EPISODE 2 BAB 47 SESEORANG DI SANA


Pagi-pagi sekali Syafina sudah bangun. Ketika ia membuka pintu, sudah ada seember air hangat di depan pintunya. Seember air ini beraroma harum karena sudah ada berbagai macam kembang dan akar-akaran yang dicampurkan di dalamnya.

“Tuan putri mandilah dahulu. Aku sudah mempersiapkan pakaian dan perlengkapan untuk menyamar. Setelah sarapan, kita akan langsung berangkat,”kata Cio San yang sedang duduk di ruangan tengah bersama beberapa orang. Syafina hanya mengangguk tersenyum dan berterima kasih.

Setelah ia mandi dan berpakaian, putri mongol ini terlihat cantik sekali. Pakaiannya sederhana dan biasa. Seperti yang biasa digunakan kaum perempuan jelata. Tetapi kecantikannya justru memancar dengan sempurna. Jika kecantikan Bwee Hua bercahaya penuh gelora, kecantikan Syafina justru halus dan lembut. Jika kecantikan Bwee Hua membuat dada lelaki berkobar-kobar penuh cinta, kecantikan Syafina membuat lelaki tunduk penuh keharuan.
Ia melangkah dengan penuh keanggunan. Segala rasa takut dan khawatir yang ia perlihatkan semalam, kini telah surut menghilang. Kini yang tertinggal adalah keanggunan dan kebesaran seorang putri bangsawan. Tanpa bersuara pun ia akan dapat menundukkan semua laki-laki. Tanpa mengerling ia dapat menjatuhkan hati mereka. Tanpa tersenyum ia mampu membawa kebahagiaan. Kecantikan perempuan yang paling sejati dan murni. Tak terasa semua orang yang berada di sana berdiri dan memberi hormat.

Cio san pun berdiri dan tersenyum, lalu berkata, “Mari silahkan duduk putri,”
Ia duduk dengan sederhana. Di sebuah kursi yang sederhana. Di sebuah rumah yang sederhana. Tetapi di sekitarnya seolah-olah berubah menjadi istana yang megah. Kursi tempat duduknya seperti berubah menjadi singgasana raja-raja. Ada sebagian perempuan yang memang dapat menampilkan kecantikannya tanpa riasan, tanpa bersikap, tanpa berdandan. Syafina boleh dibilang sebagai orang nomer satu di dalam jumlah yang sebagian itu.

“Jika putri ingin pulang ke Qara Del, aku dapat meminta anggota Ma Kauw untuk mengantarkan dan mengawal putri sampai di rumah. Aku sendiri harus kembali menyelidiki keberadaan sahabatku yang bernama Gan Siau Liong,” jelas Cio San.

“Suasana di selatan sudah seberbahaya itu, apakah Hongswee lebih mendahulukan kepentingan diri sendiri?” pertanyaan ini dilontarkan sangat pelan, namun sangat tajam. Mendengar ini, Cio San hanya tersenyum. Katanya, “Di dunia ini tidak ada urusan lain yang lebih penting selain menolong sahabat.”

Putri Syafina hanya diam saja, ia hanya mengangkat dagunya ke depan. Seperti mengerti isi hati putri itu, Cio San kembali berkata, “Keadaan di Selatan tidak semenakutkan yang kita kira. Setidaknya aku sudah dapat membaca keadaan. Yang aku takutkan justru keadaan ibu kota.”

“Ibu kota?”

“Benar. Ada kabar yang mengatakan bahwa kaisar sekarang sedang bersiap-siap meninggalkan ibukota untuk terjun langsung ke medan peperangan di Selatan.”

Putri Syafina dengan tanggap lalu berkata, “Apakah musuh menggunakan taktik memancing macan keluar sarang?”

“Benar. Jika kaisar sampai keluar ibukota, maka ditakutkan akan ada usaha ambil alih dari para pejabat pemberontak di dalam istana,” jelas Cio San.
“Lalu apa yang Hongswee lakukan?”

“Aku telah mengirimkan surat kepada para ciangbun (ketua partai persilatan), dan meminta mereka untuk mengirimkan wakilnya kemari,” kata Cio San. Lanjutnya, “Daerah ini adalah daerah pertengahan. Jika seseorang berkuda dengan sangat cepat, dalam 5 hari para perwakilan dari partai persilatan ini sudah akan dapat berkumpul di sini.”

Syafina mengerti, Cio San telah mengumpulkan perwakilan partai-partai besar untuk turut berjuang menjaga ibukota jika kaisar sampai harus pergi ke selatan. “Jika para enghiong (ksatria) ini mampu datang ke ibukota, mampukah mereka memasuki istana kaisar? Dengan banyaknya persekongkolan pejabat istana, aku yakin para pendekar ini akan menemui kesulitan.”

Mendengar perkataan ini, Cio San semakin mengagumi kecerdasan sang putri. “Aku telah mengirimkan surat pula kepada kaisar. Dalam satu dua hari, kita akan mendapatkan jawaban,” tukas Cio San.

“Oh..., aku lupa jika Hongswee memiliki lencana naga. Segala hal yang mengagumkan dapat Hongswee lakukan dengan lencana naga ini,” kata Syafina.

Sebenarnya tanpa lencana nagapun, jika Jenderal Phoenix sudah berbicara, kaisar pun harus mendengarkan.

“Kapan Hongswee akan berangkat?” tanya Syafina.

“Segera setelah aku bertemu utusan dari partai-partai besar.”

“Jika aku tidak ingin pulang?”

Jika seorang wanita tidak ingin pulang, seorang laki-laki memang tak akan dapat berbuat apa-apa.

“Putri ingin kemana?” tanya Cio San.

“Aku..., aku...masih belum tahu, ” jawab Syafina.

Jika seorang wanita tidak ingin pulang, tentunya ada masalah besar yang menantinya di rumah. Cio San tidak bertanya lagi. Jika sahabatnya tidak ingin bercerita, ia sendiri pun tak akan bertanya.

“Baik. Putri ikut aku saja,” tegas Cio San.

“Eh? Ke mana? Mencari sahabatmu itu?”

“Kita akan bertualang dan mengunjungi banyak tempat. Ku jamin banyak sekali ilmu dan pelajaran yang akan putri dapatkan dalam perjalanan. Ditambah lagi banyak sekali pemandangan indah yang bisa putri lihat,” ujar Cio San.

“Eh...aku...aku tidak boleh bepergian dengan lelaki yang bukan suami atau saudaraku,” kata Syafina terbata-bata.

“Bebarapa waktu yang lalu kan kita berpergian bersama-sama?”

“Benar. Tapi saat itu sedang dalam keadaan bahaya dan darurat,” sela Syafina.

“Keadaan sekarang justru jauh lebih berbahaya dan darurat,”

“Ehm..., beri aku waktu berpikir beberapa hari. Aku masih belum tahu apa yang harus kulakukan,” tukas Syafina.

“Baiklah. Kita punya waktu 5 hari. Setelah itu aku harus segera berangkat. Mari kita nikmati dulu sarapan ini.”

Waktu 2 hari ini kemudian mereka habiskan untuk menyelidiki banyak hal. Cio San banyak memberikan perintah kepada anggota-anggota Ma Kauw. Berita yang paling ditunggunya adalah tentang kabar Aghulai. Salah seorang anggotanya memberitakan bahwa Aghulai bersama rombongan ditemukan mati di sebuah hutan. Kepala mereka telah dipenggal dan dibuang. Tetapi si pelapor ini sangat yakin bahwa mayat-mayat ini benar adalah Aghulai dan rombongannya.

“Berarti tebakanku benar. Ia adalah kaki tangan orang dalam istana,” kata Cio San.  

Saat tengah malam di hari kedua, orang yang ditunggu-tunggu Cio San pun tiba, Kao Ceng Lun!

“Ah, bagaimana kabarmu?” tanya Cio San bahagia.

