EPISODE 2 BAB 56 HUKUM ALAM


Langkah Suma Sun begitu lembut, seolah-olah ia begitu takut merusak rerumputan pada jalan yang dilaluinya. Ratusan pendekar kini sudah mengepungnya dalam sebuah lingkaran yang besar.

Lalu dengan cepat mereka mengeluarkan sesuatu dari balik punggung mereka.
Kentongan!

Ratusan orang memukul kentongan dengan sangat riuh. Suasana di malam yang gelap itu berubah menjadi ramai. Rupanya inilah cara mereka menghadapi Suma Sun. Menggunakan keributan untuk mengacaukan perhatian Suma Sun.

Suara ratusan kentongan semakin beradu. Suara gemuruh yang memecahkan telinga! Apalagi kentongan ini dipukul dengan mengerahkan tenaga dalam. Dari kejauhan suara kentongan ini terdengar menggelegar. Cukat Tong memandang Cio San dengan penuh rasa khawatir. Kata, “Mereka telah menemukan cara untuk melawan Suma Sun.”

Cio San tersenyum menggeleng, “Suma Sun hanya bisa dikalahkan dengan cara yang sama sebanyak satu kali. Setelah itu ia akan menemukan cara untuk memecahkannya.”

Lega hati Cukat Tong mendengar hal itu. Katanya, “Jadi semakin ia kalah, semakin bertambah hebat pula kemampuannya? Aku beruntung menjadi sahabatnya. Jika aku menjadi musuhnya, aku memilih pergi menghilang dan tak menunjukkan batang hidungku sama sekali di dunia persilatan.”

“Apabila Suma Sun mencarimu, memangnya kemana kau dapat bersembunyi?” tukas Cio San sambil tertawa.

“Betul juga! Hahahaha!”

Mereka tertawa dengan riang meskipun saat ini sahabat mereka sedang dirundung bahaya yang amat besar. Itu karena mereka sangat mempercayai kemampuan sahabat mereka itu. Sebaliknya, sahabat itu pun sendiri mempercayai kemampuan mereka. Itulah mengapa ia meminta mereka pergi menjalankan tugas masing-masing.

“Kali ini, aku harus masuk ke sarang naga sendirian,” kata Cio San.

“Eh? Kok enak? Lalu kau menyuruh aku tinggal di sini menjadi sasaran empuk nyamuk hutan? Mengapa kau boleh berpesta sedangkan aku harus duduk di sini seperti orang tolol?”

“Hahaha. Tidak. Justru tugasmu di sini sangat besar. Kau harus menghentikan burung pembawa berita yang pasti akan mereka kirimkan untuk memberitahukan keadaan di sini.”

“Hm……,”

“Hentikan burung itu. Lalu ganti beritanya. Beritakan bahwa mereka telah berhasil menjalankan tugas. Kau kan bisa meniru tulisan orang dengan sangat baik,” jelas Cio San.

“Eh, bagaimana kau tahu aku bisa meniru tulisan orang?”

“Kau dengan mudah meniru wajah gadis perawan yang sedang minta kawin, apalagi hanya meniru tulisan cakar ayam kaum petarung. Haha,’ tawa Cio San.
“Haha. Setelah itu?”

“Setelah itu kembali lah menemui Suma Sun. Jika bisa, kalian berdua segera menyusul ke sarang naga.”

“Baik.”

“Baik, aku pergi!”

“Selamat jalan!”

Cio San segera menghilang dari situ. Cukat Tong segera melayang ke pucuk pepohonan dengan sekali lompatan. Ilmu meringankan tubuhnya sungguh sudah sangat sukar diukur. Ia memang mampu menyembunyikan kehebatan dirinya yang sebenarnya.

Dengan tenang ia bersemedhi dan memperhatikan keadaan sekitar dengan mata batinnya. Jika seseorang sudah mampu mengosongkan pikirannya, maka jiwanya akan bersatu dengan alam sekitar. Ia dapat mampu memperhatikan pergerakan sekecil apapun. Dapat membedakan langkah semut dari serangga lain dari kejauhan. Ia menanti kepakan sayap sebuah burung pembawa pesan itu. Kepakan kecil yang harus dibedakannya dari kepakan suara burung-burung yang lain.

Di kejauhan, berpuluh-puluh li dari situ, Suma Sun sedang berhadapan dengan ratusan pendekar yang mengepungnya dengan suara kentongan. Keringatnya mengalir deras. Langkahnya mulai tidak beraturan.

Melihat ini, para pengepungnya menjadi sangat senang. Salah satu dari mereka berteriak, “Terus maju dan terus mengepungnya. Sedikit lagi, kita sudah bisa menghabisinya!”

