan hidangan ini. Hahaha,” tawa Cio San.
Lelaki ini bersikap apa adanya pada dirinya. Tidak menjilat, tidak tunduk menghormat. Memperlakukannya seolah-olah ia adalah sahabatnya yang sangat dekat. Bahkan terkadang bercanda pula terhadapnya. Baru kali ini Syafina menemukan lelaki yang seperti ini. Mengingatkannya kepada seseorang.
Seseorang yang mungkin sedang menantinya di kampung halamannya nun jauh di sana.
Seseorang yang sudah disukainya semenjak kecil. Kakak seperguruannya yang tampan dan gagah. Bahkan lelaki ini sudah mengungkapkan isi hatinya, dan Syafina telah menerimanya. Lalu kemudian keluarga Syafina menunangkannya dengan jenderal Aghulai. Bukannya memperjuangkan hubungan mereka, sang kakak seperguruan seolah-olah pasrah dan menerima nasib. Memang si kakak ini bukan dari keluarga bangsawan. Mungkin hal inilah yang membuatnya kecil hati dan menarik diri.
Karena kecewa dengan sikap sang kakak seperguruan dan keputusan keluarga, Syafina kabur dari rumah. Bertualang dan memasuki dunia persilatan. Petualangannya ini membawanya ke selatan dan bertemu Cio San di sana.
Seorang perempuan jika hatinya sedang sebal, biasanya akan berlegak pergi. Berharap agar lelaki yang dicintainya mengejarnya dan berjuang mendapatkannya kembali. Tetapi si kakak seperguruan malah tidak tampak batang hidungnya sama sekali. Hal ini malah membuat kesebalan hatinya semakin bertambah. Seolah-olah ia ingin menyakiti hati si kakak jauh lebih dalam.
Saat ia bertemu dan kenal Cio San, segala kesebalan hatinya mulai terobati oleh sang jenderal phoenix. Sikap, kegagahan, kecerdasan, serta perhatiannya akan membuat luluh hati perempuan. Perempuan mana saja. Dan Syafina adalah perempuan. Perempuan tulen yang molek dan indah. Permpuan yang hatinya sedang kesepian dan mendambakan cinta yang mampu menghangatkan hatinya.
Ia mulai tertarik pada Cio San. Hanya dibutuhkan waktu sekejap bagi seorang perempuan untuk menentukan bahwa hatinya tertarik atau tidak. Hanya dibutuhkan waktu sekejap bagi perempuan untuk jatuh cinta. Apakah hal inilah yang menyebabkan perempuan selalu dirundung permasalahan akan perasaannya sendiri? Perasaan perempuan adalah kekuatan sekaligus kelemahannya.
Karena itulah ia tak ingin pulang ke rumah. Ia sendiri tak bisa mennetukan perasaannya. Apakah ia ingin bersama Cio San karena ingin membuat kakak seperguruannya cemburu jika bertemu mereka? Ataukah ia ingin bersama Cio San karena ketertarikan hatinya terhadap lelaki itu? Ia jelas masih memiliki perasaan terhadap kakak seperguruannya, tetapi perasaan itu perlahan-lahan terkikis oleh kehadiran sang jenderal Phoenix.
Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, dan bagaimana harus bersikap. Hal ini telah menjadi permasalahan perempuan semenjak dahulu kala. Hati mereka kokoh bagai karang, tetapi juga lembut bagai awan. Lelaki yang berpengalaman tentu tahu bagaimana cara menghadapinya. Tetapi lelaki yang berpengalaman jumlahnya sangat sedikit di kolong langit ini.
Jika ternyata ia harus memilih antara kakak seperguruannya dan Cio San, siapakah yang harus dipilihnya? Bagaimana caranya?
Ia tidak dapat menjawab. Perempuan manapun tak dapat menjawab. Ia hanya bisa membiarkan waktu dan takdir yang kan menjawabnya.
Syafina memakan hidangan dengan pikiran yang kalut. Selama beberapa hari ini ia memang tak dapat mengambil keputusan. Pulang ke rumah dan bertemu kekasihnya yang tenang dan pengertian, ataukah pergi bertualang bersama seorang lelaki gagah yang penuh gairah dan semangat?
Saat diperkenalkan dengan Kao Ceng Lun pun ia hanya acuh tak acuh. Segala perhatiannya hanya bisa terpusat pada perasaan hatinya. Waktu mereka selesai makan, Syafina segera kembali ke kamarnya dan berdiam saja di sana.
“Putri itu cantik sekali, San-ko,” bisik Kao Ceng Lun.
“Orang rabun pun mengatakan ia sangat cantik Hanya orang gila yang berkata sebaliknya,” bisik Cio San sambil tertawa kecil.
“Orang gila pun menjadi waras jika memandangnya. Kurasa ia cocok sekali menjadi pendampingmu,” kata Kao Ceng Lun lirih.
“Segala urusan ruwet ini masih kalah ruwet jika menyangkut urusan wanita,” bisik Cio San sambil tertawa.
“Aih, memangnya San-ko sudah ganti selera? Masa mau ‘berurusan’ dengan lelaki?” tawa Kao Ceng Lun.
“Hahaha. Tidak punya kekasih, jauh lebih baik daripada berlaku gila dengan sesama jenis. Tapi terus terang, aku sendiri masih belum tertarik untuk membina hubungan dengan perempuan manapun,” kata Cio San.
Lelaki yang sudah pernah terluka dengan demikian dalam, sebagian akan bersikap seperti Cio San.
“Jangan menyerah, San-ko (kakak San). Aku yakin ada seseorang di sana yang memperhatikanmu dan mencintaimu. Mungkin kau belum menemukannya sekarang, tetapi di masa depan, mungkin saja ia yang menemukanmu,” kata Kao Ceng Lun.
Cio San menerawang jauh. Selama ini ia telah membuat tembok tebal sekuat baja di sekeliling hatinya agar tidak terluka dan tersakiti lagi. Hanya perempuan terbaik yang mampu menembus tembok itu. Perempuan yang terbaik bukanlah perempuan sempurna. Perempuan terbaik adalah yang mampu menghidupkan kembali kepercayaannya akan cinta sejati. Selama ini ia belum menemukannya.
‘Belum’ bukanlah sebuah kata sederhana. ‘Belum’ adalah sebuah kata yang penuh pengharapan.
Jika seseorang ‘belum’ berhasil, ‘belum’ bahagia, ‘belum’ menemukan yang dicarinya, maka harapan akan masih tetap hidup sebelum ia mati. Jika ia masih bisa bernafas dan berpikir, maka selama itu pula harapan selalu ada. Bahkan jika seluruh tubuhnya remuk, dan ia menjadi lumpuh selamanya, selama ia masih bisa bernafas, ia masih memiliki harapan.
Karena pengharapan itu sangat agung. Putus asa adalah kehinaan!
Selama ini, apakah ia telah berputus asa, ia sendiri pun tidak tahu. Yang ia tahu, ia tak ingin membina hubungan cinta lagi. Ia telah pernah mengalami penderitaan yang dalam, dan telah bersumpah seumur hidupnya untuk tak lagi [ernah merasakan hal yang sama. Tetapi ia lupa, semakin seseorang menderita, semakin kebal pula jiwanya. Jika kemudian ia mengalami penderitaan yang sama, jiwanya telah mampu menghadapi hal itu dengan gagah dan tenang.
Penderitaan tak akan membunuh seseorang. Yang membunuh seseorang adalah hilangnya pengharapan. Selama kau masih punya impian yang ingin kau wujudkan, maka selama itu pula kau akan memiliki kekuatan untuk melanjutkan hidupmu. Membuktikan kepada dunia bahwa kau mampu menjadi manusia yang kau cita-citakan. Dengan atau tanpa cinta.
Pada saat itu tiba, mereka yang menyia-nyiakanmu akan mengagumimu. Akan ingin menjadi bagian dari hidup atau sejarah kehidupanmu. Pada saat itu kau akan tersenyum dan berkata, “Kau sudah lihat?”
Lihatlah orang yang kau anggap lemah, miskin, dan tanpa daya. Lihatlah orang ini telah menjadi ‘seseorang’ yang merubah dunia.
“Lihatlah!”
Kata ‘lihatlah’ ini harus kau simpan erat-erat di dalam hatimu. Agar kelak kau dapat mengatakannya dengan indah kepada siapapun yang meremehkanmu.
Cio San mengangguk dengan penuh pengertian. Dalam hati ia tertawa. Selalu ada pengertian baru di dalam kehidupan. Saat kau mengerti akan sebuah pengertian, selalu ada pengertian-pengertian baru yang menunggumu di depan sana. Siap untuk memberikan pelajaran kehidupan kepadamu.
“Mengapa kau tertawa, San-ko?” tanya Kao Ceng Lun.
“Aku tertawa karena aku baru mengerti satu hal,” kata Cio San.
“Apa itu?”
“Bahwa aku terlalu suka ikut campur urusan orang lain,” katanya terbahak-bahak.
“Kau baru sadar? Hahahaha,” Kao Ceng Lun pun ikutan tetawa. Katanya, “Kau tahu berapa banyak orang yang ingin menyingkirkanmu karena kebiasaanmu ini.”
“Itulah. Coba kalau aku duduk dengan tenang di rumah. Mungkin saja aku sudah memiliki istri yang cantik, dan anak yang mungil dan lucu-lucu,” tukas Cio San.
“Ada sebagian orang yang memang ditakdirkan untuk melakukan hal-hal besar. Hidup dengan tenang di dalam pelukan istri bukanlah kehidupan mereka,” ujar Kao Ceng Lun.
“Hidup tenang di dalam pelukan istri kan juga bukan sebuah hal yang memalukan,” sanggah Cio San.
“Benar. Tetapi mengorbankan diri agar orang lain bisa hidup tenang di dalam pelukan istri, justru jauh lebih tidak memalukan,” kata Kao Ceng Lun tersenyum.
“Mengapa orang itu harus aku?”
“Jika bukan San-ko (kakak San), lantas siapa?”
“Bisa saja kau,”
“Belajar seratus tahun pun kemampuanku tidak akan menyamai kau sekarang ini. Masa San-ko mau menyerahkan nasib umat manusia ke tangan orang tak becus seperti aku?” tawa Kao Ceng Lun.
“Kau boleh berkata dirimu tidak becus, tapi aku mengatakan justru kau orang yang sangat bisa diandalkan setiap saat.”
“Kau justru jauh lebih bisa diandalkan, San-ko. Bukankah sebaiknya kau saja yang melakukannya?”
“Hahaha. Omonganmu bau kentut!”
Mereka tertawa sambil menenggak arak yang cukup banyak. Beberapa hari ini mereka habiskan dengan santai dan tertawa-tawa. Syafina sungguh heran melihat mereka begitu santai menghadapi persoalan yang sudah menanti mereka. Ia tidak tahu, justru inilah cara mereka mempersiapkan diri. Dengan bercanda dan bersantai melonggarkan otot dan urat syaraf. Dengan begitu mereka akan mampu mengumpulkan dan mengeluarkan kemampuan terbaik mereka pada saat dibutuhkan.
Hari yang dinanti pun tiba. Perwakilan dari 3 partai besar datang hampir bersamaan, mereka pun datang secara menyamar ke rumah kecil yang merupakan markas tersembunyi partai Ma Kauw. Alangkah herannya Cio San ketika yang datang secara langsung adalah para Ciangbun (ketua) partai-partai tersebut!
Sambil menjura ia berkata, “Aih, boanpwee (saya yang lebih muda) sungguh kurang ajar. Tidak tahu bahwa para cianpwee (yang lebih tua) sendiri yang akan hadir. Jika begini boanpwee kan harusnya menyiapkan...,”
“Aih, Cio-hongswee jangan terlalu merendah. Jika Hongswee sendiri yang mengirim surat, masakah kami berani mengirim orang rendahan kemari?” kata perwakilan Siau Lim-pay yang bernama Hong Siu-taysu. Meskipun ia bukan ketua yang asli, ia adalah pejabat utama jabatan ketua. Mewakili ketua sebenarnya Siau Lim-pay yang sudah sangat tua dan mengundurkan diri dari dunia persilatan.
Cio San melihat perwakilan Bu Tong-pay yang datang agak belakangan bernama Yo-ciangbun. Orang ini dulu pernah menjadi gurunya secara tidak langsung saat ia berguru di Bu Tong-pay. Cio San dengan penuh hormat memberi salam perguruan Bu Tong-pay kepadanya. Bahkan ia sempat berlutut penuh hormat.
“Aih, Cio-hongswee berdirilah,” kata Yo-ciangbun mengangkat tubuh Cio San dengan penuh rasa sungkan. “Perguruan kita telah berbuat salah kepadamu, dan bahkan justru kaulah yang membersihkan perguruan kita. Justru seharusnya cayhe (saya) lah yang berlutut kepadamu.”
“Tidak berani...tidak berani ciangbun....,” Cio San buru-buru mencegah. Ia lalu menjura dengan dalam. “Selamat datang ciangbun,” katanya.
Tamu terakhir adalah ciangbun dari Go Bi-pay. Seorang Nikoh (padri perempuan) yang bernama Nan-nikoh. Ia datang bersama 2 murid wanitanya. Cio San menjura kepadanya dan Nikoh itu pun membalas dengan penuh hormat. Katanya, “Akhirnya aku bertemu juga dengan Cio-hongswee yang terkenal itu. Padahal selama ini perguruan kami sudah sedikit tidak tahu malu dengan mengakui Cio-hongswee sebagai bagian dari sejarah kami.”
Ibu Cio San adalah murid dari perguruan Go Bi-pay.
“Justru boanpwee lah yang bangga dapat menjadi bagian dari sejarah Go Bi-pay yang tersohor. Terima kasih sekali, ciangbun,” kata Cio San penuh hormat. “Mari silahkan duduk, cianpwee sekalian.”
Setelah bercengkerama sebentar, Cio San lalu memperkenalkan Kao Ceng Lun dan Syafina. Setelah perkenalan selesai, Cio San berkata, “Boanpwee merasa malu karena merepotkan para cianpwee untuk datang kesini secara menyamar. Sungguh hal ini amat merendahkan para cianpwee sekalian. Sekali lagi boanpwee meminta maaf.”
