Ada belasan atau mungkin puluhan layang-layang di udara. Cio San dapat menduga bahwa pasti ada penunggang yang berada di atas layang-layang itu. Ia menoleh kepada Suma Sun untuk benar-benar memastikan sahabatnya itu baik-baik saja. Pendekar pedang itu tampak biasa saja, seolah tak ada apa-apa yang terjadi padanya. Segala racun telah berhasil ia keluarkan seluruhnya dari tubuhnya.Hanya lengan bajunya yang hancur hangus terbakar.
Cukat Tong pun sudah mendarat dengan ringan di atas bumi yang penuh dengan tumpukan mayat di mana-mana. Bau darah dan belerang menyesakkan hidung. Ketiga pendekar itu berdiri dikelilingi sisa-sisa pasukan kawan dan musuh yang terdiam. Tak perduli kawan dan lawan, para prajurit seluruhnya dalam keadaan yang sangat memprihatinkan.
Suma Sun mengancungkan tangan kirinya ke depan. Katanya, “Kau ingin menghancurkan layang-layang di atas sana?”
“Tidak. Aku ingin kembali ke sebuah bukit kecil di sana,” jawab Cio San sambil menunjuk. Meskipun Suma Sun tak dapat melihat, ia dapat “mendengar” arah itu.
Cio San ingin pergi ke bukit itu karena ia tahu, Suma Sun dan Cukat Tong sudah tidak membutuhkannya lagi di sini. Mereka berdua saja sudah cukup untuk menghadapi semua orang yang berada di medan pertempuran ini.
Ia melangkah dengan mantap menyongsong tangan Suma Sun yang masih mengacung ke depan. Ia pun menyambut tangan itu dengan tangannya sendiri. Bertahun-tahun mereka bersahabat, mungkin baru kali ini mereka saling menggenggam tangan. Saling percaya. Saling menguatkan. Masing-masing memahami bahwa mereka tidak akan saling mengecewakan satu sama lain.
Apabila engkau memiliki satu saja sahabat seperti ini di sepanjang hidupmu, sesungguhnya kau tidak memerlukan orang lain lagi.
Cio San menoleh kepada Cukat Tong dan berkata, “Jangan biarkan ia membunuh terlalu banyak orang.”
‘Aku tidak dapat menjamin hal ini,” tukas Cukat Tong sambil tertawa.”Pergilah. Serahkan semua ini kepada kami.”
Ganggaman tangan semakin erat. Suma Sun cukup memutar tubuhnya satu kali, lalu ia melemparkan Cio San sangat jauh. Sang jenderal Phoenix melayang bagaikan burung Hong yang terbang menghujam menembus awan. Tubuhnya melesat secepat kilat ke arah bukit di mana sang kaisar bersembunyi.
Dengan sebuah poksai (salto) yang indah, Cio San sudah mendarat dengan mulus. Li Ping Han dan para anak buahnya telah berjaga-jaga mengelilingi kereta perang sang kaisar. Cio San tahu sang kaisar cukup aman berada di dalam kereta itu.
“Saudara sekalian baik-baik saja kah?” tanyanya.
“Sejauh ini kami baik. Tetapi lemparan peledak dari layang-layang di atas telah cukup menghancurkan daerah pertahanan kita,” jawab Li Ping Han.
Cio San memperhatikan sekeliling, memang keadaan di sana sudah sangat gawat. Satu-satunya pertahanan yang tersisa adalah tumpukan batu karang dan pepohonan yang menutupi kereta kaisar. Selain itu, tidak ada lagi unsur pertahanan yang bias mereka andalkan.
Dari atas langit bau belerang semakin tajam. Para penyerang sudah mempersiapkan serangan berikutnya. “Apa yang bisa saudara-saudara lakukan dalam menghadapi serangan ini?” tanya Cio San.
“Kami bisa memanah peledak itu ketika masih di udara, tetapi ada beberapa yang lolos dan tidak bias dihindari,” jawab Li Ping Han.
“Baik,” gumam Cio San. “Berikutnya, cayhe (saya) yang akan menghancurkan peledak itu, para saudara harap memanah yang tersisa”.
“Siap!” jawab beberapa pengawal gagah itu.
Peledak pun diluncurkan dari udara. Datangnya sangat deras. Puluhan, bahkan ratusan peledak yang amat sangat dahsyat daya hancurnya.