Mereka terus memperpendek jarak sambil terus membunyikan kentongan yang mereka pukul dengan senjata masing-masing. Suara semakin bergemuruh memekakkan telinga!

Suma Sun jatuh tersungkur. Tangannya terlihat bergetar menopang tubuhnya agar tidak terjembab menghantam tanah.

Lalu ratusan orang itu menyerang bersama-sama. Kilatan ratusan pedang, golong, tombak, dan seluruh senjata yang bisa dibayangkan manusia, bergerak secara serempak menyerang sebuah sosok seputih salju di tengah malam yang gelap.

Begitu mengerikannya pemandangan.

Awan menutup rembulan. Malam yang gelap semakin gelap.

Detik berjalan dengan sangat lambat.

Lalu Suma Sun pun bergerak.

Sebuah gerakan memutar yang sangat cepat. Tetapi bumi terasa bergerak begitu lambat. Seolah-olah seluruh dunia bergerak dengan kecepatan yang sangat lamban.

Suma Sun bergerak seolah-olah lebih cepat dari perputaran roda kehidupan. Ia bagaikan menembus ruang dan waktu!

Kemudian ratusan orang itu terjengkang seluruhnya.

Pergerakan Suma Sun memang tanpa suara.

Tetapi darah lalu moncrot ke mana-mana. Darah yang keluar dari setiap pasang biji mata orang yang menyerangnya.

Teriakan ratusan orang yang melolong kesakitan di tengah malam yang sunyi di tengah hutan. Membuat buluk kuduk siapapun merinding ketika mendengarnya. Lolongan yang lebih perih dari suara kematian.

Mata mereka buta karena debu yang dilemparkan Suma Sun ke setiap pasang mata para penyerang ini.

Setiap titik debu itu tepat masuk ke mata, menghancurkan alat penglihatan mereka itu. Setiap orang hanya mendapatkan satu titik debu untuk setiap biji mata mereka. Tidak ada debu yang menyasar ke rambut, pipi, hidung, atau mulut mereka. Setiap debu itu hanya masuk di mata mereka!

Alangkah menakutkannya orang ini!

“Kalian menyerang orang buta dengan memanfaatkan kebutaannya. Kini rasakanlah menjadi buta,” sambil berkata begitu ia berjalan dengan tenang keluar dari gelimang tubuh yang tak berdaya.

Begitu menakutkan teriakan mereka. Begitu tenang dan pelan suara Suma Sun.

Darah bermuncratan di mana-mana. Tapi tiada setetes pun yang menyentuh tubuh Suma Sun. Ia begitu murni. Begitu bercahaya.

Putih bersinar di dalam kegelapan.

Sebuah burung kecil terbang keluar dari gelimang tubuh itu. Suma Sun mengetahui. Untuk sepersekian detik muncul keinginan untuk membunuh burung itu. Tetapi ia mengurungkan niatnya. Burung itu tidak memiliki kesalahan terhadapnya. Siapa pun yang tidak memiliki kesalahan kepadanya, berhak untuk hidup. Siapapun yang bersalah kepadanya, harus mati.

Itu adalah hukum alam yang berlaku atas manusia bernama Suma Sun.

Ia terus maju berjalan dengan ringan. Langkahnya perlahan. Begitu ia meninggalkan tempat itu, barulah muncul para tentara kekaisaran yang dengan ganas datang untuk menggorok leher para penyerang yang telah buta itu.

“Tidak perlu dibunuh,” kata Suma Sun. “Jadikan tawanan saja.”

Berjalan cukup lama, Suma Sun bertemu dengan ratusan prajurit yang sudah dilumpuhkan Cukat Tong dan Cio San. Ia tahu ini merupakan hasil kerja mereka berdua. Ia membiarkan saja ratusan prajurit itu karena ia tahu pasukan kerajaan akan segera ‘membereskan’ mereka. Tak berapa lama ia berjalan lagi, ia bertemu Cukat Tong di tengah jalan.

“Kau tidak menemani Cio San?” tanyanya.

“Ia memberikanku tugas untuk menangkap burung pembawa berita, dan menukar beritanya. Sudah selesai. Mari kita berdua pergi menyusulnya.”

“Dengan berjalan? Kenapa tidak naik burung-burungmu saja?” tanya Suma Sun.

“Aku khawatir jika mereka sudah memasang pengintai dan penyerang untuk memanah kita. Oleh karena itu lewat jalan darat lebih aman. Kita bisa lebih menyusup ke dalam kegelapan. Tapi aku khawatir baju putihmu akan membuat kita ketahuan.”