“Aku baik-baik saja, San-ko (kakak San). Bagaimana dengan kau? Setelah kejadian di barak istana, aku mati-matian mencari kabarmu. Alangkah bersyukurnya aku saat kudengar kau bergabung ke daerah selatan. Eh, bagaimana luka-lukamu?

“Sudah sembuh seluruhnya. Hanya saja sepertinya kekuatanku tidak bisa pulih seperti semula. Maaf aku harus merepotkanmu dan memintamu kemari,” tukas Cio San.

“Setelah Yang Mulia kaisar menerima suratmu, dan membaca seluruh penjelasanmu. Ia langsung memerintahkan aku kemari. Aku yakin ini pasti permintaanmu juga,” kata Kao Ceng Lun sambil tertawa.

“Benar. Hanya kau lah satu-satunya orang yang dapat kupercaya di dalam istana,”

“Aku belum membaca suratmu. Tetapi dari penjelasan yang kuterima, kau menulis bahwa kau khawatir ada pergerakan pemberontakan yang akan terjadi di dalam istana, sehingga kau meminta izin kaisar untuk mengerahkan beberapa partai persilatan terbesar. Ini bukan sebuah hal yang sederhana. Masuknya sebuah pasukan tangguh milik partai-partai ini ke dalam ibukota, justru akan semakin berbahaya. Malah mungkin pasukan ini akan bisa disusupi oleh pemberontak itu sendiri,” jelas Kao Ceng Lun. Lanjutnya, “Setiap keberadaan pasukan asing, justru akan menimbulkan permasalahannya tersendiri. Ini jika kita meninjau dari sudut ketentaraan.”

“Benar. Aku pun paham hal ini. Tetapi sejauh pengetahuanku, tiga partai besar yaitu Siau Lim-Pay, Bu Tong-pay, dan Go Bi-pay telah berhasil membersihkan unsur-unsur kotor dalam perkumpulan mereka. Kay Pang, sebagai perkumpulan terbesar di Tionggoan, mungkin masih belum bisa. Tetapi jika kita hanya mengandalkan ketiga partai besar ini, maka setidaknya penjagaan ibu kota akan lebih baik. Toh, sejauh ini tidak terdengar adanya kabar pasukan besar yang menyusup ke dalam ibu kota. Aku telah menyelidiki hal ini melalui penyelidikan anggota-anggota Ma Kauw,” ujar Cio San.

“Jadi bagaimana rencanamu sebenarnya, San-ko?” tanya Kao Ceng Lun.

“Para pendekar dari ketiga partai besar mungkin tidak perlu kau susupkan ke dalam istana. Jumlah mereka pun tidak perlu besar, seperti pasukan ketentaraan. Cukup tokoh-tokoh terkemukanya saja yang menjaga. Jika ada pergerakan mencurigakan, kau hanya cukup membukakan pintu agar mereka bisa masuk ke dalam istana.”

Kao Ceng Lun berpikir sebentar, lalu mengangguk.

Kata Cio San, “Yang perlu kaisar lakukan adalah menempatkan beberapa jenderal kepercayaannya untuk menjaga ibukota. Ia sebenarnya tidak perlu pergi ke selatan. Tetapi jika ia menggunakan hal ini untuk melatih kemampuan taktik tempurnya, ku pikir hal ini tidak terlalu menjadi masalah.”
“Benar. Kaisar kita memang masih cukup muda. Darah panasnya mendorongnya untuk terjun langsung ke peperangan. Setiap kaisar memang harus punya pengalaman peperangan. Jika ia hanya ongkang-ongkang kaki saja di istana, kekuasaannya akan cepat dijatuhkan dengan mudah,” kata Kao Ceng Lun.

Cio San mengangguk, katanya, “Tugasmu bukan hanya membuka pintu bagi barisan pendekar tiga partai saja. Tugasmu yang terbesar adalah membaca dan mempelajari pergerakan musuh. Jika kau salah mengambil keputusan, justru kau lah yang akan dituduh memberontak.”

“Ya. Aku paham sekali resiko ini. Memasukan sebuah pasukan yang tak dikenal ke dalam istana adalah sebuah perbuatan makar. Tetapi jika pasukan ini telah memiliki ijin dari kaisar, maka beban ini menjadi lebih ringan,” kata Kao Ceng Lun.

“Benar. Untuk sementara ini hanya itulah yang bisa kita lakukan. Dalam 3 hari, perwakilan dari ketiga partai besar akan datang. Kita bisa menyusun rencana yang lebih matang,” kata Cio San.

“San-ko sendiri apakah akan turut bergabung ke ibukota, atau pergi ke selatan?’

“Aku akan berangkat ke Himalaya,” jawab Cio San.

“Eh? Ada urusan apakah?”

“Aku mencari keberadaan Gan Siau Liong.”

“Ah ya. Kudengar ia sudah menghilang beberapa bulan. Apa yang ia lakukan di Himalaya?”

“Kemungkinan besar mencari tahu asal-usul seseorang,” jawab Cio San.

“Orang ini tentu sangat berkaitan erat dengan kehidupannya.”

“Kemungkinan besar begitu.”

Mereka berdua lalu bercengkerama sepanjang malam hingga pagi menjelang. Di balik biliknya, Syafina dapat mendengarkan percakapan kedua orang sahabat itu. Perlahan-lahan ia menjadi begitu kagum dengan kemampuan dan kecerdasan Cio San.

Pagi-pagi sekali Syafina sudah bangun dan mandi. Air hangat selalu tersedia saat ia membuka pintu kamarnya. Begitu selesai, ia pergi ke dapur belakang untuk membantu menyiapkan masak. Tahunya Cio San sudah berada di sana dan sibuk memasak.

“Putri sudah bangun? Kenapa kesini?”

“Aku mencium aroma yang sedap sekali. Jika sekiranya aku dapat membantu.......,”

“Membantu? Wah, kami baru saja selesai. Sebaiknya putri membantu kami menghabiskan hidangan ini. Hahaha,” tawa Cio San.

Lelaki ini bersikap apa adanya pada dirinya. Tidak menjilat, tidak tunduk menghormat. Memperlakukannya seolah-olah ia adalah sahabatnya yang sangat dekat. Bahkan terkadang bercanda pula terhadapnya. Baru kali ini Syafina menemukan lelaki yang seperti ini. Mengingatkannya kepada seseorang.

Seseorang yang mungkin sedang menantinya di kampung halamannya nun jauh di sana.

Seseorang yang sudah disukainya semenjak kecil. Kakak seperguruannya yang tampan dan gagah. Bahkan lelaki ini sudah mengungkapkan isi hatinya, dan Syafina telah menerimanya. Lalu kemudian keluarga Syafina menunangkannya dengan jenderal Aghulai. Bukannya memperjuangkan hubungan mereka, sang kakak seperguruan seolah-olah pasrah dan menerima nasib. Memang si kakak ini bukan dari keluarga bangsawan. Mungkin hal inilah yang membuatnya kecil hati dan menarik diri.

Karena kecewa dengan sikap sang kakak seperguruan dan keputusan keluarga, Syafina kabur dari rumah. Bertualang dan memasuki dunia persilatan. Petualangannya ini membawanya ke selatan dan bertemu Cio San di sana.

Seorang perempuan jika hatinya sedang sebal, biasanya akan berlegak pergi. Berharap agar lelaki yang dicintainya mengejarnya dan berjuang mendapatkannya kembali. Tetapi si kakak seperguruan malah tidak tampak batang hidungnya sama sekali. Hal ini malah membuat kesebalan hatinya semakin bertambah. Seolah-olah ia ingin menyakiti hati si kakak jauh lebih dalam.

Saat ia bertemu dan kenal Cio San, segala kesebalan hatinya mulai terobati oleh sang jenderal phoenix. Sikap, kegagahan, kecerdasan, serta perhatiannya akan membuat luluh hati perempuan. Perempuan mana saja. Dan Syafina adalah perempuan. Perempuan tulen yang molek dan indah. Permpuan yang hatinya sedang kesepian dan mendambakan cinta yang mampu menghangatkan hatinya.

Ia mulai tertarik pada Cio San. Hanya dibutuhkan waktu sekejap bagi seorang perempuan untuk menentukan bahwa hatinya tertarik atau tidak. Hanya dibutuhkan waktu sekejap bagi perempuan untuk jatuh cinta. Apakah hal inilah yang menyebabkan perempuan selalu dirundung permasalahan akan perasaannya sendiri? Perasaan perempuan adalah kekuatan sekaligus kelemahannya.

Karena itulah ia tak ingin pulang ke rumah. Ia sendiri tak bisa mennetukan perasaannya. Apakah ia ingin bersama Cio San karena ingin membuat kakak seperguruannya cemburu jika bertemu mereka? Ataukah ia ingin bersama Cio San karena ketertarikan hatinya terhadap lelaki itu? Ia jelas masih memiliki perasaan terhadap kakak seperguruannya, tetapi perasaan itu perlahan-lahan terkikis oleh kehadiran sang jenderal Phoenix.

Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, dan bagaimana harus bersikap. Hal ini telah menjadi permasalahan perempuan semenjak dahulu kala. Hati mereka kokoh bagai karang, tetapi juga lembut bagai awan. Lelaki yang berpengalaman tentu tahu bagaimana cara menghadapinya. Tetapi lelaki yang berpengalaman jumlahnya sangat sedikit di kolong langit ini.

Jika ternyata ia harus memilih antara kakak seperguruannya dan Cio San, siapakah yang harus dipilihnya? Bagaimana caranya?

Ia tidak dapat menjawab. Perempuan manapun tak dapat menjawab. Ia hanya bisa membiarkan waktu dan takdir yang kan menjawabnya.

Syafina memakan hidangan dengan pikiran yang kalut. Selama beberapa hari ini ia memang tak dapat mengambil keputusan. Pulang ke rumah dan bertemu kekasihnya yang tenang dan pengertian, ataukah pergi bertualang bersama seorang lelaki gagah yang penuh gairah dan semangat?

Saat diperkenalkan dengan Kao Ceng Lun pun ia hanya acuh tak acuh. Segala perhatiannya hanya bisa terpusat pada perasaan hatinya. Waktu mereka selesai makan, Syafina segera kembali ke kamarnya dan berdiam saja di sana.
“Putri itu cantik sekali, San-ko,” bisik Kao Ceng Lun.

“Orang rabun pun mengatakan ia sangat cantik Hanya orang gila yang berkata sebaliknya,” bisik Cio San sambil tertawa kecil.

“Orang gila pun menjadi waras jika memandangnya. Kurasa ia cocok sekali menjadi pendampingmu,” kata Kao Ceng Lun lirih.

“Segala urusan ruwet ini masih kalah ruwet jika menyangkut urusan wanita,” bisik Cio San sambil tertawa.

“Aih, memangnya San-ko sudah ganti selera? Masa mau ‘berurusan’ dengan lelaki?” tawa Kao Ceng Lun.

“Hahaha. Tidak punya kekasih, jauh lebih baik daripada berlaku gila dengan sesama jenis. Tapi terus terang, aku sendiri masih belum tertarik untuk membina hubungan dengan perempuan manapun,” kata Cio San.

Lelaki yang sudah pernah terluka dengan demikian dalam, sebagian akan bersikap seperti Cio San.

“Jangan menyerah, San-ko (kakak San). Aku yakin ada seseorang di sana yang memperhatikanmu dan mencintaimu. Mungkin kau belum menemukannya sekarang, tetapi di masa depan, mungkin saja ia yang menemukanmu,” kata Kao Ceng Lun.

Cio San menerawang jauh. Selama ini ia telah membuat tembok tebal sekuat baja di sekeliling hatinya agar tidak terluka dan tersakiti lagi. Hanya perempuan terbaik yang mampu menembus tembok itu. Perempuan yang terbaik bukanlah perempuan sempurna. Perempuan terbaik adalah yang mampu menghidupkan kembali kepercayaannya akan cinta sejati. Selama ini ia belum menemukannya.

‘Belum’ bukanlah sebuah kata sederhana. ‘Belum’ adalah sebuah kata yang penuh pengharapan.

Jika seseorang ‘belum’ berhasil, ‘belum’ bahagia, ‘belum’ menemukan yang dicarinya, maka harapan akan masih tetap hidup sebelum ia mati. Jika ia masih bisa bernafas dan berpikir, maka selama itu pula harapan selalu ada. Bahkan jika seluruh tubuhnya remuk, dan ia menjadi lumpuh selamanya, selama ia masih bisa bernafas, ia masih memiliki harapan.

Karena pengharapan itu sangat agung. Putus asa adalah kehinaan!

Selama ini, apakah ia telah berputus asa, ia sendiri pun tidak tahu. Yang ia tahu, ia tak ingin membina hubungan cinta lagi. Ia telah pernah mengalami penderitaan yang dalam, dan telah bersumpah seumur hidupnya untuk tak lagi [ernah merasakan hal yang sama. Tetapi ia lupa, semakin seseorang menderita, semakin kebal pula jiwanya. Jika kemudian ia mengalami penderitaan yang sama, jiwanya telah mampu menghadapi hal itu dengan gagah dan tenang.

Penderitaan tak akan membunuh seseorang. Yang membunuh seseorang adalah hilangnya pengharapan. Selama kau masih punya impian yang ingin kau wujudkan, maka selama itu pula kau akan memiliki kekuatan untuk melanjutkan hidupmu. Membuktikan kepada dunia bahwa kau mampu menjadi manusia yang kau cita-citakan. Dengan atau tanpa cinta.

Pada saat itu tiba, mereka yang menyia-nyiakanmu akan mengagumimu. Akan ingin menjadi bagian dari hidup atau sejarah kehidupanmu. Pada saat itu kau akan tersenyum dan berkata, “Kau sudah lihat?”

Lihatlah orang yang kau anggap lemah, miskin, dan tanpa daya. Lihatlah orang ini telah menjadi ‘seseorang’ yang merubah dunia.

“Lihatlah!”

Kata ‘lihatlah’ ini harus kau simpan erat-erat di dalam hatimu. Agar kelak kau dapat mengatakannya dengan indah kepada siapapun yang meremehkanmu.

Cio San mengangguk dengan penuh pengertian. Dalam hati ia tertawa. Selalu ada pengertian baru di dalam kehidupan. Saat kau mengerti akan sebuah pengertian, selalu ada pengertian-pengertian baru yang menunggumu di depan sana. Siap untuk memberikan pelajaran kehidupan kepadamu.

“Mengapa kau tertawa, San-ko?” tanya Kao Ceng Lun.

“Aku tertawa karena aku baru mengerti satu hal,” kata Cio San.

“Apa itu?”

“Bahwa aku terlalu suka ikut campur urusan orang lain,” katanya terbahak-bahak.

“Kau baru sadar? Hahahaha,” Kao Ceng Lun pun ikutan tetawa. Katanya, “Kau tahu berapa banyak orang yang ingin menyingkirkanmu karena kebiasaanmu ini.”

“Itulah. Coba kalau aku duduk dengan tenang di rumah. Mungkin saja aku sudah memiliki istri yang cantik, dan anak yang mungil dan lucu-lucu,” tukas Cio San.

“Ada sebagian orang yang memang ditakdirkan untuk melakukan hal-hal besar. Hidup dengan tenang di dalam pelukan istri bukanlah kehidupan mereka,” ujar Kao Ceng Lun.

“Hidup tenang di dalam pelukan istri kan juga bukan sebuah hal yang memalukan,” sanggah Cio San.