Cio San tidak perlu menunggu lebih lama, segera ia menghantam peledak itu jauh sebelum senjata mengerikan itu mendekati mereka.
“Naga Menggerung Menyesal!”
Siapa yang mampu meragukan kedahsyatan pukulan itu? Siapa yang jantungnya tidak bergetar saat kata-kata itu diucapkan?
Pukulan jarak jauh yang amat sangat diandalkannya. Jurus legendaris itu tidak pernah mengecewakannya!
Ledakan dahsyat terjadi di langit. Suaranya menggelegar bagaikan guntur di siang hari. Semua kepala menengadah ke angkasa. Layang-layang berjatuhan bagaikan kawanan burung yang terpotong sayapnya. Oleng dan meluncur menghempas ke bumi.
Rupanya ledakan senjata yang dihasilkan oleh pukulan Cio San telah berhasil menghancurkan pula layang-layang yang berisi para penyerang. Hanya dalam sekali pukul ia berhasil mematahkan siasat musuh yang menyerang dari udara.
Wussssssssss!
Sebuah suara yang amat sangat dikenal Cio San.
Suara lirih yang jauh lebih menakutkan dari suara apapun. Suara yang menyusup di antara keriuhan suara ledakan di angkasa.
“Awas panah!” terdengar Suma Sun mengirimkan suara dari jarak jauh kepada Cio San. Tetapi bahkan suara Suma Sun pun kalah cepat dengan laju suara mendesis itu.
Cio San bergerak!
Tetapi ia terlambat!
Panah itu sudah menghujam masuk ke dalam kereta. Braaaaaaakkkk!
Jlebbbbbbbbb!
Panah kecil itu menusuk dada kaisar dan tembus menancap di dinding belakang kereta. Betapa mengerikannya kekuatan panah ini. Betapa hebat sang pemanahnya!
Siapa gerangan dirinya?
“Yang mulia!” seluruh pengawal berlari ke arah sang kaisar yang kini terkulai lemas. Darah hitam menyembur dari mulutnya bagaikan air mancur di dalam taman. Darah itu amat hitam. Panah itu rupanya sudah diolesi racun yang amat mematikan. Dalam hitungan detik saja telah mampu menghitamkan darah manusia.
Keji.
Hanya Li Ping Han masih berdiri tegap di tempatnya. Ia memandang tubuh kaisarnya dengan nanar. Ada kesedihan, ada rasa kasihan, ada rasa bersalah. Namun juga ada rasa lega di sana.
Cio San memandangnya dengan penuh tanda tanya. Mengapa Li Ping Han merasa lega? Daya pikirnya bekerja dengan keras. Dalam sekejap saja, Cio San sudah memahami segalanya. Namun ia diam. Ia tidak ingin membongkar rahasia besar yang tersimpan rapat ini.
“Kaisar telah tewas! Kaisar telah tewas!” terdengar gemuruh suara dari pihak lawan. Mereka bersorak sorai gembira.
Cio San hanya bisa memandang Li Ping Han.
Pasukan kerajaan yang mendengar sorak sorai ini jadi kehilangan kendali. Mereka kehilangan semangat berperang. Apa yang harus mereka perjuangkan? Kaisar mereka telah tewas. Pemendangan yang terjadi di atas bukit memang bisa sedikit terlihat karena batu-batu dan pepohonan yang tadinya menutupi keadaan di sana sudah hancur terkena peledak.
Mereka yang memiliki mata tajam, akan mampu menyaksikan apa yang terjadi di bukit kecil itu.
“Letakkan senjata! Menyerahlah!” para prajurit musuh seperti mendapat angin. Keberanian mereka bertambah. Daya tempur mereka meningkat dalam sekejap. Mereka menang!
Para prajurit kerajaan mulai membuang senjata mereka satu persatu-satu. Dan tanpa ampun kepala mereka ditebas oleh musuh. Alangkah kejamnya pasukan musuh.
Pasukan kerajaan telah kehilangan seluruh semangatnya. Para penglima pun sudah tak tahu harus berbuat apa. Satu persatu mereka dibantai tanpa melakukan perlawanan sama sekali.
Cio San tetap memandang Li Ping Han dengan penuh keheranan.
“Paduka, tidak membuka rahasia yang sebenarnya?” tanyanya.
