“Saatnya kita menerobos ke dalam!” kata Cukat Tong. Ia lalu mengeluarkan sempritannya dan memanggil burung-burungnya. “Aku rasa serangan udara kini sudah aman. Ku pasrahkan serangan darat kepadamu!” sambil berkata begitu tubuhnya sudah membumbung tinggi ke langit hitam di atas sana.
“Sang Raja Maling kini menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya,” batin Suma Sun sambil geleng-geleng kepala. “Cio San telah berhasil mengeluarkan racun dari dalam tubuh Cukat Tong. Nampaknya sang Raja Maling telah berhasil pula mengeluarkan racun dari dalam hatinya sendiri,” Suma Sun tersenyum sendirian.
Memang jika kau telah berhasil mengeluarkan racun dari dalam hatimu, kau akan merasakan kemerdekaan yang tak pernah kau rasakan sebelumnya. Seolah-olah seluruh beban yang menghimpit dadamu terangkat seluruhnya. Kau menjadi dirimu seutuhnya. Bukankah itu merupakan kebahagiaan terbaik di dalam hidup manusia? Berhasil menjadi dirinya sendiri. Menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya.
Manusia memiliki “racun”-nya sendiri-sendiri. Uang dapat menjadi racun. Kekuasaan dapat menjadi racun. Jabatan dapat menjadi racun. Keinginan dapat menjadi racun. Persahabatan pun dapat menjadi racun.
Cinta pun dapat menjadi racun.
Racun paling manis yang paling berbahaya dan mampu menghancurkan hidup seseorang dari dalam. Dari dasar jiwanya.
Jika kau pernah jatuh cinta, kau tentu mengetahui betapa dalamnya racun itu menjalar di setiap ujung tubuhmu. Betapa racun itu menguasai seluruh detak jantungmu, dan tarikan nafasmu. Menguasai pikiran dan benakmu. Racun yang membuatmu kehilangan dirimu sendiri. Racun yang membuatmu kehilangan segalanya.
Tapi racun itu begitu manis sehingga kau rela menderita setiap saat. Sehingga jika kau mati karena racun itu pun, kau merasa mati dalam kebahagiaan.
Alangkah menakutkannya racun itu.
Dan alangkah bahagianya mereka yang telah mampu membersihkan racun itu di dalam hidupnya.
Cukat Tong terbang tinggi. Walaupun di hatinya terdapat sedikit kepedihan saat mendengar “dia” disebut, ia telah mampu menenangkan dirinya.
Semua manusia berhak untuk hidup tenang. Meskipun kenangan dan harapan masih tersisa, sungguh, setiap manusia berhak untuk hidup dengan tenang.
Angin dan rintik hujan menyapa tubuhnya yang melayang tinggi bergelantungan pada burung-burung peliharaannya. Jauh di bawah sana, suara meriam terdengar menggetarkan bumi. Suara manusia yang bertempur dan menghilangkan nyawa terdengar sangat mengerikan.
Tetapi Cukat Tong dapat menikmati ketenangan di dalam keriuhan ini. Segala pikiran dan kenangan melintas di dalam benaknya. Ada sedikit sakit yang tahu-tahu muncul. Tetapi ia kini merasa damai.
Ya. Damai.
Itulah perasaan yang muncul saat kau akhirnya berhasil mengeluarkan “racun” dari dalam tubuhmu.
Meskipun harapannya tidak tercapai, meskipun cinta tidak mampu diraihnya, meskipun orang yang sangat ia cintai mengkhianatinya, ia tetap mampu merasa damai.
Karena ia telah menyadari, cara terbaik untuk merasakan cinta adalah dengan menghargai dirinya sendiri.
Sungguh, kau hanya akan memahami pengertian ini jika kau sudah benar-benar mengalaminya. Sudah pernah dihancurkan oleh cinta. Sudah pernah kehilangan segala-galanya karena cinta.
Pada akhirnya, kau akan merasakan damai di dalam setiap langkah hidupmu. Tetapi untuk sampai pada kedamaian itu, kau harus merasakan luluh lantaknya hidupmu terlebih dahulu.
Kau hanya bisa mengerti tentang terang, setelah kau mengerti tentang kegelapan.
Ini adalah hukum alam.
Hujan semakin deras. Pertempuran di bawah sana semakin dahsyat. Cukat Tong mempersiapkan persenjataannya. Benang-benang yang mengendalikan burung kini ia pindahkan ke kakinya. Tubuhnya kini terbalik, kepala di bawah, kaki di atas. Dengan tenang ia mengeluarkan benda-benda dari dalam kantong besar yang selalu berada di pinggangnya. Tak ada satu pun benda yang terjatuh saat ia sedang berada dalam posisi terbalik seperti itu. Gerak-geriknya sangat tenang. Ia mencampurkan serbuk dan beberapa cairan. Walaupun angin bertiup kencang, dan hujan sudah mengguyur, pekerjaannya sama sekali tidak terganggu. Dibutuhkan ketenangan dan pengalaman puluhan ribu kali untuk dapat melakukan hal ini.
