Cio San dan kawan-kawan bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya,
“Kau duduk saja di sini” kata Cukat Tong.
“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa?” tukas Suma Sun membenarkan.
Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng”
Sekali bergerak mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.
Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.
“Ah selamat datang para tayhiap” kata seseorang. Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih Goanswe (jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”
“Tentu saja, tayhiap” dengan sigap ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lagi merawat luka-lukanya.
“Kau duduk tenang saja di situ, aku dan Suma-tayhiap akan segera kembali” kata Cukat Tong sambil tersenyum.
Cio San pun tersenyum. Segera bayangan kedua orang sahabatnya itu menghilang.
Sang Jendral hanya bisa berkata, “Jika aku memiliki pasukan berisi orang seperti anda dan teman-teman anda sebanyak 100 orang, aku tentu dapat menaklukkan dunia”
Cio San tersenyum saja.
Mengapa begitu banyak orang ingin menaklukkan dunia? Menaklukkan diri sendiri saja masih belum banyak orang yang mampu.
“Goanswe (jenderal) apakah putra kebanggaan Khu-hujin?” tanya Cio San sopan.
“Benar. Luas juga pandangan anda” jawabnya sambil menjura.
Cio San pun balas menjura.
“Silahkan beristirahat, cayhe harus memimpin pasukan” kata Khu-goanswe
“Terima kasih Goanswe. Selamat berjuang” Cio San
Sang jenderal mengangguk dengan segera kembali ke posisinya. Dari mulutnya keluar perintah-perintah menggelegar.
“Perwira Sing! Tutup daerah kanan! Jangan biarkan musuh merayap naik!”
“Perwira To, perhatikan persediaan panah anak buahmu”
“Pihak kiri lawan terbuka! Segera maju!”
Cio San memperhatikannya dengan kagum. Tidak mudah menjadi jendral.
Sekian lama memperhatikan Cio San mulai paham situasinya. Saat ini pasukan kekaisaran sudah berada di ambang kemenangan. Mungkin dalam satu atau dua jam, pemberontakan ini bisa dipatahkan seluruhnya.
Dari atas tembok itu, ia melihat betapa dahsyatnya Cukat Tong dan Suma Sun bertarung. Ia juga melihat Ang Lin Hua dan Luk-totiang masing-masing memimpin anak buah mereka. Ang Lin Hua memimpin Mo Kauw, dan Luk-totiang memimpin Kay pang.
Memang Cio San sendiri yang memerintahkan mereka. Di tengah malam di puncak gunung Thay san, dengan diam-diam ia harus ‘menculik’ mereka. Memasukkan mereka ke kereta dalam kondisi tertotok dan wajah tertutup serta mengirim mereka ke bawah gunung. Ini semua harus dilakukannya agar menghindari kecurigaan pihak lawan.
Ini pun terpaksa dilakukannya juga agar menyelamatkan jiwa mereka. Jika Ang Lin Hua dan Luk Ping Hoo terus mengikutinya sampai pada puncak pertarungannya itu, maka mereka berdua pun mungkin akan turut musnah di atas sana.
Cio San memang telah memikirkan segalanya. Ia telah mengirimkan Cukat Tong kembali ke kota, serta mengirimkan kedua orang anak buahnya itu kembali pula ke kota, adalah untuk dua tujuan. Menyelamatkan mereka, dan untuk menjalankan rencananya sendiri untuk menjebak Beng Liong dan gerombolannya.
Cio San sendiri memang terpaksa harus melakukan ‘penculikan’ itu terhadap kedua orang anak buahnya sendiri. Mengirimkan mereka secara diam-diam kembali ke kota. Dengan memilih orang yang paling bisa dia percaya dari ribuan anggota Mo Kauw yang hadir di gunung itu sebagai kusirnya.
Ia lalu menulis surat perintah yang ditulisnya dalam sandi khusus yang hanya bisa dimengerti oleh beberapa orang dalam Mo Kauw. Surat itu berisi perintah kepada Ang Lin Hua dan Luk-totiang untuk memimpin anak buah mereka secara diam-diam, dan bergerak ke kota raja.