Sekejap Li Ping Han tersentak. Ia hanya memandang Cio San, lalu berkata, “Cukup. Sudah cukup. Aku tak ingin ada peperangan lagi. Sudah terlalu banyak orang yang mati karena ini semua…..,”
“Lalu kenapa paduka tidak segera membuka penyamaran dan kembali memberi semangat kepada pasukan? Kenapa di saat-saat seperti ini, paduka justru menyerah? Bukankah nyawa yang telah terbuang untuk kekuasaan paduka hanya terbuang sia-sia?” kata Cio San dengan setengah berteriak.
Para pengawal lain tidak mengerti mengapa Cio San memanggil atasan mereka dengan sebutan “Paduka”. Mereka berpikir mungkin Cio San sudah sedikit gila akibat peperangan.
Lalu Li Ping Han memegang wajahnya. Dengan sekali gerakan ia menarik lapisan kulit yang menutupi wajahnya. Muncul wajah agung sang kaisar.
Wajah itu Nampak sangat agung dan berwibawa. Tetapi begitu diliputi kesedihan. “Cio-hongswee, mohon bantu aku untuk menyelamatkan pasukan yang tersisa. Kita telah kalah segalanya. Kalah pasukan, kalah siasat, kalah ilmu, dan kalah segalanya. JIka perang diperpanjang, aku khawatir tiada lagi manusia yang tersisa di bumi ini.”
Ya, Cio San memahaminya. Pasukan kerajaan memang sudah sangat terdesak. Musuh seperti memiliki siasat yang sangat beragam dan berbahaya yang datang bagaikan gelombang badai yang tak pernah berhenti. Para penglima kerajaan tak sanggup menghadapi siasat dahsyat ini.
Siapa gerangan di balik siasat ini?
Siapa gerangan di balik kekejaman ini?
“Kau mundurkan lah pasukan. Selamatkanlah yang tersisa,” pinta sang kaisar.
Cio San hanya bisa mengangguk. Segera ia melayang turun bergabung dengan Cukat Tong dan Suma Sun yang masih bertempur menyelamatkan pasukan yang tersisa. Amarahnya melebur bersama kesedihan. Keinginannya hanya satu, menghancurkan siapa saja yang terlibat dengan pembantaian yang mengerikan ini.
Suma Sun dan Cukat Tong memandangnya dengan iba. Mereka tahu, kemampuan mereka bertiga masih belum sanggup untuk meruntuhkan siapa pengatur siasat ini. Rasanya sejak awal mereka telah terjatuh dalam permainan besar ini. Segala sesuatu tertata rapi dan mengalir bagaikan alur kehidupan yang harus mereka jalani. Ternyata semuanya adalah bagian dari siasat besar untuk menggulingkan kekuasaan.
Dan mereka adalah buah-buah catur kecil yang harus dihabiskan sebelum sang lawan sampai pada sang raja.
Dalam hati Cio San merintih. Ia telah bosan terhempas dalam pusaran perebutan kekuasaan. Sejak kecil ia telah terseret ke dalam gelombang dahsyat ini. Kehilangan orang tua, guru, dan sahabat. Kini terjadi lagi. Dalam siasat dan pengaturan yang tidak kalah hebatnya.
Semuanya berkaitan. Semuanya terjalin dalam potongan-potongan cerita kecil yang menjelma menjadi sebuah kisah yang besar nan agung.
Kekuasaan.
“Celaka!” tukas Suma Sun.
Cio San dan Cukat Tong menoleh. Suma Sun sedang menuding ke arah bukit tempat kaisar terbunuh. “Ada apa?” tanya Cio San.
“Musuh mengirimkan pasukan khusus ke bukit!” teriak Suma Sun.
“Cepat, lempar aku! Cukat Tong, kau bantu menarik mundur pasukan!”
Suma Sun dan Cio San kembali bergandeng tangan. Sekali gerak, Cio San sudah melayang ke udara. Tetapi kembali terdengar suara wussssssssss!
Panah itu mengejar lagi.
Semua hal ternyata sudah direncanakan sedemikan rupa! Segala hal sampai yang sekecil-kecilnya!
Suma Sun melemparkan potongan tombak ke arah panah itu. Tetapi bahkan kehebatan lemparan Suma Sun pun masih kalah cepat dengan luncuran panah yang kini mengejar pundak Cio San!