Ia mencampurkan ribuan paku-paku kecil di dalam racikannya dan membentuknya menjadi bola-bola kecil seukuran kelereng besar. Rupanya Cukat Tong sedang membuat peledak. Kemampuan hebat yang dimilikinya ini telah ia pelajari semenjak ia masih kecil. Tak heran ia amat mahir melakukannya. Dengan sangat tenang, sambil terbang, dan tubuh terbalik. Padahal pekerjaan ini sangat berbahaya karena jika keliru sedikit saja nyawanya pasti melayang.
Tak terhitung banyaknya bola-bola peledak yang dibikinnya dalam waktu sekejap saja. Begitu semuanya sudah selesai, ia lalu memasukkannya ke dalam kantong. Kemudian ia menarik kakinya untuk menggiring burung-burungnya turun. Begitu sampai pada jarak yang diinginkannya, ia diam sejenak memperhatikan suasana.
Cukat Tong lalu bersemedhi sebentar agar ia mampu mempelajari keadaan yang terjadi di bawah sana. Gemuruh suara seolah menghilang. Yang ada hanya kesunyian di dalam benaknya. Seolah-olah dunia berhenti berputar.
Lalu matanya terbuka!
Wajahnya yang tadi begitu tenang kini seolah terbakar api semangat yang membara. Jiwa petarungnya pun muncul dengan begitu kuat.
Apakah ini kekuatan Cukat Tong yang sebenarnya?
Ia melemparkan bola-bola itu satu demi satu!
Blaaaar! Blaaaaaar! Blaaaaaaar!
Ledakan besar terjadi di mana-mana. Orang mati terpanggang dengan tubuh hancur. Paku-paku tajam menghujam dengan kecepatan yang mampu menembus tembok baja.
Dengan bola-bola kecil ini, orang tidak perlu lagi belajar ilmu silat dan ilmu perang. Daya ledaknya jauh lebih hebat dari peledak manapun. Dilemparkan dengan kecepatan dan ketepatan yang amat sangat mengagumkan.
Setiap bola-bola itu menghujam, ada puluhan nyawa melayang.
Suma Sun “memandang” kejadian ini dengan bergidik. Baginya membunuh orang sudah sangat biasa, tetapi membunuh orang dengan cara seperti ini membuatnya merinding. Ia tahu Cukat Tong yang melakukannya. Ia hanya tidak menyangka betapa Raja Maling yang berpilaku tenang dan suka bercanda dapat membunuh orang sekejam ini.
Apakah ini jiwa dan kepribadian Cukat Tong sebenarnya?
Suma Sun memperlambat langkahnya. Rasa khawatirnya akan perbuatan Cukat Tong membuat ia merasa harus lebih berjaga-jaga. Tak lama lagi di masa depan, orang tak lagi perlu mempelajari ilmu silat. Mereka hanya perlu menciptakan senjata yang dahsyat.
Bagi Suma Sun, masa depan manusia sungguh terasa kelam.
Apakah kesedihan dapat merubah hati manusia menjadi sekelam ini?
Mungkin saja. Suma Sun pernah mengalaminya oleh karena itu ia dapat mengerti mengapa Cukat Tong menjadi seperti sekarang ini.
“Racun” ternyata belum sepenuhnya hilang dari dalam diri si Raja Maling.
Tak terasa air mata Suma Sun menetes. Sudah lama ia tidak pernah menangis. Ketika anaknya di dalam kandungan istrinya mati pun, ia tidak menangis. Tetapi kini ia menangis memikirkan perasaan dan keadaan sahabatnya itu.
Terkadang penderitaan orang lain terasa jauh lebih menyiksa ketimbang penderitaan diri sendiri.
Di dalam hati Suma Sun bertekad untuk menemani sahabatnya di dalam segala penderitaannya. Langkahnya kini mulai mantap. Ia sudah merasakan musuh di depannya.
“Aku tahu kau pasti datang!” kata seseorang di hadapan Suma Sun. Meskipun nadanya bersifat menantang, suaranya tenang, pembawaannya pun tenang.
“Bagus. Mari!” jawab Suma Sun.
Ia tidak tahu siapa di hadapannya. Ada urusan apa dengan orang ini. Tetapi orang ini membawa pedang dan menantangnya. Suma Sun juga tidak bertanya siapa namanya.
Baginya, pedang dan tantangan adalah jawaban. Oleh sebab itu ia tidak perlu bertanya.
“Kau tidak membawa pedang?” tanya orang itu. Tiba-tiba ia mengerti mengapa Suma Sun tidak membawa pedang. Suma Sun telah sampai pada tingkatan tertinggi ilmu pedang: Tanpa pedang!