“Benar. Tetapi mengorbankan diri agar orang lain bisa hidup tenang di dalam pelukan istri, justru jauh lebih tidak memalukan,” kata Kao Ceng Lun tersenyum.

“Mengapa orang itu harus aku?”

“Jika bukan San-ko (kakak San), lantas siapa?”

“Bisa saja kau,”

“Belajar seratus tahun pun kemampuanku tidak akan menyamai kau sekarang ini. Masa San-ko mau menyerahkan nasib umat manusia ke tangan orang tak becus seperti aku?” tawa Kao Ceng Lun.

“Kau boleh berkata dirimu tidak becus, tapi aku mengatakan justru kau orang yang sangat bisa diandalkan setiap saat.”

“Kau justru jauh lebih bisa diandalkan, San-ko. Bukankah sebaiknya kau saja yang melakukannya?”

“Hahaha. Omonganmu bau kentut!”

Mereka tertawa sambil menenggak arak yang cukup banyak. Beberapa hari ini mereka habiskan dengan santai dan tertawa-tawa. Syafina sungguh heran melihat mereka begitu santai menghadapi persoalan yang sudah menanti mereka. Ia tidak tahu, justru inilah cara mereka mempersiapkan diri. Dengan bercanda dan bersantai melonggarkan otot dan urat syaraf. Dengan begitu mereka akan mampu mengumpulkan dan mengeluarkan kemampuan terbaik mereka pada saat dibutuhkan.

Hari yang dinanti pun tiba. Perwakilan dari 3 partai besar datang hampir bersamaan, mereka pun datang secara menyamar ke rumah kecil yang merupakan markas tersembunyi partai Ma Kauw. Alangkah herannya Cio San ketika yang datang secara langsung adalah para Ciangbun (ketua) partai-partai tersebut!

Sambil menjura ia berkata, “Aih, boanpwee (saya yang lebih muda) sungguh kurang ajar. Tidak tahu bahwa para cianpwee (yang lebih tua) sendiri yang akan hadir. Jika begini boanpwee kan harusnya menyiapkan...,”

“Aih, Cio-hongswee jangan terlalu merendah. Jika Hongswee sendiri yang mengirim surat, masakah kami berani mengirim orang rendahan kemari?” kata perwakilan Siau Lim-pay yang bernama Hong Siu-taysu. Meskipun ia bukan ketua yang asli, ia adalah pejabat utama jabatan ketua. Mewakili ketua sebenarnya Siau Lim-pay yang sudah sangat tua dan mengundurkan diri dari dunia persilatan.

Cio San melihat perwakilan Bu Tong-pay yang datang agak belakangan bernama Yo-ciangbun. Orang ini dulu pernah menjadi gurunya secara tidak langsung saat ia berguru di Bu Tong-pay. Cio San dengan penuh hormat memberi salam perguruan Bu Tong-pay kepadanya. Bahkan ia sempat berlutut penuh hormat.

“Aih, Cio-hongswee berdirilah,” kata Yo-ciangbun mengangkat tubuh Cio San dengan penuh rasa sungkan. “Perguruan kita telah berbuat salah kepadamu, dan bahkan justru kaulah yang membersihkan perguruan kita. Justru seharusnya cayhe (saya) lah yang berlutut kepadamu.”

“Tidak berani...tidak berani ciangbun....,” Cio San buru-buru mencegah. Ia lalu menjura dengan dalam. “Selamat datang ciangbun,” katanya.

Tamu terakhir adalah ciangbun dari Go Bi-pay. Seorang Nikoh (padri perempuan) yang bernama Nan-nikoh. Ia datang bersama 2 murid wanitanya. Cio San menjura kepadanya dan Nikoh itu pun membalas dengan penuh hormat. Katanya, “Akhirnya aku bertemu juga dengan Cio-hongswee yang terkenal itu. Padahal selama ini perguruan kami sudah sedikit tidak tahu malu dengan mengakui Cio-hongswee sebagai bagian dari sejarah kami.”

Ibu Cio San adalah murid dari perguruan Go Bi-pay.

“Justru boanpwee lah yang bangga dapat menjadi bagian dari sejarah Go Bi-pay yang tersohor. Terima kasih sekali, ciangbun,” kata Cio San penuh hormat. “Mari silahkan duduk, cianpwee sekalian.”

Setelah bercengkerama sebentar, Cio San lalu memperkenalkan Kao Ceng Lun dan Syafina. Setelah perkenalan selesai, Cio San berkata, “Boanpwee merasa malu karena merepotkan para cianpwee untuk datang kesini secara menyamar. Sungguh hal ini amat merendahkan para cianpwee sekalian. Sekali lagi boanpwee meminta maaf.”

“Kau terlalu sering meminta maaf. Pinceng (saya-sebutan diri sendiri bagi bhiksu) memang memutuskan untuk datang sendiri karena memahami keadaan yang sudah semakin gawat. Pinceng yakin, para tetua yang lain pun berpikiran seperti itu. Demi bangsa dan negara, tak seorang pun yang boleh merasa terlalu tinggi untuk melakukan sesuatu,” kata Hong Siu-taysu yang ditimpali anggukan oleh tetua yang lain.

“Boanpwee juga merasa tidak enak karena akhirnya Yo-ciangbun harus datang. Sejauh yang boanpwee dengar, Bu Tong-pay telah menarik diri dari dunia persilatan beberapa tahun ini. Sungguh surat yang boanpwee kirimkan hanya sekedar pemberitahuan. Bu Tong-pay tidak perlu menerjunkan diri langsung....,” kata Cio San.

“Aih, Bu Tong-pay sudah terlalu lama menarik diri. Pinto (saya-sebutan diri sendiri bagi pendeta agama Tao) sendiri menganggap inilah saat terbaik bagi Bu Tong-pay untuk kembali turun ke gelanggang. Mencuci bersih nama Bu Tong-pay setelah selama ini dikotori penyusup-penyusup,” ujar Yo-ciangbun.

“Kau terlalu sungkan, Hongswee,” timpal Nan-nikoh. “Kaum persilatan seluruhnya kagum padamu. Bahkan berharap mampu melakukan perbuatan gagah seperti engkau. Saat kau mengirim surat seperti ini, tentu saja kami semua tertarik datang. Perbuatan bela negara seperti inilah yang harus dilakukan kaum persilatan. Jangan hanya saling berebutan nama dan kejayaan diri sendiri. Pinni (saya-sebutan diri sendiri bagi padri perempuan) sendiri memang memutuskan datang menyamar, karena pinni yakin kau pun pasti mengundang partai yang lain. Jika seluruh ciangbun (ketua) 3 partai besar keluar perguruan secara bersamaan, pastinya kan nanti menimbulkan kecurigaan orang. Rupanya tetua yang lain pun berpikiran yang sama,” ia tersenyum. Senyumnya tenang dan penuh kedamaian.

Ketiga tetua ini adalah orang-orang yang taat beragama dan hal ini sangat terlihat dari sikap mereka yang rendah hati. Kedudukan mereka pun adalah kedudukan tertinggi di dalam dunia persilatan. Jika mereka sudah mau jauh-jauh datang kemari, bisa dibayangkan betapa tingginya penghargaan mereka terhadap Cio San. Bahkan mungkin jika kaisar yang meminta pertolongan, belum tentu mereka mau datang sendiri!

Mereka duduk sambil menyantap makan siang yang sudah disiapkan Cio San. Ia memasak sendiri masakan-masakan itu. Semuanya terdiri dari masakan tanpa daging, karena ia tahu para tokoh yang datang ini berpantang daging dan arak. Setelah selesai, mereka semua lalu membahas segala perencanaan yang harus dilakukan. Cio San dan Kao Ceng Lun menjelaskan perencanaan mereka kepada ketiga tetua, sedangkan Syafina dan dua murid Go Bi-pay duduk agak ke belakang dan saling bercengkerama. Ketiga wanita itu menjadi akrab dengan cukup singkat.

Setelah semua perencenaan selesai, ketiga tetua itu meminta diri. Mereka ingin segera menjalankan perencanaan yang sudah disusun oleh Cio San dan Kao Ceng Lun. Tak lama setelah itu, Kao Ceng Lun pun meminta diri.

Kini hanya Cio San dan Syafina yang berada di ruangan itu. Kata Cio San, “Bagaimana? Sudah mengambil keputusan?”

“Aku...eh....aku....”

“Baiklah. Kuputuskan saja. Putri ikut denganku. Jika segala urusan selesai, aku sendiri yang akan mengantarkanmu pulang,” kata Cio San.

“Tapi...,”

“Sudah tidak ada waktu untuk berpikir. Percayalah padaku.”

Akhirnya Syafina mengangguk. Memang, perempuan amat sulit mengambil keputusan. Sebisa mungkin laki-laki sajalah yang mengambil keputusan. Apakah jika keputusan itu salah, perempuan dapat menyalahkan laki-laki?

Entahlah. Perempuan selalu benar.

Mereka berangkat dengan menyamar sebagai sepasang kakek dan nenek. Sepanjang perjalanan hati Syafina terbagi dengan senangnya menempuh petualangan yang mendebarkan, dan seseorang yang menunggunya pulang.

Seseorang di sana.



Related Posts:

EPISODE 2 BAB 46 MENYELAMATKAN SANG PUTRI


Begitu cepat Cio San bergerak sehingga dengan segera ia telah keluar dari wilayah pertahanan musuh. Dengan mengerahkan segala kemampuannya untuk mencari jejak, ia akhirnya berhasil melacak arah perginya Aghulai dan rombongannya. Dengan sabar ia terus mengikuti jejak itu sampai matahari muncul dan suasana menjadi terang benderang.

Jejak Aghulai dan rombongannya terhenti di tepi sungai besar. “Mereka menggunakan kapal,” batin Cio San. Ia harus mengakui bahwa Aghulai memang sangat cerdas. Dengan melalui sungai, meskipun harus melalui jalan yang berputar-putar mengikuti aliran sungai, perjalanan mereka menjadi lebih susah dilacak. Hal ini juga menghindarkan mereka dari kecurigaan dan kesulitan yang harus mereka hadapi jika mereka melalui jalan darat.

Tepi sungai ini bukanlah sebuah dermaga besar, tetapi ada beberapa perahu kecil yang bisa disewa di sana. Rupanya tempat ini memang sejenis tempat di mana titik-titik angkutan perairan berada. Cio San memperhatikan beberapa perahu dan ia memilih sebuah perahu yang dimiliki seorang anak muda berperawakan kasar namun wajahnya ramah.

“Boleh kusewa perahunya?” tanya Cio San.

“Tentu saja boleh,” kata anak muda itu sambil tersenyum ramah. “Tuan ingin kuantarkan kemana?”

“Aku hanya ingin jalan-jalan. Perjalananannya mungkin akan makan berhari-hari. Tetapi segala ongkos akan kutanggung,” jawab Cio San.

“Eh? Berhari-hari? Ongkosnya akan sangat mahal,”

“Ini sebagai uang muka, separuhnya lagi akan kubayarkan setelah perjalanan ini selesai. Uang makanmu akan kutanggung pula selama perjalanan” Cio San melemparkan 2 buah tael emas. “Jadi?”

Tentu saja jadi. Jadinya pun cepat sekali. Dua tael emas untuk uang muka sebuah perjalanan dengan perahu sekecil itu sudah sangat banyak!

Kini mereka sudah berlayar. Sungai yang sangat besar, ke mana arah tujuannya?

“Kita ke arah utara,” kata Cio San.

“Baik!”

“Eh siapa namamu?” tanya Cio San.

“Namaku A Hung. She (marga) Ti,” jawabnya ramah.

“Oh, salam kenal Ti Hung. Namaku Cio San,”

“Salam tuan!”

Cio San menyukai anak muda ini. Umurnya mungkin belum sampai 20 tahun. Paling banyak mungkin hanya 17 tahun. Tetapi semangat, dan keramahan pemuda ini cukup menarik baginya.

“Kau sudah menikah?”

“Belum,” jawabnya sambil tertawa.

“Oh, lelaki gagah dan menyenangkan seperti kau tentu memiliki banyak penggemar. Kenapa tidak kau manfaatkan?” tukas Cio San sambil tersenyum.
“Hahaha. Perempuan itu susah. Jika belum menikah mereka ramah, jika sudah menikah malah berubah menjadi seperti majikan,” tukas Ti Hung sambil tertawa keras.

“Haha. Kan tidak semua wanita seperti itu. Banyak pula yang patuh dan menurut kepada suami,” ujar Cio San.

“Ya benar. Mungkin saya saja yang terlalu berpikir tidak-tidak,” katanya tersenyum.

Mereka mengobrolkan tentang hal sehari-hari sambil menikmati pemandangan sungai yang indah. Beberapa kali mereka berpapasan dengan perahu lain, Ti Hung menyapa mereka semua. Rupanya ia cukup dikenal di kalangan tukang perahu.

Melihat ini Cio San menjadi lega. Ini membuktikan bahwa Ti Lung bukanlah antek musuh yang menyamar. Tetapi sudah pasti ia tidak mengendorkan kehati-hatiannya. Semua bisa saja terjadi.

“Eh, sehari yang lalu apakah engkau melihat sebuah rombongan yang mencurigakan menaiki perahu?”

“Mencurigakan bagaimana tuan?”

“Ah, cukup panggil aku toako (kakak) saja,” tukas Cio San. “Mencurigakan seolah-olah mereka menyembunyikan sesuatu. Seperti seorang tahanan, atau semacamnya. Dan wajah mereka mungkin sedikit berbeda, seperti wajah orang Goan (Mongolia).”

Ti Hung berpikir sebentar. Dengan melihat gerakan mata Ti Hung, ia mengetahui bahwa lelaki muda itu memang sedang berpikir dan mengingat-ingat sesuatu. Menurut ilmu tentang gerak wajah dan tubuh yang pernah dipelajarinya, jika seseorang mengingat-ingat sesuatu, maka pandangan mata dan geraknya akan berbeda daripada jika ia mengarang-ngarang sesuatu. Ada perbedaan tentang menggunakan ingatan, dan menggunakan pemikiran untuk mengarang sesuatu. Segala hal tentang pemuda ini begitu jujur dan bebas. Tak ada satu pun yang mencurigakan.

“Aku ingat. Mereka membawa tandu. Saat itu aku berpikir mengapa ada rombongan orang kaya yang berada di tempat ini. Beberapa pengawalnya pun berbadan tegap. Ku pikir mereka mungkin para tentara. Soalnya, tempat ini memang cukup dekat dengan wilayah pertempuran di selatan sana,” jelas Ti Hung.

“Kau tahu tujuan mereka pergi ke mana?”

“Tentu saja tidak, toako. Sungai seluas ini siapa yang bisa menebak. Satu yang aku tahu dengan pasti mereka pergi ke arah utara.”

“Apakah mereka menggunakan perahu sendiri, atau menyewa perahu?”

“Mereka menyewa perahu paling besar milik Sam-toako. Harga jadinya pun sangat mahal,” jawab Ti Hung.

“Hmmm, jika nanti kita berpapasan dengan perahu-perahu lain, sudikah kau bertanya kepada sahabat-sahabat sesama tukang perahu apakah mereka berpapasan dengan perahu Sam-toako itu?”

“Tentu saja. Kami tukang perahu selalu saling memperhatikan. Jika seseorang mengalami kesulitan, sesama tukang akan saling membantu. Tetapi, kalau saya boleh tahu, kenapa toako ingin menguber mereka?”