Sang jendral Phoenix memutar tubuh. Ia tahu ia tidak punya kuda-kuda yang cukup untuk melancarkan pukulan dahsyatnya. Ia dapat menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) nya yang sangat tinggi untuk tahu-tahu berhenti atau merubah gerak di udara. Tetapi ia tidak ingin melakukannya, karena ia tahu hal ini akan memperlambat sampainya ia di atas bukit untuk menolong kaisar.
Ia pun ingin melakukan satu hal, mengirimkan pesan yang padat dan jelas kepada siapa pun pengatur siasat dahsyat ini: Aku tidak takut kepadamu!
Cio San memutar tubuh dan menyambut anak panah dengan dua jarinya.
Cukup dua jari. Anak panah itu terjepit dengan sempurna. Penempatan waktu, kecepatan, naluri, serta perasaan yang terlibat di dalam gerakan ini sungguh tak dapat diungkapkan dalam kata-kata. Siapa yang memanah panah ini adalah seorang yang sungguh hebat dalam ilmunya dan tiada tandingannya. Tapi siapa yang mampu menangkap panah itu, justru dia lah pendekar sakti sebenarnya.
Cio San memasukkan panah itu dibalik bajunya. Sekejap ia melihat panah itu tidak beracun. Berarti sang pemanah mengetahui bahwa menggunakan racun terhadap dirinya adalah sia-sia. Dalam hati Cio San bergidik juga. Ternyata perhitungan si pengatur siasat sangat matang. Ia sengaja tidak mengolesi racun di anak panah itu juga agar panah itu dapat melaju lebih kencang.
Sang pendekar muda ini melayang turun, dengan indah. Ia terlambat, kaisar sudah tidak berada di sana. Para pengawalnya pun sudah tewas dengan menggenaskan. Telinganya mendengar derap kami pasukan yang melayang melalui jalan belakang bukit. Ia segera bergegas ke sana.
Ketika sampai di bawah ternyata Pek Giok Kwi Bo sudah berada di sana menunggunya. “Jika kau maju selangkah lagi, aku akan membunuh kaisar busuk ini,” ancam si nenek iblis.
Tentu saja Cio San tidak ingin sembarang bergerak. Hatinya mencelos, tetapi wajahnya biasa-biasa saja. Ia bahkan tersenyum dan berkata, “Kalian sudah menang. Untuk apa lagi membawa paduka?”
“Hahaha. Apalah artinya kemenangan jika kita tidak menyimpan pialanya?” tawa si nenek iblis. Matanya memendang Cio San dengan penuh nafsu. Seolah ingin menelan pendekar muda itu bulat-bulat.
Cio San mengerti arti pandangan ini, dan di dalam hati ia sungguh merasa jijik. Tetapi ia kembali tersenyum dan berkata, “Jika dipikir-pikir, bukankah justru lebih baik kau membawa aku pergi?”
“Membawamu?” tanya si nenek iblis.
“Ya. Aku tahu kau benar-benar menginginkannya. Dalam lima ratus tahun, ku jamin belum ada orang seperti aku,” tukas Cio San.
Pek Giok Kwi Bo menjilat bibir bawahnya. Ia mengakui perkataan Cio San. Dalam 500 tahun, belum ada orang yang tampan, berilmu tinggi, dengan darah murni dan tenaga sakti seperti pemuda itu. Jika si nenek memakannya, bisa dibayangkan berlipat-lipat keuntungan yang dapatkan. Tenaga sakti, darah murni, dan wajah tampan yang bisa ia pakai bersenang-senang terlebih dahulu.
Sejenak nenek itu melamun memikirkan betapa beruntungnya dirinya memiliki Cio San. Tetapi seseorang mengirimkan suara dari kejauhan memerintahkan nenek itu untuk segera bergegas. Mendadak wajah si nenek berubah penuh ketakutan dan kepatuhan.
“Kau tinggal di sini! Jika kau berani menyusulku, segara ku makan kaisar ini hidup-hidup! Pasukan jaga dia jangan sampai meninggalkan tempat ini!” kata si nenek iblis. Segera setelah meninggalkan perintah, tubuhnya melesat dengan cepat. Cio San mengukur sebentar, di dalam hati ia mengakui kecepatan nenek itu setara dengan dirinya. Amat sangat sulit mengalahkan nenek ini.
“Ya, kami tahu. Tetapi dengan bersatu, kami semua pasti mampu menahanmu. Tidak menang, tapi juga tidak kalah,” jawab salah seorang.
Cio San memperhitungkan kata-kata ini. Jika ia bergerak, mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama. Si nenek pasti akan sudah jauh sekali. Ia sendiri pun pasti akan kehilangan tenaga. Ia berusaha menimbang-nimbang dengan cepat.
Akhirnya ia memilih berlari kembali ke atas bukit. Para penjaga mengejarnya dari belakang. Sambil berlari Cio San mengirmkan suara kepada Cukat Tong. Sang raja maling mendengar permintaan sahabatnya dengan jelas. Ia mengeluarkan sebuah sempritan kecil dan meniupnya. Dalam hitungan detik, burung-burung peliharaannya yang tadi ia istirahatkan di dalam hutan berterbangan menuju bukit di mana Cio San berada.
Sang jenderal phoenix melompat ke jurang yang dalam dan terjal. Ia membalikkan tubuhnya ke belakang dan melontarkan pukulan jarak jauhnya yang sejak tadi memang sudah ia persiapkan, “Naga Bertempur di Alam Liar”. Jurus ketiga dari 18 Tapak Naga.
Pukulan itu mengeluarkan sinar keemasan yang menghujam keras ke para pengejarnya yang seakan-akan kaget Cio San mampu melontarkan serangan dari keadaan yang begitu sulit. Sinar naga itu menghantam mereka tanpa ampun, mereka terhempas jauh ke belakang. Terluka dalam cukup parah.
Tubuh Cio San melayang ke jurang terjal di bawahnya. Ia selalu percaya terhadap kemampuan sahabatnya. Jika burung-burung peliharaan Cukat Tong tidak datang tepat waktu, tentu saja tubuhnya akan hancur menghujam ke dalam jurang, meskipun setingga apapun ilmu ginkangnya.
Tetapi ia percaya Cukat Tong tidak akan mengecewakannya.
Dan tentu saja Cukat Tong tidak mengecewakan sahabatnya.
Burung burung itu menyambut deras laju Cio San dengan sangat sempurna, mendapat “pijakan” ini, Cio San lalu melenting lagi ke depan, kawanan burung mengejarnya lagi, mendapat pijakan lagi, melenting lagi, begitu seterusnya sehingga Cio San melayang dengan selamat di antara kedua sahabatnya.
Cukat Tong dan Suma Sun pun telah berhasil menarik mundur pasukan. Meskipun mereka mundur, setidaknya mereka tidak tercerai berai dan dihancurkan lawan. Ketiga orang sahabat itu segera memimpin pasukan untuk mundur ke dalam hutan.
Setelah semua masuk cukup dalam ke hutan, Cio San lalu membagi-bagi mereka dalam pasukan kecil. Kelompok kecil ini ditempatkannya untuk berjaga-jaga dan bertahan. Hanya mereka yang sehat yang berjaga-jaga, prajurit yang terluka segera mendapat perawatan seadanya.
“Apakah masih ada panglima yang tersisa?” tanya Cio San.
“Aku.” Mendengar suara itu, Cio San cukup lega, itu adalah suara Khu-goanswe (Jendral Khu). Seorang jendral kerajaan yang hamper menjadi paman mertuanya.
“Mohon goanswe mengambil alih pasukan,” kata Cio San.
Sang jendral tua yang gagah besar itu menggeleng, “Di saat seperti ini, Hongswe lah yang paling pantas memimpin kami.”
Cio San tertegun. Kembali lagi ia mendapat beban yang cukup berat. Dalam keadaan biasa, ia mungkin akan menerima. Tetapi dalam keadaan seperti, ia mengeraskan hati untuk menolak. “Cayhe harus menyelamatkan kaisar.”
“Apa? Kaisar masih hidup?” tanya Khu-goanswe.
“Ya. Paduka tertawan musuh,” jelas Cio San.
“Aihhhh…..,” sang jendral berpikir keras apa yang harus ia lakukan. “Apakah hongswe akan menyusup ke tempat musuh untuk menyelamatkan kaisar?”
“Ya. Sekarang juga cayhe berangkat,” kata Cio San.
“Baiklah. Biar aku yang menangani keadaan di sini. Urusan ini sepenuhnya berada di tangan Hongswee. Kami benar-benar berharap Hongswee dapat menyelamatkan kaisar,” pinta Khu-goanswe dengan sungguh-sungguh.