Tiba-tiba rasa takut menjalar di seluruh tubuhnya. Hanya sekejap saja rasa takut itu menjalar, digantikan oleh kebahagiaan yang luar biasa.
“Akhirnya aku bisa mati oleh jurus pedang tertinggi! Hahahahaha, mari!”
Ia mencabut pedangnya dengan gembira seolah-seolah sedang disuruh berpesta. Kegirangan tertinggi yang mungkin bisa dirasakan manusia. Semangat ini begitu menggelora sehingga membuat gerakannya jauh lebih cepat dari biasanya. Ia sendiri heran mengapa bisa begitu.
Sreeeeeeet!
Satu tusukan tipis menyarang ulu hati Suma Sun. “Bagus!” puji Suma Sun. Si penyerang semakin riang hatinya. Dipuji seperti itu oleh Dewa Pedang, bukanlah sebuah hal yang sederhana. Meskipun hanya satu kata.
Suma Sun menghindari serangan itu dengan sebuah gerakan cepat. Serangan ringan itu bukanlah sebuah gerakan main-main. Kurang perhitungan sedikit saja, nyawanya pasti melayang.
“Anda adalah Pendekar Pedang Karat, Oey Kun Peng-tayhiap?” bahasa Suma Sun menghalus.
Si pendekar tua itu mengangguk. Anggukannya ini dipenuhi perasaan campur aduk antara senang dan malu.
“Gerakan satu tusukan itu meskipun boanpwee (saya yang lebih muda) belum pernah menyaksikannya, tentu pernah mendengarkan kehebatannya. Di muka bumi ini tentu hanya jurus ‘Menusuk Rembulan’ yang bisa bergerak dengan sehebat itu,’’ kata Suma Sun.
“Di muka bumi ini, cuma anda dan sahabat anda yang berhasil menghindarinya!” jika orang lain mengatakan bahwa jurus mereka berhasil dihindari orang, tentu akan malu. Tetapi orang tua ini mengatakannya dengan penuh kebanggaan.
Suma Sun tertawa. Katanya, “Jurus pedang apapun tentu mampu dihindari oleh Cio-tayhiap. Tayhiap tidak perlu berkecil hati.’’
“Bahkan pedang anda?” tanya Oey Kun Peng.
“Bahkan pedang saya.”
“Orang seperti Cio-tayhiap memang cuma ada satu-satunya di dunia ini. Aku beruntung pernah mengantarkannya dengan perahu,” kata Oey Kun Peng.
“Mengapa tayhiap bergabung dengan pemberontak?” tanya Suma Sun.
“Hutang budi,” jawab orang tua itu pendek.
Suma Sun tidak perlu bertanya kepada siapa orang itu berhutang. Ia tahu seluruh kejadiannya adalah sebuah aib bagi pendekar tua itu. Suma Sun sangat bisa mengerti keadaannya.
“Hutang budi yang hanya bisa dibalas dengan kematian….,’’ gumam Suma Sun.
“Benar sekali. Ku harap kau mau memberikan kehormatan ini untukku,” pinta si kakek tua.
“Sungguh boanpwee yang merasa terhormat sekali,” Suma Sun menjura dengan sangat dalam.
Mereka berbicara tentang bunuh-membunuh dengan amat dalam dan sopan santun. Seolah-olah kehormatan jiwa mereka berada pada percakapan ini.
“Jika aku mati, mau kah Suma-tayhiap menyimpan pedang ini?” tanya orang tua itu. Pedang itu pernah terpukul jatuh oleh Cio San ke dalam sungai. Ia menghabiskan berhari-hari menyelam ke dasar sungai hanya untuk menemukannya kembali. Pedang memang adalah harga diri bagi pendekar pedang. “Hanya pedang karatan yang tidak patut dipegang oleh ujang jari Suma-tayhiap yang terhormat. Tetapi sangat berarti untukku.”
“Tentu saja, Oey-tayhiap. Mari!”
“Mari!”
Tidak ada basa-basi. Tidak ada kata-kata perpisahan. Masing-masing mengerti bahwa mereka saling menghormati satu sama lain dengan cara saling membunuh. Sebuah pemahaman yang hanya bisa dimengerti oleh para pendekar pedang.
Masing-masing hanya mengeluarkan satu jurus. Satu jurus terbaik yang mereka miliki dan mereka simpan rapat-rapat. Hanya dikeluarkan di saat yang paling pantas dan paling terhormat.
Saat-saat seperti ini.
Oey Kun Pang tergeletak. Sebuah kelopak daun menembus dahinya. Tiada darah.
Namun kali ini terdengar suara. Suara orang yang baru saja diserang dengan ilmu pedang tertinggi di muka bumi. Suma Sun memang memberinya kehormatan itu. Kehormatan untuk bersuara di saat telah diserang oleh ilmunya. Karena semua lawannya pasti mati tanpa pernah bersuara. Hanya orang inilah satu-satunya yang memperoleh kehormatan itu.
“Inilah..ilmu…pedang…tanpa…pedang. Apa…namanya?”
“Semua di bawah langit tanpa pedang, gerakan terakhir”
“Bagus….aku..puas…Terimakasih!”
Ia mati sambil tersenyum. Segala aib dan hutang budi telah ia bayarkan kepada pemiliknya. Sekali lagi Suma Sun menetaskan air mata. Orang ini pantas mendapat penghormatannya. Ia berlutut dan bersujud di depan orang itu 3 kali.
Dengan satu pukulan tangannya, ia membuat lubang besar di tanah dan menguburkan Oey Kun Peng. Ia lalu membuat sebuah batu nisan dari batu besar yang berada di sekitar situ. Dengan pedang karat itu Suma Sun menuliskan kalimat :
“Hutang Sudah Dibayar Nyawa. Mati Dengan Membawa Kehormatan. Oey Kun Peng.’’
Ia bersujud 3 kali lagi, lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Dari langit kejauhan, Cukat Tong memperhatikan peristiwa ini. Hasil semedhinya telah membuka mata batinnya dengan mengetahui posisi kedua sahabatnya yang berada di sana. Ia masih melayang untuk mencari seorang lagi. Istrinya sendiri. Apakah Bwee Hua tidak datang untuk menolong mereka? Entahlah. Cukat Tong tidak berani menjawab.
Dari atas sini ia telah menyaksikan awal kehancuran pihak musuh. Sesuatu yang sangat sukar dilakukan sebelumnya. Jika sebelumnya musuh tidak lengah karena berhasil menculik kaisar, jika sebelumnya mereka tidak tertipu dengan kabar palsu yang dituliskan Cukat Tong pada burung pembawa pesan, jika Cio San tidak menyusup diam-diam dan menghancurkan pertahanan udara lawan dan menghancurkan gudang persenjataan musuh, tentu tidak mudah baginya untuk menyerang dari udara seperti ini.
Satu saja kekeliruan di dalam taktik perang, akan memberi kehancuran dan kekalahan yang maha dahsyat.
Musuh mengira dengan menawan kaisar, mereka bisa menggunakannya untuk menekan pihak kekaisaran untuk mundur dan turun dari tahta. Mereka mengira pasukan akan kocar-kacir dan mundur sejauh-jauhnya. Tetapi mereka melupakan 3 orang yang paling penting: Cio San, Cukat Tong, dan Suma Sun.
Mereka tidak memikirkan bahwa Cio San memiliki kemampuan untuk bertindak mengikuti arah angin. Segala perencanaan yang matang pasti akan buyar jika Cio San mampu membaca titik kecil kelemahannya.
Sebuah pasukan yang besar akan hancur jika Suma Sun sudah mengeluarkan seluruh kemampuannya sebagai Dewa Pedang. Apalagi setelah sembuh dari luka dalamnya, kemampuannya justru meningkat berlipat-lipat.
Mereka pun lupa bahwa Cukat Tong dapat menembus benteng seketat apapun. Dan ia memiliki begitu banyak peralatan dan tipu daya yang sangat berguna untuk melumpuhkan lawan-lawannya.
Musuh mengira dengan melukai mereka satu persatu, ketiga orang ini tidak dapat bangkit dan membalaskannya. Malahan justru ketika mereka bangkit, mereka semakin kuat dan semakin bersemangat untuk melawan!
Ada sementara orang yang selalu bangkit saat kau pukul jatuh. Semakin sering kau menjatuhkannya, semakin kuat pula dirinya dari hari kehari. Pada akhirnya ia akan jauh lebih kuat daripada dirimu!
Cio San boleh terluka jantungnya, tetapi ia sembuh dengan pikiran dan jiwa yang jauh lebih kuat. Suma Sun telah terkena pukulan berat bagi jiwa dan tubuhnya saat anaknya meninggal di dalam kandungan, dan ia menjadi lumpuh. Tetapi ia telah sembuh dan justru jauh lebih berbahaya bagi siapapun. Cukat Tong telah menderita diracun oleh istrinya sendiri, dan mengalami penderitaan cinta yang amat berat. Tetapi ia bertahan dan kuat menjalaninya.
Orang-orang ini pantas disebut para penggetar langit!
Cukat Tong melayang turun, tugasnya menyerang dari angkasa sudah selesai. Dengan ringan ia melayang dan mendarat di atap sebuah tenda yang terpisah sedikit jauh dari gelanggang pertarungan.
Tempat apa ini? Kenapa begitu mencurigakan?
0 Response to "EPISODE 2 BAB 57: RACUN"
Posting Komentar