“Kau terlalu sering meminta maaf. Pinceng (saya-sebutan diri sendiri bagi bhiksu) memang memutuskan untuk datang sendiri karena memahami keadaan yang sudah semakin gawat. Pinceng yakin, para tetua yang lain pun berpikiran seperti itu. Demi bangsa dan negara, tak seorang pun yang boleh merasa terlalu tinggi untuk melakukan sesuatu,” kata Hong Siu-taysu yang ditimpali anggukan oleh tetua yang lain.
“Boanpwee juga merasa tidak enak karena akhirnya Yo-ciangbun harus datang. Sejauh yang boanpwee dengar, Bu Tong-pay telah menarik diri dari dunia persilatan beberapa tahun ini. Sungguh surat yang boanpwee kirimkan hanya sekedar pemberitahuan. Bu Tong-pay tidak perlu menerjunkan diri langsung....,” kata Cio San.
“Aih, Bu Tong-pay sudah terlalu lama menarik diri. Pinto (saya-sebutan diri sendiri bagi pendeta agama Tao) sendiri menganggap inilah saat terbaik bagi Bu Tong-pay untuk kembali turun ke gelanggang. Mencuci bersih nama Bu Tong-pay setelah selama ini dikotori penyusup-penyusup,” ujar Yo-ciangbun.
“Kau terlalu sungkan, Hongswee,” timpal Nan-nikoh. “Kaum persilatan seluruhnya kagum padamu. Bahkan berharap mampu melakukan perbuatan gagah seperti engkau. Saat kau mengirim surat seperti ini, tentu saja kami semua tertarik datang. Perbuatan bela negara seperti inilah yang harus dilakukan kaum persilatan. Jangan hanya saling berebutan nama dan kejayaan diri sendiri. Pinni (saya-sebutan diri sendiri bagi padri perempuan) sendiri memang memutuskan datang menyamar, karena pinni yakin kau pun pasti mengundang partai yang lain. Jika seluruh ciangbun (ketua) 3 partai besar keluar perguruan secara bersamaan, pastinya kan nanti menimbulkan kecurigaan orang. Rupanya tetua yang lain pun berpikiran yang sama,” ia tersenyum. Senyumnya tenang dan penuh kedamaian.
Ketiga tetua ini adalah orang-orang yang taat beragama dan hal ini sangat terlihat dari sikap mereka yang rendah hati. Kedudukan mereka pun adalah kedudukan tertinggi di dalam dunia persilatan. Jika mereka sudah mau jauh-jauh datang kemari, bisa dibayangkan betapa tingginya penghargaan mereka terhadap Cio San. Bahkan mungkin jika kaisar yang meminta pertolongan, belum tentu mereka mau datang sendiri!
Mereka duduk sambil menyantap makan siang yang sudah disiapkan Cio San. Ia memasak sendiri masakan-masakan itu. Semuanya terdiri dari masakan tanpa daging, karena ia tahu para tokoh yang datang ini berpantang daging dan arak. Setelah selesai, mereka semua lalu membahas segala perencanaan yang harus dilakukan. Cio San dan Kao Ceng Lun menjelaskan perencanaan mereka kepada ketiga tetua, sedangkan Syafina dan dua murid Go Bi-pay duduk agak ke belakang dan saling bercengkerama. Ketiga wanita itu menjadi akrab dengan cukup singkat.
Setelah semua perencenaan selesai, ketiga tetua itu meminta diri. Mereka ingin segera menjalankan perencanaan yang sudah disusun oleh Cio San dan Kao Ceng Lun. Tak lama setelah itu, Kao Ceng Lun pun meminta diri.
Kini hanya Cio San dan Syafina yang berada di ruangan itu. Kata Cio San, “Bagaimana? Sudah mengambil keputusan?”
“Aku...eh....aku....”
“Baiklah. Kuputuskan saja. Putri ikut denganku. Jika segala urusan selesai, aku sendiri yang akan mengantarkanmu pulang,” kata Cio San.
“Tapi...,”
“Sudah tidak ada waktu untuk berpikir. Percayalah padaku.”
Akhirnya Syafina mengangguk. Memang, perempuan amat sulit mengambil keputusan. Sebisa mungkin laki-laki sajalah yang mengambil keputusan. Apakah jika keputusan itu salah, perempuan dapat menyalahkan laki-laki?
Entahlah. Perempuan selalu benar.
Mereka berangkat dengan menyamar sebagai sepasang kakek dan nenek. Sepanjang perjalanan hati Syafina terbagi dengan senangnya menempuh petualangan yang mendebarkan, dan seseorang yang menunggunya pulang.
Seseorang di sana.