“Baik goanswe. Doakan cayhe dapat menunaikan tugas ini dengan baik. Cayhe mohon diri.” Cio San kemudian melesat pergi dari situ. Ia menemui Suma Sun dan Cukat Tong yang sedang berjaga-jaga.
“Kau pergi sekarang?” tanya Cukat Tong.
“Ya. Mau kah kau ikut denganku?”
Cukat Tong hanya tertawa. Tentu saja ia mau.
Pendekar buta itu hanya mengangguk, katanya dingin, “Pergilah.”
Cio San dan Cukat Tong berangkat. Suma Sun mengantarkan kepergian mereka sampai di ujung hutan. Setelah kedua sahabatnya itu pergi, ia tidak segera kembali. Justru ia mengambil jalan memutar.
Cio San dan Cukat Tong yang sudah cukup jauh dari sana tidak menjadi heran melihat perbuatan Suma Sun.
“Jika seekor serigala sudah muncul kembali naluri pemburunya, rasa-rasanya manusia yang bakal mampus akan menjadi cukup banyak,” kata Cukat Tong.
“Sejujurnya, aku justru lebih senang ia kembali seperti ini. Meskipun menjadi dingin dan acuh, setidaknya aku tak perlu lagi mengkhawatirkan dirinya,” tukas Cio San.
“Suma Sun yang sekarang justru sangat jauh berbeda dengan Suma Sun yang dahulu,” ujar Cukat Tong.
“Eh?”
“Ya. Suma Sun yang dahulu membunuh orang berdasarkan dendam. Suma Sun yang sekarang membunuh orang berdasarkan cinta,” tukas si Raja Maling.
Cio San mengerti betul arti kata-kata ini. Jika seseorang sudah kehilangan seluruh kehidupannya, maka ada 2 hal yang sanggup membuat orang itu bertahan hidup. Yang pertama adalah benci, yang kedua adalah cinta.
Dan cinta kadang begitu menakutkan. Ia pernah menyaksikan orang yang membunuh karena cinta. Perbuatan itu jauh lebih menyedihkan ketimbang orang yang membunuh karena benci.
Karena cinta dapat menguatkan dan melemahkan. Ia membuat orang waras menjadi gila dan orang gila menjadi waras. Di dunia ini, satu-satunya hal yang sanggup merubah sejarah hidup manusia selain kebencian, tentu saja adalah cinta.
Apakah karena itu Cio San sangat takut untuk jatuh cinta? Apakah ia takut cinta dapat merubah seluruh kehidupannya? Merubahnya menjadi seorang yang asing? Karena itukah, ia menutup hatinya sepenuhnya dari perasaan terhadap seorang perempuan?
Ternyata selain indah, cinta itu memang menakutkan.
Kau mungkin akan menuduh seseorang sebagai pengecut karena ia takut untuk jatuh cinta. Tetapi jika kau telah mengalami hal-hal mengerikan yang terjadi karena cinta, tentu kau pun akan bisa mengerti.
Hari sudah semakin gelap. Kedua orang sahabat ini menyusup di dalam kegelapan hutan.
“Melihat peperangan ini, aku menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita akhir-akhir ini, ternyata telah diatur dengan seksama oleh si ‘dia” kata Cukat Tong.
“Ya. Kau pun bisa menebaknya bukan? Begitu pintar ia mengatur bidak-bidak caturnya sehingga kita sendiri pun tidak menyadari bahwa kita merupakan bagian dari permainan ini,” ujar Cio San.
“Percobaan pembunuhan kepadamu, kepada Suma Sun, dan juga apa yang terjadi kepada diriku, apakah merupakan semua ulahnya?”
“Tentu saja. Bahkan sampai pada hal yang sekecil-kecilnya. Aku bahkan curiga, si pengatur siasat ini pun memperhitungkan kapan kita bernafas, kapan kita makan, dan kapan kita buang air,” kata Cio San sambal tertawa.
“Kau sudah tahu siapa dirinya?”
“Tentu saja. Ia adalah seorang musuh dalam selimut.”
“Siapa?”
“Kita akan segera bertemu dengannya!”
0 Response to "EPISODE 2 BAB 54 MUSUH DALAM SELIMUT"
Posting Komentar