Suma Sun membuka jubahnya dan menggulungnya. Lalu ia memasukkan jubah itu ke kantong kecil yang biasa dibawanya.

“Kau pakailah jubahku ini,” kata Cukat Tong sambil memberikan jubah hitam yang dipakainya.

Suma Sun memakai jubah itu dengan senang. Katanya, “Meskipun jubahmu ini bau, rasa-rasanya cukup menyenangkan juga ketimbang kedinginan. Hahaha.”

“Jangan salah. Meskipun bau, sudah banyak perempuan yang dihangatkan oleh jubah itu,” tukas Cukat Tong bangga.

“Oh, jadi sekarang jubahmu ini untuk menghangatkan laki-laki? Aku sungguh khawatir,” tawa Suma Sun sambil geleng-geleng kepala.

“Hahaha. Demi kau, apa sih yang tidak ku lakukan?” canda Cukat Tong.

Perjalanan seberbahaya apapun, jika mampu kau lakukan dengan bercanda bersama sahabatmu, memangnya ha lapa lagi yang bisa menahanmu pergi?
”Kira-kira seberapa besar kekuatan musuh di depan sana?” tanya Cukat Tong tiba-tiba.

“Sangat kuat,” sahut Suma Sun. Lanjutnya, “Aku sendiri tidak yakin kita bakalan keluar hidup-hidup dari sana.”

“Sang dewa kematian saja tidak yakin, bagaimana dengan aku si ‘maling kecil’ ini?” tawa Cukat Tong.

“Bisa mati bersama-sama kan sudah bagus. Jauh lebih baik ketimbang mati sendirian.”

“Jika kau berkata seperti ini kepada Cio San, ia pasti akan tertawa,” ujar Cukat Tong.

“Kenapa?”

“Karena kupikir, ia justru lebih suka mati sendirian. Baginya, jika bisa mati tanpa menyusahkan orang lain, maka hal itu merupakan sebuah rejeki yang amat besar.”

“Orang seperti dia memang hanya ada satu di kolong langit langit ini. Saking sukanya mati sendirian, ia jadinya suka pula hidup sendirian.”

“Menurutmu, apakah itulah penyebabnya kenapa ia tidak mau menikah?” tanya Cukat Tong.

“Jangankan menikah, memiliki kekasih saja ia tidak tertarik.”

“Mungkin karena ia terlalu sering patah hati,” tukas si raja maling.

“Perempuan yang ia patahkan hatinya kemungkinan lebih banyak dari yang pernah menyakiti hatinya. Ku pikir hal itu bukanlah alasan yang tepat?”

“Lalu apa?”

“Ia hanya belum menemukan orang yang tepat,” jawab Suma Sun.

“Kira-kira perempuan seperti apa yang paling tepat menjadi kekasihnya?”

“Satu hal yang pasti, perempuan yang tidak cerewet.”

“Memangnya ada perempuan seperti itu?”

“Setahuku tidak. Perempuan yang bisu saja pun tetaplah adalah perempuan yang cerewet,” tawa Suma Sun.

“Yang aku herankan, mengapa perempuan selalu cerewet? Tidak bisakah mereka membiarkan laki-laki hidup dengan tenang?” tanya Cukat Tong sungguh-sungguh.

“Perempuan yang cerewet adalah merupakan sebuah hukum alam. Membuat langit berhenti hujan, atau membuat matahari berhenti bersinar, sungguh jauh lebih gampang ketimbang membuat perempuan bawel menutup mulut.”

“Tetapi ku lihat istrimu sama sekali tidak bawel,” tukas Cukat Tong.

“Kau kan tidak bersamanya terus sepanjang hari. Kau tak tahu apa yang diomelinya kepadaku jika tidak ada orang lain yang melihat.”

“Hahahaha. Ternyata dewa kematian pun takut kepada istrinya. Aduh…, aduuuh. Sampai sakit perutku.”

Mereka berdua tertawa dengan lepasnya.

“Eh, kau belum sempat bercerita mengenai hasil perjalananmu ke Himalaya,” kata Suma Sun.

“Aku berhasil menyelamatkan Gan Siau Liong. Ia terluka parah saat mempelajari sebuah ilmu yang ditemukannya di dalam sebuah gua di puncak Himalaya.”

“Oh? Ilmu macam apa itu?”

“Ilmu yang tertulis di sebuah jenazah laki-laki yang sangat tampan. Entah sudah berapa lama usia jenazah itu. Mungkin karena terkubur di dalam es, mayat itu bertahan sangat lama. Usianya saat ia meninggal mungkin sekitar 40 tahunan.”

Suma Sun tiba-tiba teringat kisah masa lalunya yang pahit. Apakah jenazah itu ada hubungannya dengan kasih pahitnya saat ia masih kecil dahulu?
“Apakah di sekitar jenazah lelaki itu, ada juga jenazah seorang perempuan?” tanya Suma Sun.

“Tidak. Mengapa kau bertanya demikian?”

“Apakah ada senjata yang kau temukan di dekatnya?”

“Ya. Sebuah pedang lemas dan sebuah suling emas.”

Suma Sun terhenyak. Sedikit banyak ia mulai yakin siapa jati diri jenazah itu. Lalu ia bertanya lagi, ”Apakah ia mengenakan sebuah kalung giok berbentuk naga yang terbelah dua?”

”Benar sekali! Kau tahu siapa dia?’’

”Ya. Ia adalah pamanku. Namanya Suma Liang,’’ Suma Sun mengeluarkan sebuah kalung yang selama ini selalu tersembunyi di balik bajunya.

”Ya benar. Kalung giok ini adalah separuh bagian dari kalung naga yang ku lihat di jenazah itu!’’.

“Bagaimana keadaan jenazah itu sekarang?”

Cukat Tong lalu menceritakan hal yang sama seperti yang diceritakannya kepada Cio San.

“Sayang sekali. Suatu saat aku harus pergi ke sana untuk menguburkan jenazah paman dengan semestinya. Kemungkinan besar ia sempat hidup lama di dalam jurang itu. Karena pada saat jatuh, umurnya mungkin tidak lebih dari 30 tahunan.”

“Aku sempat memakaikan kembali pakaiannya setelah mungkin sebelumnya dibuka oleh Gan Siau Liong untuk mempelajari catatan ilmu silat yang berada di tubuhnya,” jelas Cukat Tong.

“Setahuku, di tubuh pamanku, tidak ada tulisan apapun. Ia adalah lelaki tampan yang banyak diburu wanita. Sejauh yang ku dengar, tidak ada tulisan macam-macam pada tubuhnya.”

“Apa mungkin seseorang menuliskan ilmu di jenazahnya?”

“Bisa saja, tapi terlalu aneh. Untuk apa seseorang menuliskan ilmu silat di sekujur tubuh sebuah jenazah?’’

“Yang lebih aneh lagi, di dalam jurang itu aku menemukan benda-benda aneh. Ada pakaian dan jubah yang dilihat dari modelnya mungkin sudah seribu tahunan. Ada pula boneka, dan beberapa benda pusaka lain yang berada di dalam gua di dalam jurang itu.’’

“Kemungkinan besar memang paman tidak langsung meninggal. Ia masih bertahan hidup dan menemukan sebuah goa rahasia di dalam jurang itu.”

Mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mencoba memikirkan segala kemungkinan yang terjadi terhadap keanehan ini. Tak terasa perjalanan mereka sudah semakin dekat dengan markas musuh.

Gerak-gerik Suma Sun menjadi lebih tenang. “Ada beberapa mayat di depan sana. Kemungkinan adalah pekerjaan Cio San. Ia sudah membukakan jalan untuk kita. Kira-kira, taktik macam apa yang harus kita pergunakan?”

“Paling baik adalah kita tetap menyusup. Baru bergerak ketika kesempatan yang baik muncul karena jumlah kita kalah banyak. Aku masih mengharapkan bantuan Bwee Hua. Tetapi tidak tahu apa yang bakalan ia lakukan.”

Baru saja ia berkata begitu, terdengar ledakan-ledakan yang berasal dari markas musuh. Api membumbung tinggi. Cukat Tong segera melayang ke pucung pepohonan yang paling tinggi.

“Wah, meriam-meriam mereka ditembakkan ke markas mereka sendiri!” kata Cukat Tong.

“Menurutmu itu perbuatan siapa? Cio San atau Bwee Hua?” tanya Suma Sun.
“Tentu saja Cio San. Jika Bwee Hua melakukan sesuatu, pasti lebih halus namun lebih ganas,” tawa Cukat Tong.

“Sepertinya orang yang paling berbahaya di muka bumi ini adalah istrimu.”

“Tentu saja,” ia tertawa namun matanya menampakkan kesedihan.

“Boleh dibilang, orang yang paling sakti di dunia ini adalah kau,” kata Suma Sun.

“Kenapa bisa begitu?”

“Karena kau dapat hidup bersama manusia yang paling berbahaya di muka bumi.”

Ia tidak sedang bercanda. Ia mengatakannya dengan sungguh-sungguh.





Daftar Isi

Related Posts:

0 Response to "EPISODE 2 BAB 56 HUKUM ALAM"

Posting Komentar