Cio San merasa tidak enak untuk berbohong kepada tukang perahu yang baik hati ini, sehingga ia pun berkata jujur, “Mereka adalah rombongan pasukan Goan (Mongol) yang menculik seorang sahabatku,”

“Ah benarkah? Kalau begitu kita harus cepat-cepat menemukan mereka!” kata Ti Hung penuh semangat, “Aku akan menolongmu, toako! Sejak awal aku memang kurang suka dengan tingkah mereka yang sombong!”

“Aih, baik sekali hatimu Hung-te (adik Hung). Aku sangat berterima kasih sekali,” tukas Cio San terharu. Ia selalu menghargai rasa kesetiakawanan dengan sangat tinggi.

Setiap berpapasan dengan perahu yang lain, Ti Hung benar-benar menanyakan tentang perahu yang mereka kejar. Beberapa tukang perahu mengaku sempat berpapasan dan memberitahukan arah. Cio San sangat senang akan hal ini. Dari berita ini, ia dapat melacak mereka lebih cepat.

“Menurut pendapatmu, apakah kita akan sempat menguber mereka?” tanya Cio San.

“Kapal mereka cukup besar dan kuat. Cepat pula. Tetapi sepertinya muatan mereka cukup banyak. Apalagi dari kabar yang kita dengar, mereka kadang-kadang behenti sebentar di beberapa dermaga untuk mengisi keperluan dan bekal. Jika kita bergerak terus tanpa berhenti, dalam waktu setengah hari, kita tentu dapat menguber mereka toako (kakak),” jelas Ti Hung.

“Hmmm, baiklah. Untuk masalah makan, apakah kau tak keberatan untuk sementara memakan tangkapan ikan saja? Kita bisa membakarnya di sini, karena ku lihat kau pun membawa perlengkapan memasak di sini,” tanya Cio San. Perahu milik Ti Hung memang memiliki atap kecil untuk berteduh, sehingga seperti ada bilik kecil untuk penumpang. Di dalam bilik itu terdapat banyak perlengkapan seperti tali temali, alat memancing, kompor, air bersih, dan bahkan bantal untuk tidur.

Cio San berhasil menangkap beberapa ikan. Ia pula yang membakar dan meramunya. Ia sendiri pun membawa sedikit roti kering dan bumbu-bumbu yang diberikan oleh para tentara beberapa hari yang lalu. Mereka kemudian menikmati hidangan yang sangat nikmat ini. Ti Hung terheran-heran dengan rasa masakan Cio San yang sungguh nikmat.

Hari menjelang malam, Cio San beristirahat sebentar. Sesuai kebiasaannya, ia selalu tidur dengan pulas untuk menambah tenaga dan menenangkan pikirannya jika akan menghadapi situasi yang sulit. Sejak tadi ia sudah memahami seluruhnya persoalan yang ia hadapi.

Saat menggerebek sarang musuh semalam, ia sengaja tidak menggunakan seluruh tenaganya untuk menghadapi Ma Lu Si. Ia tidak ingin musuh mengetahui kekuatannya yang sebenarnya! Ia pun memang melakukannya untuk menyimpan tenaga saktinya sendiri. Akan sangat banyak musuh yang harus ia hadapi. Ia hanya bisa mengandalkan akalnya agar ia tidak terpaksa menggunakan kekuatannya yang sebenarnya. Betapa cerdasnya pendekar muda ini. Seolah-olah setiap langkahnya sudah ia perhitungkan dengan matang. Padahal pemahaman ini ia lakukan secara alami dan mengikuti perubahan. Tanpa menggunakan tenaga yang besar, ia dapat mengalahkan Ma Lu Si yang ilmunya hampir sama tingginya dengan dirinya sendiri. Ia hanya cukup menggunakan akal dan kemampuan dirinya untuk berubah sesuai keadaan. Tidak banyak orang yang mampu melakukan hal ini. Karena itulah Cio San memang sangat berbahaya bagi musuh-musuhnya.

Karena itu pula, ia paham mengapa Aghulai membawa Syafina pulang ke Qara Del. Para musuh memang sengaja menggunakan Syafina untuk menariknya menjauh dari medan pertempuran. Ini terbukti dari perjalanan Aghulai yang seolah berputar-putar menyinggahi banyak tempat. Ia sengaja berputar-putar dahulu untuk membuang-buang waktu Cio San. Agar Cio San semakin menjauh dari sarang musuh. Siasat ini sangat pintar dan halus. Tetapi memangnya ada siasat yang mampu mengelabui sang Jenderal Phoenix? Ia mungkin akan tertipu sesaat, namun akal dan bisikan hatinya akan mampu menunjukan kebenaran yang sebenar-benarnya.

Cio San kini semakin curiga dengan hal apa yang direncanakan musuh di sana. Ia masih belum bisa membongkarnya. Tetapi ia telah mengerti apa yang harus ia lakukan. Ia bahkan telah mampu menebak tokoh di balik semua ini. Ia hanya perlu bersabar dan membongkar semua rahasia ini pada waktunya. Ia perlu memastikan bahwa seluruh tebakannya memang benar.

Ia tertidur dengan pulas, ketika di tengah malam Ti Hung membangunkannya dan berkata bahwa ia melihat kapal Sam-toako berlabuh di dermaga di depan sana. Cio San kemudian bergegas bangun dan memperhatikan. Dari jauh kapal itu terlihat cukup besar. Tidak begitu mewah jika dibandingkan dengan isi penumpangnya. Ia bertanya, “Apa nama kota ini?”

“Tung Ci, toaku,” jawab Ti Hung.

Kota ini berada di barat daya. Aghulai tidak langsung mengambil arah ke utara, tetapi menggunakan jalur barat daya. Hal ini semakin memperkuat dugaannya bahwa jenderal Goan (Mongol) ini memang sengaja berputar-putar.
Cio San lalu meminjam sebuah topi caping lebar yang biasanya dipakai para nelayan. Topi ini berada di dalam bilik perahu. Lalu ia berkata, “Hung-te (adik Hung), kau berlabuhlah. Tetapi siap-siap untuk bergerak, jika kau melihat mereka bergerak. Aku akan menyusulmu segera.”

“Baik, toako!” kata pemuda ini bersemangat.

Kata-katanya belum selesai, ia melihat Cio San melayang dengan sangat ringan dan sangat cepat. Dalam sekejap bayangan Cio San telah mendarat di daratan, jauh sebelum perahu mereka sendiri mendekat di daratan.

“Oh, ternyata San-toako (kakak San) adalah seorang pendekar sakti. Oh, sungguh beruntung aku. Aku akan memintanya untuk mengajarkan silat kepadaku,” katanya dalam hati.

Begitu sampai di darat, Cio San pun menyusup dalam kegelapan. Dengan sangat hati-hati ia memperhatikan daerah sekitar. Ketika ia sudah yakin aman, dengan sekali gerak, ia melayang dan mendarat di atas kapal yang di sewa Aghulai. Ia sudah memastikan dengan benar bahwa titik mendaratnya memang benar-benar aman. Kemampuan menyusupnya ini sudah hampir mendekati kemampuan Cukat Tong, sang raja maling. Bisa dimaklumi karena ia sendiri memang sempat mempelajari ilmu menyusup dari Cukat Tong.

Dengan kelincahan yang tak dapat ditakar oleh akal manusia, Cio San menyelinap di balik kegelapan. Banyak penjaga berseliweran namun tak ada satu pun yang berhasil memergokinya. Ia lalu berhasil memasuki geladak kapal dan memulai pencariannya. Sang Jenderal Phoenix mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menemukan di mana letak keberadaan putri Syafina. Satu persatu ia menyelidiki bilik yang berada di kapal. Untungnya kapal itu bukanlah sebuah kapal yang besar, hanya berisi beberapa bilik saja.

Ia tidak menemukan jenderal Aghulai di sana, rupanya jenderal itu sedang turun ke darat untuk sebuah urusan. Bilik demi bilik di susurinya sampai ia menemukan sebuah bilik terakhir di tempat gudang penyimpanan perbekalan. Tidak banyak perbekalan yang mereka bawa. Yang ada hanya tong-tong berisi minyak yang baunya menyengat.

Akhirnya ia menemukan bilik tempat Syafina disekap! Ada dua orang penjaga yang berada di sana. Kedua penjaga ini tidak sempat berkedip ketika tahu-tahu Cio San sudah berada di depan mereka dan menotok urat penting mereka yang membuat kedua orang itu tak berkutik. Ia lalu memeriksa kantong kedua penjaga itu dan menemukan kunci untuk bilik itu.

Begitu dibuka tampaklah si putri sedang berbaring tak berdaya. Cio San masuk dan mendekatinya ketika ia mendengar sebuah dentuman yang terdengar di luar. Suara dentuman itu sama sekali tidak besar, dan hanya terdengar kecil sekali. Tetapi Cio San telah memahami apa yang terjadi.

Jenderal Aghulai tidak berada di tempat, penjaga yang malas-malasan, letak bilik penyekapan Syafina yang tepat berada di tengah-tengah geladak, tong-tong berisi minyak berbau menyengat, bunyi dentuman mencurigakan yang terdengar di kejauhan. Semua membentuk sebuah kesimpulan!

Ia segera meraih tangan Syafina, lalu dengan tangan satunya ia menghajar lantai kapal sampai hancur berantakan dan jebol ke sungai. Hanya sepersekian detik kemudian, kapal itu meledak dengan dahsyatnya.

Dhuaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrr!!!!!!!!!

Segala kejadian ini digambarkan dengan cukup panjang, padahal kejadian aslinya tidak lebih cepat dari kedipan mata.

Cio San dan Syafina berhasil masuk ke dalam sungai sebelum kapal kecil itu meledak berkeping-keping!

Di permukaan sungai, api menjalar begitu besar sampai-sampai menerangi malam yang gelap gulita itu. Kapal itu kini berubah menjadi potongan-potongan kayu kecil-kecil. Cio San menyelam sambil terus membawa putri Syafina dalam pelukannya. Ia mengerahkan segala tenaganya untuk menyelam dan menjauh dari daerah itu. Setelah dirasa cukup jauh, ia akhirnya menepi dan membawa sang putri ke daratan yang gelap, sebelum benar-benar memastikan bahwa daerah itu benar-benar aman.

Begitu sampai di daerah yang aman, segera ia memompa dada sang putri untuk mengeluarkan air dari paru-parunya, sambil juga menotok titik-titik penting di tubuh sang putri. Ia lalu mendekatkan mulutnya ke mulut sang putri untuk menyedot air dari dalam paru-parunya.

Tubuh putri cantik itu dingin, namun bibirnya hangat. Lembut dan terasa manis. Cio San sudah sering mengecup bibir perempuan, tetapi bibir yang selembut dan semanis ini baru kali ini dirasakannya. Tak berapa lama sang putri lalu tersadar, ketika ia membuka mata, betapa kagetnya ia ketika ad seorang laki-laki sedang mengecup bibirnya.

“Kurang ajar!,” tangannya pun bergerak menampar. Yang ditampar pun tidak menghindar. Meskipun ia sanggup menghindar, ia tetap saja membiarkan pipinya ditampar sang putri.

“Kau?”

“Maafkan aku harus melakukannya, tuan putri. Hanya itu cara menyedot keluar air dari paru-parumu,” jelas Cio San sungguh-sungguh.

“Eh, apa yang terjadi?” walaupun ia bertanya-tanya, otaknya cukup cerdas untuk kemudian memahami apa yang terjadi. “Hongswee menyelamatkan aku dari kapal itu?”

Cio San hanya mengangguk.

“Terima kasih banyak, dan eh....ma..maafkan aku menamparmu....,” katanya salah tingkah. Sete;ah berkata begitu, ia mengambil posisi semedhi untuk mengumpulkan kekuatan sambil mengeringkan bajunya yang basah dengan menggunakan tenaga dalamnya. Di dalam hati, Cio San mengakui kesigapan si putri ini. Ia sendiri membiarkan tubuh dan bajunya tetap basah kuyup. Baginya tenaga dalam hanya digunakan untuk bertarung.

Sambil menunggu sang putri selesai semedhi, ia terus memperhatikan tempat di mana kapal itu meledak. Api membumbung tinggi. Banyak orang berkumpul di sana.

Syafina membuka mata, semedhinya telah selesai. Melihat Cio San tetap basah kuyup, ia bertanya, “Hongswee tidak mengeringkan tubuh dahulu?”

Maklumlah, pendekar yang bajunya basah kuyup dianggap cukup memalukan dan tidak memiliki tenaga dalam yang cukup untuk mengeringkan tubuhnya sendiri.

Cio San tidak membalas pertanyaan itu, ia malah balik bertanya, “Apakah pasukan Qara Del memiliki meriam?”

“Meriam? Tidak. Sebagai kerajaan kecil yang harus tunduk kepada kekaisaran Beng, negara kami bahkan harus membatasi jumlah prajuritnya. Apalagi memiliki meriam?” ia berkata seperti ini namun pikirannya pun berjalan cukup baik. Sambil melihat api besar yang berada di atas sungai, ia bertanya kepada Cio San, “Apakah api besar itu adalah hasil ledakan meriam?”

“Benar. Itu adalah kapal tempat engkau disekap. Aku berhasil mengeluarkanmu dari sana sebelum kapal itu meledak ditembak meriam,” jelas Cio San.

“Kami tidak memiliki meriam, dan para ahli pembuat meriam dari kerajaan kami seluruhnya sudah dihukum pancung oleh raja kami dahulu sebagai bentuk kesungguhan kami untuk mengabdi dan tunduk pada kekaisaran Beng. Suku-suku di selatan yang memberontak pun seperti itu. Satu-satunya pihak di seluruh Tionggoan yang memiliki meriam hanyalah kekaisaran Beng,” ujar Syafina.

“Ya, aku tahu. Karena itulah aku curiga. Pihak yang ingin membunuh kita berdua adalah orang-orang dalam kekaisaran sendiri,” kata Cio San.

“Mengapa mereka ingin membunuhmu, Hongswee?” tanya Syafina.

“Karena akulah satu-satunya orang yang dapat menghalau keinginan mereka,”

Memang di dunia ini orang yang sanggup melakukan hal itu hanyalah ia seorang.

“Mari kita pergi!” kata Cio San.

“Kemana?”

“Menemui beberapa orang,”

“Baiklah,” Syafina pun bergegas mengikuti Cio San.

Entah mengapa hatinya kini percaya penuh kepada lelaki ini. Lelaki pertama yang mengecup bibirnya!

***

Cio San dan Syafina kini sudah berada di markas Mo Kauw di kota itu. Inilah hebatnya partai Mo Kauw, cabang mereka berada hampir di setiap kota yang berada di Tionggoan. Inilah pula kenapa banyak pihak yang begitu takut kepada Mo Kauw. Bahkan kekaisaran sendiri pun menganggap partai ini sebagai partai terlarang.

 Ia kini telah menjelaskan segala kejadian di malam itu kepada beberapa anggota di markas itu. “Kejam sekali mereka itu, Kaucu (ketua). Berani menggunakan tuan putri untuk memancing Kaucu dan membunuh Kaucu di sana. Untunglah Thian (langit) selalu melindungi Kaucu kami!” kata salah seorang anggota.

Cio San hanya tersenyum. Berkali-kali ia sudah meminta seluruh anggota Mo Kauw untuk tidak memanggilnya ‘Kaucu’, tetapi mereka tetap melakukannya. Ini mungkin karena kecintaan dan kebanggaan mereka kepada Cio San.

“Bagaimana keadaan kekaisaran sekarang?” tanya Cio San kepada mereka.

“Sejauh ini, sudah banyak sekali pasukan yang dikirim untuk menguatkan daerah selatan. Pasukan yang tertinggal hanyalah pasukan penjaga ibukota. Bahkan menurut kabar yang terdengar, Kaisar sendiri sudah bersiap-siap memimpin sendiri pasukannya ke selatan,”

“Wah, sudah sampai segenting ini keadaannya. Apakah sudah terdengar pergerakan dari partai-partai terkemuka?”

“Setahu yang kami dengar, Bu Tong pay benar-benar sudah menarik diri dari dunia Kang Ouw sejak kejadian di puncak Thay San. Bahkan para murid-muridnya pun tidak ada yang diperbolehkan untuk turun gunung. Siauw Lim pay masih menunggu perintah dari kaisar. Jika tidak ada perintah dari kaisar, murid-murid mereka tidak ada yang dikirimkan ke peperangan,” jelas salah seorang.

“Bagaimana dengan Gobi pay, Hoa San pay, Hing San pay, serta Kay Pang?” tanya Cio San lagi.

“Sepertinya mereka pun mengikuti sikap Siauw Lim pay. Tanpa ada permintaan resmi dari kaisar, mereka tidak berani turun tangan secara langsung.”

“Banyak pendekar yang sudah ditarik yang mulia pangeran Cu ke dalam ketentaraan, tetapi sepertinya pendekar-pendekar yang ikut kepadanya bukan pendekar-pendekar kelas tinggi. Ini mungkin penyebab dari kekalahan pangeran Cu secara terus menerus. Selama ini mereka hanya sanggup bertahan di selatan. Untuk merebut posisi sudah tidak mungkin,” kata Cio San.

“Apakah pendekar-pendekar yang bergabung dengan pihak musuh di selatan adalah pendekar-pendekar hebat, Kaucu?” tanya salah seorang.

“Ya. Aku sudah bertemu dengan beberapa orang di antaranya. Yang paling menakutkan bernama Pek Giok Kwi Bo,” kata Cio San.

“Hah? Dia? Iblis itu? Sudah puluhan tahun namanya tidak kedengaran di dunia persilatan. Kini muncul kembali bergabung dengan pihak musuh. Apa yang hendak dicarinya?” kata salah seorang.

“Siapa Kwi Bo ini? Mengapa aku baru pertama kali mendengar namanya?” tanya Syafina.

“Ia adalah seorang pendekar maha sakti. Umurnya sudah tak ada yang dapat memastikan. Saat ia merajalela dulu, mungkin kita semua belum lahir. Konon katanya ia tidak pernah tertarik dengan urusan Kang Ouw. Tetapi kesenangannya adalah menangkap pendekar-pendekar hebat lalu merebus mereka. Sari pati hasil rebusan itu kemudian ia minum untuk mendapatkan tenaga dalam yang besar,” jelas Cio San.

“Berarti Hongswee harus berhati-hati karena bisa-bisa ia pun mengincarmu,” kata Syafina khawatir.

“Ada hal yang membingungkanku,” tukas Cio San. “Jika Aghulai bekerja sama dengan raja selatan dan Pek Giok Kwi Bo, kenapa mereka ingin membunuhku? Bukankah aku mangsa yang baik bagi Pek Giok Kwi Bo?” ujar Cio San. Lanjutnya, “Ini berarti memang ada pihak lain yang ingin mengambil keuntungan dari hal ini. Pihak ini sudah sejak dulu ingin membunuhku sejak awal!”

“Siapa mereka?”

“Aku masih belum bisa memastikan. Tetapi seingatku, sahabat baikku Kao Ceng Lun pernah berkata bahwa ada pemberontakan yang sedang direncanakan di dalam istana. Pemberontakan yang dipimpin oleh beberapa pejabat tinggi. Sejauh ini merekalah pihak yang paling ku curigai,” kata Cio San.

“Apakah kau sudah tahu siapa saja mereka?” tanya Syafina lagi.

“Belum. Hal itu sih tidak mudah diusut. Bahkan Kao Ceng Lun dan pasukan baju sulam (pasukan rahasia khusus kerajaan) belum berhasil menguak tabir ini,” jawab Cio San.

“Hmmmmmm.....,” semua orang sibuk dengan pikiran masing-masing.

Lalu Cio San berkata, “Aku ingin meminta bantuan kalian saudara-saudaraku. Selidiki di mana Aghulai berada. Jika ia masih hidup, berarti ia benar-benar bekerja sama dengan raja selatan. Jika ia sudah mati, berarti ia bekerja sama dengan kelompok pemberontak rahasia kerajaan.”

“Aha, aku tahu alasan mengapa kelompok rahasia ini membunuhnya. Mereka tak ingin rahasia mereka bocor,” tukas Syafina.

“Benar. Aku sih sudah yakin ia telah mati. Tetapi aku benar-benar butuh kepastian ini sebelum mengambil kesimpulan.”

“Baik, kaucu!” kata mereka, “Sekarang juga kami laksanakan!”

“Eh, ada satu lagi. Harap salah satu dari kalian mencari seorang tukang perahu di dermaga. Ia banyak membantuku tadi. Pastikan ia masih hidup dan jaga dia sampai ia pulang ke desanya. Sesampai di desanya, kalian pun harus menjaganya secara diam-diam. Ini sebagai bentuk terima kasihku kepadanya. Aku tak ingin ada orang lain yang tahu bahwa aku masih hidup. Kalian pun harus menutup rapat-rapat rahasia keadaanku. Jika nanti seluruh urusan ini sudah selesai, aku akan menemuinya.”

Cio San lalu menjelaskan nama dan ciri-ciri pemuda tukang perahu itu dan tak lupa ia mengeluarkan beberapa tael emas untuk mereka. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka kemudian pergi. Hanya ada satu dua orang yang tetap berjaga-jaga di sana.

Melihat kesigapan merka, Syafina berdecak kagum. “Pantas saja Mo Kauw mempunyai nama yang gemilang dan menjulang. Anggota-anggotanya memiliki kesetiaan yang mengagumkan.”

“Dari seluruh orang yang ada di dunia, jika aku membutuhkan bantuan, aku hanya bisa meminta bantuan kepada mereka. Ketulusan dan kesetiaan mereka memang tiada bandingannya,” ujar Cio San. Lalu katanya, “Tuan puteri beristirahatlah, besok pagi-pagi sekali kita harus segera ke selatan,” ia lalu merebahkan diri.

Puteri itu hanya mengangguk. Rupanya Cio San segera menyadari isi hati wanita itu dan segera berkata kepada salah seorang anak buah Mo Kauw, “Lao-heng (kakak Lao), adakah bilik kosong bagi nona ini untuk beristirahat?”

“Oh, tentu saja ada Kauwcu. Mari nona silahkan saya antar,” kata orang itu.

Syafina hanya mampu tersenyum dan berterima kasih. Sebagai seorang pemeluk agama yang cukup taat, ia memang merasa tidak nyaman jika tidur di ruangan yang sama dengan laki-laki yang bukan suaminya atau saudaranya.
Cio San turut mengantarkan dan memastikan kamar itu nyaman bagi Syafina. Ia turut pula membersihkan beberapa bagian. “Kita punya persedian baju-baju untuk wanita?” tanya Cio San kepada Lao-heng. “Oh tentu saja, Kaucu,” pria itu segera menghilang lalu kembali membawa tumpukan baju. “Mohon maaf jika baju-baju ini berbahan kain yang agak kasar. Biasanya memang baju-baju ini disiapkan untuk penyamaran,”

“Aih, aku sungguh tidak enak merepotkan paman. Justru aku sangat senang sekali dengan baju-baju seperti ini. Terima kasih banyak,” kata Syafina tersenyum manis. Cio San dan Lao Heng segera keluar, dan Syafina menutup bilik pintu.


Laki-laki yang dapat memperhatikan hal-hal kecil, amatlah sangat menarik bagi perempuan. Tentu saja hatinya senang.


Related Posts: