Cerita dibuka dengan pembunuhan 18 tokoh dunia persilatan secara misterius. Saksi peristiwa itu adalah In Ang Bi, anak salah satu dari 18 tokoh itu, yaitu : In Giok San. Gadis ini akhirnya mengalami amnesia dan diselamatkan oleh Kiam Ho Lok Cing Hui. Kiam Ho mengutus murid sulungnya Gak in Lam, untuk mencari obat Jian Lian Hok Leng di daerah barat untuk dapat menyembuhkan nona ini. Dalam pengembaraannya Gak In Lam berhasil menemukan kota emas dengan 180 patung mas yang mengandung ilmu sakti purba.
Sayang usaha Gak in Lam, mengalami rintangan dari suku Santo yang barbar dan berakibat cacatnya dia, untung dia ditolong seorang gadis suku Pek Ih (Kalana) yang akhirnya menjadi istrinya. Saat itu dia sempat membuat peta kota mas yang dikirim dengan merpati pos ke gurunya. Sayang merpati ini tidak sampai sasaran, malah ketangkap anak murid Tok Pi Sin Kun. Akhirnya rahasia kota mas itupun bocor di dunia Kang Ouw.
Cerita selanjutnya berkutat mengenai perebutan peta dan Gak In Lam suami istri oleh beberapa tokoh dunia persilatan dan usaha Su Kiam Eng, murid kedua Kiam Ho dalam mencari jejak Su-heng. Dalam petualangannya Su Kiam Eng berkenalan dengan Ih Keh Ki, cucu murid Kiam Ong Ciong Li Cin. Berdua mereka juga mengembara ke barat ke hutan rimba untuk menemukan kota mas. Disana akhirnya Ih Keh Ki diculik, dan Su Kiam Eng berkenalan dengan Kalina, adik Kalana.
Melalui perjuangan yang berat, akhirnya Su Kiam Eng mendapatkan Jian Lian Hok Leng, tetapi kota mas berhasil didapatkan oleh seorang yang berjuluk Raja Rimba. Sementara itu di dunia Kang Ouw pun terjadi pergolakan dengan munculnya organisasi rahasia Thian Liong Pang yang ingin menguasai dunia persilatan. Kemudian dengan Jian Lian Hok Leng, amnesia In Ang Bi berhasil disembuhkan. Dari situ terbongkar bahwa pembunuh 18 tokoh, Raja Rimba dan Thian Liong Pangcu adalah Kiam Ong, Ciong Li Cin. Bagaimana kisah rincinya? Bagaimana juga perkembangan hubungan Su Kiam Eng dengan Ih Keh Ki, Kalina dan In Ang Bi? Cerita menarik ini disadur oleh Gan K.L
Home » Archive for Juli 2010
Golok Yanci Pedang Pelangi
Setiap orang tentu pernah bermimpi.
Mimpi memang sesuatu yang aneh. Banyak peristiwa yang tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata seringkali dapat dialami dalam mimpi. Angan-angan yang sukar terwujud dalam kehidupan nyata dapat dialami dalam mimpi...
Ho Leng Hong adalah seorang pemuda yang terbiasa hidup santai. Sehari hari hidupnya dihabiskan di rumah rumah judi dan pelacuran. Suatu hari pada saat dia mengunjungi Siau Cui, dia jatuh tertidur dan bermimpi menjadi Nyo Cu Wi, pemilik Thian Po Hu.
Mimpi memang sesuatu yang aneh. Banyak peristiwa yang tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata seringkali dapat dialami dalam mimpi. Angan-angan yang sukar terwujud dalam kehidupan nyata dapat dialami dalam mimpi...
Ho Leng Hong adalah seorang pemuda yang terbiasa hidup santai. Sehari hari hidupnya dihabiskan di rumah rumah judi dan pelacuran. Suatu hari pada saat dia mengunjungi Siau Cui, dia jatuh tertidur dan bermimpi menjadi Nyo Cu Wi, pemilik Thian Po Hu.
Ternyata dia bukan bermimpi tapi terlibat dalam serangkaian intrik dunia persilatan di gedung Thian Po Hu. Disana dia berkenalan dengan “istri”nya Pang Wan Kun yang ingin menguasai Yanci Poto. Belakangan baru diketahui bahwa Pang Wan Kun ini adalah orang Ci Moay Hwe yang menyaru sebagai Pang Wan Kun. Sedang Pang Wan Kun asli sendiri tertawan di lembah Mi Kok.
Melalui keuletan dan bakatnya yang luar biasa, akhirnya Ho Leng Hong dapat membongkar semua intrik Ci Moay Hwe dan mendapatkan ilmu silat tinggi, bahkan menjadi Kok Cu di Lembah Mi Kok. Bukan itu saja dia juga mem-peristri dua orang cewek yang cantik dan pintar, yaitu : Tong Siau Sian dan Kim Hong Giok
Related Posts:
Pendekar kidal
Lenyapnya Tong‑Thian-jong, tertua keluarga Tong di Sujwan yang terkenal dengan ilmu senjata rahasia dan racunnya serta Un It‑hong, tertua keluarga Un di Ling lam yang terkenal dengan obat bius dan wewangian yang memabukkan, yang terkait dengan “CING CU LING” (firman mutiara) menggemparkan dunia “Kang-ouw“.
Ling Kun-gi berkelana berbekal tiga jurus ilmu pedang Hwi-liong-kiam-hoat warisan keluarganya yang tidak lengkap dan ajaran gurunya Hoan jiu ji lay (Budha Kidal) seorang hwesio “pemberontak” dari Siau-lim-si untuk mencari ibunya yang turut lenyap.
Dalam pengembaraannya ia banyak terlibat dengan pelbagai urusan yang menegangkan dan berkenalan beberapa orang gadis cantik seperti putri dari keluarga Tong, Un, pangcu Pek-hoa-pang.
Ia berhasil mengetahui juga dibalik peristiwa mutiara cin-cu-ling yang terkait sebuah perkumpulan pembela negara dimasa lampau yang dikejar-kejar pemerintah pada saat ini dan terbunuhnya ayahnya.
Akhirnya ia berhasil menguasai secara lengkap Hwi liong-kiam-hoat dan membasmi penghianat yang menyebabkan terbunuhnya ayahnya dan memperistri 4 orang gadis cantik yang dikenalnya selama pengembaraannya
(Sumber: http://silat.cersilangka.info)
Ling Kun-gi berkelana berbekal tiga jurus ilmu pedang Hwi-liong-kiam-hoat warisan keluarganya yang tidak lengkap dan ajaran gurunya Hoan jiu ji lay (Budha Kidal) seorang hwesio “pemberontak” dari Siau-lim-si untuk mencari ibunya yang turut lenyap.
Dalam pengembaraannya ia banyak terlibat dengan pelbagai urusan yang menegangkan dan berkenalan beberapa orang gadis cantik seperti putri dari keluarga Tong, Un, pangcu Pek-hoa-pang.
Ia berhasil mengetahui juga dibalik peristiwa mutiara cin-cu-ling yang terkait sebuah perkumpulan pembela negara dimasa lampau yang dikejar-kejar pemerintah pada saat ini dan terbunuhnya ayahnya.
Akhirnya ia berhasil menguasai secara lengkap Hwi liong-kiam-hoat dan membasmi penghianat yang menyebabkan terbunuhnya ayahnya dan memperistri 4 orang gadis cantik yang dikenalnya selama pengembaraannya
(Sumber: http://silat.cersilangka.info)
Related Posts:
Bocah sakti
Pada suatu malam yang gelap rumah Liok Sinshe, guru Lo In diserbu sekelompok golongan hitam Siauw San Ngo Ok dibawah pimpinan Kim Popo. Gurunya terdesak dan masuk jurang. Bahkan iapun nyaris terbunuh. Ketika ia berhasil menyembuhkan luka seekor anak monyet. Iapun bersahabat dengan mereka sebagai ungkapan terimakasih ia medapatkan buah aneh yang mampu meningkatkan lwekangnya seperti seorang yang sudah berlatih puluhan tahun.
Persahabatan dan penemuan yang tak sengaja menjadikan Lo In menjadi seorang anak yang sakti. Namun mukanya menjadi hitam akibat obat yang dilaburkan salah seorang musuhnya. Penemuan kitab sakti dari Shaolin menjadikan ilmunya bertambah tinggi, hingga ia dijuluki Hek Bin Sin tong (Anak Sakti bermuka hitam) (sumber : http://ebook-gratis-kirara.blogspot.com)
Persahabatan dan penemuan yang tak sengaja menjadikan Lo In menjadi seorang anak yang sakti. Namun mukanya menjadi hitam akibat obat yang dilaburkan salah seorang musuhnya. Penemuan kitab sakti dari Shaolin menjadikan ilmunya bertambah tinggi, hingga ia dijuluki Hek Bin Sin tong (Anak Sakti bermuka hitam) (sumber : http://ebook-gratis-kirara.blogspot.com)
Related Posts:
Cetak ebook
Untuk membantu teman-teman yang ingin membaca ulang cersil lama yang sekarang sudah berupa ebook,tetapi capek baca e-book di depan monitor ? Dan tidak mau repot kalau harus menghidupkan komputer dan mau hemat listrik?
Maka saya menawarkan untuk mencetak ebook tersebut menjadi buku dengan asumsi sebagai berikut :
1. Harga per hal File PDF ukuran A5 rp 100,-
2. Harga soft cover dengan ketebalan sekitar 300-400 hal @ Rp 20.000,-
3. Harga di luar ongkos kirim via Wahana (lokasi saya di Surabaya)
Disebelah ini adalah salah satu contoh ebook lama yang saya cetak (Raja Silat saduran Tjan ID).
Dibawah ini adalah beberapa sumber ebook gratis :
1. kangzusi --> http://kangzusi.com/Silat_Mandarin_Full.htm
2. Clifman --> http://clifman.wordpress.com/e-book-gratis/
3. Areubud --> http://arebuuud-cersil.blogspot.com/
4. Indozone --> http://indozone.net/literatures/
5. Dimhad --> http://dimhad.co.cc/
6. Kirara --> http://99cersil.blogspot.com/
7. Otoy --> http://otoy-ebookgratis.blogspot.com/2010/04/cersil-jadul.html
8. Cerita silat --> http://ceritasilat.com/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=18&Itemid=37
9. Lontar emas --> http://lontaremas.blogspot.com/2009/07/cerita-silat-jawa.html
10. Memoware --> http://www.memoware.com/?screen=search_results&DirectSearch=Y&p=contributor_id^!22213~!
atau bila anda menemukan link lainnya, bisa kirim ke saya dan saya bantu downloadnya
Cara order :
1.Silahkan kirimkan file dokumen / ebook yang akan di cetak ke email henkykw@gmail.com, atau kirim email yang berisi alamat link file e-book yg bisa didownload sertakan list judul buku-pengarang yg ingin dicetak. (Atau cukup tuliskan Judul, Pengarang, dan Jumlah halaman saja, untuk ebook yang tersedia gratis di internet, untuk menghemat bandwidth).
2. Dalam email, mohon dicantumkan juga judul buku dan jumlah halaman, jenis kertas, jenis cover yg diinginkan serta alamat jelas pengiriman beserta nomer HP yg bisa dihubungi.
3. Tunggu konfirmasi email dari kami mengenai total biaya serta waktu penyelesaian
4. Jika Anda sudah mentransfer biaya-nya, silakan melakukan konfirmasi pembayaran via email Henkykw@gmail.com. Order Anda akan diproses setelah pembayaran diterima.
5.Barang dikirim dengan kurir (Wahana). Ongkos wahana bisa dilihat di http://www.wahana.com/rate.html (ongkir min 2 kg)
Pencetakan hitam-putih menggunakan mesin printing digital dengan sistem laser berbasiskan toner sehingga hasilnya tidak akan luntur oleh air.
Related Posts:
Putri Harum dan Kaisar
Jumlah Jilid: 3
Terbit: 2009
Penulis : Wen Hua
Sinopsis:
sebat luar biasa, putri begal tunggal Lou Gwan-thong yang termasyhur itu menyumpalkan sumbu ke telinga kudanya sendiri, begitu menyabet dengan tali les, dia barengi dengan menggunakan gerakan Cian-liong-seng-thian (naga mencelat ke atas udara), ia buang tubuhnya ke atas pelana kuda putih. Karena terkejut, kuda putih itu membinal dan meringkik keras. Sekali kaki menjejak, bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, mencongkaklah kuda luar biasa itu dengan pesatnya.
Cara putri Lou Gwan-thong mencuri kuda itu luar biasa sebatnya dan gapah. Karena terkesima, si pemilik kuda hanya terlongong-longong mengawasi saja, baru setelah sadar apa yang terjadi, dia buru-buru mengejar. Tapi sungguh sial, kuda Lou Ping yang ditinggalkan itu karena telinganya terbakar api sumbu, segera berjingkrak-jingkrak tak karuan, menyepak kesana menggigit kemari, sehingga untuk beberapa saat tertahanlah si pemilik kuda putih itu tak dapat mengejarnya.
Terbit: 2009
Penulis : Wen Hua
Sinopsis:
sebat luar biasa, putri begal tunggal Lou Gwan-thong yang termasyhur itu menyumpalkan sumbu ke telinga kudanya sendiri, begitu menyabet dengan tali les, dia barengi dengan menggunakan gerakan Cian-liong-seng-thian (naga mencelat ke atas udara), ia buang tubuhnya ke atas pelana kuda putih. Karena terkejut, kuda putih itu membinal dan meringkik keras. Sekali kaki menjejak, bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, mencongkaklah kuda luar biasa itu dengan pesatnya.
Cara putri Lou Gwan-thong mencuri kuda itu luar biasa sebatnya dan gapah. Karena terkesima, si pemilik kuda hanya terlongong-longong mengawasi saja, baru setelah sadar apa yang terjadi, dia buru-buru mengejar. Tapi sungguh sial, kuda Lou Ping yang ditinggalkan itu karena telinganya terbakar api sumbu, segera berjingkrak-jingkrak tak karuan, menyepak kesana menggigit kemari, sehingga untuk beberapa saat tertahanlah si pemilik kuda putih itu tak dapat mengejarnya.
Related Posts:
Gara Gara Warisan
Kuda yang di sebelah depan itu, yang tinggi, berbulu putih dan tinggi besar badannya. Penunggangnya adalah seorang nyonya muda didalam tangan siapa ada terangkul seorang nona umur tujuh atau delapan tahun. Kuda yang di belakang, yang berbulu merah marong, penunggangnya adalah seorang pria yang tubuhnya jangkung kurus.
Hanya di punggung kiri dia ini ada menancap sebatang anak panah, terus mengeluarkan darah, hingga darahnya itu mengalir ke kudanya, terus menetes jatuh ke pasir, terus meresap kedalam tanah...
Hanya di punggung kiri dia ini ada menancap sebatang anak panah, terus mengeluarkan darah, hingga darahnya itu mengalir ke kudanya, terus menetes jatuh ke pasir, terus meresap kedalam tanah...
Related Posts:
Kanglam Hiap Su & Kuda Putih
Masalah mulai timbul, pada saat ia punja anak perempuan - Siauw Kim - dilamar oleh tuan kedua dari Lima Harimau Keluarga Lou (Lou-kee Ngo Houw), jang adalah satu okpa tjabang atas. Dan ini jang menjebabkan Hek Houw pusing kepala. Tidak sadja bedanya umur, djuga kedudukannja, sifatnja Theng-in-houw, jang bikin Hek Houw sangat keberatan. Ia djusteru ingin dapati mantu orang berpangkat.
Kuda yang di sebelah depan itu, yang tinggi, berbulu putih dan tinggi besar badannya. Penunggangnya adalah seorang nyonya muda didalam tangan siapa ada terangkul seorang nona umur tujuh atau delapan tahun. Kuda yang di belakang, yang berbulu merah marong, penunggangnya adalah seorang pria yang tubuhnya jangkung kurus.
Hanya di punggung kiri dia ini ada menancap sebatang anak panah, terus mengeluarkan darah, hingga darahnya itu mengalir ke kudanya, terus menetes jatuh ke pasir, terus meresap kedalam tanah...
Kuda yang di sebelah depan itu, yang tinggi, berbulu putih dan tinggi besar badannya. Penunggangnya adalah seorang nyonya muda didalam tangan siapa ada terangkul seorang nona umur tujuh atau delapan tahun. Kuda yang di belakang, yang berbulu merah marong, penunggangnya adalah seorang pria yang tubuhnya jangkung kurus.
Hanya di punggung kiri dia ini ada menancap sebatang anak panah, terus mengeluarkan darah, hingga darahnya itu mengalir ke kudanya, terus menetes jatuh ke pasir, terus meresap kedalam tanah...
Related Posts:
Genta Pelindung Bunga
...Wi Ki terbelalak heran.
Didengarnya Giok-he berkata pula, "Semalam kami sibuk mencari jejak Suhu di atas gunung, kami juga mengkhawatirkan keselamatan Gosute..."
"O, jadi dia berada bersama kalian?" tanya Wi Ki dengan kening bekernyit.
Giok-he mengiakan dengan menghela napas perlahan...
Tapi Giok-he lantas berkata, "Usia Gosute masih muda, pula..." Ia menghela napas seperti merasa dapat memaklumi apa yang dilakukan sang Sute...
Giok-he tersenyum senang, setelah Wi Ki pergi jauh, perlahan dia mendekati kereta, sapanya, siapakah nama adik yang terhormat ini? Ada keperluan apa kiranya engkau mencari Gote kami?"...
***
Buku ini merupakan cersil terjemahan Hu Hua Ling, disadur oleh Gan K.L.
Box 2 buku (jilid 1 & 2)
Didengarnya Giok-he berkata pula, "Semalam kami sibuk mencari jejak Suhu di atas gunung, kami juga mengkhawatirkan keselamatan Gosute..."
"O, jadi dia berada bersama kalian?" tanya Wi Ki dengan kening bekernyit.
Giok-he mengiakan dengan menghela napas perlahan...
Tapi Giok-he lantas berkata, "Usia Gosute masih muda, pula..." Ia menghela napas seperti merasa dapat memaklumi apa yang dilakukan sang Sute...
Giok-he tersenyum senang, setelah Wi Ki pergi jauh, perlahan dia mendekati kereta, sapanya, siapakah nama adik yang terhormat ini? Ada keperluan apa kiranya engkau mencari Gote kami?"...
***
Buku ini merupakan cersil terjemahan Hu Hua Ling, disadur oleh Gan K.L.
Box 2 buku (jilid 1 & 2)
Related Posts:
Tiga Maha Besar
(lanjutan Bara Maharani)
Kupegang tanganmu.
Kita akan bersatu satu sama lain.
Cinta Kita melampaui hidup dan mati
Kita akan tumbuh tua bersama-sama
Dunia persilatan digemparkan dengan kemunculan satu kekuatan baru yang misterius, siapa gerangan mereka dan apa tujuannya?
Bagaimana nasib tiga kekuatan besar penguasa dunia persilatan selanjutnya?
Harta Karun dan kitab pusaka,
Dua hal yang diidam-idamkan setiap umat persilatan.
Sekaligus sumber bencana bagi umat persilatan.
Mampukah Hoa Thian-hong menghentikan pertikaian antar jago persilatan itu?
***
Diceritakan bagaimana ketiga besar perkumpulan melangsungkan pertarungan untuk
memperebutkan pengaruh yang hasilnya adalah .....
Terjadi perebutan pedang emas yang dapat digunakan untuk memotong pedang baja
milik Hoa Thian-hong yang berisi Kiam-keng, yang akhirnya Kiam-keng itu terjatuh
ke tangan ...
Kupegang tanganmu.
Kita akan bersatu satu sama lain.
Cinta Kita melampaui hidup dan mati
Kita akan tumbuh tua bersama-sama
Dunia persilatan digemparkan dengan kemunculan satu kekuatan baru yang misterius, siapa gerangan mereka dan apa tujuannya?
Bagaimana nasib tiga kekuatan besar penguasa dunia persilatan selanjutnya?
Harta Karun dan kitab pusaka,
Dua hal yang diidam-idamkan setiap umat persilatan.
Sekaligus sumber bencana bagi umat persilatan.
Mampukah Hoa Thian-hong menghentikan pertikaian antar jago persilatan itu?
***
Diceritakan bagaimana ketiga besar perkumpulan melangsungkan pertarungan untuk
memperebutkan pengaruh yang hasilnya adalah .....
Terjadi perebutan pedang emas yang dapat digunakan untuk memotong pedang baja
milik Hoa Thian-hong yang berisi Kiam-keng, yang akhirnya Kiam-keng itu terjatuh
ke tangan ...
Related Posts:
Riwayat jago Silat
Guru Ong Cu Pin, Ciu Liang, adalah orang kelahiran Po-teng-hu. Ilmu silatnya bisa dibilang sempurna, ia bisa menggunakan delapan belas macam senjata, dan juga pandai menggunakan senjata Liong-thauw-kan, Li-kong-kway dan sebagainya. Saat berumur enam belas tahun ia sudah menjadi begal tunggal di wilayah propinsi Shoatang, Holam dari Tit-le. Karena kepandaian silatnya begitu lihai, orang-orang yang bekerja sebagai po-pio, yaitu orang yang bekerja melindungi barang bawaan pelancong atau saudagar dari serangan begal dan penyamun di tengah perjalanan, yang lewat di tempat tersebut semuanya merasa jeri dan tidak ada seorang pun yang tidak minta belajar kenal padanya.
Related Posts:
Misteri Pulau Neraka
Cerita dibuka dengan pembunuhan2 tokoh top dunia persilatan dan
hilangnya Bu Lim Bengcu. Nah, Oh Put Kui (OPK) ini juga keluarganya berantakan, ibunya
terbunuh dan ayahnya hilang entah kemana (ada hubungannya 7 tokoh penghuni Pulau
Neraka), kemudian dia diasuh dan diangkat murid oleh pamannya, yang jago
mumpuni.
Dalam dunia persilatan terbentuk perkumpulan pembela kebenaran, ya penjahatnya
di Wanted dan dihargai. OPK berhasil membunuh salah satu gembong penjahat, dan
kebetulan ketemu Pengemis yang sedang meminta hadiah atas terbunuhnya murid
gembong penjahat tsb, dan kemudian pengemis tsb menjadi pengikutnya, disini
banyak dibangun kelucuan kelucuan.
OPK pergi ke pulau neraka, disana ketemu 7 tokoh yang sedang menjalani semacam
hukuman/perjanjian dan ada sebagian tabir terpecahkan, dan 7 tokoh tsb masing2
menurunkan ilmu tertopnya kepada OPK. Sebagian tabir yang terpecahkannya nantiu
baca bukunya sendiri, kalau cayhe jelaskan jadi tidak seru lagi.
OPK berhasil membuka tabir tokoh dibalik pembunuhan besar tsb, dimana salah satu
cewenya anak tokoh tsb. Apa hubungangannya antara Bu Lim Bengcu dengan Tokoh
dibalik pembunuhan tsb.
Akhir cerita tentu happy end. Dan untuk cerita sejenis ini kalau diuwarkan dulu
tidak seru lagi bacanya (sebenarnya cerita begianian gampang ditebak, apalagi
bagi mereka yang suka baca cerita2 detektif, dari awal cayhe sudah bisa
menebaknya), lain dengan cerita HKKL yang ini jagoannya dan ini musuhnya,
tinggal bagaimana cara mengalahkan musuhnya tsb
hilangnya Bu Lim Bengcu. Nah, Oh Put Kui (OPK) ini juga keluarganya berantakan, ibunya
terbunuh dan ayahnya hilang entah kemana (ada hubungannya 7 tokoh penghuni Pulau
Neraka), kemudian dia diasuh dan diangkat murid oleh pamannya, yang jago
mumpuni.
Dalam dunia persilatan terbentuk perkumpulan pembela kebenaran, ya penjahatnya
di Wanted dan dihargai. OPK berhasil membunuh salah satu gembong penjahat, dan
kebetulan ketemu Pengemis yang sedang meminta hadiah atas terbunuhnya murid
gembong penjahat tsb, dan kemudian pengemis tsb menjadi pengikutnya, disini
banyak dibangun kelucuan kelucuan.
OPK pergi ke pulau neraka, disana ketemu 7 tokoh yang sedang menjalani semacam
hukuman/perjanjian dan ada sebagian tabir terpecahkan, dan 7 tokoh tsb masing2
menurunkan ilmu tertopnya kepada OPK. Sebagian tabir yang terpecahkannya nantiu
baca bukunya sendiri, kalau cayhe jelaskan jadi tidak seru lagi.
OPK berhasil membuka tabir tokoh dibalik pembunuhan besar tsb, dimana salah satu
cewenya anak tokoh tsb. Apa hubungangannya antara Bu Lim Bengcu dengan Tokoh
dibalik pembunuhan tsb.
Akhir cerita tentu happy end. Dan untuk cerita sejenis ini kalau diuwarkan dulu
tidak seru lagi bacanya (sebenarnya cerita begianian gampang ditebak, apalagi
bagi mereka yang suka baca cerita2 detektif, dari awal cayhe sudah bisa
menebaknya), lain dengan cerita HKKL yang ini jagoannya dan ini musuhnya,
tinggal bagaimana cara mengalahkan musuhnya tsb
Related Posts:
The Dragons of Tang Dinasty
Pada akhir zaman Dinasti Sui, Pemerintahan dipegang oleh kaisar Yang Kuang,
Seorang kaisar lalim yang sibuk membangun istana, menimbun kekayaan dan haus kekuasaan. Pemerintahan yang sama sekali tidak memperhatikan rakyat melahirkan perlawanan dan pemberontakan dimana-mana.
Di tengah kekacauan perang itu, muncul 2 orang pemuda berandal miskin yang hidup dari mencuri dan menipu. Tanpa disadari, hasil pencurian keduanya suatu hari mengubah nasib mereka selamanya. Didukung dengan bakat alami, kepintaran dan akal bulus serta keberuntungan demi keberuntungan menuntun keduanya menggoncang dunia persilatan sekaligus mengukir sejarah.
Novel silat karya Wong Yi merupakan "BEST SELLER" yang akan membawamu ikut masuk ke dalam dunia Khou Zhong dan Xu Zeling, merasakan suka duka mereka yang sarat dengan cinta, pertemuan serta perpisahan yang menggugah hati..
Related Posts:
7 Pedang 3 Ruyung
Siu Tok ayah Siu Su adalah seorang pendekar hebat di jamannya. Karena tingkah laku dan tindakannya yang dianggap semaunya sendiri, maka Jit-Kiam-Sam-Pian (Tujuh pedang 3 ruyung) secara licik dan keroyokan berhasil membunuh Siu Tok yang sudah setengah lumpuh. Dengan menggunakan tipuan JEBAKAN WANITA CANTIK, Mao Kau mengumpankan adiknya yang cantik untuk mendekati Siu Tok, bahkan adiknya ini berhasil menotok nadi Siu Tok pada saat berlatih, hingga mengakibatkan ia lumpuh.
Berkat keberhasilannya ini selama belasan tahun Mao Kau berhasil menguasai rimba persilatan.
Siu Su berada dalam dilema, haruskan ia membunuh musuh yang sekaligus kakak ibunya, ataukah ia harus mengampuninya ? Ternyata ia pun menghadapi peristiwa yang mengguncangkan hati, salah satu anggota Jit-Kiam-Sam-Pian sebelum bunuh diri menyatakan bahwa pembunuh ayahnya yang sesungguhnya adalah ibunya sendiri !
Buku yang tersedia dalam bentuk ebook
Berkat keberhasilannya ini selama belasan tahun Mao Kau berhasil menguasai rimba persilatan.
Siu Su berada dalam dilema, haruskan ia membunuh musuh yang sekaligus kakak ibunya, ataukah ia harus mengampuninya ? Ternyata ia pun menghadapi peristiwa yang mengguncangkan hati, salah satu anggota Jit-Kiam-Sam-Pian sebelum bunuh diri menyatakan bahwa pembunuh ayahnya yang sesungguhnya adalah ibunya sendiri !
Buku yang tersedia dalam bentuk ebook
Related Posts:
Kim Coa Kiam
Pedang Ular Emas mengisahkan tentang usaha Sin Ci untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Ayahnya adalah panglima setia namun difitnah oleh para kasim istana sehingga dijatuhi hukuman mati. Ia berhasil dididik menjadi orang sakti oeh si Lutung Tangan Delapan, namun kelihaiannya berkembang pesat ketika menemukan pedang Ular Emas dan Kitab peninggalan pendekar ular emas.
Ditengah usaha membalas dendam ia juga terjebak dalam dilema cinta segitiga. Mampukah Sin Cie membunuh kaisar dan sang kasim yang telah membinasakan ayahnya ?
Buku yang tersedia dalam bentuk ebook
Ditengah usaha membalas dendam ia juga terjebak dalam dilema cinta segitiga. Mampukah Sin Cie membunuh kaisar dan sang kasim yang telah membinasakan ayahnya ?
Buku yang tersedia dalam bentuk ebook
Related Posts:
Raja Silat
Cersil mandarin ini diawali ketika mengalami kekalahan dari Thian Sian Piauw Cu, Liem Han si Pancingan Sakti membawa Liem Tou anaknya meninggalkan dunia kangouw dan memutuskan menetap sebagai guru sastra di perkampungan Ie Hee Cung diatas puncak Ha Mo Leng. Liem Han bahkan melarang Liem Tou untuk belajar silat. Tak dinyana ia mati diracun oleh sang Cung Cu (Kepala Kampung) yang baru bahkan dengan alasan yang tak jelas sang Cung Cu juga mengusir Liem Tou dari kampungnya, namun disaat terakhir sebelum meninggal Liem Han masih sempat memberikan sejilid kitab sakti perguruannya kepada Liem Tou.
Dalam perjalanannya Liem Tou difitnah mencuri kerbau dan dimasukkan penjara. Siapa sangka masuknya Liem Tou ke penjara ini membawa berkah terselubung, ia berkenalan dengan seorang kakek tua yang menyembunyikan sebuah kitab persilatan sakti (To Kong Pit Kip). Sebelum mati si kakek tua sempat memberikan kunci untuk menemukan kitab sakti tersebut.
Dapatkah Liem Tou menemukan kitab yang menjadi incaran para jago persilatan tersebut ? dan bagaimana pula nasib percintaannya dengan empat orang gadis cantik sekaligus ?
Pengin tahu ? Buku yang tersedia dalam bentuk ebook
Related Posts:
Terbang Harum Pedang Hujan
BAB 1
Golok bergigi
Di sebuah gubuk. Suara ayam jantan yang berkokok baru terdengar...
Di pagi hari di musim dingin, seorang pemuda berperawakan tinggi besar, tampan serta gagah membuka pintu penginapan satu-satunya yang ada di desa terpencil itu. Dia mengeluarkan seekor kuda ternama berwarna merah kecoklatan, yang dianggapnya sebagai barang yang lebih penting dibandingkan nyawanya. Dia menghirup udara, dan hawa dingin dengan cepat masuk ke dalam paru-parunya yang hangat.
Sudut mulutnya tampak terangkat hingga membentuk senyum, senyum angkuh dan penuh ejekan. Setelah dia naik ke atas kuda, segera kuda itu melaju dan meninggalkan jejak kakinya yang berurutan. Di pelana kuda tergantung dua benda berat, benda itu terbungkus dengan rapi. Tapi pada saat kuda mulai berlari, kedua benda itu beradu sehingga menimbulkan suara, ternyata kedua benda itu terbuat dari besi, karena kuda berlari maka kedua benda itu pun bersenggolan dan mengeluarkan bunyi.
Dia tidak berusaha menarik perhatian siapa pun, karena sekarang dia tidak berniat di pagi hari yang begitu dingin, menyapa orang-orang, kalau ada yang mengetahui siapa dia sebenarnya, mungkin keadaan akan berbeda.
Selama beberapa tahun ini dia adalah orang terkenal di dunia persilatan. Dia adalah Tie-ji-wen-hou (Golok bergigi), Lu Nan-ren. Dalam waktu singkat dia telah menjadi sangat terkenal, semua itu bukan tanpa alasan. Pertama, karena dia mempunyai seekor kuda yang jarang ada di dunia ini, selain kudanya dia juga mempunyai keahlian yang tinggi. Baik ilmu luar atau ilmu dalam, ditambah lagi dengan dua senjata anehnya...sepasang golok bergigi, membuatnya dalam waktu singkat dia berhasil mengalahkan orang-orang persilatan yang mengganggunya. Di antara orang-orang yang mengganggunya tentu saja ada beberapa orang yang merupakan jago kelas satu.
Alasan lain adalah karena ketampanannya, karena ketampanannya pula dia mendapatkan cinta si cantik dari dunia persilatan, Xiao-hun-fu-ren Xue Ruo-bi. Hingga Tie-ji-wen-hou Lu Nan-ren dan Xue Ruo-bi menjadi sepasang suami istri yang membuat iri orang-orang persilatan. Perasaan iri ini pasti bersamaan muncul dengan perasaan cemburu.
Tie-ji-wen-hou, Lu Nan-ren dengan santai dan luwes duduk di atas kuda yang berlari dengan cepat, tangan kanannya memegang tali kekang kuda. Bulu kudanya mengkilat dengan indah dan beterbangan tertiup angin.
Jalan yang dilewati kuda dan orang tampak penuh dengan debu beterbangan bercampur salju. Selain tanpam berilmu silat tinggi Tie-ji-wen-hou, Lu Nan-ren pun mempunyai sepasang mata yang berkilau. Dia jarang mau pergi kemana-mana sendiri, dia selalu ditemani oleh Lu-bu yang juga seorang pemuda gagah. Dia selalu tidak mau pergi sendiri karena dia takut dalam perjalanannya banyak gadis-gadis akan terus mengikutinya. Mungkin saja, karena peristiwa seperti ini sering dialami olehnya.
Tapi...
Mengapa sekarang dia pergi sendiri? Di mana sang nyonya yang bernama Xue Ruo-bi? Mengapa akhir-akhir ini tertawanya yang biasa menarik, tampak begitu sedih?
Kudanya berlari dengan cepat, tapi dia seperti tidak mempunyai tujuan dan arahnya tidak menentu.
Begitu tiba di kota ’Bao-ding’, dia tidak segera masuk ke dalam kota, dia hanya berkeliling di pintu kota, seperti sengaja menarik perhatian orang-orang. Terkadang dia mengeluarkan dan memasukkan senjata yang dibawanya.
Benar saja, tidak lama kemudian di kota Bao-ding segera tersebar kabar bahwa Tie-ji-wen-hou, Lu Nan-ren berada di luar kota Bao-ding. Kabar ini membuat orang-orang persilatan merasa aneh. Ada apa dengannya?
Yang pasti semua itu bukan tanpa alasan, karena wajahnya yang tampan seperti sedang menunggu seseorang. Apakah hal ini tampak aneh?
”Di depan itu adalah pintu kota, dan letaknya dekat dengan kuil Wen,” dalam hati dia terus berpikir, tapi dia tetap tidak masuk ke dalam kota. Dia hanya berdiri di sisi sungai pelindung kota, dan terus berjalan tanpa tujuan. Kedua matanya tampak berkilau dan terus menatap ke arah pintu utama kota Bao-ding yang masih terbuka.
Tiba-tiba dari dalam kota Bao-ding muncul beberapa ekor kuda kekar, dilihat sekilas kuda-kuda itu terus berlari ke arahnya. Di antara para penunggang kuda itu, tampak seseorang yang mengenakan baju berwarna emas, sudut mulutnya terangkat sehingga terlihat angkuh. Kalau tidak diperhatikan dengan benar senyum itu tidak akan terlihat oleh siapa pun.
Setelah berjarak beberapa meter dari Tie-ji-wen-hou, Lu Nan-ren, semua penunggang itu turun dari kudanya masing-masing. Salah satu laki-laki berbaju hitam menuntun kudanya berjalan ketempat agak jauh. Sedangkan 3 orang lainnya yang berbaju biru mengikuti orang berbaju emas itu, dengan langkah besar mereka mendekati Lu Nan-ren. Langkah mereka tampak sangat mantap. Tampak kalau mereka mempunyai dasar ilmu silat tinggi. Apalagi orang berbaju emas itu adalah seorang pak tua dengan perawakan pendek...kalau mengatakan dia adalah seorang pak tua, rasanya itu terlalu awal, tapi dari wajahnya bisa dinilai kalau kulitnya sudah tidak kencang lagi. Dia seperti lebih tua dari usia sebenarnya, mungkin lebih tua 10 tahun dari umur sebenarnya...tapi setiap langkahnya seperti langkah seekor gajah besar, membuat orang merasa aneh dengan kekuatan kakinya.
”Siapakah dia?” tanya Lu Nan-ren dalam hati, ’Apakah dia adalah Zhu-sha-zhang, You Da-jun? Kalau benar dia adalah orang itu, sepertinya cocok dengan keinginanku saat ini.”
Melihat orang itu, dia langsung merasa gembira, apa alasannya?
Dia sama sekali tidak bergerak dari atas kudanya. Begitu mereka tiba di hadapannya, mereka segera berpencar, sedang orang gemuk dan berbaju emas, Zhu-sha-zhang seperti gunung batu berdiri di hadapannya.
”Apakah kau tidak mengira, kalau aku bisa datang dari Jiang-nan?” Lu Nan-ren tertawa menghina.
Wajah You Da-jun tampak terkejut, tapi dia tetap dapat menutupi dengan baik semua perubahan wajahnya, di balik daging yang sudah kendur itu.
”Aku memang merasa aneh, aku merasa mengapa kau tidak segera lari, melainkan malah berani muncul di sini.”
Lu Nan-ren tertawa panjang:
”Mengapa aku tidak berani muncul di sini? Apakah menurut kalian aku takut kepada kalian?” wajahnya tampak dingin, kalian menginginkan aku lemah dan tidak bisa kembali ke rumah, aku pun akan membalas supaya kalian merasa tidak tenang, di Jiang-nan, aku tidak bisa mengalahkan kalian, tapi di sini, aku tidak akan takut kepada kalian, tikus-tikus!”
You Da-jun mulai marah, kemarahan membuat wajahnya menjadi merah:
”Baiklah, baiklah! Marga You hari ini akan memperlihatkan kehebatan Tian-zheng-jiao yang terkenal kuat di daerah dua sungai ini,” karena takut perkataannya kurang jelas dia menambah-kan lagi, ”Sobat, kau bukannya cepat pergi meng-hindari bahaya malah ingin mengadu kekuatan dengan Tian-zheng-jiao, apakah karena kau sudah bosan hidup? Hei..marga Lu, turunlah! Biar aku yang memberi pelajaran kepadamu!”
Lu Nan-ren tertawa, bersamaan tawanya dia sudah turun dari kudanya dengan cepat dan lincah, Kedua senjata yang dipegangnya tampak begitu berat tapi ketika dipegang olehnya seperti dua batang kayu.
”Sobat, jangan bicara terus, majulah!”
”Aku marga You dalam bertarung tidak per-nah membutuhkan senjata.” tiba-tiba dia mem-bentak, tangannya sudah melayang ke depan dada Lu Nan-ren.
Ditengah-tengah telapaknya tampak ada warna merah, Lu Nan-ren berpikir, ’Dia hampir sempurna menguasai telapak Zhu-sha-zhang’, diiringi tawanya yang dingin dia melemparkan kedua senjata yang dipegangnya ke bawah.
”Bertarung dengan kalian yang hanya tingkat tikus, aku pun tidak membutuhkan senjata.” kata-katanya membuat Zhu-sha-zhang marah, dia menyerang arah kepala Lu Nan-ren.
Angin telapak berhembus keras, tenaga telapak tangannya benar-benar kuat, Lu Nan-ren tidak berani menyambutnya secara langsung, tubuhnya digeser kesamping untuk menghindar, tapi Zhu-sha-zhang You Da-jun sudah membentak dan menyerang lagi.
Zhu-sha-zhang telah menguasai wilayah dua aliran sungai, tenaga telapaknya bisa dikatakan termasuk paling hebat dan kedudukan-nya di Tian-zheng-jiao berada di posisi penting.
Hanya saja walau tenaga telapaknya sangat kuat, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak dengan lincah, tenaganya yang bisa membuat gunung terbelah, tapi sulit menutupi gerakan tubuhnya yang tidak lincah. Kalau dia benar-benar bertemu dengan pesilat tangguh, dia tentu berada di pihak yang dirugikan. Tentu saja dia sangat mengerti hal ini, karena itu setiap kali menyerang, dia akan menggunakan tenaganya hingga 90% dan setiap serangan yang dilancarkan adalah serangan mematikan. Sekarang dia berniat membunuh pemuda yang masih muda tapi sudah terkenal yang berjuluk Tie-ji-wen-hou.
Tenaga dan bayangan telapak membuat Tie-ji-wen-hou seperti tidak mempunyai kekuatan membalas!
Tiga orang berbaju biru yang menyaksikan jalannya pertarungan, tampak berseri-seri, masing masing mempunyai pikiran, ”Tie-ji-wen-hou, Lu Nan-ren telah menanggalkan senjatanya, dan sekarang dia menjadi orang yang tidak berdaya.” tapi di samping merasa gembira mereka juga merasa menyesal.
”Mengapa sejak awal bukan kami saja yang bertarung dengan marga Lu ini, sepertinya kami pun bisa mengalahkan dirinya, dan kami bisa menjadi terkenal! Apalagi kalau ketua kami tahu, kami akan naik pangkat beberapa tingkat, tentu juga dia akan iri,” dengan iri mereka terus melihat You Da-jun yang mengenakan baju emas, dan berkata lagi dalam hati, ’kami pun bisa mengena-kan baju berwarna emas seperti dia!’
Dalam hati mereka berpikir seperti itu, begitu pula dengan You Da-jun, terlihat wajahnya gembira. Jurusnya bertambah ganas, dia ingin sekaligus membuat Lu Nan-ren mati. Kecuali Tian-zheng-jiao berselisih dengan Tie-ji-wen-hou, dia juga ingn membalas dendam, di samping itu dia ingin membunuh Tie-ji-wen-hou yang terkenal di dunia persilatan, bila dia berhasil membunuh Lu Nan-ren, maka dia akan bertambah terkenal di dunia persilatan.
Sekarang posisinya berada di atas angin, tapi dalam beberapa puluh menit ini dia tetap tidak bisa memenangkan pertarungan ini. Jurus-jurus Tie-ji-wen-hou tampak semakin melambat.
Semangat Zhu-sha-zhang bertambah, dengan jurus berbahaya, kedua telapaknya dibuka dan dada tampak sebuah lowongan besar. Dari samping Lu Nan-ren bisa melihat lowongan ini dia tersenyum yang hampir tidak terlihat, dia maju selangkah, kemudian kedua jarinya diangkat dan dia menotok rusuk kiri You Da-jun.
”Orang ini telah tertipu,” pikiran itu melintas dengan cepat, dia membentak kemudian bagian dada dan perut ditarik, membuat jari Lu Nan-ren tidak bisa mengenai tempat yang diinginkan, kemudian tangannya membalas memukul. Tie-ji-wen-hou berteriak, kedua kaki-nya menapak tanah, kemudian seperti sebuah panah terus meluncur, dengan lincah dia melompat ke atas kuda yang sedang menunggunya, kemudian kuda itu berlari seperti sebuah panah yang meluncur dengan kencang.
”Ilmu meringankan tubuh pemuda itu benar-benar bebat.”
Setelah menyerang satu kali, Zhu-sha-zhang berhasil mengenai sasarannya, dia merasa sangat senang, tapi dia tidak berpikir jauh. mengapa orang yang bisa ilmu meringankan tubuh pada tahap sudah tinggi malah kalah darinya?
Ketiga orang berbaju biru itu mengeluarkan suara bentakan mengejar Tie-ji-wen-hou yang sudah berlari jauh, dengan senang You Da-jun berkata:
”Orang itu sudah terkena pukulanku, dia tidak akan bisa hidup lebih lama lagi.” dia tertawa, ”kita pelan-pelan bisa mengejarnya, kita tinggal mengambil mayatnya saja.”
Kata-kata Zhu-sha-zhang, You Da-jun tentu bukan asal bicara, orang berbaju biru itu yakin sekali dengan kata-katanya, sayang mereka tidak tahu, sesuatu telah terjadi di luar dugaan mereka!
Tie-ji-wen-hou berlari dengan kencang, begitu merasa jarak dengan mereka cukup jauh, dia berhenti di sebuah tempat terpencil lalu turun dari kudanya.
Pertama-tama dia meneliti dulu keadaan di sekelilingnya, setelah memastikan tidak ada siapa pun selain dirinya, dia baru melihat ke arah sungai pelindung kota. Walaupun sungai itu telah membeku, tapi terlihat permukaan sungai yang padat menjadi es hanya berupa lapisan tipis. Dia tertawa dengan puas melihat keadaan itu.
”Semua sangat cocok dengan keinginanku,” diam-diam dia berpikir, lalu dia membuka baju bagian atasnya, muncullah kulit yang ditumbuhi dengan bulu-bulu rambut, udara dingin dengan cepat berhembus ke tubuhnya. Tapi sepertinya dia tidak peduli, dari dalam sepatunya dia mengeluarkan sebuah pisau belati, lalu dengan cepat menggoreskan ketangannya, darah pun mengalir keluar.
Dia melakukannya dengan hati-hati supaya darah tidak sampai mengotori bajunya, dia menekan tangannya yang tergores dengan jarinya. Darah jatuh bercucuran ke bawah. Darah ini tidak bisa dibedakan apakah darah ini dari luka luar atau darah karena luka dalam yang dimuntah-kannya?
Dalam waktu yang singkat dia selesai melakukan semua pekerjaan itu, kemudian di tempat di mana kudanya ditambatkan yaitu di sisi sungai, dia membuat jejak kaki kudanya menjadi berantakan.
Semua ini membuktikan kalau Tie-ji-wen-hou telah terkena pukulan Tie-sha-zhang yang dilancarkan oleh You Da-jun dan dilakukan di luar kota Bao-ding.
Karena muntah darah terus menerus akhirnya dia mati, karena dia tidak ingin mayatnya jatuh ke tangan Tian-zheng-jiao, maka dengan sisa tenaga penghabisan dia menerjunkan dirinya ke dalam sungai.
Golok bergigi
Di sebuah gubuk. Suara ayam jantan yang berkokok baru terdengar...
Di pagi hari di musim dingin, seorang pemuda berperawakan tinggi besar, tampan serta gagah membuka pintu penginapan satu-satunya yang ada di desa terpencil itu. Dia mengeluarkan seekor kuda ternama berwarna merah kecoklatan, yang dianggapnya sebagai barang yang lebih penting dibandingkan nyawanya. Dia menghirup udara, dan hawa dingin dengan cepat masuk ke dalam paru-parunya yang hangat.
Sudut mulutnya tampak terangkat hingga membentuk senyum, senyum angkuh dan penuh ejekan. Setelah dia naik ke atas kuda, segera kuda itu melaju dan meninggalkan jejak kakinya yang berurutan. Di pelana kuda tergantung dua benda berat, benda itu terbungkus dengan rapi. Tapi pada saat kuda mulai berlari, kedua benda itu beradu sehingga menimbulkan suara, ternyata kedua benda itu terbuat dari besi, karena kuda berlari maka kedua benda itu pun bersenggolan dan mengeluarkan bunyi.
Dia tidak berusaha menarik perhatian siapa pun, karena sekarang dia tidak berniat di pagi hari yang begitu dingin, menyapa orang-orang, kalau ada yang mengetahui siapa dia sebenarnya, mungkin keadaan akan berbeda.
Selama beberapa tahun ini dia adalah orang terkenal di dunia persilatan. Dia adalah Tie-ji-wen-hou (Golok bergigi), Lu Nan-ren. Dalam waktu singkat dia telah menjadi sangat terkenal, semua itu bukan tanpa alasan. Pertama, karena dia mempunyai seekor kuda yang jarang ada di dunia ini, selain kudanya dia juga mempunyai keahlian yang tinggi. Baik ilmu luar atau ilmu dalam, ditambah lagi dengan dua senjata anehnya...sepasang golok bergigi, membuatnya dalam waktu singkat dia berhasil mengalahkan orang-orang persilatan yang mengganggunya. Di antara orang-orang yang mengganggunya tentu saja ada beberapa orang yang merupakan jago kelas satu.
Alasan lain adalah karena ketampanannya, karena ketampanannya pula dia mendapatkan cinta si cantik dari dunia persilatan, Xiao-hun-fu-ren Xue Ruo-bi. Hingga Tie-ji-wen-hou Lu Nan-ren dan Xue Ruo-bi menjadi sepasang suami istri yang membuat iri orang-orang persilatan. Perasaan iri ini pasti bersamaan muncul dengan perasaan cemburu.
Tie-ji-wen-hou, Lu Nan-ren dengan santai dan luwes duduk di atas kuda yang berlari dengan cepat, tangan kanannya memegang tali kekang kuda. Bulu kudanya mengkilat dengan indah dan beterbangan tertiup angin.
Jalan yang dilewati kuda dan orang tampak penuh dengan debu beterbangan bercampur salju. Selain tanpam berilmu silat tinggi Tie-ji-wen-hou, Lu Nan-ren pun mempunyai sepasang mata yang berkilau. Dia jarang mau pergi kemana-mana sendiri, dia selalu ditemani oleh Lu-bu yang juga seorang pemuda gagah. Dia selalu tidak mau pergi sendiri karena dia takut dalam perjalanannya banyak gadis-gadis akan terus mengikutinya. Mungkin saja, karena peristiwa seperti ini sering dialami olehnya.
Tapi...
Mengapa sekarang dia pergi sendiri? Di mana sang nyonya yang bernama Xue Ruo-bi? Mengapa akhir-akhir ini tertawanya yang biasa menarik, tampak begitu sedih?
Kudanya berlari dengan cepat, tapi dia seperti tidak mempunyai tujuan dan arahnya tidak menentu.
Begitu tiba di kota ’Bao-ding’, dia tidak segera masuk ke dalam kota, dia hanya berkeliling di pintu kota, seperti sengaja menarik perhatian orang-orang. Terkadang dia mengeluarkan dan memasukkan senjata yang dibawanya.
Benar saja, tidak lama kemudian di kota Bao-ding segera tersebar kabar bahwa Tie-ji-wen-hou, Lu Nan-ren berada di luar kota Bao-ding. Kabar ini membuat orang-orang persilatan merasa aneh. Ada apa dengannya?
Yang pasti semua itu bukan tanpa alasan, karena wajahnya yang tampan seperti sedang menunggu seseorang. Apakah hal ini tampak aneh?
”Di depan itu adalah pintu kota, dan letaknya dekat dengan kuil Wen,” dalam hati dia terus berpikir, tapi dia tetap tidak masuk ke dalam kota. Dia hanya berdiri di sisi sungai pelindung kota, dan terus berjalan tanpa tujuan. Kedua matanya tampak berkilau dan terus menatap ke arah pintu utama kota Bao-ding yang masih terbuka.
Tiba-tiba dari dalam kota Bao-ding muncul beberapa ekor kuda kekar, dilihat sekilas kuda-kuda itu terus berlari ke arahnya. Di antara para penunggang kuda itu, tampak seseorang yang mengenakan baju berwarna emas, sudut mulutnya terangkat sehingga terlihat angkuh. Kalau tidak diperhatikan dengan benar senyum itu tidak akan terlihat oleh siapa pun.
Setelah berjarak beberapa meter dari Tie-ji-wen-hou, Lu Nan-ren, semua penunggang itu turun dari kudanya masing-masing. Salah satu laki-laki berbaju hitam menuntun kudanya berjalan ketempat agak jauh. Sedangkan 3 orang lainnya yang berbaju biru mengikuti orang berbaju emas itu, dengan langkah besar mereka mendekati Lu Nan-ren. Langkah mereka tampak sangat mantap. Tampak kalau mereka mempunyai dasar ilmu silat tinggi. Apalagi orang berbaju emas itu adalah seorang pak tua dengan perawakan pendek...kalau mengatakan dia adalah seorang pak tua, rasanya itu terlalu awal, tapi dari wajahnya bisa dinilai kalau kulitnya sudah tidak kencang lagi. Dia seperti lebih tua dari usia sebenarnya, mungkin lebih tua 10 tahun dari umur sebenarnya...tapi setiap langkahnya seperti langkah seekor gajah besar, membuat orang merasa aneh dengan kekuatan kakinya.
”Siapakah dia?” tanya Lu Nan-ren dalam hati, ’Apakah dia adalah Zhu-sha-zhang, You Da-jun? Kalau benar dia adalah orang itu, sepertinya cocok dengan keinginanku saat ini.”
Melihat orang itu, dia langsung merasa gembira, apa alasannya?
Dia sama sekali tidak bergerak dari atas kudanya. Begitu mereka tiba di hadapannya, mereka segera berpencar, sedang orang gemuk dan berbaju emas, Zhu-sha-zhang seperti gunung batu berdiri di hadapannya.
”Apakah kau tidak mengira, kalau aku bisa datang dari Jiang-nan?” Lu Nan-ren tertawa menghina.
Wajah You Da-jun tampak terkejut, tapi dia tetap dapat menutupi dengan baik semua perubahan wajahnya, di balik daging yang sudah kendur itu.
”Aku memang merasa aneh, aku merasa mengapa kau tidak segera lari, melainkan malah berani muncul di sini.”
Lu Nan-ren tertawa panjang:
”Mengapa aku tidak berani muncul di sini? Apakah menurut kalian aku takut kepada kalian?” wajahnya tampak dingin, kalian menginginkan aku lemah dan tidak bisa kembali ke rumah, aku pun akan membalas supaya kalian merasa tidak tenang, di Jiang-nan, aku tidak bisa mengalahkan kalian, tapi di sini, aku tidak akan takut kepada kalian, tikus-tikus!”
You Da-jun mulai marah, kemarahan membuat wajahnya menjadi merah:
”Baiklah, baiklah! Marga You hari ini akan memperlihatkan kehebatan Tian-zheng-jiao yang terkenal kuat di daerah dua sungai ini,” karena takut perkataannya kurang jelas dia menambah-kan lagi, ”Sobat, kau bukannya cepat pergi meng-hindari bahaya malah ingin mengadu kekuatan dengan Tian-zheng-jiao, apakah karena kau sudah bosan hidup? Hei..marga Lu, turunlah! Biar aku yang memberi pelajaran kepadamu!”
Lu Nan-ren tertawa, bersamaan tawanya dia sudah turun dari kudanya dengan cepat dan lincah, Kedua senjata yang dipegangnya tampak begitu berat tapi ketika dipegang olehnya seperti dua batang kayu.
”Sobat, jangan bicara terus, majulah!”
”Aku marga You dalam bertarung tidak per-nah membutuhkan senjata.” tiba-tiba dia mem-bentak, tangannya sudah melayang ke depan dada Lu Nan-ren.
Ditengah-tengah telapaknya tampak ada warna merah, Lu Nan-ren berpikir, ’Dia hampir sempurna menguasai telapak Zhu-sha-zhang’, diiringi tawanya yang dingin dia melemparkan kedua senjata yang dipegangnya ke bawah.
”Bertarung dengan kalian yang hanya tingkat tikus, aku pun tidak membutuhkan senjata.” kata-katanya membuat Zhu-sha-zhang marah, dia menyerang arah kepala Lu Nan-ren.
Angin telapak berhembus keras, tenaga telapak tangannya benar-benar kuat, Lu Nan-ren tidak berani menyambutnya secara langsung, tubuhnya digeser kesamping untuk menghindar, tapi Zhu-sha-zhang You Da-jun sudah membentak dan menyerang lagi.
Zhu-sha-zhang telah menguasai wilayah dua aliran sungai, tenaga telapaknya bisa dikatakan termasuk paling hebat dan kedudukan-nya di Tian-zheng-jiao berada di posisi penting.
Hanya saja walau tenaga telapaknya sangat kuat, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak dengan lincah, tenaganya yang bisa membuat gunung terbelah, tapi sulit menutupi gerakan tubuhnya yang tidak lincah. Kalau dia benar-benar bertemu dengan pesilat tangguh, dia tentu berada di pihak yang dirugikan. Tentu saja dia sangat mengerti hal ini, karena itu setiap kali menyerang, dia akan menggunakan tenaganya hingga 90% dan setiap serangan yang dilancarkan adalah serangan mematikan. Sekarang dia berniat membunuh pemuda yang masih muda tapi sudah terkenal yang berjuluk Tie-ji-wen-hou.
Tenaga dan bayangan telapak membuat Tie-ji-wen-hou seperti tidak mempunyai kekuatan membalas!
Tiga orang berbaju biru yang menyaksikan jalannya pertarungan, tampak berseri-seri, masing masing mempunyai pikiran, ”Tie-ji-wen-hou, Lu Nan-ren telah menanggalkan senjatanya, dan sekarang dia menjadi orang yang tidak berdaya.” tapi di samping merasa gembira mereka juga merasa menyesal.
”Mengapa sejak awal bukan kami saja yang bertarung dengan marga Lu ini, sepertinya kami pun bisa mengalahkan dirinya, dan kami bisa menjadi terkenal! Apalagi kalau ketua kami tahu, kami akan naik pangkat beberapa tingkat, tentu juga dia akan iri,” dengan iri mereka terus melihat You Da-jun yang mengenakan baju emas, dan berkata lagi dalam hati, ’kami pun bisa mengena-kan baju berwarna emas seperti dia!’
Dalam hati mereka berpikir seperti itu, begitu pula dengan You Da-jun, terlihat wajahnya gembira. Jurusnya bertambah ganas, dia ingin sekaligus membuat Lu Nan-ren mati. Kecuali Tian-zheng-jiao berselisih dengan Tie-ji-wen-hou, dia juga ingn membalas dendam, di samping itu dia ingin membunuh Tie-ji-wen-hou yang terkenal di dunia persilatan, bila dia berhasil membunuh Lu Nan-ren, maka dia akan bertambah terkenal di dunia persilatan.
Sekarang posisinya berada di atas angin, tapi dalam beberapa puluh menit ini dia tetap tidak bisa memenangkan pertarungan ini. Jurus-jurus Tie-ji-wen-hou tampak semakin melambat.
Semangat Zhu-sha-zhang bertambah, dengan jurus berbahaya, kedua telapaknya dibuka dan dada tampak sebuah lowongan besar. Dari samping Lu Nan-ren bisa melihat lowongan ini dia tersenyum yang hampir tidak terlihat, dia maju selangkah, kemudian kedua jarinya diangkat dan dia menotok rusuk kiri You Da-jun.
”Orang ini telah tertipu,” pikiran itu melintas dengan cepat, dia membentak kemudian bagian dada dan perut ditarik, membuat jari Lu Nan-ren tidak bisa mengenai tempat yang diinginkan, kemudian tangannya membalas memukul. Tie-ji-wen-hou berteriak, kedua kaki-nya menapak tanah, kemudian seperti sebuah panah terus meluncur, dengan lincah dia melompat ke atas kuda yang sedang menunggunya, kemudian kuda itu berlari seperti sebuah panah yang meluncur dengan kencang.
”Ilmu meringankan tubuh pemuda itu benar-benar bebat.”
Setelah menyerang satu kali, Zhu-sha-zhang berhasil mengenai sasarannya, dia merasa sangat senang, tapi dia tidak berpikir jauh. mengapa orang yang bisa ilmu meringankan tubuh pada tahap sudah tinggi malah kalah darinya?
Ketiga orang berbaju biru itu mengeluarkan suara bentakan mengejar Tie-ji-wen-hou yang sudah berlari jauh, dengan senang You Da-jun berkata:
”Orang itu sudah terkena pukulanku, dia tidak akan bisa hidup lebih lama lagi.” dia tertawa, ”kita pelan-pelan bisa mengejarnya, kita tinggal mengambil mayatnya saja.”
Kata-kata Zhu-sha-zhang, You Da-jun tentu bukan asal bicara, orang berbaju biru itu yakin sekali dengan kata-katanya, sayang mereka tidak tahu, sesuatu telah terjadi di luar dugaan mereka!
Tie-ji-wen-hou berlari dengan kencang, begitu merasa jarak dengan mereka cukup jauh, dia berhenti di sebuah tempat terpencil lalu turun dari kudanya.
Pertama-tama dia meneliti dulu keadaan di sekelilingnya, setelah memastikan tidak ada siapa pun selain dirinya, dia baru melihat ke arah sungai pelindung kota. Walaupun sungai itu telah membeku, tapi terlihat permukaan sungai yang padat menjadi es hanya berupa lapisan tipis. Dia tertawa dengan puas melihat keadaan itu.
”Semua sangat cocok dengan keinginanku,” diam-diam dia berpikir, lalu dia membuka baju bagian atasnya, muncullah kulit yang ditumbuhi dengan bulu-bulu rambut, udara dingin dengan cepat berhembus ke tubuhnya. Tapi sepertinya dia tidak peduli, dari dalam sepatunya dia mengeluarkan sebuah pisau belati, lalu dengan cepat menggoreskan ketangannya, darah pun mengalir keluar.
Dia melakukannya dengan hati-hati supaya darah tidak sampai mengotori bajunya, dia menekan tangannya yang tergores dengan jarinya. Darah jatuh bercucuran ke bawah. Darah ini tidak bisa dibedakan apakah darah ini dari luka luar atau darah karena luka dalam yang dimuntah-kannya?
Dalam waktu yang singkat dia selesai melakukan semua pekerjaan itu, kemudian di tempat di mana kudanya ditambatkan yaitu di sisi sungai, dia membuat jejak kaki kudanya menjadi berantakan.
Semua ini membuktikan kalau Tie-ji-wen-hou telah terkena pukulan Tie-sha-zhang yang dilancarkan oleh You Da-jun dan dilakukan di luar kota Bao-ding.
Karena muntah darah terus menerus akhirnya dia mati, karena dia tidak ingin mayatnya jatuh ke tangan Tian-zheng-jiao, maka dengan sisa tenaga penghabisan dia menerjunkan dirinya ke dalam sungai.
Related Posts:
Tiga Ilmu Sakti
Bab 1
Sam-ciat-tong (Goa tiga kehebatan)
Gunung Go-bi berada di barat daya kecamatan Go-bi propinsi Sucuan, gunung utamanya merupakan rentetan dari pegunungan Beng, setelah sampai di kecamatan Go-bi menjulang menjadi Tay-go-san, Tiong-go-san, dan Su-go-san, tiga bukit yang indah, tiga gunung ini menyatu hingga disebut “Sam-go-san”.
Tay-go-san daerahnya bergoa-goa, lembahnya banyak dan berbatu-batu. Dari kaki gunung sampai perut gunung harus melewati jalan setapak yang datar seperti benang sekitar 60 lie, maka tempat ini dikatakan “Tidak berbahaya mendaki gunung curam”
Tiong-go-san berada di selatan kecamatan Go-bi, Su-go-san lebih ke selatan lagi dari Tiong-go, dua-duanya tidak semegah dan seindah Tay-go-san.
Gunung Go-bi termasyur dengan Ban-hud-teng (Bukit selaksa Budha) Kim-teng ( Bukit emas) dan Jian-hud-teng (Bukit seribu Budha), jarak Pau-kok-sie (Kuil Bela negara) sampai Ban-hud-teng sejauh 130 lie, goa-goanya sunyi dan besar, pepohonannya rimbun, batu-batuannya cantik, banyak kelenteng-kelenteng ternama dan kuil-kuil kuno di sana, semua menambah keasrian...
Cerita ini dimulai dari Su-cio-ti (Kolam Pemandian Gajah)
Su-cio-ti adalah sebuah kuil yang dibangun di bukit setinggi 4000 lie lebih, bangunannya bertingkat-tingkat, tinggi seperti menggantung, berbelok-belok dan berlegok-legok, pemandangannya cantik menawan.
Di empat sisi kuil terdapat pohon-pohon cemara berumur ribuan tahun, berdahan besar dan beranting lebat, seperti raksasa menjulurkan lengan memainkan kepalan, beraneka ragam bentuknya tidak ada mengalah kan.
Di dalam aula besar terdapat patung dewa-dewi dan para pujangga yang duduk di atas gajah putih, penampilannya sangat gagah perkasa.
Suatu hari pagi-pagi di musim semi seorang Siauw-see-bie (Hweesio kecil) sedang menyapu jalan setapak di luar kuil, tiba-tiba merasa sapunya menyen-tuh sepasang kaki, dia mengangkat kepalanya, melihat ke atas dan terkejut.
Ternyata di depannya sudah berdiri seorang laki-laki yang berumur setengah baya dengan dandanan seperti seorang perwira, di pinggangnya tergantung sebuah pisau, wajahnya sangat menyeramkan.
Hweesio kecil ini sangat takut, cepat-cepat dia muncur beberapa langkah sambil berkata:
”Maat Tuan!” aku…aku tidak melihat…
Perwira ini tidak marah, mukanya menebarkan seberkas senyuman seraya berkata:
”Hweesio cilik, aku mau bertanya, apakah jalan setapak ini bisa menuju ke Ban-hud-teng?”
Hweesio kecil itu cepat-cepat menjawab:
”Ya!Ya!”
”Kemana arah jalannya?”
”Dari jalan ini terus ke atas, naik tanjakan Lo-han, melewati bukit kemudian jalannya berbelok sampai melewati kuil Toa-tan, tangga Ho-sin dan Kuil Pek-hun sampai bertemu dengan tanah lapang Lui-tong setelah itu terdapat aula Cia-eng dan melalui jembatan 7 hari, disana ada jalan bercabang tiga, yang kanan ke Ban-hud-teng, yang tengah ke Kim-teng, dan yang kiri ke Bo-in-an…..”
Perwira itu jadi tidak sabar mendengarnya, segera saja memotong:
”Yang aku inginkan ke Ban-hud-teng.”
”Ya! Ya! Tuan mau ke Ban-hud-teng, tapi Tuan harus ke Kim-teng dulu, Kim-teng adalah aula utama kuil Sam-hiang. Tuan bisa makan siang disana, lalu mengikuti jalan terus naik ke atas, sampailah di Ban-hud-teng.”
Perwira itu mengangguk. Dia bertanya lagi:
”Kabarnya diperut gunung, di belakang Ban-hud-teng ada sebuah Sam-ciat-tong?”
Air muka hweesio kecil itu sedikit berubah, dia berkata:
”Ya, aku pernah mendengar ada sebuah goa di tebing terjal itu, tapi aku sendiri belum pernah ke sana, makanya aku kurang tahu pasti.”
Perwira itu berkata lagi:
”Apakah kau pernah bertemu dengan Sam-ciat Lojin?
Hweesio kecil itu menggelengkan kepala seraya berkata:
”Tidak! Tidak!
”Kalau dengan tiga orang muridnya?”
Hweesio kecil itu tercengang:
”Tiga orang murid?”
”Murid sulungnya Tiong Ang, yang ke dua Ong Sit, dan yang ke tiga seorang nona bernama Hie Pak-eng.”
Hweesio kecil dengan gagap berkata:
”Yang ini….yang ini…”
”Kabarnya mereka dalam satu dua hari ini akan tamat belajar dan akan turun gunung!”
Hweesio kecil itu menggelengkan kepalanya lagi:
”Yang ini aku tidak tahu, tidak…tidak pernah mendengar.”
Dengan tertawa perwira berkata:
”Terima-kasih”
Selesai berkata lalu dia pergi dengan langkah besar menuju jalan setapak, dia tidak berlari tapi dalam beberapa kejap saja sudah menempuh jarak berpuluh-puluh tombak dan segera lenyap di kejauhan.
Setelah perwira itu tidak terlihat lagi, hweesio kecil itu kembali lagi menyapu jalan setapak. Tidak lama kemudian datang lagi seseorang dari jalan kecil di bawah. Karena jalannya kecil dia segera menyingkir ke pinggir agar orang itu bisa lewat. Tapi orang itu telah lebih dulu berhenti beberapa langkah, dan dengan tertawa berkata:
”Hweesio cilik, selamat pagi!”
Orang ini kira-kira berumur 50 tahunan, alisnya tebal merebah, dua matanya seperti lonceng kecil dan berewokan, dandanannya seperti orang biasa tapi tampak lebih garang dari perwira tadi.
Hweesio kecil ini setiap pagi menyapu jalan setapak tapi baru kali ini dalam satu hari berturut-turut bertemu dengan dua orang yang tidak dikenal. Dalam hati ia merasa aneh, segera dengan sopan dia menyapa:
”Selamat pagi!”
Orang tua itu berkata:
”Aku mau bertanya, apakah jalan ini menuju Ban-hud-teng?”
”Betul.”
”Kemana arah jalannya?”
Dengan sabar Hweesio kecil ini memberi penjelasan lagi.
”Terima-kasih!” kata orang itu, “kabarnya di Ban-hud-teng ada Sam-ciat-tong yang terletak di tebing terjal perut gunung, apa benar ada seorang tua hebat yang bernama Sam-ciat Lojin?”
Hweesio kecl terbengong-bengong, diam-diam berkata dalam hatinya:
”Aneh, Sam-ciat Lojin sudah beberapa puluh tahun tidak pernah meninggalkan gunung, kenapa hari ini bisa ada dua orang secara bersamaan mencari dia?”
Orang tua ini merasa aneh melihat Hweesio kecil tidak menjawab pertanyaannya, maka ia bertanya lagi:
”Ada tidak?”
Dengan ragu-ragu Hweesio kecil itu menjawab:
”Hweesio tidak mau berbohong, aku…. aku pernah mendengar nama ini, tapi belum pernah bertemu.”
Orang tua berkata:
”Dia mendidik tiga orang murid yang tua bernama Tiong Ang, yang kedua bernama Ong Sit, murid ketiga seorang perempuan bernama Hie Pak-eng, apa kau pernah tahu?”
”Yang ini…Yang ini…”
Dengan tertawa orang tua berkata lagi:
”Hweesio tidak sembarangan bicara!”
“Betul, aku pernah mendengar tapi kurang jelas….” Kata hweesio kecil.
”Kabarnya dalam satu-dua hari ini mereka akan tamat belajar dan akan meninggalkan gurunya.”
Hweesio kecil menggelengkan kepala:
”Yang ini aku tidak tahu.”
Orang tua ini tertawa-tawa, seperti angin saja, sekelebat melewati hweesio kecil, sekejap saja sudah menghilang di jalan setapak!
Pikiran Hweesio kecil jadi bingung, tapi kerena masih kecil dia tidak terlalu menghiraukannya, dan dia pun kembali menyapu lagi.
Dia menyapu terus ke bawah, waktu pekerjaan-nya telah selesai dan dia hendak kembali ke kuil tiba-tiba dia merasa pening, sudah ada seseorang lagi berdiri di depannya.
Kali ini juga seorang tua, umurnya lebih tua dari orang tadi, tapi rupanya sopan dan mengenakan baju hijau seperti seorang guru sekolah.
Hweesio kecil itu tercengang dan berkata:
”Tuan hendak ke Ban-hud-teng?”
Sambil tersenyum-senyum orang tua berbaju hijau ini berkata:
”Betul Suhu kecil!” bagaimana kau bisa tahu aku mau ke sana?”
Tadinya Hweesio kecil ini ingin mengatakan bahwa sebelumnya sudah ada dua orang menanyakan jalan menuju Ban-hud-teng. Tapi dia berpikir jangan merepotkan Sam-ciat Lojin lagi. Lalu dia berkata:
”Tentu saja, sebab pelancong yang sampai di Su-cio-ti, pasti akan mengunjungi ke Ban-hud-teng.”
Orang tua berbaju hijau berkata:
”Kau pintar sekali.”
Hweesio kecil sekali lagi memberi tahu tentang jalan menuju ke Ban-hud-teng.”
Orang tua berbaju hijau itu mengucapkan terima-kasih dan juga menanyakan pertanyaan yang sama dengan dua orang terdahulu:
”Kabarnya di tebing terjal di belakang Ban-hud-teng tinggal Sam-ciat Lojin, dia mendidik tiga orang murid, yang tua bernama Tiong Ang, yang ke dua bernama Ong Sit dan yang ke tiga bernama Hie Pak-eng, seorang perempuan yang cantik. Apa betul begitu?”
Hweesio kecil tetap menjawab dengan perkataan:
“Tidak begitu jelas”
Orang tua berbaju hijau berkata lagi:
”Kau tinggal di gunung Go-bi, seharusnya tahu disini ada Sam-ciat Lojin, “Liong-to” (Pisau Naga), “Go-koan” (Kepalan Angsa), dan “Lu-seng-cu” (Pelor untaian bintang) adalah tiga macam kepandaian yang dimiliki-nya, yang tiada taranya di zaman ini dan tidak ada tandingannya di dunia ini.”
Hweesio kecil menggeleng kepala sambil berkata:
”Hweesio tidak sembarangan bicara, aku benar-benar tidak tahu pasti.”
Orang tua berbaju hijau menanya lagi dengan jelas jalan menuju Ban-hud-teng, setelah itu dia segera pergi melayang, caranya cepat dan aneh. Sama seperti perwira dan orang tua tadi, mereka adalah jago-jago kelas satu di dunia persilatan.
Cuasa masih awal musim semi. Hawa di Ban-hud-teng tetap masih dingin menusuk tulang, seperti musim dingin di utara saja, tidak ada bedanya.
Ban-hud-teng adalah tanah datar, berdiri di sana orang bisa melihat ke empat sisi penjuru, diatas ada langit yang biru, di bawah bukit awan putih bergumpal-gumpal, ada bukit yang menggumpal di bawah awan seperti rebung keluar dari tumpukan salju, sungguh pemandangan yang indah sekali.
Go-bi adalah daerah terindah di seluruh negeri, dalam 10 hari, 8 hari selalu mendung. Tapi hari ini cuaca terlihat cerah, saking cerahnya kita bisa melihat “Sinar Budha” yang termasyur di seluruh negeri.”
Yang dimaksud “Sinar Budha” adalah di atas lautan awan ada lingkaran besar bertumpuk berwarna-warni seperti cakrawala sehabis hujan, amat menakjub-kan dan sangat indah.
Sekarang masih tengah hari, para pelancong bisa naik sampai Ban-hud-teng, biasanya para pelancong makan siang dan beristirahat di kuil ini. Tapi sekarang hanya ada seorang di atas Ban-hud-teng, orang ini seorang hweesio tua. Dia amat bersahaja, berjubah, duduk di sisi lapangan menghadap ke timur, pelupuk-nya menutup mata seperti sedang bertapa, sama sekali tidak bergerak.
Saat ini si perwira sudah tiba di Ban-hud-teng. Begitu melihat hweesio tua itu, segera dia memberi salam dengan merangkapkan kedua belah tangan:
”Salam buat Taysu!”
Dua mata hweesio itu membuka sedikit, dari dalam matanya menyorot sinar yang tajam, dua telapak tangan menyatu membalas salam seraya berkata:
”O-mi-to-hud, Tuan ada keperluan apa?”
”Aku mau bertanya, apakah tempat ini Ban-hud-teng?” Kata si perwira
”Betul!”
”Apa Taysu tahu dimana letaknya Sam-ciat-tong?”
Dengan wajah tenang hweesio tua itu berkata:
”Ada keperluan apa Tuan ke Sam-ciat-tong?”
”Aku tidak akan ke goa itu.”
”Kalau tidak mau kesana, buat apa bertanya tempat itu?”
”Aku hanya mau tahu tempatnya saja!”
”Jauh di awan sana, entah dimana dalam gunung ini.
Sambil tertawa perwira bertanya:
”Boleh aku mengajukan satu pertanyaan lagi?”
”Yang tahu dijawab, yang tidak tahu maaf saja.”
”Kabarnya dalam satu-dua hari ini ketiga murid Sam-ciat Lojin akan tamat belajar dan akan meninggal-kan gurunya, Apa kabar ini betul?”
”Masalah ini aku tidak tahu.”
”Bolehkah aku bertanya satu hal lagi, kalau ketiga murid Sam-ciat Lojin mau turun gunung, apa pasti harus melewati Ban-hud-teng ini?”
”Mungkin.”
Dengan gembira perwira berkata:
”Bagus, kalau begitu aku tunggu disini saja!”
Selesai bicara, perwira berjalan ke pinggir dan duduk di tanah.
Hweesio tua itu menutup mata lagi, duduk meneruskan kegiatannya, sejuta urusan di dunia ini seperti tidak ada hubungan apa-apa dengan dia.
Tidak lama kemudian, orang tua yang berewokan juga tiba diatas Ban-hud-teng, dia melihat perwira itu, mukanya terlihat tercengang, dia berjalan ke depan hweesio tua dengan kedua tangan dirangkapkan berkata:
”Salam buat Taysu!”
Pelan-pelan hweesio tua membuka mata, dengan dua telapak dirapatkan dia berkata:
”Tuan ada keperluan apa?”
”Maaf, aku mau bertanya, apakah tempat ini yang bernama Ban-hud-teng?”
“Betul!”
“Dimana Sam-ciat-tong nya?”
“Jauh di awan sana, entah dimana dalam gunung ini!”
“Kabarnya dalam goa itu tinggal seorang jago luar biasa yang dipanggil Sam-ciat Lojin?”
“Betul!”
“Ada kabar lain mengatakan Sam-ciat Lojin ini punya tiga orang murid, yang tua bernama Tiong Ang, yang kedua bernama Ong Sit dan yang ketiga bernama Hie Pak-eng?”
“Hmmm!”
“Katanya dalam satu-dua hari ini mereka akan tamat belajar dan turun gunung?”
“Masalah itu aku tidak jelas!”
“Taysu kenal Sam-ciat Lojin?”
“Dalam setahun jarang sekali bertemu muka.”
“Kalau tiga orang muridnya mau turun gunung, apa harus melalui Ban-hud-teng ini?”
“Mungkin saja!”
“Terima-kasih!”
Setelah mengucapkan terima kasih orang bere-wokan ini mencari tempat di pinggir untuk duduk.
Sam-ciat-tong (Goa tiga kehebatan)
Gunung Go-bi berada di barat daya kecamatan Go-bi propinsi Sucuan, gunung utamanya merupakan rentetan dari pegunungan Beng, setelah sampai di kecamatan Go-bi menjulang menjadi Tay-go-san, Tiong-go-san, dan Su-go-san, tiga bukit yang indah, tiga gunung ini menyatu hingga disebut “Sam-go-san”.
Tay-go-san daerahnya bergoa-goa, lembahnya banyak dan berbatu-batu. Dari kaki gunung sampai perut gunung harus melewati jalan setapak yang datar seperti benang sekitar 60 lie, maka tempat ini dikatakan “Tidak berbahaya mendaki gunung curam”
Tiong-go-san berada di selatan kecamatan Go-bi, Su-go-san lebih ke selatan lagi dari Tiong-go, dua-duanya tidak semegah dan seindah Tay-go-san.
Gunung Go-bi termasyur dengan Ban-hud-teng (Bukit selaksa Budha) Kim-teng ( Bukit emas) dan Jian-hud-teng (Bukit seribu Budha), jarak Pau-kok-sie (Kuil Bela negara) sampai Ban-hud-teng sejauh 130 lie, goa-goanya sunyi dan besar, pepohonannya rimbun, batu-batuannya cantik, banyak kelenteng-kelenteng ternama dan kuil-kuil kuno di sana, semua menambah keasrian...
Cerita ini dimulai dari Su-cio-ti (Kolam Pemandian Gajah)
Su-cio-ti adalah sebuah kuil yang dibangun di bukit setinggi 4000 lie lebih, bangunannya bertingkat-tingkat, tinggi seperti menggantung, berbelok-belok dan berlegok-legok, pemandangannya cantik menawan.
Di empat sisi kuil terdapat pohon-pohon cemara berumur ribuan tahun, berdahan besar dan beranting lebat, seperti raksasa menjulurkan lengan memainkan kepalan, beraneka ragam bentuknya tidak ada mengalah kan.
Di dalam aula besar terdapat patung dewa-dewi dan para pujangga yang duduk di atas gajah putih, penampilannya sangat gagah perkasa.
Suatu hari pagi-pagi di musim semi seorang Siauw-see-bie (Hweesio kecil) sedang menyapu jalan setapak di luar kuil, tiba-tiba merasa sapunya menyen-tuh sepasang kaki, dia mengangkat kepalanya, melihat ke atas dan terkejut.
Ternyata di depannya sudah berdiri seorang laki-laki yang berumur setengah baya dengan dandanan seperti seorang perwira, di pinggangnya tergantung sebuah pisau, wajahnya sangat menyeramkan.
Hweesio kecil ini sangat takut, cepat-cepat dia muncur beberapa langkah sambil berkata:
”Maat Tuan!” aku…aku tidak melihat…
Perwira ini tidak marah, mukanya menebarkan seberkas senyuman seraya berkata:
”Hweesio cilik, aku mau bertanya, apakah jalan setapak ini bisa menuju ke Ban-hud-teng?”
Hweesio kecil itu cepat-cepat menjawab:
”Ya!Ya!”
”Kemana arah jalannya?”
”Dari jalan ini terus ke atas, naik tanjakan Lo-han, melewati bukit kemudian jalannya berbelok sampai melewati kuil Toa-tan, tangga Ho-sin dan Kuil Pek-hun sampai bertemu dengan tanah lapang Lui-tong setelah itu terdapat aula Cia-eng dan melalui jembatan 7 hari, disana ada jalan bercabang tiga, yang kanan ke Ban-hud-teng, yang tengah ke Kim-teng, dan yang kiri ke Bo-in-an…..”
Perwira itu jadi tidak sabar mendengarnya, segera saja memotong:
”Yang aku inginkan ke Ban-hud-teng.”
”Ya! Ya! Tuan mau ke Ban-hud-teng, tapi Tuan harus ke Kim-teng dulu, Kim-teng adalah aula utama kuil Sam-hiang. Tuan bisa makan siang disana, lalu mengikuti jalan terus naik ke atas, sampailah di Ban-hud-teng.”
Perwira itu mengangguk. Dia bertanya lagi:
”Kabarnya diperut gunung, di belakang Ban-hud-teng ada sebuah Sam-ciat-tong?”
Air muka hweesio kecil itu sedikit berubah, dia berkata:
”Ya, aku pernah mendengar ada sebuah goa di tebing terjal itu, tapi aku sendiri belum pernah ke sana, makanya aku kurang tahu pasti.”
Perwira itu berkata lagi:
”Apakah kau pernah bertemu dengan Sam-ciat Lojin?
Hweesio kecil itu menggelengkan kepala seraya berkata:
”Tidak! Tidak!
”Kalau dengan tiga orang muridnya?”
Hweesio kecil itu tercengang:
”Tiga orang murid?”
”Murid sulungnya Tiong Ang, yang ke dua Ong Sit, dan yang ke tiga seorang nona bernama Hie Pak-eng.”
Hweesio kecil dengan gagap berkata:
”Yang ini….yang ini…”
”Kabarnya mereka dalam satu dua hari ini akan tamat belajar dan akan turun gunung!”
Hweesio kecil itu menggelengkan kepalanya lagi:
”Yang ini aku tidak tahu, tidak…tidak pernah mendengar.”
Dengan tertawa perwira berkata:
”Terima-kasih”
Selesai berkata lalu dia pergi dengan langkah besar menuju jalan setapak, dia tidak berlari tapi dalam beberapa kejap saja sudah menempuh jarak berpuluh-puluh tombak dan segera lenyap di kejauhan.
Setelah perwira itu tidak terlihat lagi, hweesio kecil itu kembali lagi menyapu jalan setapak. Tidak lama kemudian datang lagi seseorang dari jalan kecil di bawah. Karena jalannya kecil dia segera menyingkir ke pinggir agar orang itu bisa lewat. Tapi orang itu telah lebih dulu berhenti beberapa langkah, dan dengan tertawa berkata:
”Hweesio cilik, selamat pagi!”
Orang ini kira-kira berumur 50 tahunan, alisnya tebal merebah, dua matanya seperti lonceng kecil dan berewokan, dandanannya seperti orang biasa tapi tampak lebih garang dari perwira tadi.
Hweesio kecil ini setiap pagi menyapu jalan setapak tapi baru kali ini dalam satu hari berturut-turut bertemu dengan dua orang yang tidak dikenal. Dalam hati ia merasa aneh, segera dengan sopan dia menyapa:
”Selamat pagi!”
Orang tua itu berkata:
”Aku mau bertanya, apakah jalan ini menuju Ban-hud-teng?”
”Betul.”
”Kemana arah jalannya?”
Dengan sabar Hweesio kecil ini memberi penjelasan lagi.
”Terima-kasih!” kata orang itu, “kabarnya di Ban-hud-teng ada Sam-ciat-tong yang terletak di tebing terjal perut gunung, apa benar ada seorang tua hebat yang bernama Sam-ciat Lojin?”
Hweesio kecl terbengong-bengong, diam-diam berkata dalam hatinya:
”Aneh, Sam-ciat Lojin sudah beberapa puluh tahun tidak pernah meninggalkan gunung, kenapa hari ini bisa ada dua orang secara bersamaan mencari dia?”
Orang tua ini merasa aneh melihat Hweesio kecil tidak menjawab pertanyaannya, maka ia bertanya lagi:
”Ada tidak?”
Dengan ragu-ragu Hweesio kecil itu menjawab:
”Hweesio tidak mau berbohong, aku…. aku pernah mendengar nama ini, tapi belum pernah bertemu.”
Orang tua berkata:
”Dia mendidik tiga orang murid yang tua bernama Tiong Ang, yang kedua bernama Ong Sit, murid ketiga seorang perempuan bernama Hie Pak-eng, apa kau pernah tahu?”
”Yang ini…Yang ini…”
Dengan tertawa orang tua berkata lagi:
”Hweesio tidak sembarangan bicara!”
“Betul, aku pernah mendengar tapi kurang jelas….” Kata hweesio kecil.
”Kabarnya dalam satu-dua hari ini mereka akan tamat belajar dan akan meninggalkan gurunya.”
Hweesio kecil menggelengkan kepala:
”Yang ini aku tidak tahu.”
Orang tua ini tertawa-tawa, seperti angin saja, sekelebat melewati hweesio kecil, sekejap saja sudah menghilang di jalan setapak!
Pikiran Hweesio kecil jadi bingung, tapi kerena masih kecil dia tidak terlalu menghiraukannya, dan dia pun kembali menyapu lagi.
Dia menyapu terus ke bawah, waktu pekerjaan-nya telah selesai dan dia hendak kembali ke kuil tiba-tiba dia merasa pening, sudah ada seseorang lagi berdiri di depannya.
Kali ini juga seorang tua, umurnya lebih tua dari orang tadi, tapi rupanya sopan dan mengenakan baju hijau seperti seorang guru sekolah.
Hweesio kecil itu tercengang dan berkata:
”Tuan hendak ke Ban-hud-teng?”
Sambil tersenyum-senyum orang tua berbaju hijau ini berkata:
”Betul Suhu kecil!” bagaimana kau bisa tahu aku mau ke sana?”
Tadinya Hweesio kecil ini ingin mengatakan bahwa sebelumnya sudah ada dua orang menanyakan jalan menuju Ban-hud-teng. Tapi dia berpikir jangan merepotkan Sam-ciat Lojin lagi. Lalu dia berkata:
”Tentu saja, sebab pelancong yang sampai di Su-cio-ti, pasti akan mengunjungi ke Ban-hud-teng.”
Orang tua berbaju hijau berkata:
”Kau pintar sekali.”
Hweesio kecil sekali lagi memberi tahu tentang jalan menuju ke Ban-hud-teng.”
Orang tua berbaju hijau itu mengucapkan terima-kasih dan juga menanyakan pertanyaan yang sama dengan dua orang terdahulu:
”Kabarnya di tebing terjal di belakang Ban-hud-teng tinggal Sam-ciat Lojin, dia mendidik tiga orang murid, yang tua bernama Tiong Ang, yang ke dua bernama Ong Sit dan yang ke tiga bernama Hie Pak-eng, seorang perempuan yang cantik. Apa betul begitu?”
Hweesio kecil tetap menjawab dengan perkataan:
“Tidak begitu jelas”
Orang tua berbaju hijau berkata lagi:
”Kau tinggal di gunung Go-bi, seharusnya tahu disini ada Sam-ciat Lojin, “Liong-to” (Pisau Naga), “Go-koan” (Kepalan Angsa), dan “Lu-seng-cu” (Pelor untaian bintang) adalah tiga macam kepandaian yang dimiliki-nya, yang tiada taranya di zaman ini dan tidak ada tandingannya di dunia ini.”
Hweesio kecil menggeleng kepala sambil berkata:
”Hweesio tidak sembarangan bicara, aku benar-benar tidak tahu pasti.”
Orang tua berbaju hijau menanya lagi dengan jelas jalan menuju Ban-hud-teng, setelah itu dia segera pergi melayang, caranya cepat dan aneh. Sama seperti perwira dan orang tua tadi, mereka adalah jago-jago kelas satu di dunia persilatan.
Cuasa masih awal musim semi. Hawa di Ban-hud-teng tetap masih dingin menusuk tulang, seperti musim dingin di utara saja, tidak ada bedanya.
Ban-hud-teng adalah tanah datar, berdiri di sana orang bisa melihat ke empat sisi penjuru, diatas ada langit yang biru, di bawah bukit awan putih bergumpal-gumpal, ada bukit yang menggumpal di bawah awan seperti rebung keluar dari tumpukan salju, sungguh pemandangan yang indah sekali.
Go-bi adalah daerah terindah di seluruh negeri, dalam 10 hari, 8 hari selalu mendung. Tapi hari ini cuaca terlihat cerah, saking cerahnya kita bisa melihat “Sinar Budha” yang termasyur di seluruh negeri.”
Yang dimaksud “Sinar Budha” adalah di atas lautan awan ada lingkaran besar bertumpuk berwarna-warni seperti cakrawala sehabis hujan, amat menakjub-kan dan sangat indah.
Sekarang masih tengah hari, para pelancong bisa naik sampai Ban-hud-teng, biasanya para pelancong makan siang dan beristirahat di kuil ini. Tapi sekarang hanya ada seorang di atas Ban-hud-teng, orang ini seorang hweesio tua. Dia amat bersahaja, berjubah, duduk di sisi lapangan menghadap ke timur, pelupuk-nya menutup mata seperti sedang bertapa, sama sekali tidak bergerak.
Saat ini si perwira sudah tiba di Ban-hud-teng. Begitu melihat hweesio tua itu, segera dia memberi salam dengan merangkapkan kedua belah tangan:
”Salam buat Taysu!”
Dua mata hweesio itu membuka sedikit, dari dalam matanya menyorot sinar yang tajam, dua telapak tangan menyatu membalas salam seraya berkata:
”O-mi-to-hud, Tuan ada keperluan apa?”
”Aku mau bertanya, apakah tempat ini Ban-hud-teng?” Kata si perwira
”Betul!”
”Apa Taysu tahu dimana letaknya Sam-ciat-tong?”
Dengan wajah tenang hweesio tua itu berkata:
”Ada keperluan apa Tuan ke Sam-ciat-tong?”
”Aku tidak akan ke goa itu.”
”Kalau tidak mau kesana, buat apa bertanya tempat itu?”
”Aku hanya mau tahu tempatnya saja!”
”Jauh di awan sana, entah dimana dalam gunung ini.
Sambil tertawa perwira bertanya:
”Boleh aku mengajukan satu pertanyaan lagi?”
”Yang tahu dijawab, yang tidak tahu maaf saja.”
”Kabarnya dalam satu-dua hari ini ketiga murid Sam-ciat Lojin akan tamat belajar dan akan meninggal-kan gurunya, Apa kabar ini betul?”
”Masalah ini aku tidak tahu.”
”Bolehkah aku bertanya satu hal lagi, kalau ketiga murid Sam-ciat Lojin mau turun gunung, apa pasti harus melewati Ban-hud-teng ini?”
”Mungkin.”
Dengan gembira perwira berkata:
”Bagus, kalau begitu aku tunggu disini saja!”
Selesai bicara, perwira berjalan ke pinggir dan duduk di tanah.
Hweesio tua itu menutup mata lagi, duduk meneruskan kegiatannya, sejuta urusan di dunia ini seperti tidak ada hubungan apa-apa dengan dia.
Tidak lama kemudian, orang tua yang berewokan juga tiba diatas Ban-hud-teng, dia melihat perwira itu, mukanya terlihat tercengang, dia berjalan ke depan hweesio tua dengan kedua tangan dirangkapkan berkata:
”Salam buat Taysu!”
Pelan-pelan hweesio tua membuka mata, dengan dua telapak dirapatkan dia berkata:
”Tuan ada keperluan apa?”
”Maaf, aku mau bertanya, apakah tempat ini yang bernama Ban-hud-teng?”
“Betul!”
“Dimana Sam-ciat-tong nya?”
“Jauh di awan sana, entah dimana dalam gunung ini!”
“Kabarnya dalam goa itu tinggal seorang jago luar biasa yang dipanggil Sam-ciat Lojin?”
“Betul!”
“Ada kabar lain mengatakan Sam-ciat Lojin ini punya tiga orang murid, yang tua bernama Tiong Ang, yang kedua bernama Ong Sit dan yang ketiga bernama Hie Pak-eng?”
“Hmmm!”
“Katanya dalam satu-dua hari ini mereka akan tamat belajar dan turun gunung?”
“Masalah itu aku tidak jelas!”
“Taysu kenal Sam-ciat Lojin?”
“Dalam setahun jarang sekali bertemu muka.”
“Kalau tiga orang muridnya mau turun gunung, apa harus melalui Ban-hud-teng ini?”
“Mungkin saja!”
“Terima-kasih!”
Setelah mengucapkan terima kasih orang bere-wokan ini mencari tempat di pinggir untuk duduk.
Related Posts:
Guntur Perak
Malam sudah larut.
Langit sudah tidak bercahaya, tidak berbintang yang berkedip. Udara masih dingin sebab masih musim gugur. Di jalan yang sangat sepi tiba-tiba ada bayang-an orang berkelebat. Dia berhenti sebentar di sudut yang gelap, melihat ke kiri dan ke kanan, seperti seekor kucing dia meloncat ke atas atap! Dia seperti segumpal asap masuk ke dalam rumah itu, dari sinar lampion yang redup, bisa terlihat beberapa huruf tertulis di atas lampion itu ‘Penginapan Jit-kai’.
Orang yang berjalan di malam hari ini seperti sangat hafal dengan penginapan ini. Setelah melewati dinding, dia tidak berhenti sama sekali terus melewati 3 jejer kamar tamu. Dia sangat hafal jalannya, terus berjalan ke kamar sebelah kiri, setelah sampai di sana gerakannya terlihat lebih ringan dan pelan-pelan, seperti takut mengejutkan orang yang ada di dalam kamar. Di depan ranjang ada tirai berwarna kuning muda, tirai setengah tertutup. Dari sisi meja bisa melihat tubuh gadis itu, melihat punggung dan dadanya yang bergerak teratur bernafas dengan tenang.
Dengan nafas memburu orang itu berjalan mendekati ranjang, tidak lupa dia menutup jendela dulu sebelum bergegas ke depan ranjang.
Dia berdiri di depan ranjang, membuka tirai yang setengah tertutup kemudian dengan rakus melihat gadis yang sedang tertidur dengan miring. Sesudah puas melihat, baru dengan hati-hati seperti memegang sebuah benda mahal membalikkan tubuh gadis itu menjadi telentang posisinya.
Cahaya di dalam kamar memang terlalu gelap, tapi masih bisa menyinari wajah gadis yang sedang tertidur itu. Wajahnya yang sangat cantik dengan alis melengkung, bulu mata panjang, hidung kecil dan mancung, bibir kecil yang merah dan basah. Semua ini begitu serasi terpasang di wajah yang berbentuk oval, wajahnya putih bersih, sekarang tiba-tiba ada rona kemerahan, semakin dilihat gadis itu semakin cantik. Benar-benar menggoda orang itu, hampir-hampir air liurnya menetes keluar!
Gadis itu tertidur lelap, seharusnya seorang gadis jangan tertidur seperti itu. Dia memakai baju tidur dari sutra putih yang indah, selimut tipis sudah tersibak ke sisi, maka terlihatlah sepasang tangannya yang putih seperti giok putih, kulitnya begitu licin dan lembut, bila diperas mungkin akan keluar air!
Harum bunga memenuhi kamar itu, bercampur dengan harum yang keluar dari tubuh gadis itu, menjadikan sebuah kekuatan yang menggoda. Meng-goda birahi orang itu.
Dia seperti seekor binatang kelaparan, dengan mata merah, mulut menganga, otot di wajahnya terus berkedut-kedut, tubuhnya pun ikut berputar, akhirnya dia seperti orang gila, mulai merobek baju tidur dan baju dalam gadis itu.
Sekarang gadis ini sudah telanjang bulat, tubuhnya yang indah dan lembut mulai terlihat, benar-benar sangat menggoda!
Pelan-pelan gadis itu membuka matanya lagi, sepasang mata itu terlihat begitu indah, seperti mata kucing yang indah, sorot mata gadis itu melihat tubuh-nya yang telanjang. Kemudian melihat Sie Kun yang berdiri di depan ranjang, yang membuat orang merasa aneh adalah sekarang sorot mata gadis itu begitu dingin dan tenang!
Sie Kun dengan senang menggosok-gosok kedua tangannya, dia maju selangkah dan tertawa sinis, dengan nada cabul berkata:
”Nona cantik, perjalananmu sangat sepi, udara malam begitu dingin, aku yang tidak berguna ini datang untuk memperkenalkan diri, aku sengaja datang untuk menemani Nona dan menghabiskan malam yang….”
Gadis itu melotot, sorot matanya yang dingin berubah menjadi sorot benci, dari tenang berubah menjadi kejam, dia tetap diam, tapi semua giginya menggigit bibirnya dalam-dalam!
Sie Kun menelan ludah lagi, dengan nada cabul dia berkata lagi:
”Ketahuilah kau sudah terkena obatku yang bernama ‘Ih-coan-hiang’ kau akan tertidur pulas selama 6 jam baru bisa sadar, apa pun bisa kuperbuat saat kau tertidur nyenyak, tapi itu tidak seru, karena kau tertidur nyenyak, kau tidak akan merasakan apa-apa dan membiarkanku melakukan apa saja terhadapmu, aku tidak suka menikmati tubuhmu dengan cara ini, selain itu Nona juga tidak bisa menikmatinya, jadi lebih baik kau dalam keadaan sadar kemudian berharap aku melakukan hal ini, Nona harus setuju dan tidak terpaksa, dengan begitu kita bisa saling menikmati dan merasa nyaman…”
Dengan mata penuh dengan urat-urat merah, cakar setan Sie Kun mulai meraba-raba pundak gadis itu:
”Aku sengaja membangunkanmu dengan obat penawarku, supaya kau tidak menyalahkan aku egois karena hanya menikmatinya sendiri…”
Pundak kirinya terus diraba-rana oleh tangan setannya, tubuh gadis itu seperti tersengat aliran listrik terus bergetar, dia juga ingin muntah seperti ada benda kotor yang menempel di tubuhnya!
”Singkirkan tangan kotormu!” gadis itu tiba-tiba membuka suara.
“Apa! Mengapa kau tidak mau?” Sie Kun ter-paku, dia menarik kembali tangannya, dia pun seperti merasa aneh
Dari matanya yang indah keluar sorot sedih dan terhina, tapi gadis itu tetap menahan diri, dengan dingin dan kejam dia bekata:
”Kau benar-benar berani, kau benar-benar buta, dengan cara kerdil berani memperlakukan aku seperti ini, seharusnya kata-kata kotor tidak keluar dari mulut manusia seperti aku, binatang, anjing, setan! Aku akan membuatmu mati dan mayatmu digiling!”
Kemarahan gadis itu sudah meluap sampai batasnya, hingga Sie Kun pun menjadi panas, dia menggerung dengan sinis berkata:
”Kau... kau… kau… benar-benar tidak tahu diri, berani memarahiku, sekarang aku akan mempermain-kanmu, apa kau bisa melarangku?”
Lalu dia duduk di ranjang mulai membuka bajunya.
Gadis itu ingin bergerak tapi tidak bisa, ber-teriak pun tidak diijinkan, dia mulai berkata:
”Kau.. anjing, kalau kau berani menyentuhku!”
”Siapa dirimu? Kata Sie Kun dengan senang, “mengapa aku tidak berani menyentuhmu? Coba lihat apakah aku berani melakukannya?”
Kedua mata gadis itu berlinang air mata, bibir-nya sudah berdarah karena digigit dengan kencang, darah memenuhi pipi, dengan penuh kebencian dia masih berkata:
”Anjing! Aku adalah anak angkat ‘Ciam-tai Yu-li’ dari ‘Liok-sun-lou’, kalau kau berani menyentuhku, ayah angkatku akan membunuhmu dan memotong-motong mayatmu!”
Itulah sekelumit gambaran awal dr cerita karangan Liu Can Yang. Cerita dibuka dengan usaha “serigala setan” Sie Kun yang ingin memperkosa Sui Peng Sim, putri angkat Ciam Tai Yu Li ketua Liok Sun Lou. Untunglah usaha ini digagalkan oleh Wie Long In, Siauya dari Bu Hwe To. Tetapi bukannya berterima kasih, Sui Peng Sim pada mulanya malah merasa sakit hati dan terhina oleh Wie Long In. Cerita kemudian berkembang dengan suasana persaingan diantara 4 kubu kekuatan yang paling berpengaruh di dunia persilatan untuk memperebutkan posisi Beng Cu. Ke empat kubu itu adalah Bu Hwe To, Liok Sun Lou, Ci Leng Kiong, dan Hong Ting Po. Masing masing kubu masih mempunyai sekutu kuatnya masing masing. Cerita mengalir terus dengan berbagai macam taktik dan strategi dari masing masing kubu supaya dapat bertahan dari serangan lainnya dan di bumbui juga dengan naik turunnya hubungan Wie Long In dan Sui Peng Sim. Disadur oleh Liang YL, terdiri dari 4 jilid dengan 1232 halaman.
Langit sudah tidak bercahaya, tidak berbintang yang berkedip. Udara masih dingin sebab masih musim gugur. Di jalan yang sangat sepi tiba-tiba ada bayang-an orang berkelebat. Dia berhenti sebentar di sudut yang gelap, melihat ke kiri dan ke kanan, seperti seekor kucing dia meloncat ke atas atap! Dia seperti segumpal asap masuk ke dalam rumah itu, dari sinar lampion yang redup, bisa terlihat beberapa huruf tertulis di atas lampion itu ‘Penginapan Jit-kai’.
Orang yang berjalan di malam hari ini seperti sangat hafal dengan penginapan ini. Setelah melewati dinding, dia tidak berhenti sama sekali terus melewati 3 jejer kamar tamu. Dia sangat hafal jalannya, terus berjalan ke kamar sebelah kiri, setelah sampai di sana gerakannya terlihat lebih ringan dan pelan-pelan, seperti takut mengejutkan orang yang ada di dalam kamar. Di depan ranjang ada tirai berwarna kuning muda, tirai setengah tertutup. Dari sisi meja bisa melihat tubuh gadis itu, melihat punggung dan dadanya yang bergerak teratur bernafas dengan tenang.
Dengan nafas memburu orang itu berjalan mendekati ranjang, tidak lupa dia menutup jendela dulu sebelum bergegas ke depan ranjang.
Dia berdiri di depan ranjang, membuka tirai yang setengah tertutup kemudian dengan rakus melihat gadis yang sedang tertidur dengan miring. Sesudah puas melihat, baru dengan hati-hati seperti memegang sebuah benda mahal membalikkan tubuh gadis itu menjadi telentang posisinya.
Cahaya di dalam kamar memang terlalu gelap, tapi masih bisa menyinari wajah gadis yang sedang tertidur itu. Wajahnya yang sangat cantik dengan alis melengkung, bulu mata panjang, hidung kecil dan mancung, bibir kecil yang merah dan basah. Semua ini begitu serasi terpasang di wajah yang berbentuk oval, wajahnya putih bersih, sekarang tiba-tiba ada rona kemerahan, semakin dilihat gadis itu semakin cantik. Benar-benar menggoda orang itu, hampir-hampir air liurnya menetes keluar!
Gadis itu tertidur lelap, seharusnya seorang gadis jangan tertidur seperti itu. Dia memakai baju tidur dari sutra putih yang indah, selimut tipis sudah tersibak ke sisi, maka terlihatlah sepasang tangannya yang putih seperti giok putih, kulitnya begitu licin dan lembut, bila diperas mungkin akan keluar air!
Harum bunga memenuhi kamar itu, bercampur dengan harum yang keluar dari tubuh gadis itu, menjadikan sebuah kekuatan yang menggoda. Meng-goda birahi orang itu.
Dia seperti seekor binatang kelaparan, dengan mata merah, mulut menganga, otot di wajahnya terus berkedut-kedut, tubuhnya pun ikut berputar, akhirnya dia seperti orang gila, mulai merobek baju tidur dan baju dalam gadis itu.
Sekarang gadis ini sudah telanjang bulat, tubuhnya yang indah dan lembut mulai terlihat, benar-benar sangat menggoda!
Pelan-pelan gadis itu membuka matanya lagi, sepasang mata itu terlihat begitu indah, seperti mata kucing yang indah, sorot mata gadis itu melihat tubuh-nya yang telanjang. Kemudian melihat Sie Kun yang berdiri di depan ranjang, yang membuat orang merasa aneh adalah sekarang sorot mata gadis itu begitu dingin dan tenang!
Sie Kun dengan senang menggosok-gosok kedua tangannya, dia maju selangkah dan tertawa sinis, dengan nada cabul berkata:
”Nona cantik, perjalananmu sangat sepi, udara malam begitu dingin, aku yang tidak berguna ini datang untuk memperkenalkan diri, aku sengaja datang untuk menemani Nona dan menghabiskan malam yang….”
Gadis itu melotot, sorot matanya yang dingin berubah menjadi sorot benci, dari tenang berubah menjadi kejam, dia tetap diam, tapi semua giginya menggigit bibirnya dalam-dalam!
Sie Kun menelan ludah lagi, dengan nada cabul dia berkata lagi:
”Ketahuilah kau sudah terkena obatku yang bernama ‘Ih-coan-hiang’ kau akan tertidur pulas selama 6 jam baru bisa sadar, apa pun bisa kuperbuat saat kau tertidur nyenyak, tapi itu tidak seru, karena kau tertidur nyenyak, kau tidak akan merasakan apa-apa dan membiarkanku melakukan apa saja terhadapmu, aku tidak suka menikmati tubuhmu dengan cara ini, selain itu Nona juga tidak bisa menikmatinya, jadi lebih baik kau dalam keadaan sadar kemudian berharap aku melakukan hal ini, Nona harus setuju dan tidak terpaksa, dengan begitu kita bisa saling menikmati dan merasa nyaman…”
Dengan mata penuh dengan urat-urat merah, cakar setan Sie Kun mulai meraba-raba pundak gadis itu:
”Aku sengaja membangunkanmu dengan obat penawarku, supaya kau tidak menyalahkan aku egois karena hanya menikmatinya sendiri…”
Pundak kirinya terus diraba-rana oleh tangan setannya, tubuh gadis itu seperti tersengat aliran listrik terus bergetar, dia juga ingin muntah seperti ada benda kotor yang menempel di tubuhnya!
”Singkirkan tangan kotormu!” gadis itu tiba-tiba membuka suara.
“Apa! Mengapa kau tidak mau?” Sie Kun ter-paku, dia menarik kembali tangannya, dia pun seperti merasa aneh
Dari matanya yang indah keluar sorot sedih dan terhina, tapi gadis itu tetap menahan diri, dengan dingin dan kejam dia bekata:
”Kau benar-benar berani, kau benar-benar buta, dengan cara kerdil berani memperlakukan aku seperti ini, seharusnya kata-kata kotor tidak keluar dari mulut manusia seperti aku, binatang, anjing, setan! Aku akan membuatmu mati dan mayatmu digiling!”
Kemarahan gadis itu sudah meluap sampai batasnya, hingga Sie Kun pun menjadi panas, dia menggerung dengan sinis berkata:
”Kau... kau… kau… benar-benar tidak tahu diri, berani memarahiku, sekarang aku akan mempermain-kanmu, apa kau bisa melarangku?”
Lalu dia duduk di ranjang mulai membuka bajunya.
Gadis itu ingin bergerak tapi tidak bisa, ber-teriak pun tidak diijinkan, dia mulai berkata:
”Kau.. anjing, kalau kau berani menyentuhku!”
”Siapa dirimu? Kata Sie Kun dengan senang, “mengapa aku tidak berani menyentuhmu? Coba lihat apakah aku berani melakukannya?”
Kedua mata gadis itu berlinang air mata, bibir-nya sudah berdarah karena digigit dengan kencang, darah memenuhi pipi, dengan penuh kebencian dia masih berkata:
”Anjing! Aku adalah anak angkat ‘Ciam-tai Yu-li’ dari ‘Liok-sun-lou’, kalau kau berani menyentuhku, ayah angkatku akan membunuhmu dan memotong-motong mayatmu!”
Itulah sekelumit gambaran awal dr cerita karangan Liu Can Yang. Cerita dibuka dengan usaha “serigala setan” Sie Kun yang ingin memperkosa Sui Peng Sim, putri angkat Ciam Tai Yu Li ketua Liok Sun Lou. Untunglah usaha ini digagalkan oleh Wie Long In, Siauya dari Bu Hwe To. Tetapi bukannya berterima kasih, Sui Peng Sim pada mulanya malah merasa sakit hati dan terhina oleh Wie Long In. Cerita kemudian berkembang dengan suasana persaingan diantara 4 kubu kekuatan yang paling berpengaruh di dunia persilatan untuk memperebutkan posisi Beng Cu. Ke empat kubu itu adalah Bu Hwe To, Liok Sun Lou, Ci Leng Kiong, dan Hong Ting Po. Masing masing kubu masih mempunyai sekutu kuatnya masing masing. Cerita mengalir terus dengan berbagai macam taktik dan strategi dari masing masing kubu supaya dapat bertahan dari serangan lainnya dan di bumbui juga dengan naik turunnya hubungan Wie Long In dan Sui Peng Sim. Disadur oleh Liang YL, terdiri dari 4 jilid dengan 1232 halaman.
Related Posts:
Panah Kekasih
Undangan Dewa Kematian & Panah Kekasih.
Angin utara berhembus kencang, salju turun dengan derasnya membuat seluruh langit berwarna kelabu, udara terasa dingin membeku.
Di tengah hujan salju yang amat deras, terlihat seekor kuda dilarikan kencang memasuki kota Poo-ting. Derap kaki kuda yang ramai menimbulkan percikan bunga salju yang berhamburan sepanjang jalan kota.
Mendadak diiringi suara ringkikan panjang, kuda itu berhenti berlari, berhenti persis disisi sebuah bangunan rumah yang luas dan megah.
Di atas pintu gerbangnya yang berwarna hitam, di bawah tetesan air beku dari wuwungan rumah, tertancap sebuah panji besar berdasar hitam dengan gambar seekor singa merah, berkibar kencang terhembus angin.
Orang yang berada di atas kuda itu segera melompat turun dari kudanya, tanpa mengetuk pintu, tanpa berteriak memanggil, dia menjejakkan ujung kakinya ke tanah dan segera melayang masuk ke dalam halaman rumah.
“Saudara Say, dimana kau berada?” teriaknya sambil membersihkan jenggotnya dari bunga salju.
“Siapa?” dari balik ruang tengah bergema bentakan nyaring.
Pintu gedung segera dibuka lebar, secercah cahaya lentera menyinari permukaan halaman yang penuh salju. Seorang lelaki berwajah merah bermantel halus melangkah keluar dengan tindakan lebar.
Begitu melihat sang pendatang, berkilat sepasang matanya, dengan lantang bentaknya:
“Tham-samko, kenapa kau muncul disini? Cepat masuk, minumlah dua cawan arak hangat lebih dahulu”
Wajahnya kelihatan girang dan nadanya jauh lebih halus.
Tham Siau-hong berdiri mematung dengan wajah murung, sahutnya dengan berat:
“Saudara Say, apakah kau telah menerima Si-sin-tiap (surat undangan dewa kematian)?”
Tampak tubuh lelaki bermuka merah itu bergetar keras, dengan wajah berubah dia mendongakkan kepala memandang sekejap ke luar ruangan, seakan-akan sedang memeriksa apakah di sekitar wuwungan rumah ada manusia atau tidak.
Kembali Tham Siau-hong berkata:
“Walaupun tempat ini gelap tanpa rembulan, namun hari ini adalah saat bulan purnama, saat undangan dewa kematian dan panah kekasih beraksi, bila di tempat saudara Say tidak ada kejadian apa-apa, sekarang juga aku akan merangkat ke Bang-tok-shia untuk memeriksa keadaan di situ!”
Lelaki bermuka merah itu mengerutkan sepasang alis matanya yang tebal kemudian sahutnya:
“Saudara Tham, tidak seorangpun bisa menduga di tempat mana undangan malaikat kematian akan muncul. Apakah kau tidak merasa lelah dengan berlarian tanpa tujuan?”
Tham Siau-hong menghela napas panjang.
“Aaai, semenjak Sam-siang-thayhiap Jay Peng tewas di ujung panah kekasih, kami empat bersaudara telah bersumpah akan melacak jejak undangan maut dan panah kekasih ini hingga tuntas, sekalipun harapan untuk itu amat tipis, namun kami tetap akan berusaha dengan sepenuh tenaga, paling tidak demi menjaga kelestarian umat persilatan di dunia ini”
Lelaki berwajah merah itu tertunduk lesu, dia tampak sedih sekali.
“Saudara Say, jaga dirimu baik-baik, aku harus segera pergi” kata Tham Siau-hong lagi sambil menjura.
“Tham-samko, tunggu sebentar!”
Namun Tham Siau-hong telah melesat dan melompat keluar dari halaman rumah.
Menyusul kemudian terdengar suara derap kaki kuda yang santer berkumandang menjauh dari situ.
Dengan satu gerakan cepat lelaki berwajah merah itu melompat keluar ke depan pintu gerbang, mengawasi bayangan manusia dan derap kuda yang makin menjauh tiba-tiba sekilas perasaan sedih melintas di wajahnya, gumamnya:
“Nama besar Jin-gi-su-hiap (empat pendekar kebajikan dan kesetiakawanan) ternyata memang bukan nama kosong belaka”
Tham Siau-hong melarikan kudanya sangat kencang, dia bergerak menuju ke kota Bong-tok.
Tidak selang berapa saat kemudian hutan di luar kota telah muncul di depan mata, walaupun di tengah kegelapan malam namun cahaya lampu tampak bersinar terang dari balik sebuah bangunan di tengah hutan. Cahaya yang terang hampir menyinari seluruh permukaan salju dan ranting dahan pepohonan.
Diam-diam Tham Siau-hong menghembuskan napas lega, sekilas senyuman muncul di ujung bibir, pikirnya:
“Ternyata watak It-kiam-ceng-ho-suo (Pedang yang menggetarkan utara sungai) sama sekali tidak berubah, walau sudah menjelang tengah malam, dia masih menggelar pesta pora bersama teman-temannya, tidak heran kalau gedung bangunannya masih ber-mandikan cahaya lampu”
Biarpun ditengah hembusan angin dingin, secerca perasaan hangat muncul dari lubuk matinya.
Setelah melompat turun dari kudanya, dia berlari menuju pintu gerbang dan menggedornya.
Ternyata pintu hanya dirapatkan tanpa dikunci, satu ingatan cepat melintas lewat, segera teriaknya nyaring:
“Thio-heng, siaute Tham Siau-hong datang berkunjung!”
Suasana tetap hening, tiada suara jawaban yang terdengar kecuali tumpukan salju di atas dahan yang berguguran, biarpun ruang gedung bermandikan cahaya, ternyata tidak terdengar sedikit suara pun.
Tercekat perasaan Tham Siau-hong, buru buru dia menerjang masuk ke ruang dalam.
Di bawah cahaya lentera, suasana tetap hening, sepi, tidak nampak sesosok bayangan manusia pun. Yang terdengar kini hanya kertas jendela yang gemerisik terhembus angin kencang.
Tham Siau-hong semakin terkesiap, tubuhnya mulai gemetar keras, selangkah demi selangkah dia memasuki halaman depan, mendekati ruang utama dan membuka pintu perlahan.
Suasana didalam ruang tengah terasa jauh lebih terang, seorang kakek berjenggot panjang duduk di sebuah bangku terbuat dari kayu cendana, bangku itu berada tepat di tengah ruangan.
Angin kencang berhembus lewat, mengibarkan jenggot panjang kakek itu, namun suasana tetap hening, tidak ada suara, tidak ada gerakan tubuh.
“Thio-toako, kau..........” jerit Tham Siau-hong keras.
Tiba-tiba pandangan mata serta jeritannya menjadi kaku, membeku keras, dia menyaksikan di atas dada kakek itu telah tertancap dua batang panah pendek sepanjang lima inci, sebatang panah merah membara bagaikan darah panas dari kekasih dan sebatang panah lain berwarna hitam pekat bagai biji mata seorang kekasih.
Sepasang panah itu menancap berjajar di atas ulu hatinya.
Ketika dicabut keluar, terlihatlah di atas panah pendek itu tertera berapa huruf yang kecil lagi lembut:
“Panah Kekasih!”
Sekalipun jenggot panjang kakek itu masih berkibar terhembus angin, namun wajahnya telah dingin kaku bahkan memperlihatkan mimik yang menakutkan, seolah-olah menjelang kematiannya dia telah menyaksikan sesuatu ancaman horor yang sangat mengerikan.
Dalam waktu singkat Tham Siau-hong merasakan hawa dingin muncul dari telapak kakinya dan menusuk ulu hatinya, dia berdiri mematung, sementara air mata jatuh bercucuran.
“Thio-toako, siaute datang terlambat...” gumam-nya.
Belum selesai dia berkata, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar seseorang tertawa dingin.
“Siapa bilang terlambat? Kau masih bisa menyusul-nya!”
Dengan perasaan tercekat Tham Siau-hong mem-balikkan tubuhnya, selembar kertas merah melayang datang dan tepat terjatuh di hadapannya.
Ketika dia menyambar kertas tadi, ternyata undangan itu kosong tanpa tulisan, yang tertera hanya lukisan sebuah tengkorak yang sedang menyeringai.
Kertas undangan berwarna merah dengan lukisan tengkorak berwarna hitam, hanya sepasang kelopak mata tengkorak itu yang memancarkan warna kehijau hijauan.
Tham Siau-hong gemetar keras, tanpa sadar dia mundur sempoyongan.
Kembali terdengar suara tertawa dingin bergema di belakang tubuhnya, cepat dia membalikkan tubuh, tampaklah sepasang mata berwarna hijau menyeram-kan sedang mengawasi dirinya tanpa berkedip.
Kecuali sepasang mata berwarna hijau itu, dia tidak bisa melihat apa-apa lagi. Karena pada saat itulah sepasang anak panah pendek berwarna merah dan hitam telah menghujam di ulu hatinya tanpa menimbul kan sedikit suarapun.
Sepasang panah itu muncul tanpa disangka, persis seperti kerlingan mata dari sang kekasih, yang mem-buat kau tidak bisa menyangka dan kau terpaksa harus menerimanya dengan perasaan lega.
Oo0oo oo0oo
Matahari senja telah tenggelam di balik bukit, cahaya sore menyinari seluruh jagad, menyoroti pula kuil Taer–si (kumbum) di propinsi Cing-hay yang sudah tersohor di seantero jagad.
Di sisi selatan aula utama, di sebuah tanah lapang yang luas, tampak manusia berjejal amat ramai, mereka datang untuk menyaksikan upacara tarian memuja dewa yang segera akan dilakukan pengikut agama Lhama.
Sekeliling tanah lapang itu bertebar bangunan kuil berwarna kuning emas, kawanan lautan manusia itu nyaris mengelilingi seluruh halaman kuil.
Dalam ruang aula yang luas dan lebar, dengan alas permadani berwarna merah darah, berdiri berjajar sepuluh orang lhama berjubah kuning, perpaduan warna merah dan kuning yang mencolok membuat suasana disitu terasa jauh lebih ceria.
Di tengah kerumunan manusia yang sedang bergembira, selain sekelompok pendeta lhama itu, terdapat pula seorang kakek berjubah ungu, berjenggot panjang, berdiri di tengah kerumunan orang banyak, berdiri dengan wajah keren penuh wibawa, penampilannya tidak ubahnya seperti bangau di tengah kerumunan ayam.
Sementara itu, suara musik yang sederhana tapi aneh berkumandang memenuhi udara, di ikuti muncul-nya empat belas orang lhama berjubah kuning, dengan membawa alat musik seperti tambur dan kencrengan menampakkan diri dengan sangat teratur.
Baru saja sinar mata kakek berjubah ungu itu berkilat, tiba-tiba dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menegur:
“Apa benar yang ada di depan adalah Gui Cu-im, Gui-jiko dari Jin-gi-su-hiap (empat pendekar kebajikan dan kesetiakawanan)?”
Ketika Gui Cu-im berpaling, dia menjumpai seorang kakek berkopiah kain sedang berjalan meng-hampiri, mendekat sambil menyingkirkan kerununan orang disekelilingnya.
“Ma-koan-heng” seru kakek berjubah ungu itu sambil menggenggam tangannya, “kenapa kau bisa muncul disini?”
“Kebetulan saja siaute hendak menuju ke dataran Tionggoan, karena itu melewati tempat ini” sahut kakek itu tertawa, “tapi.... apa pula sebabnya Gui-jiko datang kemari? Bikin aku bingung saja”
Dalam pada itu di tengah tanah lapang yang berlapis bebatuan sebesar telur bebek telah muncul empat orang bertopeng setan cilik, topeng berwarna kuning dan hijau, mereka mulai melakukan tarian yang bebal mengikuti suara irama musik.
Gui Cu-im menyapu sekejap sekeliling arena, kemudian katanya sambil tertawa:
“Sudah lama aku mendengar kalau kaum lhama di wilayah sini memiliki kepandaian silat yang tidak terkirakan hebatnya, sudah lama aku ingin melihatnya, selain itu........”
Setelah menarik kembali senyumannya dia melanjutkan:
“Akupun ingin memeriksa, apakah undangan kematian dan panah kekasih yang sudah menjadi wabah penyakit mematikan bagi umat persilatan, telah menyebar pula sampai disini”
Berubah hebat paras muka kakek berkopiah kain itu.
“Biarpun tinggal jauh di luar perbatasan, namun dari perbincangan para jago dan pengembara sempat kudengar juga kisah tentang undangan maut serta panah kekasih. Tidak disangka kedatangan Gui-jiko adalah lantaran urusan ini. Masa sih surat undangan dan anak panah itu benar benar menakutkan?”
Saat itu, setan-setan cilik yang berada di tengah lapang telah melompat balik ke dalam aula, sementara empat orang manusia tinggi besar seperti malaikat raksasa dengan wajah kuning emas dan jubah berwarna biru mulai menari-nari, semakin gencar suara irama yang berbunyi, mereka mencak-mencak makin keras.
Di tengah suara tambur dan gembrengan yang memekikkan telinga itulah Gui Cu-han menghela napas panjang, ujarnya dengan suara berat:
“Sepanjang hidup belum pernah siaute dengar tentang senjata rahasia yang begitu misterius dan menakutkan seperti panah kekasih, tapi dalam kenyataan, tidak sampai setengah tahun sudah ada puluhan orang jago kenamaan yang tewas di ujung panah tersebut, dan anehnya, hingga sekarang tidak seorang manusia pun di kolong langit yang mengetahui asal-usul senjata itu”
“Aaah, hanya dua batang panah pendek pun bisa menimbulkan horor sehebat ini? Satu kejadian yang sungguh di luar dugaan, mungkinkah ujung panah itu beracun? Mungkinkah racun jahat itu tidak bisa di-punahkan? Sekalipun senjata rahasia itu amat beracun pun, semestinya jago yang berilmu tinggi masih mampu mnghindarinya, kenapa tidak seorang pun bisa berkelit?”
Ketika ke empat Kim-kong mundur, sekarang yang muncul adalah empat orang dengan topeng setan bengis berbentuk binatang, ada yang berkepala kerbau ada pula yang berkepala rusa, mereka menari dengan kalapnya, seperti orang kesurupan saja.
Sambil menghela napas kembali Gui Cu-im berkata:
“Aku sendiripun dibuat tidak habis mengerti, tahukah kau jagoan senjata rahasia beracun nomor wahid di kolong langit, Tong bersaudara dari Siok-tiong pun telah menemui ajalnya oleh panah kekasih pada tiga bulan berselang. Dalam dunia persilatan bukannya tidak ada orang yang bisa memunahkan racun jahat itu, sayang yang mampu hanya satu orang saja. Bila tiga jam setelah terkena panah itu sang korban segera dihantar ke rumah orang tersebut, ditanggung dalam sepuluh hari, kesehatannya akan pulih kembali. Sayangnya jejak panah kekasih sukar dilacak, hari ini berada di timur, mungkin esok sudah di barat, akhir-nya sampai sekarang hanya tiga sampai lima orang saja yang berhasil tertolong nyawanya”
Kakek berkopiah kain itu menghela napas sedih, kedua orang itupun saling bertatap muka tanpa berbicara lagi.
Sementara itu suara tambur dan gembrengan sudah makin lirih, senja lewat malampun menjelang tiba, di balik kegelapan malam yang mencekam terlihat bulan purnama muncul dari balik awan.
Di bawah cahaya rembulan yang redup, di tengah irama musik yang berat, empat orang bertopeng tengkorak muncul di tengah ruang aula sambil meng-gotong sebuah kotak kayu, di tengah kotak terdapat sebuah patung manusia yang dibuat seakan siap menerima hukuman pacung.
Begitu kawanan manusia bertopeng tengkorak munculkan diri, tarian pemujaan berlangsung makin memuncak, irama musik pun berubah jadi semakin lambat dan berat.
Waktu itu, walaupun Gui Cu-im dan kakek berkopiah itu sedang sedih dan risau memikirkan keselamatan dunia persilatan, tidak urung mereka menengok juga ke tengah aula.
Dari balik ruangan kembali berjalan keluar empat orang Kim-kong, delapan belas Lohan, dewa kerbau, dewa menjangan serta ‘dewa” lainnya ditambah dua orang kakek bertopeng yang muncul sambil meng-gandeng lima orang bocah yang mengenakan topeng juga.
Setelah rombongan ‘manusia’ tadi, di belakangnya mengikuti seorang berkepala kerbau berjubah berkilat yang berdandan sebagai Ciang-mo Goanswee (Jenderal penakluk iblis),
Pada bagian kepalanya terdapat sepasang tanduk dari emas yang berkilauan, sementara di tangannya menggengam sebilah golok baja yang sangat mencolok mata.
Dalam waktu singkat suara musik ditabuh makin kencang, kawanan iblis dan setan pun menari makin menggila, sementara ke empat setan tengkorak dengan membawa kotak kayu perlahan-lahan berjalan menuju ke hadapan sekawanan lhama yang berdiri dengan wajah serius itu.
Bersamaan dengan itu, puluhan batang obor di angkat bersama-sama dari empat penjuru, menerangi ruang tengah itu.
Berbareng dengan berkilaunya cahaya obor, tiba tiba dari balik mata ke empat tengkorak itu memancar-kan sinar kehijau hijauan yang menyeramkan.
Irama musik ditabuh semakin keras, Ciang-mo Goanswee membalikkan tubuh sambil berjalan menuju ke depan kotak kayu, dengan sekali tebasan golok, boneka berbentuk manusia itu sudah dibacok hingga terbelah jadi dua.
Tempik sorak segera bergema menggetarkan udara.
Mendadak Gui Cu-im merasakan hatinya bergetar keras, ternyata di saat tadi golok itu berkilat, ia telah menyaksikan selembar kartu undangan berwarna merah darah tertempel di atas boneka manusia itu.
Dalam kagetnya Gui Cu-im berteriak keras, tubuhnya melejit ke udara dan menyambar ke tengah aula bagaikan seekor alap-alap yang menyambar mangsa.
Tapi pada saat itulah dua batang anak panah pendek telah menancap di ulu hati ke sepuluh lhama berjubah kuning itu.
Seketika suasana berubah jadi kacau, kawanan setan dan iblis berlarian tercerai berai, semua orang berebut menyelamatkan diri.
Gui Cu-im membentak keras, sekarang dia telah mengincar seorang setan tengkorak yang berada di hadapannya, sambil menubruk langsung dari udara, hardiknya:
“Hendak kabur ke mana kau!”
Tiba-tiba setan tengkorak itu membalikkan tubuh, sinar kehijau-hijauan yang mengerikan memancar keluar dari balik matanya.
Kembali Gui Cu-im membentak keras, dengan jurus Hui-eng-pok-touw (alap-alap menyambar kelinci) sepasang telapak tangannya menyambar ke bawah mengancam batok kepala tengkorak itu.
Ketika kakek berkopiah kain itu baru melambung ke udara, dia menyaksikan serangan maut dari Gui Cu-im telah menghajar telak di tubuh setan tengkorak itu.
Jeritan ngeri yang menyayat hati bergema di udara, jeritan itu bukan berasal dari setan tengkorak melain-kan dari Gui Cu-im.
Tampak tubuh jagoan tua itu mencelat ke udara sambil kejang-kejang keras lalu roboh terkapar di tanah dan tidak berkutik lagi.
Sambil menjerit kaget kakek berkopiah kain itu berlarian mendekat, tampak dua batang anak panah pendek, satu berwarna merah, yang lain bertwarna hitam telah menancap telak di ulu hati Gui Cu-im.
Angin utara berhembus kencang, salju turun dengan derasnya membuat seluruh langit berwarna kelabu, udara terasa dingin membeku.
Di tengah hujan salju yang amat deras, terlihat seekor kuda dilarikan kencang memasuki kota Poo-ting. Derap kaki kuda yang ramai menimbulkan percikan bunga salju yang berhamburan sepanjang jalan kota.
Mendadak diiringi suara ringkikan panjang, kuda itu berhenti berlari, berhenti persis disisi sebuah bangunan rumah yang luas dan megah.
Di atas pintu gerbangnya yang berwarna hitam, di bawah tetesan air beku dari wuwungan rumah, tertancap sebuah panji besar berdasar hitam dengan gambar seekor singa merah, berkibar kencang terhembus angin.
Orang yang berada di atas kuda itu segera melompat turun dari kudanya, tanpa mengetuk pintu, tanpa berteriak memanggil, dia menjejakkan ujung kakinya ke tanah dan segera melayang masuk ke dalam halaman rumah.
“Saudara Say, dimana kau berada?” teriaknya sambil membersihkan jenggotnya dari bunga salju.
“Siapa?” dari balik ruang tengah bergema bentakan nyaring.
Pintu gedung segera dibuka lebar, secercah cahaya lentera menyinari permukaan halaman yang penuh salju. Seorang lelaki berwajah merah bermantel halus melangkah keluar dengan tindakan lebar.
Begitu melihat sang pendatang, berkilat sepasang matanya, dengan lantang bentaknya:
“Tham-samko, kenapa kau muncul disini? Cepat masuk, minumlah dua cawan arak hangat lebih dahulu”
Wajahnya kelihatan girang dan nadanya jauh lebih halus.
Tham Siau-hong berdiri mematung dengan wajah murung, sahutnya dengan berat:
“Saudara Say, apakah kau telah menerima Si-sin-tiap (surat undangan dewa kematian)?”
Tampak tubuh lelaki bermuka merah itu bergetar keras, dengan wajah berubah dia mendongakkan kepala memandang sekejap ke luar ruangan, seakan-akan sedang memeriksa apakah di sekitar wuwungan rumah ada manusia atau tidak.
Kembali Tham Siau-hong berkata:
“Walaupun tempat ini gelap tanpa rembulan, namun hari ini adalah saat bulan purnama, saat undangan dewa kematian dan panah kekasih beraksi, bila di tempat saudara Say tidak ada kejadian apa-apa, sekarang juga aku akan merangkat ke Bang-tok-shia untuk memeriksa keadaan di situ!”
Lelaki bermuka merah itu mengerutkan sepasang alis matanya yang tebal kemudian sahutnya:
“Saudara Tham, tidak seorangpun bisa menduga di tempat mana undangan malaikat kematian akan muncul. Apakah kau tidak merasa lelah dengan berlarian tanpa tujuan?”
Tham Siau-hong menghela napas panjang.
“Aaai, semenjak Sam-siang-thayhiap Jay Peng tewas di ujung panah kekasih, kami empat bersaudara telah bersumpah akan melacak jejak undangan maut dan panah kekasih ini hingga tuntas, sekalipun harapan untuk itu amat tipis, namun kami tetap akan berusaha dengan sepenuh tenaga, paling tidak demi menjaga kelestarian umat persilatan di dunia ini”
Lelaki berwajah merah itu tertunduk lesu, dia tampak sedih sekali.
“Saudara Say, jaga dirimu baik-baik, aku harus segera pergi” kata Tham Siau-hong lagi sambil menjura.
“Tham-samko, tunggu sebentar!”
Namun Tham Siau-hong telah melesat dan melompat keluar dari halaman rumah.
Menyusul kemudian terdengar suara derap kaki kuda yang santer berkumandang menjauh dari situ.
Dengan satu gerakan cepat lelaki berwajah merah itu melompat keluar ke depan pintu gerbang, mengawasi bayangan manusia dan derap kuda yang makin menjauh tiba-tiba sekilas perasaan sedih melintas di wajahnya, gumamnya:
“Nama besar Jin-gi-su-hiap (empat pendekar kebajikan dan kesetiakawanan) ternyata memang bukan nama kosong belaka”
Tham Siau-hong melarikan kudanya sangat kencang, dia bergerak menuju ke kota Bong-tok.
Tidak selang berapa saat kemudian hutan di luar kota telah muncul di depan mata, walaupun di tengah kegelapan malam namun cahaya lampu tampak bersinar terang dari balik sebuah bangunan di tengah hutan. Cahaya yang terang hampir menyinari seluruh permukaan salju dan ranting dahan pepohonan.
Diam-diam Tham Siau-hong menghembuskan napas lega, sekilas senyuman muncul di ujung bibir, pikirnya:
“Ternyata watak It-kiam-ceng-ho-suo (Pedang yang menggetarkan utara sungai) sama sekali tidak berubah, walau sudah menjelang tengah malam, dia masih menggelar pesta pora bersama teman-temannya, tidak heran kalau gedung bangunannya masih ber-mandikan cahaya lampu”
Biarpun ditengah hembusan angin dingin, secerca perasaan hangat muncul dari lubuk matinya.
Setelah melompat turun dari kudanya, dia berlari menuju pintu gerbang dan menggedornya.
Ternyata pintu hanya dirapatkan tanpa dikunci, satu ingatan cepat melintas lewat, segera teriaknya nyaring:
“Thio-heng, siaute Tham Siau-hong datang berkunjung!”
Suasana tetap hening, tiada suara jawaban yang terdengar kecuali tumpukan salju di atas dahan yang berguguran, biarpun ruang gedung bermandikan cahaya, ternyata tidak terdengar sedikit suara pun.
Tercekat perasaan Tham Siau-hong, buru buru dia menerjang masuk ke ruang dalam.
Di bawah cahaya lentera, suasana tetap hening, sepi, tidak nampak sesosok bayangan manusia pun. Yang terdengar kini hanya kertas jendela yang gemerisik terhembus angin kencang.
Tham Siau-hong semakin terkesiap, tubuhnya mulai gemetar keras, selangkah demi selangkah dia memasuki halaman depan, mendekati ruang utama dan membuka pintu perlahan.
Suasana didalam ruang tengah terasa jauh lebih terang, seorang kakek berjenggot panjang duduk di sebuah bangku terbuat dari kayu cendana, bangku itu berada tepat di tengah ruangan.
Angin kencang berhembus lewat, mengibarkan jenggot panjang kakek itu, namun suasana tetap hening, tidak ada suara, tidak ada gerakan tubuh.
“Thio-toako, kau..........” jerit Tham Siau-hong keras.
Tiba-tiba pandangan mata serta jeritannya menjadi kaku, membeku keras, dia menyaksikan di atas dada kakek itu telah tertancap dua batang panah pendek sepanjang lima inci, sebatang panah merah membara bagaikan darah panas dari kekasih dan sebatang panah lain berwarna hitam pekat bagai biji mata seorang kekasih.
Sepasang panah itu menancap berjajar di atas ulu hatinya.
Ketika dicabut keluar, terlihatlah di atas panah pendek itu tertera berapa huruf yang kecil lagi lembut:
“Panah Kekasih!”
Sekalipun jenggot panjang kakek itu masih berkibar terhembus angin, namun wajahnya telah dingin kaku bahkan memperlihatkan mimik yang menakutkan, seolah-olah menjelang kematiannya dia telah menyaksikan sesuatu ancaman horor yang sangat mengerikan.
Dalam waktu singkat Tham Siau-hong merasakan hawa dingin muncul dari telapak kakinya dan menusuk ulu hatinya, dia berdiri mematung, sementara air mata jatuh bercucuran.
“Thio-toako, siaute datang terlambat...” gumam-nya.
Belum selesai dia berkata, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar seseorang tertawa dingin.
“Siapa bilang terlambat? Kau masih bisa menyusul-nya!”
Dengan perasaan tercekat Tham Siau-hong mem-balikkan tubuhnya, selembar kertas merah melayang datang dan tepat terjatuh di hadapannya.
Ketika dia menyambar kertas tadi, ternyata undangan itu kosong tanpa tulisan, yang tertera hanya lukisan sebuah tengkorak yang sedang menyeringai.
Kertas undangan berwarna merah dengan lukisan tengkorak berwarna hitam, hanya sepasang kelopak mata tengkorak itu yang memancarkan warna kehijau hijauan.
Tham Siau-hong gemetar keras, tanpa sadar dia mundur sempoyongan.
Kembali terdengar suara tertawa dingin bergema di belakang tubuhnya, cepat dia membalikkan tubuh, tampaklah sepasang mata berwarna hijau menyeram-kan sedang mengawasi dirinya tanpa berkedip.
Kecuali sepasang mata berwarna hijau itu, dia tidak bisa melihat apa-apa lagi. Karena pada saat itulah sepasang anak panah pendek berwarna merah dan hitam telah menghujam di ulu hatinya tanpa menimbul kan sedikit suarapun.
Sepasang panah itu muncul tanpa disangka, persis seperti kerlingan mata dari sang kekasih, yang mem-buat kau tidak bisa menyangka dan kau terpaksa harus menerimanya dengan perasaan lega.
Oo0oo oo0oo
Matahari senja telah tenggelam di balik bukit, cahaya sore menyinari seluruh jagad, menyoroti pula kuil Taer–si (kumbum) di propinsi Cing-hay yang sudah tersohor di seantero jagad.
Di sisi selatan aula utama, di sebuah tanah lapang yang luas, tampak manusia berjejal amat ramai, mereka datang untuk menyaksikan upacara tarian memuja dewa yang segera akan dilakukan pengikut agama Lhama.
Sekeliling tanah lapang itu bertebar bangunan kuil berwarna kuning emas, kawanan lautan manusia itu nyaris mengelilingi seluruh halaman kuil.
Dalam ruang aula yang luas dan lebar, dengan alas permadani berwarna merah darah, berdiri berjajar sepuluh orang lhama berjubah kuning, perpaduan warna merah dan kuning yang mencolok membuat suasana disitu terasa jauh lebih ceria.
Di tengah kerumunan manusia yang sedang bergembira, selain sekelompok pendeta lhama itu, terdapat pula seorang kakek berjubah ungu, berjenggot panjang, berdiri di tengah kerumunan orang banyak, berdiri dengan wajah keren penuh wibawa, penampilannya tidak ubahnya seperti bangau di tengah kerumunan ayam.
Sementara itu, suara musik yang sederhana tapi aneh berkumandang memenuhi udara, di ikuti muncul-nya empat belas orang lhama berjubah kuning, dengan membawa alat musik seperti tambur dan kencrengan menampakkan diri dengan sangat teratur.
Baru saja sinar mata kakek berjubah ungu itu berkilat, tiba-tiba dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menegur:
“Apa benar yang ada di depan adalah Gui Cu-im, Gui-jiko dari Jin-gi-su-hiap (empat pendekar kebajikan dan kesetiakawanan)?”
Ketika Gui Cu-im berpaling, dia menjumpai seorang kakek berkopiah kain sedang berjalan meng-hampiri, mendekat sambil menyingkirkan kerununan orang disekelilingnya.
“Ma-koan-heng” seru kakek berjubah ungu itu sambil menggenggam tangannya, “kenapa kau bisa muncul disini?”
“Kebetulan saja siaute hendak menuju ke dataran Tionggoan, karena itu melewati tempat ini” sahut kakek itu tertawa, “tapi.... apa pula sebabnya Gui-jiko datang kemari? Bikin aku bingung saja”
Dalam pada itu di tengah tanah lapang yang berlapis bebatuan sebesar telur bebek telah muncul empat orang bertopeng setan cilik, topeng berwarna kuning dan hijau, mereka mulai melakukan tarian yang bebal mengikuti suara irama musik.
Gui Cu-im menyapu sekejap sekeliling arena, kemudian katanya sambil tertawa:
“Sudah lama aku mendengar kalau kaum lhama di wilayah sini memiliki kepandaian silat yang tidak terkirakan hebatnya, sudah lama aku ingin melihatnya, selain itu........”
Setelah menarik kembali senyumannya dia melanjutkan:
“Akupun ingin memeriksa, apakah undangan kematian dan panah kekasih yang sudah menjadi wabah penyakit mematikan bagi umat persilatan, telah menyebar pula sampai disini”
Berubah hebat paras muka kakek berkopiah kain itu.
“Biarpun tinggal jauh di luar perbatasan, namun dari perbincangan para jago dan pengembara sempat kudengar juga kisah tentang undangan maut serta panah kekasih. Tidak disangka kedatangan Gui-jiko adalah lantaran urusan ini. Masa sih surat undangan dan anak panah itu benar benar menakutkan?”
Saat itu, setan-setan cilik yang berada di tengah lapang telah melompat balik ke dalam aula, sementara empat orang manusia tinggi besar seperti malaikat raksasa dengan wajah kuning emas dan jubah berwarna biru mulai menari-nari, semakin gencar suara irama yang berbunyi, mereka mencak-mencak makin keras.
Di tengah suara tambur dan gembrengan yang memekikkan telinga itulah Gui Cu-han menghela napas panjang, ujarnya dengan suara berat:
“Sepanjang hidup belum pernah siaute dengar tentang senjata rahasia yang begitu misterius dan menakutkan seperti panah kekasih, tapi dalam kenyataan, tidak sampai setengah tahun sudah ada puluhan orang jago kenamaan yang tewas di ujung panah tersebut, dan anehnya, hingga sekarang tidak seorang manusia pun di kolong langit yang mengetahui asal-usul senjata itu”
“Aaah, hanya dua batang panah pendek pun bisa menimbulkan horor sehebat ini? Satu kejadian yang sungguh di luar dugaan, mungkinkah ujung panah itu beracun? Mungkinkah racun jahat itu tidak bisa di-punahkan? Sekalipun senjata rahasia itu amat beracun pun, semestinya jago yang berilmu tinggi masih mampu mnghindarinya, kenapa tidak seorang pun bisa berkelit?”
Ketika ke empat Kim-kong mundur, sekarang yang muncul adalah empat orang dengan topeng setan bengis berbentuk binatang, ada yang berkepala kerbau ada pula yang berkepala rusa, mereka menari dengan kalapnya, seperti orang kesurupan saja.
Sambil menghela napas kembali Gui Cu-im berkata:
“Aku sendiripun dibuat tidak habis mengerti, tahukah kau jagoan senjata rahasia beracun nomor wahid di kolong langit, Tong bersaudara dari Siok-tiong pun telah menemui ajalnya oleh panah kekasih pada tiga bulan berselang. Dalam dunia persilatan bukannya tidak ada orang yang bisa memunahkan racun jahat itu, sayang yang mampu hanya satu orang saja. Bila tiga jam setelah terkena panah itu sang korban segera dihantar ke rumah orang tersebut, ditanggung dalam sepuluh hari, kesehatannya akan pulih kembali. Sayangnya jejak panah kekasih sukar dilacak, hari ini berada di timur, mungkin esok sudah di barat, akhir-nya sampai sekarang hanya tiga sampai lima orang saja yang berhasil tertolong nyawanya”
Kakek berkopiah kain itu menghela napas sedih, kedua orang itupun saling bertatap muka tanpa berbicara lagi.
Sementara itu suara tambur dan gembrengan sudah makin lirih, senja lewat malampun menjelang tiba, di balik kegelapan malam yang mencekam terlihat bulan purnama muncul dari balik awan.
Di bawah cahaya rembulan yang redup, di tengah irama musik yang berat, empat orang bertopeng tengkorak muncul di tengah ruang aula sambil meng-gotong sebuah kotak kayu, di tengah kotak terdapat sebuah patung manusia yang dibuat seakan siap menerima hukuman pacung.
Begitu kawanan manusia bertopeng tengkorak munculkan diri, tarian pemujaan berlangsung makin memuncak, irama musik pun berubah jadi semakin lambat dan berat.
Waktu itu, walaupun Gui Cu-im dan kakek berkopiah itu sedang sedih dan risau memikirkan keselamatan dunia persilatan, tidak urung mereka menengok juga ke tengah aula.
Dari balik ruangan kembali berjalan keluar empat orang Kim-kong, delapan belas Lohan, dewa kerbau, dewa menjangan serta ‘dewa” lainnya ditambah dua orang kakek bertopeng yang muncul sambil meng-gandeng lima orang bocah yang mengenakan topeng juga.
Setelah rombongan ‘manusia’ tadi, di belakangnya mengikuti seorang berkepala kerbau berjubah berkilat yang berdandan sebagai Ciang-mo Goanswee (Jenderal penakluk iblis),
Pada bagian kepalanya terdapat sepasang tanduk dari emas yang berkilauan, sementara di tangannya menggengam sebilah golok baja yang sangat mencolok mata.
Dalam waktu singkat suara musik ditabuh makin kencang, kawanan iblis dan setan pun menari makin menggila, sementara ke empat setan tengkorak dengan membawa kotak kayu perlahan-lahan berjalan menuju ke hadapan sekawanan lhama yang berdiri dengan wajah serius itu.
Bersamaan dengan itu, puluhan batang obor di angkat bersama-sama dari empat penjuru, menerangi ruang tengah itu.
Berbareng dengan berkilaunya cahaya obor, tiba tiba dari balik mata ke empat tengkorak itu memancar-kan sinar kehijau hijauan yang menyeramkan.
Irama musik ditabuh semakin keras, Ciang-mo Goanswee membalikkan tubuh sambil berjalan menuju ke depan kotak kayu, dengan sekali tebasan golok, boneka berbentuk manusia itu sudah dibacok hingga terbelah jadi dua.
Tempik sorak segera bergema menggetarkan udara.
Mendadak Gui Cu-im merasakan hatinya bergetar keras, ternyata di saat tadi golok itu berkilat, ia telah menyaksikan selembar kartu undangan berwarna merah darah tertempel di atas boneka manusia itu.
Dalam kagetnya Gui Cu-im berteriak keras, tubuhnya melejit ke udara dan menyambar ke tengah aula bagaikan seekor alap-alap yang menyambar mangsa.
Tapi pada saat itulah dua batang anak panah pendek telah menancap di ulu hati ke sepuluh lhama berjubah kuning itu.
Seketika suasana berubah jadi kacau, kawanan setan dan iblis berlarian tercerai berai, semua orang berebut menyelamatkan diri.
Gui Cu-im membentak keras, sekarang dia telah mengincar seorang setan tengkorak yang berada di hadapannya, sambil menubruk langsung dari udara, hardiknya:
“Hendak kabur ke mana kau!”
Tiba-tiba setan tengkorak itu membalikkan tubuh, sinar kehijau-hijauan yang mengerikan memancar keluar dari balik matanya.
Kembali Gui Cu-im membentak keras, dengan jurus Hui-eng-pok-touw (alap-alap menyambar kelinci) sepasang telapak tangannya menyambar ke bawah mengancam batok kepala tengkorak itu.
Ketika kakek berkopiah kain itu baru melambung ke udara, dia menyaksikan serangan maut dari Gui Cu-im telah menghajar telak di tubuh setan tengkorak itu.
Jeritan ngeri yang menyayat hati bergema di udara, jeritan itu bukan berasal dari setan tengkorak melain-kan dari Gui Cu-im.
Tampak tubuh jagoan tua itu mencelat ke udara sambil kejang-kejang keras lalu roboh terkapar di tanah dan tidak berkutik lagi.
Sambil menjerit kaget kakek berkopiah kain itu berlarian mendekat, tampak dua batang anak panah pendek, satu berwarna merah, yang lain bertwarna hitam telah menancap telak di ulu hati Gui Cu-im.
Related Posts:
Golok tumpul
Menurut pengetahuan cayhe yang cetek, dari 62 judul karangan Du Gu Hong yang sudah di terjemahkan adalah Pukulan Naga Sakti saduran Tjan I D (terlalu sedikit, apa ada Enghiong yang tahu judul lainnya?)
Golok Tumpul (judul asli: Wu Ren Dao) adalah sebilah golok yang berwarna hitam tapi tidak tajam alias tumpul sehingga di namakan Bu Jin To (Golok tumpul), golok inilah senjata Bwee Kiam Ciu yang di keluarkan jika menghadapi lawan tangguh.
Bwee Kiam Ciu adalah anak paling kecil dari Bwee Kun Ie, keturunan bangsawan yang sangat terkenal di Tiang-pek, Bwee Kiam Ciu mempunyai 2 orang kakak, mereka di juluki Bwee Ke Sam Liong (Tiga naga dari keluarga Bwee), meskipun dia anak paling kecil tapi dia justru yang paling hebat di antara ke dua kakaknya, malah prestasinya melebihi 2 generasi di atasnya, namanya sangat terkenal di dunia persilatan, dia pun cerdik dan sangat tampan, tidak romantis tapi akhirnya malah mempunyai 3 orang istri.
Selain ilmu silat hebat dan sastranya juga tinggi, malah Kim (Kecapi), Ki (Catur), Su (Buku), Hoa (Gambar), Si (Sajak), Ciu (Arak), Hoa (Bunga) juga sangat hebat, hingga di sebut 7 terhebat
Di ceritakan sebuah perusahaan angkutan keluarga Kao yang terkenal, yang menjadi sahabat keluarga Bwee turun temurun, suatu kali saat mengawal seorang pejabat, di tengah jalan pejabat tersebut telah ada yang menculiknya, bahkan saudara kedua mereka telah menjadi korban.
Kebetulan saat itu Bwee Kiam Ciu datang berkunjung ke perusahaan itu, maka dia pun membantu perusahaan itu untuk menyelidiki dalang penculikan pejabat itu.
Ternyata modus di belakang penculikan itu sangat luas, bukan saja melibatkan perkumpulan Can Koai Bun (Perkumpulan orang cacat), aliran Biauw yang pandai menggunakan racun Ku, juga terlibat pejabat negara di Pak Kia.
Bwee Kiam Ciu bersama-sama dengan Bok Tiang-co dari Hun Lam berusaha menyelamatkan pejabat yang di culik dan menghadapi aliran Biauw juga pejabat yang terlibat.
Karangan : Du Gu Hong
Terjemahan: Liang J Z
4 jilid tamat, 1178 halaman.
Golok Tumpul (judul asli: Wu Ren Dao) adalah sebilah golok yang berwarna hitam tapi tidak tajam alias tumpul sehingga di namakan Bu Jin To (Golok tumpul), golok inilah senjata Bwee Kiam Ciu yang di keluarkan jika menghadapi lawan tangguh.
Bwee Kiam Ciu adalah anak paling kecil dari Bwee Kun Ie, keturunan bangsawan yang sangat terkenal di Tiang-pek, Bwee Kiam Ciu mempunyai 2 orang kakak, mereka di juluki Bwee Ke Sam Liong (Tiga naga dari keluarga Bwee), meskipun dia anak paling kecil tapi dia justru yang paling hebat di antara ke dua kakaknya, malah prestasinya melebihi 2 generasi di atasnya, namanya sangat terkenal di dunia persilatan, dia pun cerdik dan sangat tampan, tidak romantis tapi akhirnya malah mempunyai 3 orang istri.
Selain ilmu silat hebat dan sastranya juga tinggi, malah Kim (Kecapi), Ki (Catur), Su (Buku), Hoa (Gambar), Si (Sajak), Ciu (Arak), Hoa (Bunga) juga sangat hebat, hingga di sebut 7 terhebat
Di ceritakan sebuah perusahaan angkutan keluarga Kao yang terkenal, yang menjadi sahabat keluarga Bwee turun temurun, suatu kali saat mengawal seorang pejabat, di tengah jalan pejabat tersebut telah ada yang menculiknya, bahkan saudara kedua mereka telah menjadi korban.
Kebetulan saat itu Bwee Kiam Ciu datang berkunjung ke perusahaan itu, maka dia pun membantu perusahaan itu untuk menyelidiki dalang penculikan pejabat itu.
Ternyata modus di belakang penculikan itu sangat luas, bukan saja melibatkan perkumpulan Can Koai Bun (Perkumpulan orang cacat), aliran Biauw yang pandai menggunakan racun Ku, juga terlibat pejabat negara di Pak Kia.
Bwee Kiam Ciu bersama-sama dengan Bok Tiang-co dari Hun Lam berusaha menyelamatkan pejabat yang di culik dan menghadapi aliran Biauw juga pejabat yang terlibat.
Karangan : Du Gu Hong
Terjemahan: Liang J Z
4 jilid tamat, 1178 halaman.
Related Posts:
Seruling emas Teratai Giok
Pengarang : Dong Fang Yu
Rating :
««««
BAB 1
Sahabat puluhan tahun
Empat puluh li di barat laut kabupaten Seng provinsi Ciat-kang, ada satu Ngo-liong-san, dengan lima bukit berderet laksana naga berlilit, termasyur dengan keaneka ragaman bentuk batu laharnya.
Di sebelah selatan lereng gunung Ngo-liong, berdiri satu perumahan yang amat besar, itulah Ngo-liong-cung yang sangat termasyur di dunia Kangouw.
Saat ini pertengahan bulan dua, musim semi di Kang-lam datangnya lebih awal, musim yang sangat menyejukan.
Hari ini tidak ada hujan, matahari bersinar, dari langit yang biru menyorot miring ke bawah, membuat orang merasakan sedikit kehangatan!
Di lapangan tempat latihan silat di depan Ngo-liong-cung, ada dua puluh pemuda berbaju ringkas, di bawah sorot matahari sedang berlatih jurus Ngo-liong-koan (Pukulan lima naga), sambil berteriak tangannya mencengkram dan mencakar, walau pun jurusnya yang tidak sesuai dengan yang diajarkan, tapi suaranya keras dan mengerahkan tenaga penuh.
Di sebelah timur Ngo-liong-cung ada satu jalan besar dari batu yang bersusun ke depan perumahan, saat ini ada seorang pemuda berbaju hijau sedang menelusuri jalan batu itu menuju perumahan, tampak dia datang dari luar daerah dan sedang mau bertanya, tapi karena semua orang sedang berlatih ilmu silat, dia terpaksa berhenti di pinggir lapangan berlatih, tapi tindakannya ini jadi melanggar larangan dunia Kangouw, jika seseorang sedang berlatih ilmu silat, menurut aturan orang luar tidak boleh melihatnya.
Karena jalan ini, mulai dari belokan mulut gunung adalah jalan pribadi Ngo-liong-cung, biasa-nya jarang sekali ada orang luar yang datang.
Baru saja pemuda berbaju hijau menghenti-kan langkahnya, di lapangan latihan sudah ada orang berteriak:
”Hei! Kau sedang berbuat apa?”
Orang-orang yang sedang berlatih silat, men-dengar teriakan ini semuanya jadi berhenti, semua sorot mata menatap pada pemuda berbaju hijau itu.
Salah seorang berjalan menghampiri dia dan berteriak:
”Kau tahu tidak tempat apa ini? Kenapa kau sembarangan masuk?”
Buru-buru pemuda berbaju hijau mengepal-kan tangan bersoja:
”Caysia Cho Siau-hoa, mohon tanya pada Toako, apakah di sini Ngo-liong-cung?”
Laki-laki yang menghampiri, melihat Cho Siau-hoa berkatanya sopan, amarahnya jadi sedikit menurun, dia menganggukan kepala:
”Tidak salah, ini memang Ngo-liong-cung, sobat datang ke tempat kami ada urusan apa?”
Cho Siau-hoa berkata:
”Caysia mendapat titipan orang, sengaja datang kemari ingin bertemu dengan Toa-sianseng.”
“Ooo,” laki-laki itu segera berkata, ”ternyata sobat ini datang untuk menemui Toako kami, silah-kan masuk.”
Habis berkata, dia mengangkat tangan mem-persilahkan tamunya, membawa Cho Siau-hoa naik ke tangga batu dan masuk ke dalam pintu gerbang, terus jalan sampai ke ruang tamu di pekarangan sebelah kiri, lalu mempersilahkan Cho Siau-hoa duduk, seorang pelayan perumahan segera menye-diakan teh.
Kata laki-laki itu sambil tersenyum:
”Sobat Cho silahkan tunggu sebentar, aku segera memanggil Toako keluar.”
”Merepotkan saudara saja,” kata Cho Siau-hoa.
Laki-laki itu mengepalkan tangan, lalu mem-balikan tubuh pergi keluar. Tidak lama kemudian masuk seorang laki-laki setengah baya memakai mantel rompi berwarna biru langit, wajahnya pesegi, kulitnya putih, dia melihat pada Cho Siau-hoa, sambil mengepalkan tangan berkata:
”Heng-te Beng Ta-jin, saudara Cho ber-kunjung keperumahan kami, ada keperluan apa?”
Cho Siau-hoa buru buru mengepalkan tangan bersoja:
”Caysia datang kemari ingin bertemu dengan Toa-sianseng.”
Beng Ta-jin tertegun lalu berkata:
”Urusan perumahan kami, semua aku yang urus, jika saudara Cho ada keperluan, bicara saja padaku.”
Cho Siau-hoa merasa kesulitan:
”Betul sekali kata Beng-loko, sayang aku men dapat titipan orang, jadi harus bertemu langsung dengan Toa-sianseng.”
Beng Ta-jin tersenyum:
”Toa-sianseng yang saudara maksudkan itu, mungkin pamanku, dulu semua orang menyebut beliau Toa-sianseng, kemudian merubahnya jadi Toa-loyacu, karena di dalam saudara-saudara, aku yang paling tua, maka semua orang sekarang menye-but aku Toa-sianseng.”
Cho Siau-hoa diam diam bersuara “Ooo!” sekali, lalu berkata sambil mengepalkan tangan berkata:
”Kalau begitu benar kata-kata anda, yang ingin aku temui adalah paman anda.”
Beng Ta-jin merasa kesulitan dan berkata:
”Maafkan saudara, pamanku sudah tua, sudah lama tidak menemui orang luar, sebenarnya saudara ada keperluan apa, bicara padaku juga sama, jika aku tidak bisa memutuskannya, tentu akan menanyakannya pada pamanku, entah pendapat saudara bagaimana?”
Cho Siau-hoa menganggukan kepalanya:
”Boleh juga, sebulan yang lalu, di Hang-ciu cayhe bertemu dengan seorang tua yang pincang kakinya, karena dia sulit berjalan, dia menitipkan pesan padaku untuk bertemu dengan Toa-sianseng, dan juga menitipkan sebuah perhiasan giok, untuk diserahkan langsung pada Toa-sianseng……”
Beng Ta-jin berdiri dan berkata:
”Jika begitu, mohon saudara tunggu sebentar, aku melapor dulu pada pamanku, baru membawa kau menemuinya.”
Habis berkata, dia cepat-cepat berjalan keluar.
Kali ini sampai setengah jam menunggu, baru terlihat Beng Ta-jin masuk kembali, sambil bersoja dia berkata:
”Pamanku sudah menunggu di ruangan belakang, silahkan saudara ikut denganku.”
Dia membawa Cho Siau-hoa berjalan ke-belakang, di belakang ini masih ada pekarangan, kedua sisinya adalah koridor, di atas tangga batu adalah rumah besar dengan tiga kamar, di depan rumah ada papan merk, tertulis empat huruf besar ‘Ping-ling-si-ke’ (keluarga pejabat dari Ping-ling).
Cho Siau-hoa mengikuti Beng Ta-jin melang-kah masuk ke ruangan besar, terlihat dekor di dalam ruangan sangat mewah, seperti ruangan keluarga bangsawan.
Di tengah ruangan ada tiga kursi kayu Tan ungu berlapis selimut, duduk tiga orang tua mema-kai mantel panjang berwarna tembaga.
Beng Ta-jin membawa Cho Siau-hoa ke depan tiga orang tua itu dan diperkenalkan pada Cho Siau-hoa, dia menunjuk yang orang tua berambut ubanan yang di tengah yang wajahnya merah dan berkata:
”Ini paman sulungku.”
Lalu menunjuk orang tua di kiri berambut putih:
”Ini ayahku.”
Lalu menunjuk orang tua di kanan yang berambut hitam berwajah merah:
”Ini paman ke tigaku.”
Di dalam hati Cho Siau-hoa tahu yang mau dia temui adalah orang tua yang ada di tengah, maka dia membungkuk dan bersoja pada tiga orang tua itu dan berkata:
” Cho Siau-hoa menghadap pada tiga Lo-cianpwee.”
Beng Ta-jin di pinggir sudah memotong:
”Lapor Toa-pekhu, dialah Cho Siau-hoa, orang yang mendapat titipan itu, dia dari Hang-ciu datang kemari untuk bertemu dengan anda.”
Ternyata ke tiga orang tua ini adalah pemilik Ngo-liong-cung, Toa-cungcu Beng Ku-lie, Ji-cungcu Beng Ku-ie, Sam-cungcu Beng Ku-lian.
Keluarga Beng sudah beberapa generasi tinggal di Ngo-liong-san, ilmu silat keluarganya dari aliran tersendiri, di dunia Kangouw mereka juga disebut Ngo-liong-bun. Sekarang ke tiga pemilik perumahan ini sudah berusia di atas enam puluh tahun, urusan perumahan semuanya diurus oleh putra sulung generasi ke dua, Beng Ta-jin.
Sepasang sorot mata Beng Ku-lie menatap tajam pada Cho Siau-hoa, lalu mengangkat tangan mempersilahkan:
”Cho-siangkong sudah datang dari jauh, silah-kan duduk.”
Cho Siau-hoa membungkukan tubuh lalu duduk di kursi pinggir.
Meng Yuli bertanya:
”Kudengar dari keponakanku, Cho-siang kong ingin bertemu denganku atas titipan orang lain, entah siapa sebutan teman anda itu?”
Cho Siau-hoa sedikit membungkuk, katanya:
”Lo-cianpwee, aku hanya mendapat titipan saja, tapi orang itu bukan temanku……”
Beng Ku-ie yang duduk di sebelah kiri ber-kata sinis:
”Jika orang ini bukan teman Cho-siangkong, bagaimana mungkin Cho-siangkong mau jauh-jauh dari Hang-ciu khusus datang ke Ngo-liong-san?”
”Terus terang saja, bulan lalu aku berkenalan dengan dia di satu penginapan Hang-ciu, dia men-dengar logatku seperti dari Siau-sing, ,maka dia minta tolong menitipkan sebuah benda ke kabupaten Seng, kebetulan urusanku di Hang-ciu sudah selesai, dan dalam perjalanan pulang ke rumah, maka aku menerimanya.”
”Apakah dia pernah memberitahukan pada mu siapa namanya?” tanya Beng Ku-lie
”Nama dia Cai Pak-jin.”
“Cai Pak-jin?” Beng Ku-lie mengerutkan alis, sambil berpikir berkata:
”Aku tidak kenal dengan teman yang marga-nya Cai ini, mmm, dia titip padamu menemui aku, ada keperluan apa?”
Cho Siau-hoa mengeluarkan satu perhiasan giok dari dalam dadanya, dengan kedua tangan mengangsurkannya, sambil berkata:
”Orang tua marga Cai ini, karena sebelah kakinya pincang, tidak leluasa berjalan, maka menitipkan padaku perhiasan giok ini untuk di-sampaikan ke tangan Lo-cianpwee……”
Sambil bicara, mengangsurkan perhiasan giok itu ke depan Beng Ku-lie.
Beng Ku-lie mengulurkan tangan menerima, mendadak wajahnya berubah besar, tangan yang memegang perhiasan giok gemetaran sejenak, sorot matanya yang dingin berkilat, dengan keras berkata:
”Dia… mengatakan apa lagi? Cepat… kata-kan!”
Cho Siau-hoa jadi tertegun, sambil menatap lalu berkata:
”Cai-lopek berpesan lagi, Lo-cianpwee bagai-mana pun harus menyerahkan perhiasan giok ini pada keponakan wanita anda……”
”Dia masih mengatakan apa lagi?” nada bicaranya tampak cemas sekali.
”Cai-lopek mengatakan, supaya keponakan anda itu membawa perhiasan giok ini, pergi ke Hang-ciu menemuinya.”
”Apakah dia masih ada di Hang-ciu?” tanya Beng Ku-lian.
”Mendengar nada bicaranya, tampak masih akan tinggal di Hang-ciu beberapa saat lagi?”
Beng Ku-lian melihat pada Beng Ku-lie:
”Menurut Toako apakah dia itu?”
“Sulit dikatakan.”
Sebelah tangan Beng Ku-lie memegang per-hiasan giok itu, sorot matanya tanpa berkedip menatap perhiasan itu:
”Seharusnya hal ini tidak mungkin……tapi perhiasan giok ini jelas-jelas miliknya……” berkata sampai di sini, dengan serius menatap pada Cho Siau-hoa dan berkata:
”Sobat kecil ini apanya Ceng Ci-kiu? Apakah dia benar ada di Hang-ciu?”
“Ceng Ci-kiu?” Cho Siau-hoa keheranan, kata nya, ”aku tidak pernah mendengar nama orang ini.”
Beng Ku-lian tertawa dingin:
”Bukankah kau diutus olehnya?”
”Kenapa Lo-cianpwee berkata begitu, nama-nya pun aku belum pernah dengar, bagaimana bisa diutus olehnya?”
Tidak menunggu ke tiga orang itu berkata, dia sudah melanjutkan lagi:
”Lagi pula aku hanya mendapat titipan dari Cai-lopek, agar menyerahkan perhiasan giok itu ke tangan Toa-sianseng, sekarang perhiasan gioknya sudah sampai ke tangan yang bersangkutan, berarti tugasku sudah selesai, maka aku tidak mau meng-ganggu lagi.”
Habis berkata, dia lalu bangkit berdiri. Baru saja mau melangkah keluar.
Beng Ku-lian berteriak dengan nada dalam:
”Berhenti.”
Cho Siau-hoa menoleh dan menghentikan langkahnya:
”Sam-sianseng masih ada keperluan apa?”
”Kau mau pergi begitu saja?”
”Yang ingin kukatakan sudah selesai kukata-kan, tentu saja harus pamit!”
”Mungkin Cho-siangkong orang dari dunia Kangouw juga, siapa guru anda?” tanya Beng Ku-lie
Dalam hati Cho Siau-hoa berkata:
‘Bagus, kalian malah mencurigaiku.’
Maka dia bersoja:
”Guruku jarang berjalan di dunia Kangouw, lebih-lebih tidak mau dikenal orang, aku tidak berani menyebut nama beliau.”
Beng Ku-lian mendengus lalu membalikan kepala berkata pada Lo-toanya:
”Benar saja bocah ini sangat mencurigakan.”
Tangan Beng Ku-lie memegang jenggotnya, sambil menganggukan kepala sedikit, mulutnya mendehem.
”Menurut pendapatku, lebih baik sementara tahan dia, tunggu setelah kita pulang dari Hang-ciu baru diputuskan, bagaimana pendapat Toako?”
”Terpaksa begitu, tapi jangan membuat ke-sulitan pada orang muda ini.”
Beng Ku-lian berbalik, menatap dingin:
”Cho-siangkong, kau tentu sudah mendengar, sementara ini kau terpaksa tinggal di sini beberapa hari.”
Lalu membalikan kepala dan menyuruh Beng Ta-jin:
”Ta-jin, kau bawa Cho-siangkong istirahat di kamar tamu, biar dia tinggal di sini beberapa hari, jangan berbuat tidak sopan padanya.”
Beng Ta-jin membungkukkan tubuhnya:
”Keponakan mengerti.”
Cho Siau-hoa mendengar mereka, mau menahan dirinya, di dalam hati berkata dengan rasa marah:
‘Aku bermaksud baik mengantarkan kabar, kalian malah mau menahan aku disini, apa di dunia ada aturan begini?”
Tapi dengan tenang dia tertawa tawar lalu berkata:
”Aku sudah mengatakan, aku hanya mem-bawakan pesan orang, perhiasan gioknya sudah ku- serahkan ke tangan Toa-sianseng, maka tugasku selesai, buat apa masih merepotkan perumahan anda, maksud baik ke tiga Cianpwee, aku terima di dalam hati saja, permisi.”
Beng Ku-lian berteriak:
”Aku ingin kau tinggal, kau harus tinggal, tidak semudah itu pergi.”
Cho Siau-hoa mengangkat alisnya, dengan lantang berkata:
”Sam-wie Lo-cianpwee adalah orang yang sudah lama terkenal, jauh-jauh aku datang meng-antarkan pesan, dan tidak melakukan kesalahan apa apa, Cianpwee ingin memaksa aku tinggal disini, mungkin tidak ada aturannya lha?”
Beng Ku-lian berkata dingin:
”Jelas sekali kau mata-mata yang diutus oleh Ceng Ci-kiu, buat apa aku mentaati aturan dunia Kangouw? Ta-jin, kau tangkap saja dia.”
Beng Ta-jin menyahut, lalu melangkah ke depan Cho Siau-hoa sambil bersoja:
”Cho-siangkong, pamanku ingin kau tinggal di sini beberapa hari, kau lebih baik ikut aku pergi ke kamar tamu, jika sampai harus bertindak, mungkin akan membuat malu Cho-heng!”
Cho Siau-hoa masih berjiwa muda, tiba-tiba dia menghadap Beng Ku-lie dan berkata keras:
”Toa-sianseng, ternyata begini cara kalian melayani tamu, bila hal ini tersebar ke dunia Kangouw, apa tidak takut memalukan nama besar Ngo-liong-cung?”
Beng Ku-lian bertambah marah mendengar-nya, teriaknya dengan keras:
”Ta-jin, kau di suruh menangkap, kenapa masih banyak bicara?”
Beng Ta-jin tahu sifat paman ketiganya yang cepat marah, sambil mengiyakan dengan nada dalam berkata:
”Cho-heng tidak usah banyak bicara lagi, aku akan membawamu.”
Habis berkata, tangan kanannya lalu bergerak mencengkram pergelangan tangan Cho Siau-hoa, jurus yang dia gunakan adalah jurus Liong-jiauw-kin-na-jiu (Ilmu tangan kosong naga mencengkram) dari Ngo-liong-cung.
Cho Siau-hoa tidak menyangka karena meng-antarkan titipan orang, dia malah dianggap mata-mata dan mau di tangkap, sekarang dia berada di perumahan mereka, jika bertarung mungkin dia sulit meloloskan diri! begitu terpikir ini, tubuhnya segera bergeser ke kiri, tangan kanan menangkis tangan lawannya.
Beng Ta-jin tidak menduga gerakan Cho Siau-hoa selincah ini, jurus Liong-jiauw-kin-na-jiu nya jadi tidak berhasil menyentuh ujung bajunya sedikitpun, tubuh lawan cepat sekali menghilang di depan mata! dan tangan kanannya dengan ringan ditangkis oleh lawan, tubuhnya tanpa bisa ditahan lagi terdorong ke depan satu langkah.
Tadinya Cho Siau-hoa berdiri saling ber-hadapan dengan Beng Ta-jin, dan Beng Ta-jin meng-hadangi jalannya, setelah menghindar ke kiri lalu mendorong Beng Ta-jin, jalannya jadi tidak ada yang menghadang, maka mengambil kesempatan ini, Cho Siau-hoa menghentakkan kaki laksana anak panah melesat keluar pintu.
Saat dia sudah hampir sampai di pintu ruang an, mendadak dia merasa di atas kepalanya ada angin keras, sesosok bayangan secepat kilat lewat di atas kepalanya dan turun di depan dia, menghalangi pintu, sambil tertawa keras berkata:
”Bocah, jangan harap kau bisa keluar dari Ngo-liong-cung, kepandaianmu masih jauh!”
Hampir saja Cho Siau-hoa menabrak orang yang menghadang, dia cepat menghentikan langkah-nya dan melihat, ternyata orang yang menghalangi-nya adalah Beng Ku-lian, di dalam hati diam-diam merasa khawatir dan berkata, ‘Sungguh cepat gerak-an orang ini!’ tidak terasa dia mundur selangkah lalu dengan marah berkata:
”Sam-sianseng mau apa?”
Beng Ku-lian tersenyum sinis, kepalanya di angkat lalu berkata:
”Tangkap dia.”
Kata-katanya ditujukan pada Beng Ta-jin, ternyata Beng Ta-jin yang terdorong ke depan, merasa cemas melihat Cho Siau-hoa yang di depan-nya sudah mau berlari keluar pintu, kakinya segera berputar mengejar keluar. Saat ini paman ke tiganya sudah lebih dulu melesat ke pintu dan menghalangi jalan Cho Siau-hoa, setelah Beng Ta-jin mengejar sampai di belakang Cho Siau-hoa, maka Beng Ku-lian suruhnya menangkap Cho Siau-hoa.
Di suruh oleh paman ketiga, tentu saja Beng Ta-jin tidak berani membantah, dia mengulurkan tangan kanan, lima jari seperti kail secepat kilat mencengkram jalan darah Kian-keng Cho Siau-hoa.
Cho Siau-hoa sedang berhadapan dengan Beng Ku-lian, saat di belakangnya ada orang men-cengkram, mau menghindar tapi sudah tidak keburu, mendadak di belakangnya terdengar suara “Bruuk!”, entah apa sebabnya Beng Ta-jin tahu-tahu sudah jatuh ke atas lantai, tidak bisa bangun lagi!
Beng Ku-lie, Beng Ku-ie bersamaan waktu bangkit berdiri.
Beng Ku-lian pun tertegun, dia tidak men-duga Cho Siau-hoa yang masih muda tapi ilmu silatnya bisa sehebat ini, sampai bagaimana cara dia menyerang Beng Ta-jin juga tidak tahu, tidak tahan wajahnya jadi berubah, sepasang tangan bersiap-siap dan berteriak:
”Bocah, kau berani diam-diam menyerang orang!”
Terdengar tawa pelan dan berkata:
”Dia sama sekali tidak menyerang, itu karena keponakanmu kehabisan nafas.”
Perkataannya ini tidak keras, tapi setiap orang di sana bisa mendengar dengan jelas, entah dari mana datangnya suara itu?
”Siapa?” teriak Beng Ku-lian.
Terdengar orang itu pelan berkata:
”Tentu saja aku!”
Suara ini seperti datang dari jauh, juga seperti berada di dalam ruangan besar, membuat orang jadi bingung!
Saat ini Beng Ku-ie sudah memapah anaknya berdiri, tapi setelah memijat mengurut seluruh jalan darah besar di tubuhnya, tetap tidak bisa membuka totokan anaknya.
Wajah Beng Ku-lie jadi serius sekali, berdiri di tengah ruangan dan berkata ke tempat kosong:
”Sobat orang pintar dari mana, jika sudah berkunjung ke Ngo-liong-cung, seharusnya datang dengan terus terang, jangan seperti sekarang, main sembunyi-sembunyi, ini bukankah akan merendah-kan kedudukan anda?”
“Betul juga!” orang itu berkata tetap dengan suara pelan, ”kalian tiga bersaudara sekarang malah bisa mengatakan kata-kata terus terang!”
“Tak!” terdengar suara logam menyentuh ke atas lantai! Tidak jauh di depan Beng Ku-lie dan Beng Ku-ie, tiba-tiba berdiri seorang tua mengenakan mantel biru, rambut di kepalanya tidak teratur, kaki kirinya pincang, kaki kirinya seperti terbuat dari besi.
Melihat orang yang datang, hati Cho Siau-hoa jadi tertegun dan berkata:
‘Bukankah dia Cai Pak-jin yang menitipkan pesan untuk disampaikan kemari, ternyata dia juga ikut di belakangku.’
Melihat orang itu sudah muncul di dalam ruangan, Beng Ku-ie khawatir melukai anaknya, buru-buru dia mengangkat tangan ke depan dada bersiap-siap dan menghadang di depan Beng Ta-jin yang sedang pingsan.
Wajah Beng Ku-lie tergetar dengan serius berkata:
”Siapa anda ini, maafkan aku tidak mengenal mu.”
Orang pincang itu tertawa tawar:
”Tidak perlu terburu-buru!” dia menunjuk pada Beng Ta-jin dan berkata lagi, ”bocah ini tadi diam-diam menyerang dari belakang pada saudara kecilku, maka aku menotoknya, jiwa anak muda amat berharga, jika nafasnya ditutup lebih lama lagi, mungkin bisa terluka dalam, biar aku membuka dulu totokannya, baru kita pelan-pelan berbicara.”
Beng Ku-ie tetap menghadang di depan anak-nya, dengan keras berkata:
”Kau mau apa?”
“Minggir, aku akan membuka totokannya.” Orang pincang itu berkata lagi, ”totokanku, hanya aku yang bisa membukanya, jika aku menginginkan nyawanya, punya seratus nyawa juga sudah dari tadi habis.”
Kata Beng Ku-lie dengan nada dalam:
”Ji-te, kau minggir saja, sobat ini kedudukan-nya tinggi, dia tidak akan sampai melukai seorang boanpwee.”
Beng Ku-ie menurut, mundur ke belakang selangkah, tapi sepasang tangannya tetap bersiap siap dengan sepenuh tenaga, matanya tanpa ber-kedip menatap orang pincang itu.
Orang pincang tidak mempedulikan, dia berjalan ke depan Beng Ta-jin setelah jaraknya tinggal satu kaki dia berhenti, tangan kirinya di krbutkan ke depan wajah Beng Ta-jin.
Tadi Beng Ta-jin dipapah ayahnya menyan-dar di meja, aneh sekali, tadi ayahnya sudah memijat dan mengurut tapi tidak bisa membuka totokannya, sekarang setelah orang pincang mengebutkan tangan ke wajahnya, dia jadi membuka matanya dan ber-teriak terkejut:
”Tia, kenapa aku tadi mendadak tertidur?”
Kejadian ini membuat Beng bersaudara yang kepandaiannya sangat tinggi jadi terkejut sekali!
Saat ini orang pincang membalikan tubuh sambil tersenyum pada Cho Siau-hoa berkata:
”Siau-ko, terima kasih, demi meng-antarkan pesanku, kau jadi mendapat perlakuan seperti ini.”
”Jika Lo-tiang sendiri bisa kemari, kenapa menitipkan pesan padaku?” kata Cho Siau-hoa dengan marah
Kata-kata dia tentu saja mengandung teguran!
“Siau-ko, kau jangan salah paham,” orang pincang menggoyang-goyangkan tangan, ”jangan menyalahkan Lo-koko, tadinya aku pikir sekalian pulang kau tinggal belok sedikit dan menyerahkan perhiasan giok itu pada Toa-sianseng dan selesai, tapi setelah dipikir-pikir lagi, pekerjaan ini ada sedikit yang tidak benar, Beng bersaudara ini bukan-lah orang yang lurus, jika sampai terjadi kesalah pahaman, bukankah akan membuat saudara jadi repot? maka Lo-koko buru-buru mengejar kemari, dan benar saja dugaan Lo-koko, benar saja Lo-tongsi (barang tua) ini melakukan kekerasan di tempatnya sendiri.”
Biasanya Beng Ku-lie menampilkan dirinya sebagai ketua satu perguruan, kali ini orang pincang ini bukan saja di depan mereka melumpuhkan Beng Ta-jin, malah dengan sinis memaki mereka bertiga, bagaimana dia bisa menerimanya? maka di berteriak:
”Sebenarnya anda ini pesilat tinggi dari mana, sekarang sudah bisa menyebutkannya bukan?”
“Bukankah kau sudah tahu kenapa masih bertanya?” orang pincang itu tertawa terbahak dan berkata lagi, ”akulah orangnya yang ingin kalian cari itu?”
Diam-diam Beng-si-sam-hiong (tiga jago marga Beng) sampai tergetar mendengarnya, kata Beng Ku-lie dengan suara gemetar:
”Kau… ini… Ceng Ci-kiu……”
“Ha ha ha!” orang pincang itu menengadah tertawa terbahak-bahak yang suaranya melengking, lalu dengan pelan berkata:
”Temanku ini bukankah sudah memberitahu-kan pada kalian? Aku ini Cai Pak-jin.”
”Apakah ini nama aslimu?” kata Beng Ku-lian.
Dengan angkuh orang pincang berkata:
”Tentu saja nama asli, hanya saja kalian tidak pantas menanyakannya.”
Beng Ku-ie mendengus sekali dan berkata:
”Kau sombong sekali!”
“Aku sedikit pun tidak sombong!” orang pincang tersenyum dan berkata lagi, ”tapi aku menggunakan nama Cai Pak-jin, memang ada maksudnya!”
Beng Ku-lie sadar orang yang datang ini berilmu tinggi, dia terpaksa menahan diri, dia hanya mendengus sedikit lalu berkata:
”Coba kau jelaskan?”
“Kenapa harus dijelaskan?” kata orang pin-cang dengan sinis, ”Cai Pak-jin, artinya sembelih yang tidak adil, apakah kalian tidak mengerti?”
“Ha ha ha!” Beng Ku-lie tertawa keras dan berkata, ”kalau begitu, kau datang memang sengaja ingin menantang Ngo-liong-cung.”
“Ha ha ha!” orang pincang juga ikut tertawa terbahak dan berkata:
”Kalau begitu, kalian Beng-si-sam-hiong mengakui diri kalian tidak adil dan tidak setia kawan?”
Beng Ku-lie jadi marah, alisnya bergetar-getar, dengan keras berteriak:
”Mana orang, bawakan senjataku kemari, hari aku ingin mencoba ilmu silatmu.”
Sebenarnya di depan pintu di ruangan kedua sudah penuh dengan anak dan keponakan Beng-si-sam-hiong, mereka hanya bersembunyi di luar men-curi lihat, siapa pun tidak berani menampakan diri. Ketika mendengar teriakan keras Toa-loya ini, semua orang berebut keluar, tidak lama kemudian, sudah ada dua orang murid menggotong satu senjata masuk ke dalam ruangan.
Itulah sebuah tongkat kepala naga berwarna merah dengan kepala naganya berwarna kuning emas, di dagunya masih ada janggut yang panjang-nya tiga kaki, sekali melihat sudah tahu, tongkat kepala naga ini saja sangat berat, apa lagi janggut yang panjangnya tiga kaki itu, di saat bertarung bisa digunakan untuk membelit senjata lawan.
Beng Ku-lie memegang bagian tengah tong-kat naga itu, lalu bangkit berdiri, sepasang matanya berkilat-kilat menatap orang pincang itu. Dengan dingin berkata:
”Kau perlu senjata apa, silahkan ambil sendiri di rak senjata.”
Orang pincang mendehem sekali:
”Aku sudah setengah abad tidak mengguna-kan senjata lagi, begini saja!” sorot matanya ber-keliling, lalu berkata pada Cho Siau-hoa yang berdiri di depan pintu:
”Siau-ko, tolong Lo-koko ambilkan ranting pohon Kui-hoa (Kelor) yang ada di depan ruangan itu, tidak perlu panjang, asal dua kaki sudah cukup.”
Kata-kata ini membuat Cho Siau-hoa dan Beng-si-sam-hiong jadi tertegun!
Rating :
««««
BAB 1
Sahabat puluhan tahun
Empat puluh li di barat laut kabupaten Seng provinsi Ciat-kang, ada satu Ngo-liong-san, dengan lima bukit berderet laksana naga berlilit, termasyur dengan keaneka ragaman bentuk batu laharnya.
Di sebelah selatan lereng gunung Ngo-liong, berdiri satu perumahan yang amat besar, itulah Ngo-liong-cung yang sangat termasyur di dunia Kangouw.
Saat ini pertengahan bulan dua, musim semi di Kang-lam datangnya lebih awal, musim yang sangat menyejukan.
Hari ini tidak ada hujan, matahari bersinar, dari langit yang biru menyorot miring ke bawah, membuat orang merasakan sedikit kehangatan!
Di lapangan tempat latihan silat di depan Ngo-liong-cung, ada dua puluh pemuda berbaju ringkas, di bawah sorot matahari sedang berlatih jurus Ngo-liong-koan (Pukulan lima naga), sambil berteriak tangannya mencengkram dan mencakar, walau pun jurusnya yang tidak sesuai dengan yang diajarkan, tapi suaranya keras dan mengerahkan tenaga penuh.
Di sebelah timur Ngo-liong-cung ada satu jalan besar dari batu yang bersusun ke depan perumahan, saat ini ada seorang pemuda berbaju hijau sedang menelusuri jalan batu itu menuju perumahan, tampak dia datang dari luar daerah dan sedang mau bertanya, tapi karena semua orang sedang berlatih ilmu silat, dia terpaksa berhenti di pinggir lapangan berlatih, tapi tindakannya ini jadi melanggar larangan dunia Kangouw, jika seseorang sedang berlatih ilmu silat, menurut aturan orang luar tidak boleh melihatnya.
Karena jalan ini, mulai dari belokan mulut gunung adalah jalan pribadi Ngo-liong-cung, biasa-nya jarang sekali ada orang luar yang datang.
Baru saja pemuda berbaju hijau menghenti-kan langkahnya, di lapangan latihan sudah ada orang berteriak:
”Hei! Kau sedang berbuat apa?”
Orang-orang yang sedang berlatih silat, men-dengar teriakan ini semuanya jadi berhenti, semua sorot mata menatap pada pemuda berbaju hijau itu.
Salah seorang berjalan menghampiri dia dan berteriak:
”Kau tahu tidak tempat apa ini? Kenapa kau sembarangan masuk?”
Buru-buru pemuda berbaju hijau mengepal-kan tangan bersoja:
”Caysia Cho Siau-hoa, mohon tanya pada Toako, apakah di sini Ngo-liong-cung?”
Laki-laki yang menghampiri, melihat Cho Siau-hoa berkatanya sopan, amarahnya jadi sedikit menurun, dia menganggukan kepala:
”Tidak salah, ini memang Ngo-liong-cung, sobat datang ke tempat kami ada urusan apa?”
Cho Siau-hoa berkata:
”Caysia mendapat titipan orang, sengaja datang kemari ingin bertemu dengan Toa-sianseng.”
“Ooo,” laki-laki itu segera berkata, ”ternyata sobat ini datang untuk menemui Toako kami, silah-kan masuk.”
Habis berkata, dia mengangkat tangan mem-persilahkan tamunya, membawa Cho Siau-hoa naik ke tangga batu dan masuk ke dalam pintu gerbang, terus jalan sampai ke ruang tamu di pekarangan sebelah kiri, lalu mempersilahkan Cho Siau-hoa duduk, seorang pelayan perumahan segera menye-diakan teh.
Kata laki-laki itu sambil tersenyum:
”Sobat Cho silahkan tunggu sebentar, aku segera memanggil Toako keluar.”
”Merepotkan saudara saja,” kata Cho Siau-hoa.
Laki-laki itu mengepalkan tangan, lalu mem-balikan tubuh pergi keluar. Tidak lama kemudian masuk seorang laki-laki setengah baya memakai mantel rompi berwarna biru langit, wajahnya pesegi, kulitnya putih, dia melihat pada Cho Siau-hoa, sambil mengepalkan tangan berkata:
”Heng-te Beng Ta-jin, saudara Cho ber-kunjung keperumahan kami, ada keperluan apa?”
Cho Siau-hoa buru buru mengepalkan tangan bersoja:
”Caysia datang kemari ingin bertemu dengan Toa-sianseng.”
Beng Ta-jin tertegun lalu berkata:
”Urusan perumahan kami, semua aku yang urus, jika saudara Cho ada keperluan, bicara saja padaku.”
Cho Siau-hoa merasa kesulitan:
”Betul sekali kata Beng-loko, sayang aku men dapat titipan orang, jadi harus bertemu langsung dengan Toa-sianseng.”
Beng Ta-jin tersenyum:
”Toa-sianseng yang saudara maksudkan itu, mungkin pamanku, dulu semua orang menyebut beliau Toa-sianseng, kemudian merubahnya jadi Toa-loyacu, karena di dalam saudara-saudara, aku yang paling tua, maka semua orang sekarang menye-but aku Toa-sianseng.”
Cho Siau-hoa diam diam bersuara “Ooo!” sekali, lalu berkata sambil mengepalkan tangan berkata:
”Kalau begitu benar kata-kata anda, yang ingin aku temui adalah paman anda.”
Beng Ta-jin merasa kesulitan dan berkata:
”Maafkan saudara, pamanku sudah tua, sudah lama tidak menemui orang luar, sebenarnya saudara ada keperluan apa, bicara padaku juga sama, jika aku tidak bisa memutuskannya, tentu akan menanyakannya pada pamanku, entah pendapat saudara bagaimana?”
Cho Siau-hoa menganggukan kepalanya:
”Boleh juga, sebulan yang lalu, di Hang-ciu cayhe bertemu dengan seorang tua yang pincang kakinya, karena dia sulit berjalan, dia menitipkan pesan padaku untuk bertemu dengan Toa-sianseng, dan juga menitipkan sebuah perhiasan giok, untuk diserahkan langsung pada Toa-sianseng……”
Beng Ta-jin berdiri dan berkata:
”Jika begitu, mohon saudara tunggu sebentar, aku melapor dulu pada pamanku, baru membawa kau menemuinya.”
Habis berkata, dia cepat-cepat berjalan keluar.
Kali ini sampai setengah jam menunggu, baru terlihat Beng Ta-jin masuk kembali, sambil bersoja dia berkata:
”Pamanku sudah menunggu di ruangan belakang, silahkan saudara ikut denganku.”
Dia membawa Cho Siau-hoa berjalan ke-belakang, di belakang ini masih ada pekarangan, kedua sisinya adalah koridor, di atas tangga batu adalah rumah besar dengan tiga kamar, di depan rumah ada papan merk, tertulis empat huruf besar ‘Ping-ling-si-ke’ (keluarga pejabat dari Ping-ling).
Cho Siau-hoa mengikuti Beng Ta-jin melang-kah masuk ke ruangan besar, terlihat dekor di dalam ruangan sangat mewah, seperti ruangan keluarga bangsawan.
Di tengah ruangan ada tiga kursi kayu Tan ungu berlapis selimut, duduk tiga orang tua mema-kai mantel panjang berwarna tembaga.
Beng Ta-jin membawa Cho Siau-hoa ke depan tiga orang tua itu dan diperkenalkan pada Cho Siau-hoa, dia menunjuk yang orang tua berambut ubanan yang di tengah yang wajahnya merah dan berkata:
”Ini paman sulungku.”
Lalu menunjuk orang tua di kiri berambut putih:
”Ini ayahku.”
Lalu menunjuk orang tua di kanan yang berambut hitam berwajah merah:
”Ini paman ke tigaku.”
Di dalam hati Cho Siau-hoa tahu yang mau dia temui adalah orang tua yang ada di tengah, maka dia membungkuk dan bersoja pada tiga orang tua itu dan berkata:
” Cho Siau-hoa menghadap pada tiga Lo-cianpwee.”
Beng Ta-jin di pinggir sudah memotong:
”Lapor Toa-pekhu, dialah Cho Siau-hoa, orang yang mendapat titipan itu, dia dari Hang-ciu datang kemari untuk bertemu dengan anda.”
Ternyata ke tiga orang tua ini adalah pemilik Ngo-liong-cung, Toa-cungcu Beng Ku-lie, Ji-cungcu Beng Ku-ie, Sam-cungcu Beng Ku-lian.
Keluarga Beng sudah beberapa generasi tinggal di Ngo-liong-san, ilmu silat keluarganya dari aliran tersendiri, di dunia Kangouw mereka juga disebut Ngo-liong-bun. Sekarang ke tiga pemilik perumahan ini sudah berusia di atas enam puluh tahun, urusan perumahan semuanya diurus oleh putra sulung generasi ke dua, Beng Ta-jin.
Sepasang sorot mata Beng Ku-lie menatap tajam pada Cho Siau-hoa, lalu mengangkat tangan mempersilahkan:
”Cho-siangkong sudah datang dari jauh, silah-kan duduk.”
Cho Siau-hoa membungkukan tubuh lalu duduk di kursi pinggir.
Meng Yuli bertanya:
”Kudengar dari keponakanku, Cho-siang kong ingin bertemu denganku atas titipan orang lain, entah siapa sebutan teman anda itu?”
Cho Siau-hoa sedikit membungkuk, katanya:
”Lo-cianpwee, aku hanya mendapat titipan saja, tapi orang itu bukan temanku……”
Beng Ku-ie yang duduk di sebelah kiri ber-kata sinis:
”Jika orang ini bukan teman Cho-siangkong, bagaimana mungkin Cho-siangkong mau jauh-jauh dari Hang-ciu khusus datang ke Ngo-liong-san?”
”Terus terang saja, bulan lalu aku berkenalan dengan dia di satu penginapan Hang-ciu, dia men-dengar logatku seperti dari Siau-sing, ,maka dia minta tolong menitipkan sebuah benda ke kabupaten Seng, kebetulan urusanku di Hang-ciu sudah selesai, dan dalam perjalanan pulang ke rumah, maka aku menerimanya.”
”Apakah dia pernah memberitahukan pada mu siapa namanya?” tanya Beng Ku-lie
”Nama dia Cai Pak-jin.”
“Cai Pak-jin?” Beng Ku-lie mengerutkan alis, sambil berpikir berkata:
”Aku tidak kenal dengan teman yang marga-nya Cai ini, mmm, dia titip padamu menemui aku, ada keperluan apa?”
Cho Siau-hoa mengeluarkan satu perhiasan giok dari dalam dadanya, dengan kedua tangan mengangsurkannya, sambil berkata:
”Orang tua marga Cai ini, karena sebelah kakinya pincang, tidak leluasa berjalan, maka menitipkan padaku perhiasan giok ini untuk di-sampaikan ke tangan Lo-cianpwee……”
Sambil bicara, mengangsurkan perhiasan giok itu ke depan Beng Ku-lie.
Beng Ku-lie mengulurkan tangan menerima, mendadak wajahnya berubah besar, tangan yang memegang perhiasan giok gemetaran sejenak, sorot matanya yang dingin berkilat, dengan keras berkata:
”Dia… mengatakan apa lagi? Cepat… kata-kan!”
Cho Siau-hoa jadi tertegun, sambil menatap lalu berkata:
”Cai-lopek berpesan lagi, Lo-cianpwee bagai-mana pun harus menyerahkan perhiasan giok ini pada keponakan wanita anda……”
”Dia masih mengatakan apa lagi?” nada bicaranya tampak cemas sekali.
”Cai-lopek mengatakan, supaya keponakan anda itu membawa perhiasan giok ini, pergi ke Hang-ciu menemuinya.”
”Apakah dia masih ada di Hang-ciu?” tanya Beng Ku-lian.
”Mendengar nada bicaranya, tampak masih akan tinggal di Hang-ciu beberapa saat lagi?”
Beng Ku-lian melihat pada Beng Ku-lie:
”Menurut Toako apakah dia itu?”
“Sulit dikatakan.”
Sebelah tangan Beng Ku-lie memegang per-hiasan giok itu, sorot matanya tanpa berkedip menatap perhiasan itu:
”Seharusnya hal ini tidak mungkin……tapi perhiasan giok ini jelas-jelas miliknya……” berkata sampai di sini, dengan serius menatap pada Cho Siau-hoa dan berkata:
”Sobat kecil ini apanya Ceng Ci-kiu? Apakah dia benar ada di Hang-ciu?”
“Ceng Ci-kiu?” Cho Siau-hoa keheranan, kata nya, ”aku tidak pernah mendengar nama orang ini.”
Beng Ku-lian tertawa dingin:
”Bukankah kau diutus olehnya?”
”Kenapa Lo-cianpwee berkata begitu, nama-nya pun aku belum pernah dengar, bagaimana bisa diutus olehnya?”
Tidak menunggu ke tiga orang itu berkata, dia sudah melanjutkan lagi:
”Lagi pula aku hanya mendapat titipan dari Cai-lopek, agar menyerahkan perhiasan giok itu ke tangan Toa-sianseng, sekarang perhiasan gioknya sudah sampai ke tangan yang bersangkutan, berarti tugasku sudah selesai, maka aku tidak mau meng-ganggu lagi.”
Habis berkata, dia lalu bangkit berdiri. Baru saja mau melangkah keluar.
Beng Ku-lian berteriak dengan nada dalam:
”Berhenti.”
Cho Siau-hoa menoleh dan menghentikan langkahnya:
”Sam-sianseng masih ada keperluan apa?”
”Kau mau pergi begitu saja?”
”Yang ingin kukatakan sudah selesai kukata-kan, tentu saja harus pamit!”
”Mungkin Cho-siangkong orang dari dunia Kangouw juga, siapa guru anda?” tanya Beng Ku-lie
Dalam hati Cho Siau-hoa berkata:
‘Bagus, kalian malah mencurigaiku.’
Maka dia bersoja:
”Guruku jarang berjalan di dunia Kangouw, lebih-lebih tidak mau dikenal orang, aku tidak berani menyebut nama beliau.”
Beng Ku-lian mendengus lalu membalikan kepala berkata pada Lo-toanya:
”Benar saja bocah ini sangat mencurigakan.”
Tangan Beng Ku-lie memegang jenggotnya, sambil menganggukan kepala sedikit, mulutnya mendehem.
”Menurut pendapatku, lebih baik sementara tahan dia, tunggu setelah kita pulang dari Hang-ciu baru diputuskan, bagaimana pendapat Toako?”
”Terpaksa begitu, tapi jangan membuat ke-sulitan pada orang muda ini.”
Beng Ku-lian berbalik, menatap dingin:
”Cho-siangkong, kau tentu sudah mendengar, sementara ini kau terpaksa tinggal di sini beberapa hari.”
Lalu membalikan kepala dan menyuruh Beng Ta-jin:
”Ta-jin, kau bawa Cho-siangkong istirahat di kamar tamu, biar dia tinggal di sini beberapa hari, jangan berbuat tidak sopan padanya.”
Beng Ta-jin membungkukkan tubuhnya:
”Keponakan mengerti.”
Cho Siau-hoa mendengar mereka, mau menahan dirinya, di dalam hati berkata dengan rasa marah:
‘Aku bermaksud baik mengantarkan kabar, kalian malah mau menahan aku disini, apa di dunia ada aturan begini?”
Tapi dengan tenang dia tertawa tawar lalu berkata:
”Aku sudah mengatakan, aku hanya mem-bawakan pesan orang, perhiasan gioknya sudah ku- serahkan ke tangan Toa-sianseng, maka tugasku selesai, buat apa masih merepotkan perumahan anda, maksud baik ke tiga Cianpwee, aku terima di dalam hati saja, permisi.”
Beng Ku-lian berteriak:
”Aku ingin kau tinggal, kau harus tinggal, tidak semudah itu pergi.”
Cho Siau-hoa mengangkat alisnya, dengan lantang berkata:
”Sam-wie Lo-cianpwee adalah orang yang sudah lama terkenal, jauh-jauh aku datang meng-antarkan pesan, dan tidak melakukan kesalahan apa apa, Cianpwee ingin memaksa aku tinggal disini, mungkin tidak ada aturannya lha?”
Beng Ku-lian berkata dingin:
”Jelas sekali kau mata-mata yang diutus oleh Ceng Ci-kiu, buat apa aku mentaati aturan dunia Kangouw? Ta-jin, kau tangkap saja dia.”
Beng Ta-jin menyahut, lalu melangkah ke depan Cho Siau-hoa sambil bersoja:
”Cho-siangkong, pamanku ingin kau tinggal di sini beberapa hari, kau lebih baik ikut aku pergi ke kamar tamu, jika sampai harus bertindak, mungkin akan membuat malu Cho-heng!”
Cho Siau-hoa masih berjiwa muda, tiba-tiba dia menghadap Beng Ku-lie dan berkata keras:
”Toa-sianseng, ternyata begini cara kalian melayani tamu, bila hal ini tersebar ke dunia Kangouw, apa tidak takut memalukan nama besar Ngo-liong-cung?”
Beng Ku-lian bertambah marah mendengar-nya, teriaknya dengan keras:
”Ta-jin, kau di suruh menangkap, kenapa masih banyak bicara?”
Beng Ta-jin tahu sifat paman ketiganya yang cepat marah, sambil mengiyakan dengan nada dalam berkata:
”Cho-heng tidak usah banyak bicara lagi, aku akan membawamu.”
Habis berkata, tangan kanannya lalu bergerak mencengkram pergelangan tangan Cho Siau-hoa, jurus yang dia gunakan adalah jurus Liong-jiauw-kin-na-jiu (Ilmu tangan kosong naga mencengkram) dari Ngo-liong-cung.
Cho Siau-hoa tidak menyangka karena meng-antarkan titipan orang, dia malah dianggap mata-mata dan mau di tangkap, sekarang dia berada di perumahan mereka, jika bertarung mungkin dia sulit meloloskan diri! begitu terpikir ini, tubuhnya segera bergeser ke kiri, tangan kanan menangkis tangan lawannya.
Beng Ta-jin tidak menduga gerakan Cho Siau-hoa selincah ini, jurus Liong-jiauw-kin-na-jiu nya jadi tidak berhasil menyentuh ujung bajunya sedikitpun, tubuh lawan cepat sekali menghilang di depan mata! dan tangan kanannya dengan ringan ditangkis oleh lawan, tubuhnya tanpa bisa ditahan lagi terdorong ke depan satu langkah.
Tadinya Cho Siau-hoa berdiri saling ber-hadapan dengan Beng Ta-jin, dan Beng Ta-jin meng-hadangi jalannya, setelah menghindar ke kiri lalu mendorong Beng Ta-jin, jalannya jadi tidak ada yang menghadang, maka mengambil kesempatan ini, Cho Siau-hoa menghentakkan kaki laksana anak panah melesat keluar pintu.
Saat dia sudah hampir sampai di pintu ruang an, mendadak dia merasa di atas kepalanya ada angin keras, sesosok bayangan secepat kilat lewat di atas kepalanya dan turun di depan dia, menghalangi pintu, sambil tertawa keras berkata:
”Bocah, jangan harap kau bisa keluar dari Ngo-liong-cung, kepandaianmu masih jauh!”
Hampir saja Cho Siau-hoa menabrak orang yang menghadang, dia cepat menghentikan langkah-nya dan melihat, ternyata orang yang menghalangi-nya adalah Beng Ku-lian, di dalam hati diam-diam merasa khawatir dan berkata, ‘Sungguh cepat gerak-an orang ini!’ tidak terasa dia mundur selangkah lalu dengan marah berkata:
”Sam-sianseng mau apa?”
Beng Ku-lian tersenyum sinis, kepalanya di angkat lalu berkata:
”Tangkap dia.”
Kata-katanya ditujukan pada Beng Ta-jin, ternyata Beng Ta-jin yang terdorong ke depan, merasa cemas melihat Cho Siau-hoa yang di depan-nya sudah mau berlari keluar pintu, kakinya segera berputar mengejar keluar. Saat ini paman ke tiganya sudah lebih dulu melesat ke pintu dan menghalangi jalan Cho Siau-hoa, setelah Beng Ta-jin mengejar sampai di belakang Cho Siau-hoa, maka Beng Ku-lian suruhnya menangkap Cho Siau-hoa.
Di suruh oleh paman ketiga, tentu saja Beng Ta-jin tidak berani membantah, dia mengulurkan tangan kanan, lima jari seperti kail secepat kilat mencengkram jalan darah Kian-keng Cho Siau-hoa.
Cho Siau-hoa sedang berhadapan dengan Beng Ku-lian, saat di belakangnya ada orang men-cengkram, mau menghindar tapi sudah tidak keburu, mendadak di belakangnya terdengar suara “Bruuk!”, entah apa sebabnya Beng Ta-jin tahu-tahu sudah jatuh ke atas lantai, tidak bisa bangun lagi!
Beng Ku-lie, Beng Ku-ie bersamaan waktu bangkit berdiri.
Beng Ku-lian pun tertegun, dia tidak men-duga Cho Siau-hoa yang masih muda tapi ilmu silatnya bisa sehebat ini, sampai bagaimana cara dia menyerang Beng Ta-jin juga tidak tahu, tidak tahan wajahnya jadi berubah, sepasang tangan bersiap-siap dan berteriak:
”Bocah, kau berani diam-diam menyerang orang!”
Terdengar tawa pelan dan berkata:
”Dia sama sekali tidak menyerang, itu karena keponakanmu kehabisan nafas.”
Perkataannya ini tidak keras, tapi setiap orang di sana bisa mendengar dengan jelas, entah dari mana datangnya suara itu?
”Siapa?” teriak Beng Ku-lian.
Terdengar orang itu pelan berkata:
”Tentu saja aku!”
Suara ini seperti datang dari jauh, juga seperti berada di dalam ruangan besar, membuat orang jadi bingung!
Saat ini Beng Ku-ie sudah memapah anaknya berdiri, tapi setelah memijat mengurut seluruh jalan darah besar di tubuhnya, tetap tidak bisa membuka totokan anaknya.
Wajah Beng Ku-lie jadi serius sekali, berdiri di tengah ruangan dan berkata ke tempat kosong:
”Sobat orang pintar dari mana, jika sudah berkunjung ke Ngo-liong-cung, seharusnya datang dengan terus terang, jangan seperti sekarang, main sembunyi-sembunyi, ini bukankah akan merendah-kan kedudukan anda?”
“Betul juga!” orang itu berkata tetap dengan suara pelan, ”kalian tiga bersaudara sekarang malah bisa mengatakan kata-kata terus terang!”
“Tak!” terdengar suara logam menyentuh ke atas lantai! Tidak jauh di depan Beng Ku-lie dan Beng Ku-ie, tiba-tiba berdiri seorang tua mengenakan mantel biru, rambut di kepalanya tidak teratur, kaki kirinya pincang, kaki kirinya seperti terbuat dari besi.
Melihat orang yang datang, hati Cho Siau-hoa jadi tertegun dan berkata:
‘Bukankah dia Cai Pak-jin yang menitipkan pesan untuk disampaikan kemari, ternyata dia juga ikut di belakangku.’
Melihat orang itu sudah muncul di dalam ruangan, Beng Ku-ie khawatir melukai anaknya, buru-buru dia mengangkat tangan ke depan dada bersiap-siap dan menghadang di depan Beng Ta-jin yang sedang pingsan.
Wajah Beng Ku-lie tergetar dengan serius berkata:
”Siapa anda ini, maafkan aku tidak mengenal mu.”
Orang pincang itu tertawa tawar:
”Tidak perlu terburu-buru!” dia menunjuk pada Beng Ta-jin dan berkata lagi, ”bocah ini tadi diam-diam menyerang dari belakang pada saudara kecilku, maka aku menotoknya, jiwa anak muda amat berharga, jika nafasnya ditutup lebih lama lagi, mungkin bisa terluka dalam, biar aku membuka dulu totokannya, baru kita pelan-pelan berbicara.”
Beng Ku-ie tetap menghadang di depan anak-nya, dengan keras berkata:
”Kau mau apa?”
“Minggir, aku akan membuka totokannya.” Orang pincang itu berkata lagi, ”totokanku, hanya aku yang bisa membukanya, jika aku menginginkan nyawanya, punya seratus nyawa juga sudah dari tadi habis.”
Kata Beng Ku-lie dengan nada dalam:
”Ji-te, kau minggir saja, sobat ini kedudukan-nya tinggi, dia tidak akan sampai melukai seorang boanpwee.”
Beng Ku-ie menurut, mundur ke belakang selangkah, tapi sepasang tangannya tetap bersiap siap dengan sepenuh tenaga, matanya tanpa ber-kedip menatap orang pincang itu.
Orang pincang tidak mempedulikan, dia berjalan ke depan Beng Ta-jin setelah jaraknya tinggal satu kaki dia berhenti, tangan kirinya di krbutkan ke depan wajah Beng Ta-jin.
Tadi Beng Ta-jin dipapah ayahnya menyan-dar di meja, aneh sekali, tadi ayahnya sudah memijat dan mengurut tapi tidak bisa membuka totokannya, sekarang setelah orang pincang mengebutkan tangan ke wajahnya, dia jadi membuka matanya dan ber-teriak terkejut:
”Tia, kenapa aku tadi mendadak tertidur?”
Kejadian ini membuat Beng bersaudara yang kepandaiannya sangat tinggi jadi terkejut sekali!
Saat ini orang pincang membalikan tubuh sambil tersenyum pada Cho Siau-hoa berkata:
”Siau-ko, terima kasih, demi meng-antarkan pesanku, kau jadi mendapat perlakuan seperti ini.”
”Jika Lo-tiang sendiri bisa kemari, kenapa menitipkan pesan padaku?” kata Cho Siau-hoa dengan marah
Kata-kata dia tentu saja mengandung teguran!
“Siau-ko, kau jangan salah paham,” orang pincang menggoyang-goyangkan tangan, ”jangan menyalahkan Lo-koko, tadinya aku pikir sekalian pulang kau tinggal belok sedikit dan menyerahkan perhiasan giok itu pada Toa-sianseng dan selesai, tapi setelah dipikir-pikir lagi, pekerjaan ini ada sedikit yang tidak benar, Beng bersaudara ini bukan-lah orang yang lurus, jika sampai terjadi kesalah pahaman, bukankah akan membuat saudara jadi repot? maka Lo-koko buru-buru mengejar kemari, dan benar saja dugaan Lo-koko, benar saja Lo-tongsi (barang tua) ini melakukan kekerasan di tempatnya sendiri.”
Biasanya Beng Ku-lie menampilkan dirinya sebagai ketua satu perguruan, kali ini orang pincang ini bukan saja di depan mereka melumpuhkan Beng Ta-jin, malah dengan sinis memaki mereka bertiga, bagaimana dia bisa menerimanya? maka di berteriak:
”Sebenarnya anda ini pesilat tinggi dari mana, sekarang sudah bisa menyebutkannya bukan?”
“Bukankah kau sudah tahu kenapa masih bertanya?” orang pincang itu tertawa terbahak dan berkata lagi, ”akulah orangnya yang ingin kalian cari itu?”
Diam-diam Beng-si-sam-hiong (tiga jago marga Beng) sampai tergetar mendengarnya, kata Beng Ku-lie dengan suara gemetar:
”Kau… ini… Ceng Ci-kiu……”
“Ha ha ha!” orang pincang itu menengadah tertawa terbahak-bahak yang suaranya melengking, lalu dengan pelan berkata:
”Temanku ini bukankah sudah memberitahu-kan pada kalian? Aku ini Cai Pak-jin.”
”Apakah ini nama aslimu?” kata Beng Ku-lian.
Dengan angkuh orang pincang berkata:
”Tentu saja nama asli, hanya saja kalian tidak pantas menanyakannya.”
Beng Ku-ie mendengus sekali dan berkata:
”Kau sombong sekali!”
“Aku sedikit pun tidak sombong!” orang pincang tersenyum dan berkata lagi, ”tapi aku menggunakan nama Cai Pak-jin, memang ada maksudnya!”
Beng Ku-lie sadar orang yang datang ini berilmu tinggi, dia terpaksa menahan diri, dia hanya mendengus sedikit lalu berkata:
”Coba kau jelaskan?”
“Kenapa harus dijelaskan?” kata orang pin-cang dengan sinis, ”Cai Pak-jin, artinya sembelih yang tidak adil, apakah kalian tidak mengerti?”
“Ha ha ha!” Beng Ku-lie tertawa keras dan berkata, ”kalau begitu, kau datang memang sengaja ingin menantang Ngo-liong-cung.”
“Ha ha ha!” orang pincang juga ikut tertawa terbahak dan berkata:
”Kalau begitu, kalian Beng-si-sam-hiong mengakui diri kalian tidak adil dan tidak setia kawan?”
Beng Ku-lie jadi marah, alisnya bergetar-getar, dengan keras berteriak:
”Mana orang, bawakan senjataku kemari, hari aku ingin mencoba ilmu silatmu.”
Sebenarnya di depan pintu di ruangan kedua sudah penuh dengan anak dan keponakan Beng-si-sam-hiong, mereka hanya bersembunyi di luar men-curi lihat, siapa pun tidak berani menampakan diri. Ketika mendengar teriakan keras Toa-loya ini, semua orang berebut keluar, tidak lama kemudian, sudah ada dua orang murid menggotong satu senjata masuk ke dalam ruangan.
Itulah sebuah tongkat kepala naga berwarna merah dengan kepala naganya berwarna kuning emas, di dagunya masih ada janggut yang panjang-nya tiga kaki, sekali melihat sudah tahu, tongkat kepala naga ini saja sangat berat, apa lagi janggut yang panjangnya tiga kaki itu, di saat bertarung bisa digunakan untuk membelit senjata lawan.
Beng Ku-lie memegang bagian tengah tong-kat naga itu, lalu bangkit berdiri, sepasang matanya berkilat-kilat menatap orang pincang itu. Dengan dingin berkata:
”Kau perlu senjata apa, silahkan ambil sendiri di rak senjata.”
Orang pincang mendehem sekali:
”Aku sudah setengah abad tidak mengguna-kan senjata lagi, begini saja!” sorot matanya ber-keliling, lalu berkata pada Cho Siau-hoa yang berdiri di depan pintu:
”Siau-ko, tolong Lo-koko ambilkan ranting pohon Kui-hoa (Kelor) yang ada di depan ruangan itu, tidak perlu panjang, asal dua kaki sudah cukup.”
Kata-kata ini membuat Cho Siau-hoa dan Beng-si-sam-hiong jadi tertegun!
Related Posts:
Langganan:
Postingan (Atom)