“Tunggu perintahku selanjutnya” Begitulah kata-kata penutup surat perintah itu.
Ang Lin Hua yang mampu membaca tulisan rahasia itu tentu saja terheran-heran, mengapa ketuanya harus menempuh cara aneh seperti ini. Bukankah ia bisa saja menurunkan perintah dengan gamblang, tanpa harus sandiwara penculikan seperti itu?
“Mungkin begitulah cara Cio-pangcu bekerja” kata Luk Ping Hoo.
Begitulah.
Kedua orang ini lalu masing-masing memilih anak buahnya yang paling terpercaya untuk bergerak ke kota raja. Di sana mereka menghimpun lagi anak buah dari cabang di kota raja. Total terkumpul sekitar 1000 orang terbaik dari Mo-Kauw dan Kay Pang yang siap bergerak kapan saja.
“Anda bisa memanah?” gelegar suara Khu-goanswe membuyarkan lamunan Cio San.
“Tidak bisa” jawabnya sambil tertawa. Segera ia bertanya pula, “Ada apa, goanswe?”
“Musuh memiliki pemanah hebat di menara atas sana” katanya sambil menunjuk sebuah menara yang letaknya lumayan jauh. “Pemanah itu telah menawaskan banyak prajurit dan perwira-perwira penting”
Cio San lalu memejamkan mata. Ia bersemedi memulihkan luka-lukanya. Dengan perawatan para serdadu tadi, luka-lukanya sudah menutup dengan baik. Tinggal memulihkan luka dalam karena terpukul tenaga dalam Beng Liong yang dahsyat.
Untunglah orang-organ dalamnya terlindungi oleh Thay Kek Kun dan khasiat jamur sakti. Dalam beberapa menit bersemedi, tenaganya sudah kembali 4 dari 10 bagian.
Wajahnya terang. Matanya mencorong.
Dengan khi-kangnya ia mengirimkan suara kepada Cukat Tong,
“Burung-burung peliharaanmu apa siap beraksi?”
Terdengar suitan panjang dari dalm arena pertempuran. Tak berapa lama bayangan hitam muncul dari langit. Cukat Tong dalam beberapa kali melenting telah berada di hadapan Cio San.
“Kemana?” tanyanya.
“Menara itu” tunjuk Cio San
Segera mereka berdua terbang ke sana.
“Kau kembalilah ke arena. Kirim pulang kembali burungmu” kata Cio San sambil meloncat dan mendarat dengan ringan di atap menara.
Begitu kakinya baru sampai segera sebuah panah dengan kekuatan yang sangat mengagumkan telah hampir menembus dadanya.
Tapi benda apa atau makhluk apa di muka bumi ini yang mampu lebih cepat daripada Cio San?
Malahan panah itu ditepis balik dan meluncur dua kali lebih cepat daripada datangnya.
Ia menancap tepat di kerongkongan si pemanah.
Cio San menunduk menyesal. Sudah terlalu banyak yang mati hari ini. Sudah banyak nyawa yang diambil tangannya. Tapi gerakannya tadi terjadi secara naluriah. Tahunya malah membunuh orang.
Begitu masuk ke dalam menara itu, disadarinya bahwa tempat ini adalah tempat yang sangat sempurna untuk menyerang.
Ia memutuskan untuk berjaga di sana, jangan sampai menara itu diambil alih lagi oleh musuh.
Sampai agak sorean, pertarungan akhirnya berakhir.
Pemandangan kotaraja jauh lebih menakutkan daripada rumah jagal manapun. Karena jumlah yang dijagal ribuan kali lebih banyak daripada rumah jagal manapun. Yang dijagal pun bukan hewan, melainkan manusia.
Manusia.
Satu-satunya makhluk yang mampu melahirkan keindahan sempurna, dan kengerian sempurna.
Di atas menara ia termenung dan terpana.
Angin sore menghempas tubuhnya.
Walaupun tubuhnya berdiri gagah dan tak goyah.
Siapa yang mampu membaca hatinya?
Hati yang lemah dari seorang anak manusia biasa.
Yang dalam ketidaktahuannya terseret ke dalam pusaran takdir.
Sekuat apapun manusia, sehebat apapun dia
Bukankah tetap tunduk kepada takdir?
Di atas menara itu, Cio San menangis sejadi-jadinya. Segala perasaannya tercurahkan ke dalam setiap tetesan bening air matanya. Kesedihan, kehilangan, kemuakan serta kelemahannya. Ia lega semua ini telah lewat.
Namun di masa mendatang?
Bukankah hidup hanyalah berupa titik-titik berisi kedamaian ditengah pusaran warna kehidupan?
Selama manusia masih memiliki keinginan, bukankah selama itu juga segala kesedihan dan kisah-kisah paling tragis akan terus terjadi di muka bumi ini?
Bukankah segala permasalahan dan kekelaman sejarah manusia terjadi hanya disebabkan sebuah kata sederhana bernama ‘Keinginan’?
Kau mungkin akan bilang “selama masih ada cinta, maka dunia masih memiliki harapan”.
Tapi bukankah cerita kepahitan hidup manusia terjadi disebabkan oleh kata bernama ‘Cinta’ itu?
Berapa ribu atau juta manusia yang mati atau menderita karena cinta?
Selama ribuan tahun yang lalu, bukankah telah terjadi?
Sampai saat ini, bukankah masih terus terjadi?
Sampai ribuan tahun ke depan pun, akan terus terjadi.
Lalu jika kehidupan sekelam ini, apakah umat manusia sudah tidak memiliki harapan lagi?
Masih ada!
Harapan itu ada pada dirimu sendiri.
Jika engkau mampu mengendalikan diri, pikiran, dan perasaanmu, maka umat manusia masih memiliki harapan bagi kehidupan yang lebih baik.
Jika engkau mau sedikit mengalah, mengerti perasaan orang, dan rela mengorbankan dirimu sendiri, maka di situlah harapan kan kembali bersinar.
Sejarah dunia ini bukan ditulis oleh orang-orang hebat dan gagah. Sejarah dunia ini ditulis oleh orang-orang biasa yang namanya tak dikenal orang. Ditulis oleh perbuatan-perbuatan sederhana yang berlandaskan keinginan untuk berkorban.
Memiliki impian besar dan agung? Boleh saja.
Tapi melakukan perbuatan baik yang sederhana itu wajib!
Ia terus berdiri. Sampai gelap datang menyapa terang. Sampai bintang-bintang mulai menghiasi langit. Cukat Tong pun tidak berani menganggunya. Ia mengerti apa yang dirasakan sahabatnya itu. Ia dan Suma Sun akhirnya berjaga-jaga saja di bawah. Kadang membantu para tentara membersihkan mayat.
Sampai hari sudah benar-benar gelap baru Cio San melayang turun.
“Kau baik-baik saja?” Tanya Cukat Tong.
“Kalian berdua yang harus kutanya. Haha. Apakah kalian baik-baik saja?” Tanyanya sambil tersenyum.
Tentu saja mereka hanya saling tersenyum. Sedikit senyum mungkin bisa membuat kita lupa akan penderitaan dan kelamnya hidup.
Mungkin.
“Aku mau melihat keadaan saudara-saudaraku dulu” kata Cio San.
“Perlu ku temani?” Tanya si Raja Maling.
“Tak usahlah”
Segera ia bergerak ke sebuah bangunan besar tempat para korban terluka dikumpulkan. Di sana ia membantu sebisa mungkin, dengan ilmu pengobatannya, banyak sekali orang yang bisa ia tolong.
Lalu ia bertemu Ang Lin Hua.
Perempuan cantik itu tidak kurang suatu apa. Walaupun terluka. Lukanya hanya luka luar biasa.
“Maaf aku tidak segera menemuimu, aku harus membantu saudara-saudara yang terluka dulu”
“Tak apa-apa Kaucu. Apakah kaucu baik-baik saja? Hamba dengar dari Cukat-tayhiap, Kaucu sempat terluka” kata Ang Lin Hua.
“Kau lihat sendiri kan?” ia tersenyum.
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.
Senyum ini.
Cio san baru sadar betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat ia tersenyum.
Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.
“Nona, beristirahatlah”
“Baik, Kaucu. Kaucu sendiri mohon segera beristirahat”
“Segera” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.
Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.
Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana, dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.
Sekali lagi orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.
Cio San keluar ruangan itu.
Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur bau amis mayat, dan bau bakaran, tetap saja terasa segar dibandingkan dengan suasana di dalam tadi.
Dilihatnya dikejauhan Suma Sun dan Cukat Tong sedang berbincang-bincang dengan seorang perwira. Ternyata perwira itu Kao Ceng Lun.
“Ah kau!” kata Cio San.
“Salam tayhiap” kata Kao Ceng Lun sambil menjura.
“Haish!. Buat apa tayhiap-tayhiap segala. Haha. Kau baik-baik saja kah?” Tanya Cio San.
“Baik tayhiap”
“Haha, panggil aku koko saja” kata Cio San sambil menepuk punggung Kao Ceng Lun.
“Boanpwee mana berani?” katanya ragu.
“Eh ingat umurku dan umurmu kan tak beda jauh. Kali ini aku memaksa” tukas Cio San.
“Ah baiklah kalau begitu, San-ko (kakak San)” ujar Kao Ceng Lun masih canggung.
“Ternyata kau memang orang kerajaan ya? Selama ini aku sudah curiga. Tapi tidak berani bicara” jelas Cio San.
“San-ko udah curiga? Wah, bagian mana yang bikin San-ko curiga?” Tanya Ceng Lun.
“Perawakanmu yang gagah sepertinya bukan ditempa oleh latihan silat. Karena ilmu keluargamu lebih mengandalkan pukulan tenaga dalam ketimbang tenaga luar. Jadi aku curiga perawakanmu itu ditempa oleh latihan ketentaraan”
“Hah? Dari hal sederhana itu saja San-ko bisa mengambil kesimpulan demikian?”
“Kadang-kadang permasalahan ruwet dan besar jawabannya malah sungguh sangat sederhana”
“Benar sekali”
Tiba-tiba muncul seseorang yang datang dengan baju perang lengkap, ternyata ia adalah Khu-Goanswe. Semua hadirin bangkit dan menjura, Khu-goanswe hanya tersenyum dan balas menjura,
“Cio-tayhiap, cayhe punya berita penting untuk anda. Mohon ikut sebentar.” Katanya sopan tapi penuh wibawa.
Cio San berdiri. “Sisakan araknya untuk ku” katanya sambil tertawa ewa.
“Jangan harap” Suma Sun yang sejak tadi bersikap dingin malah yang angkat bicara duluan.
“Hahaha” mereka semua tertawa.
“Ada kabar apa sampai-sampai harus Goanswe sendiri yang harus menyampaikannya?” Tanya Cio san begitu mereka masuk ke sebuah ruangan.
“Agar sampai rahasia tidak bocor. Aku tak ingin ada kejadian heboh percobaan pembunuhan kaisar lagi” katanya sungguh sungguh.
“Ada apa, goanswe?”
“Kaisar ingin menemuimu”
Cio San mengangkat alis, “Kapan?”
“Saat ini juga”
“Memangnya ‘Yang Mulia” sudah bangun saat subuh-subuh begini?”
“Di saat perang seperti ini, mana ada kaisar yang bisa tidur enak?”
Memang betul. Di saat damai saja, seorang kaisar bisa saja tidurnya tidak nikmat. Bingung karena banyak pekerjaan, banyak urusan, banyak intrik, dan banyak bahaya. Apalagi di saat perang.
“Sekarang juga hamba pergi ke istana” kata Cio San.
“Tidak perlu” tukas Khu-Goanswe.
Tadinya Cio San akan bertanya “Kenapa tidak perlu?” tapi segera ia sadar, kaisar pasti sudah berada di sana.
Pintu di belakangnya terbuka. Cio San merasa ada api membakar punggungnya. Segera ia berbalik dan ingin bersujud mengucap salam “Semoga kaisar panjang umur”, tapi sang kaisar sendiri sudah keburu melarang,
“Tidak usah. Aku sedang menyamar”
Akhirnya Cio San diam saja.
“Aku, atas nama kekaisaran ini, berhutang besar kepadamu. Karena jasa-jasamu, pemberontakan gila ini bisa diatasi.”
Kaisar diam. Cio San pun diam saja mendengarkan.
Lalu kaisar menyambung, “Pertanyaanku hanya satu, apa yang kau inginkan dari semua jasa-jasa ini?”
Cio San kaget juga. Kaisar ternyata bukan orang yang suka berbasi-basi dengan bahasa memutar. Ucapannya selalu menuju sasaran.
Cio San pun paham, terhadap orang seperti ini, ia pun tidak perlu berbasa basi,
“Hamba hanya meminta satu permintaan. Mohon kaisar membebaskan Bwee Hua muda.”
“Dia siapamu?” Tanya sang Kaisar.
“Dia orang yang paling dicintai sahabat hamba, Cukat Tong”
“Mengapa kau ingin dia bebas?” Tanya Kaisar.
“Karena hamba sudah berjanji kepada seorang sahabat”
Sahabat.
Kau tahu betapa dalam artinya?
Betapa berat pertanggungjawabannya?
Jika kau tahu, kau tidak akan dengan sombong merasa dirimu adalah ‘sahabat’ orang lain.
Hanya orang yang benar-benar bisa memberikan persahabatan yang tulus, barulah ia pantas mendapatkan persahabatan yang tulus pula. Orang-orang semacam ini adalah orang-orang yang paling beruntung di dunia.
Sayangnya, jumlah mereka sungguh amatlah sedikit.
“Itu saja permintaanmu?”
“Itu saja” jawab Cio San sambil menundukkan kepala dengan khidmat.
Lama sekali kaisar menatapnya.
Seperti tak percaya atas apa yang didengarkannya.
Lalu sang Kaisar tertawa.
“Baik”
Kaisar lalu berbalik pergi. Cio San dan Khu-goanswe hanya bisa menunduk memberi hormat.
Lama juga Cio san terdiam.
Lalu didengarnya suara Khu-goanswe, “Aku tak tahu, tayhiap ini orang yang sungguh bodoh atau orang yang sungguh pintar”
Cio San hanya memandangnya dengan pandangan bertanya.
“Tayhiap tidak meminta harta, jabatan, atau apa-apa di hadapan kaisar. Jika bukan orang yang dungu, tak mungkin berlaku demikian” lalu ia melanjutkan, “Tapi justru perbuatan itu cerdik sekali”
“Cerdik bagaimana?”
“Kaisar adalah orang yang pandai menilai orang lain, dan dia menilaimu sangat tinggi”
“Cayhe paham” kata Cio San sambil tersenyum ringan.
“Kau paham?” sekarang giliran Khu-goanswe yang bertanya.
“Jika Yang Mulia sampai merendahkan diri sendiri hanya untuk datang bertemu cayhe. Tentunya bukan sekedar bertanya kabar”
“Lanjutkan” pinta Khu Goanswe.
“Beliau ingin melihat sendiri orang seperti apa cayhe”
“Bagus. Pemikiran yang bagus. Dan kurasa permintaan tayhiap sungguh tepat. Oleh karena itu kubilang jawaban tayhiap sungguh cerdik”
“Cerdik?”
“Apa tayhiap tidak tahu, walaupun tayhiap hanya meminta pembebasan seorang pemberontak, tindakan itu sudah dianggap melanggar hukum?” lanjutnya “Berdasarkan hukum Negara, hukumannya sama dengan dianggap bagian dari pemberontakan”
“Lalu di mana cerdiknya?” Tanya Cio San.
“Karena permintaan tayhiap itu, semakin mengangkat nilai tayhiap di mata Yang Mulia. Aku yakin Yang Mulia menganggap tayhiap sebagai orang yang setia kawan, serta dapat diandalkan”
“Sejak awal, memang hanya satu itulah permintaan cayhe. Entah Yang Mulia akan mengabulkan atau tidak….” Kata Cio San.
“Jika tidak?” Tanya Khu-goanswe
Cio San tahu jawabannya.
Khu-goanswe pun tahu jawabannya.
Perlahan Khu-goanswe menyadari, betapa menakutkannya orang yang berada di hadapannya itu.
Related Posts: