SALAM PENUTUP

Sekian cerita dari petualangan Cio San bersama sahabat-sahabatnya. Sekian juga proses penulisan yang panjang yang hampir mencapai  tahun. Selama proses penulisan ini, saya berhutang banyak kepada teman saya Ibenk, yang meminjamkan laptop dan koneksi internetnya. Juga kepada Ihsan Mebruri yang telah menantang saya untuk menuliskan cerita silat ala Gu Long.

Kepada teman saya Faris 'Simple Prod', orang pertama yang menyemangati saya untuk terus menulis bab demi bab. Kepada teman-teman di Facebook yang terus mengikuti cerita ini. Juga teman-teman Indozone yang terus bersabar sampai semua ini selesai.

Saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada suhu saya, bapak Tjan ID yang begitu menginspirasi dan memberi banyak pelajaran. Juga buat teman-teman penghuni group Tirai Kasih, dan Kedai Arak. Semua dukungan mereka sangat berharga.

Akhir kata, terima kasih atas semua apresiasi yang teman-teman berikan. Walaupun akhirnya saya tidak jadi menerbitkan buku ini karena sudah pasti tidak ada yang mau beli (hahaha), saya tetap berharap semoga ada satu dua orang yang tertarik untuk memiliki versi cetak/buku dari kisah ini sebagai sekedar kenang-kenangan. Untuk hal itu, boleh menghubungi saya melalui Facebook.

Terima Kasih.

Menjuraaaaaaaaaaaa

Malang, Selasa 8 Juni 2013 jam 00:47

Related Posts:

EPILOG






Cio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orang tuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orang tuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.

Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.

Ketika ia selesai membersihkan makam, dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.

Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya kemungkinan belum pernah dilahirkan.

Ternyata ia salah.

“Salam tayhiap dan liehiap” kata Cio San menjura.

“Kau yang bernama Cio San?” tanya sang kakek.

“Benar adanya tayhiap” sebenarnya Cio San ingin bertanya siapa mereka, tapi ia juga paham. Di hadapan orang seperti ini, kau sebaiknya diam dan membiarkan mereka yang bertanya.

“Serang aku!” perintah si kakek.

Perintah yang aneh.

“Eh tapi…”

Ia tidak melanjutkan kata-katanya. Sorot mata sang kakek mencorong menusuk jiwanya. Mau tak mau ia menyerang. Sebuah gerakan Thay Kek Kun yang lamban dan sederhana.

“Tidak perlu bermurah hati. Serang dengan sungguh-sungguh” perintah kakek itu lagi. Sekali lagi sorot mata itu menghujam jiwa Cio San. Seakan-akan tubuhnya tidak lagi menjadi milik pikirannya. Gerakannya berubah menjadi dahsyat. Angin menderu-deru keluar dari telapak tangannya.

Gerakannya cepat. Sangat cepat.

Sang kakek tidak bergerak. Ia menerima ujung telapak Cio San dengan telapak pula. Suara gemuruh menderu-deru terdengar bagai angin putting beliung yang menghempaskan gunung. Tetapi sekitika itu juga suara itu hilang lenyap tak berbekas!

Seperti tak terjadi apa-apa!

Kemana hilangnya tenaga dahsyat tadi?

Tak ada seorang pun yang tahu.

Bahkan Cio San pun tidak tahu.

Sore menjelang makin gelap. Ia berdiri terpaku mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

“Bagus. Cio San adalah Cio San. Mari kita cari tempat istirahat dan dengarkan aku bercerita” kata si kakek.

Mereka lalu beranjak menuju sebuah pavilliun kecil yang berada di dekat sana. Duduk di dalamnya saat sore membawa sebuah kedamaian tersendiri.

“Kau tidak perlu tahu siapa namaku. Tetapi aku dahulu adalah sahabat dari kakekmu, Cio Hong Lim” kata sang kakek memulai cerita.

“Aku tinggal di sebuah pulau terpencil di pantai timur Tionggoan. Tak ada seorang pun yang tahu di mana pulau itu berada. Beberapa bulan yang lalu, aku menemukan seseorang terdampar di pulau kami. Orang itu sudah lumayan tua juga. Tetapi semangat dan rasa tanggung jawab yang diembannya membuat ia mampu bertahan hingga sampai di pulau kami.”

“Aku merawatnya sampai beberapa lama, hingga kemudian aku sadar bahwa aku pernah mengenal orang ini. Namanya Tin Seng. Ia adalah orang kepercayaan kakekmu.”

Cio San sedikit terhenyak.

“Ternyata Tin Seng telah diperintahkan oleh ayahmu sejak belasan tahun yang lalu untuk mencariku. Karena menurut kakekmu, hanya akulah yang dapat menyelesaikan semua permasalahan ini. Kau tahu permasalahan apa itu?” tanya si Kakek.

“Sedikit banyak, boanpwe sudah bisa membacanya, tayhiap”

“Bagus. Jelaskan!”

“Permasalahan ada hubungannya dengan rencana penyerangan orang-orang Goan ke Kotaraja sebulan yang lalu.” Jawab Cio San.

“Benar sekali. Ternyata perencanaan itu dilakukan secara matang dan sungguh rapi sekali. Otak perencanaan itu adalah seorang selir Kaisar Goan (Mongol) yang selamat saat pengusiran dulu. Setelah lari, ia membangun kekuatannya. Ternyata bahkan sebelum mereka berhasil diusir, orang-orang Goan telah memasukkan beberapa orang kepercayaan mereka untuk menjadi mata-mata di perguruan-perguruan besar, seperti Bu Tong pay, Siau Lim pay, dan Go Bi pay. Karena ketiga perguruan besar ini sangat merepotkan bagi mereka”.

“Ketika orang-orang Goan berhasil terusir, para mata-mata ini tetap menetap di perguruan-perguruan besar tadi. Bahkan kemudian menduduki posisi penting di sana. Selir Goan yang selamat itu kemudian menghubungi mereka dan mempersiapkan rencana jahat mereka itu.” Jelas sang kakek, lalu ia bertanya, “Kau tentu tahu siapa saja mereka?”

“Hong Sam Hwesio di Siau Lim Pay, Lau-ciangbun di Bu Tong pay, dan Bu Goat-nikoh di Go Bi pay” jawab Cio san.

“Benar. Mendiang ibumu yang merupakan pendekar terkemuka Go Bi pay kemudian secara tidak sengaja mengetahui rencana jahat itu. Ia lalu mengirimkan surat kepada kakekmu. Lalu kemudian bergegas melarikan diri ke desa ini bersama kau dan ayahmu”

Sampai di sini Cio San sudah paham seluruhnya. Ketika menerima surat dari ibu Cio San, kakek Cio San langsung memerintahkan orang kepercayaannya untuk mencari sang kakek di hadapannya ini. Untunglah utusan itu berhasil pergi sebelum keluarga Cio San dibantai.

“Kau sudah paham seluruhnya, bukan?” tanya sang kakek.

“Sudah, tayhiap”

“Nah, begitulah. Selama belasan tahun Tin Seng mencari keberadaan kami berdua. Segala pelosok Tionggoan pernah disusurinya. Tak kenal lelah ia mencari kami. Suatu hari ia bertemu dengan Tan Hoat. Pendekar Bu Tong pay. Kudengar kau sudah mengangkat ayah sekaligus guru terhadap Tan Hoat ini?”

Cio San mengangguk.

“Tin Seng percaya penuh kepada Tan Hoat. Ia lalu menceritakan semuanya. Tan Hoat memutuskan untuk pulang ke Bu Tong pay untuk menyelamatkanmu, dan membunuh Lau-ciangbun secara diam-diam. Sayang, yang kudengar kemudian, Tan Hoat meninggal secara menggenaskan.”

“Betul, tayhiap” Cio San ingat sekali peristiwa ini.

“Selama belasan tahun ini Tin Seng terus mencari kami, karena itu adalah satu-satunya tanggung jawab yang diembannya selama ini”

“Di mana beliau sekarang, tayhiap?” tanya Cio San.

“Sudah meninggal karena penderitaannya. Kami menguburkannya di pulau kami”

“Aih” tak terasa Cio San menangis pula. Betapa besar jasa Tin-Seng ini.

“Begitu kami tahu cerita ini, segera kami bergegas berangkat ke Tionggoan. Rupanya kami terlambat, dan kau sudah menyelesaikan semua urusan.”

Lama kakek ini terdiam.

“Untuk itu kami mengucapkan terima kasih” ia lalu bersujud. Betapa kagetnya Cio San ia mencoba menghalau,

“Aih tidak berani…tidak berani. Siansing” terlambat. Kedua suami istri sudah bersujud di hadapannya.

Mau tidak mau, Cio San pun balas bersujud.

“Terima kasih telah membersihkan Bu Tong pay. Terima kasih telah menjaga Kerajaan Beng” terlihat air mata menggenang di pelupuk mata sang kakek ini.

“Aih, tidak berani..siansing..tidak berani. Semua itu bukan jasa-jasa boanpwe semata. Jasa begitu banyak orang. Sungguh boanpwe tidak berani menerima kehormatan ini” kata Cio San sungguh sungguh.

Si kakek tersenyum, lalu berkata “Saat ini juga kami harus pulang ke pulau kami. Jika ada jodoh hendaknya kau mampir ke sana. Aku belum mencobai seluruh kepandaianmu” Lalu ia menoleh ke istrinya, “Ayo kita pulang, sayang”

Si nenek tersenyum dan berkata “Sayang, masa kita pulang tanpa memberikan hadiah apa-apa kepada pendekar muda ini?”

“Ah, betul juga. Cio San, kau lihatlah ini”

Si kakek bergerak. Amat indah. Amat lambat dan amat pasti.

Seperti matahari, seperti bulan, seperti alam semesta. Bergerak sesuai waktunya, sesuai kadarnya, sesuai porsinya.

Seumur hidupnya Cio San belum pernah melihat keindahan seperti ini. Seolah-olah keindahan alam semesta terpancar dari gerakan-gerakannya yang sederhana.

Lalu selesai.

Selesai seperti tak ada mula dan tak ada akhir. Begitu saja.

“Kau bisa menangkap maknanya?” tanya si kakek.

“Tidak, siansing” jawab Cio San jujur.

“Bagus!” kata si kakek sambil menepuk pundaknya. “Dalam beberapa tahun ke depan, kau akan mengalami banyak hal. Jika tidak segera menyingkir dari keramaian, kau akan mengalami berbagai macam urusan. Siapkan dirimu. Kami mohon diri. Jika jodoh akan berjumpa kembali. Salam Cio-Hongswe (jenderal Phoenix)”

Kedua orang itu kemudian pergi. Sambil bergantengan tangan dan menikmati keindahan dunia. Bercanda tawa seperti sepasang kekasih bau kencur. Cio San menjura sedalam-dalamnya.

Usia boleh tua, tetapi jiwa pecinta akan selalu muda.

Jiwa pecinta yang sejati akan seperti ini. Berbagi mesra, berbagi kasih, berbagi susah, dan berbagi derita. Cio San tahu, kakek dan nenek itu tak akan mencapai cinta semurni itu jika sebelumnya mereka tidak mengalami ujian, dan cobaan yang dahsyat.

Itulah cinta.

Ia seketika sadar bahwa ia belum bertanya siapa nama mereka. Tapi ia tahu. Jauh di dalam lubuk hatinya ia tahu siapa mereka.

Lalu ia tersenyum.

Teringat kalimat terakhir yang diucapkan kakek itu,

“Jika jodoh akan berjumpa kembali”






----------------- TAMAT---------------






Nantikan petualangan Cio San dan kawan-kawan dalam episode: Rahasia Jubah Merah

Related Posts:

BAB 73: BAHAGIA


Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.

Kejadian penuh darah di kota raja.

Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.

Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.

Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.

Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.

Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.

Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.

“Kudengar, kaisar memberimu gelar sebutan 'Hongswe' (Jenderal Phoenix). " kata Cukat Tong, "Bahkan beliau juga memerintahkan kerajaan agar mengeluarkan pengumuman ke seluruh penjuru Tionggoan yang membersihkan namamu dari segala fitnah."

"Aku juga mendengarnya. Kaisar memang bijaksana. Tapi sebutan Hongswe itu rasanya terlalu berlebihan." tukas Cio San sambil tersenyum.

"Terus terang, aku sendiri bingung dengan semua kejadian belakangan ini. Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal” kata Cukat Tong.

Cio San menatap langit.

“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kuceritakan bahwa aku sebenarnya sudah curiga atas keterlibatan Beng Liong sejak awal sekali. Hanya saja aku tidak berani bicara karena tidak punya bukti.”

“Sejak kapan?” Tanya Cukat Tong.

“Sejak kejadian pembakaran kapal Ma Kauw. Itu saat pertama kali kita bertemu bukan?”

Cukat tong mengangguk.

“Saat itu Beng Liong difitnah sebagai pelakunya bukan?”

“Iya”

“Saat itu aku dan Beng Liong sudah dikepung banyak orang. Mereka menganggap kami benar-benar pelakunya”

Lanjut Cio San,

“Tapi saat itu kebetulan Hong Sam-hwesio datang melerai dan menjelaskan duduk perkaranya”

“Apa kata Hong Sam-hwesio pada saat itu?” tanya Ang Lin Hua.

“Katanya saat kebakaran terjadi Beng Liong juga sedang bersama-sama dirinya” jelas Cio San.

“Dan orang-orang yang mengeroyok kalian berdua percaya?” kali ini Kao Ceng Lun yang bertanya.

“Tentu saja. Semua orang Bu Lim tahu, kata-kata bhiksu Siau Lim pay adalah emas. Apalagi kata-kata yang keluar dari mulut Hong-Sam hwesio”

Lanjut Cio San,

“Setelah itu aku bertemu dengan Cukat Tong. Katanya ia mengenal 3 orang dari pelaku pembakaran kapal Mo-Kauw. Herannya pelaku pembakaran itu, adalah termasuk orang yang mengepung dan menuduh kami sebagai pelakunya. Salah satunya bernama Sih Hek Tiauw, yang mempunyai julukan Si Rajawali Hitam”

“Maling teriak maling” tukas Luk Ping Hoo.

“Benar sekali.” Tukas Cio San. Lanjutnya, “Begitu mengetahui itu, aku langsung melapor kepada Hong Sam-hwesio.”

“Apa tindakan beliau?” Cukat Tong bertanya.

“Ya katanya kita harus segera ke rumah Sih Hek Tiauw itu. Kebetulan beliau kenal. Yang terjadi kemudian malah yang menjadi kunci pembuka seluruh rahasia ini”

“Apa?” hampir serempak semua bertanya.

“Beliau berkata hendak mengambil tongkat dulu di dalam kamar. Begitu masuk ternyata beliau diserang seseorang yang bersembunyi dalam lemari beliau”

“Lalu?”

“Lalu aku melesat secepatnya ke dalam begitu mendengar suara gaduh. Setiba di dalam kamar, penyerangnya sudah menghilang. Kata Hong Sam Hwesio, dia kabur lewat jendela. Begitu ku tengok sudah tidak keliahatan siapa-siapa”

“Lalu yang mengherankan di bagian mana?” Tanya Cukat Tong.

“Yang mengherankan adalah penyerang itu bisa bergerak sangat cepat. Halaman kuil itu sangat luas, dan kuilnya sendiri sangat kecil. Aku saja butuh waktu beberapa detik hingga bisa keluar dari halamannya yang luas itu”

Cio San meragukan banyak hal. Satu-satunya hal yang ia yakin benar adalah ginkangnya sendiri. Di dunia ini, hanya satu hal itulah yang paling diyakini dan dipercayainya.

“Maksud pangcu, ada orang yang ginkangnya lebih tinggi dari pangcu?” Tanya Luk Ping Hoo.

“Tentu saja tidak” Tukas Suma Sun. “Maksud Cio San adalah penyerang ini sebenarnya tidak ada”

Memangnya ada orang yang bisa menghilang di hadapan Cio San? Jika orang seperti itu tidak ada, tentu saja penyerang itu tidak ada.

Jika penyerang itu tidak ada, berarti bukankah Hong Sam hwesio hanya mengarang cerita belaka?

Perlahan semua yang hadir di sana paham.

“Saat itu dalam pikiranku adalah: hanya orang yang bisa terbang yang bisa lolos saat itu”

Lanjut Cio San,

“Dan benar, saat itu sebenarnya ada sesuatu yang bisa terbang”

“Burung?” Tanya Ang Lin Hua.

“Benar. Hong Sam Hwesio memelihara burung. Saat  ia terpukul, ia begitu marah  karena keributan itu menyebabkan burungnya lepas dari sangkar. Saat itu aku belum berpikiran apa-apa. Lama kemudian aku baru sadar, setelah sampai di tempat Sih Hek Tiauw si Rajawali Hitam. Ia ternyata sudah mati. Seseorang mendahului kami, dan sudah membunuhnya”

Lanjutnya,

“Berarti ada orang yang mengetahui bahwa kami hendak pergi menemui Sih Hek Tiauw. Saat itu satu-satunya orang yang tahu selain kami, adalah Cukat Tong sendiri. Sehingga aku mencatat namanya dalam pikiranku sebagai salah satu tersangka”

Jelas Cio San lagi,

“Tapi kemudian aku sadar bahwa burung yang ada di kamar Hong Sam Hwesio, memiliki peran yang amat sangat penting. Burung itu bertindak sebagai pengirim surat! Hong Sam Hwesio mengirim kabar ke seseorang memberitahukan bahwa kedok Sih Hek Tiauw telah ketahuan”

Tanya Cukat Tong,”Kau mengambil kesimpulan seperti itu karena yakin bahwa Hong Sam Hwesio hanya mengarang cerita penyerangannya?”

“Benar. Selama ini aku tidak pernah melihat ada orang yang bisa bergerak secepat itu. Sehingga aku mengambil kesimpulan, orang seperti itu tak pernah ada! Penyerangan itu tak pernah ada! Hong Sam Hwesio hanya mengarang cerita dengan dua tujuan. Pertama, untuk menjebakku berpikir bahwa ia adalah korban. Dan kedua, untuk memperlambat kami sampai di rumah Sih Hek Tiauw. Dalam perjalanan ia berjalan dengan lemah dan sangat lambat. Sehingga memberi waktu bagi seseorang untuk membunuh Sih Hek Tiauw.”

“Jika tidak ada orang yang menyerang Hong Sam Hwesio, apakah luka-lukanya palsu?” Tanya Kao Ceng Lun.

“Luka-lukanya asli. Ia melukai dirinya sendiri. Begitu juga saat Beng Liong terluka di puncak Thay san. Cara-cara yang sama”

Semua orang diam sejenak dan berpikir.

“Lalu apa hubungannya ini dengan keterlibatan Beng Liong?” Tanya Ang Lin Hua.

“Sederhana. Jika Hong Sam Hwesio terlibat semua ini, untuk apa ia membela Beng Liong dan aku saat dikeroyok dan dikepung?”

Semua orang mengangguk.

“Mereka menghabisi seluruh penghuni kapal, dan membakar kapal itu dengan dua tujuan. Yang satu adalah memusnahkan ketua Mo Kauw dan anak buahnya. Dan kedua adalah untuk ‘menghapus’ nama Beng Liong dari kecurigaan”

“Wah, menghapus kecurigaan? Bukankah pembunuh itu menulis nama Beng Liong di tembok kapal sebagai pelakunya? Itu kan malah membuat ia sebagai tertuduh” tanya Ang Lin Hua.

“Justru di situ pintarnya. Mereka yakin pasti ada orang yang akan menjadi saksi mata. Dalam hal ini, entah bagaimana mereka tahu bahwa ada Cukat Tong di sana yang akan menjadi saksi mata. Jika mereka menulis nama Beng Liong di sana, lalu Cukat Tong sebagai saksi mata mengatakan bahwa pelakunya bukan Beng Liong, tentu saja nama Beng Liong akan bersih karena hanya dianggap sebagai korban fitnah! Apalagi ada pula Hong Sam Hwesio yang kata-katanya adalah emas bagi kalangan Bu Lim. Semua orang akan percaya bahwa bukan Beng Liong pelakunya.”

Tak terasa mereka bergidik membayangkan betapa rapinya rencana itu.

“Dengan adanya pembunuhan-pembunuhan beberapa tokoh terkemuka kalangan Kang Ouw, itu pun menambah ‘pembersihan’ nama Beng Liong dari daftar pelaku.” Jelas Cio San.

“Bagaimana bisa?” tanya Ang Lin Hua.

“Mereka meracuni banyak tokoh-tokoh terkemuka, lalu setelah tokoh-tokoh itu mati, pelakunya menusuk dahi mereka seolah-olah kematian itu disebabkan oleh jurus pedang Suma Sun. Tujuannya berlapis-lapis. Pertama, untuk menyingkirkan orang-orang yang merintangi jalan mereka. Kedua, untuk memfitnah Suma Sun. Ketiga, jika fitnah terhadap Suma Sun berhasil dipatahkan, berarti fitnah atas Beng Liong yang membakar kapal Mo Kauw juga harus dipatahkan. Karena semua orang akan yakin bahwa perbuatan itu hanya fitnah” jelas Cio San.

“Hamba bingung, sebenarnya yang mana dulu kejadiannya? Pembunuhan tokoh-tokoh Bu Lim dulu? Atau pembakaran kapal Mo Kauw dulu?” tanya Ang Lin Hua.

“Mereka telah merencanakan dengan sangat matang. Sebenarnya semua di mulai dengan peracunan di markas Mo Kauw!” jelas Cio San.

“Saat itu ada pengkhianat yang menyusup ke markas utama, lalu meracuni semua orang dengan racun ajaib yang tak berbau dan berasa itu. Kebetulan aku berada di sana dan untuk sementara mampu menolong saudara-saudara. Melihat rencana itu gagal, sang otak besar sudah mempunya rencana cadangan. Ia merencanakan penyerangan di dermaga-dermaga yang kira-kira akan disanggahi kapal Mo Kauw”

Lanjut Cio San,

“Selain membunuh ketua Mo Kauw dan orang-orang terdekatnya, si otak besar juga membunuh tokoh-tokoh terkemuka Kang Ouw. Mayatnya lalu mereka lukai dahinya, agar terlihat seperti korban dari Suma Sun. Setelah itu mayat-mayat itu mereka buang ke sungai. Agar orang-orang menemukannya. Kebetulan kapal Mo Kauw yang menemukan mayat-mayat itu.”

“Di atas kapal aku mempelajari keadaan mayat-mayat itu lalu mengambil kesimpulan. Kesimpulanku adalah ini semua adalah fitnah kepada Suma Sun” jelas Cio San.

“Wah, karena si otak besar mengerti bahwa kau telah membongkar rahasia fitnah itu, maka ia mempersiapkan trik baru lagi, yaitu memfitnah Beng Liong. Jika fitnah itu berhasil dipatahkan, maka nama Beng Liong akan terhapus dari kecurigaan?” tanya Cukat Tong.

Cio San mengangguk membenarkan.

“Gila”

“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.

“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu juga kan dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya.” Jelas Cio San.

“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya” tukas Kao Ceng Lun.

“Lanjutkan, Cio San”

“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat mungkin karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Beng Cu di puncak Thay San”

Ia melanjutkan,

“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Beng Cu, mengapa orang-orang yang tidak berminat dengan posisi Beng Cu itu terbunuh juga? Contohnya mendiang Mo Kauw-kaucu yang lama. Bukankah beliau memang tidak tertarik dengan posisi itu? Lalu kenapa beliau dibunuh juga?”

Cio San diam sejenak, ia tahu saat itu tubuh  Ang Lin Hua bergetar menahan marah dan kesedihan. Ia menyentuh ujung tangan gadis itu dan menatapnya lembut.

Tak ada kata yang perlu diucapkan. Karena memang tak ada kata-kata yang bisa diucapkan di saat saat seperti itu.

Saat kau menyentuh ujung tangan seorang perempuan.

Setelah Ang Lin Hua tenang, barulah Cio San melanjutkan,

“Berarti ada sebuah rencana jahat yang lebih jahat daripada hanya perebutan Bu Lim Beng Cu. Aku baru sadar ketika ternyata pemenang pertarungan itu boleh bertemu dengan kaisar.”

“Ya. Kau bertanya tentang itu ketika kita sedang dalam perjalanan ke Thay San” tukas Cukat tong membenarkan.

“Benar. Saat itu aku mulai membaca sepenuhnya cerita menyeramkan ini. Pemberontakan, perebutan kekaisaran dan penyerangan Goan (mongol). Kemungkinan penyerangan Goan ini sudah kucurigai saat ku dengar kabar bahwa Kay Pang menerima anggota sebesar-besarnya dari mana saja. Ternyata tentara Goan sudah menyusup menjadi anggota Kay Pang dan mulai memenuhi Kotaraja. Setelah memahami semua itu, aku lalu menulis surat kepada Khu-hujin dan meminta Cukat Tong mengirimkannya kepada beliau”

“Apa sebenarnya isi surat itu? Aku sendiri tidak membacanya.” Tanya Cukat Tong.

“Aku menjelaskan semua keadaan yang terjadi. Dan memintanya mempersiapkan segala hal dalam menghadapinya” jawab Cio San.

“Kenapa kepada Khu-hujin?” tanya Ang Lin Hua.

“Karena beliau sebenarnya ‘orang’ kerajaan juga. Anaknya adalah jenderal utama. Sejak awal beliau sudah tertarik dan mengikuti segala kejadian-kejadian ini. Apalagi beliau sebenarnya orang ‘terkuat’ dan paling berpengaruh dalam kalangan Bu Lim”

“Aku dulu malah curiga kepada beliau.” Tukas Ang Lin Hua.

“Orang yang paling mencurigakan malah biasanya bukan pelakunya. Orang yang paling tidak mungkin sebagai pelaku, biasanya malah dia yang melakukannya”

Luk Ping Hoo lalu bertanya, “Sebenarnya, apa posisi Pangcu lama Kay Pang, Ji Hau Leng, dalam semua rencana busuk ini?”

“Kesalahannya, hanya karena ia jatuh cinta” jawab Cio San. Tapi cepat ia menambahkan, “Sesungguhnya ia tidak salah karena jatuh cinta, ia hanya jatuh cinta kepada orang yang salah”

“Bwee Hua Sian?

“Yang mana? Yang tua atau yang muda?” tanya Kao Ceng Lun

Cio San seperti tercekat. Ia tahu Cukat Tong pun sama tercekatnya pula. Tapi Cukat Tong malah berkata, “Teruskan ceritamu”

“Bwee Hua Sian yang muda. Ia memikat Ji Hau Leng, dan memanfaatkan posisi orang gagah itu sebagai ketua Kay Pang. Sejak saat itu, Kay pang membuka diri bagi siapa saja, puluhan ribu anggota bertambah dalam setahun. Terang, mereka itu adalah tentara-tentara Goan (Mongol) yang disusupkan untuk menyerang Kotaraja”

Sambung Cio San,

“Di akhir hidupnya, Ji Hau Leng mengerti bahwa Bwee Hua Sian tidak benar-benar mencintainya. Untuk membunuh wanita itu ia tidak tega. Sedangkan ia sudah terlanjur berbuat hal-hal memalukan harga dirinya di dalam dunia Kang Ouw. Akhirnya ia memilih bunuh diri”

“Menyedihkan sekali” kata Ang Lin Hua

Cukat Tong menatap jauh ke depan. Entah apa yang ada dalam pikiran lelaki ini. Mungkinkah ia berpikir jika nasibnya akan sama dengan Ji Hau Leng?

“Lalu siapa Bwee Hua Sian itu sebenarnya? Ada yang muda ada yang tua? Aku tak mengerti.” Tanya Kao Ceng Lun.

Cio San menoleh kepada Sum Sun. Dewa pedang itu lalu berkata,

“Bwee Hwa Sian yang asli adalah yang tua itu. Umurnya memang sudah hampir 80 tahun. Ia adalah musuh keluargaku. Ia membunuh kedua orang tuaku. Selama ini tujuanku memang hanya mencarinya”

Cukat Tong lalu menambahkan,

“Yang muda adalah anak buahnya. Yang muda ini memang namanya sengaja disamakan menjadi Bwee Hua Sian pula. Tujuannya agar tetap mempertahankan legenda bahwa Bwee Hua Sian adalah perempuan tercantik di dunia yang kecantikannya abadi”

Semua orang mengangguk paham.

“Siapa sebenarnya Bwee Hua Sian yang tua itu? Bagaimana asal-usulnya?” pertanyaan ini dilontarkan Ang Lin Hua kepada Suma Sun.

“Tak ada yang tahu. Tahu-tahu 40 sampai 50 tahun yang lalu ia muncul begitu saja merajai daerah utara. Sampai kemudian sampai ke pusat Tionggoan” jawab Suma Sun.

“Dan Beng Liong adalah cucunya?” tanya Ang Lin Hua lagi.

“Benar” tukas Cio San.

Mereka semua duduk termenung. Memikirkan segala kerumitan benang merah itu. Tapi satu persatu dapat terurai. Walaupun ada beberapa rahasia yang belum terjelaskan, setidaknya segala keruwetan sudah terjawabkan.

“Ada lagi yang masih kuherankan, mengapa Kaucu menculik kami lalu mengirim kami turun gunung Thay San. Bukankah Kaucu bisa saja memerintahkan kami?” tanya Ang Lin Hua.

“Haha, Untuk itu aku harus minta maaf karena melakukan ini kepada kalian berdua. Saat itu aku hanya berjaga-jaga. Aku saat itu belum yakin benar siapa itu Kao Ceng Lun. Musuh ataukah teman. Dengan cara menculik kalian, setidaknya akan membingungkan pergerakan musuh. Dengan begitu aku bisa bergerak lebih leluasa”.

“Ah ternyata, karena San-ko curiga kepadaku? Maafkan. Karena tugas Negara, cayhe tidak bisa berterus terang” kata Kao Ceng Lun sambil menjura. “Saat itu cayhe diperintahkan oleh Khu-goanswe untuk menyelidiki keadaan di Thay San. Selama ini pihak kerajaan pun sudah mulai curiga dengan kejadian-kejadian aneh di dunia Kang Ouw”

Sambungnya, “Eh San-ko, bagaimana cara San-ko bisa selamat saat jatuh di jurang?”

“Sejak sebelum bertarung, aku sudah berencana untuk pura-pura mati. Suratku kepada Khu Hujin juga menjelaskan semua rencanaku. Bahwa pergerakan Beng Liong ini hanya bisa dihentikan saat tertangkap basah. Oleh karena itu aku meminta Khu Hujin menyiapkan segalanya. Termasuk melaporkan semua hal ini kepada Kaisar langsung. Kaisar pun menurut saja, karena beliau sendiri tertarik untuk menyaksikan bagaimana semua ini berjalan”

Sambungnya,

“Nah, setelah Cukat Tong berangkat mengirim surat, aku memikirkan cara pura-pura mati yang paling baik. Yaitu jatuh ke jurang. Sebelumnya aku sudah memeriksa daerah jurang itu. Bagian mana yang lembut, bagian mana yang penuh karang dan lain-lain. Aku pun sudah berniat mengajak lompat ketiga ketua perguruan besar itu.”

“Karena apa?”

“Karena aku sudah meyakini keterlibatan mereka dalam semua ini. Dengan lompat bersama mereka ke jurang, aku menggunakan Ilmu Menghisap Bintang untuk menyerap seluruh tenaga mereka. Tenaga serapan itu aku gunakan untuk melayang dan melenting agar jatuhku tidak berbahaya”

Mendengar ini, semua orang menggeleng-geleng heran.

“bagaiamana jika rencanamu berantakan?” tanya Cukat Tong.

“Aku pasti mati” jawab Cio San sambil tertawa.

“Kau tak tahu betapa kalutnya hatiku mendengar kabar kau terjun ke jurang. Saat aku sampai ke dasarnya, ku lihat kau malah duduk santai menungguku. Hahaha”

“Saat itu aku yakin kau pasti akan mencariku. Begitu kau datang, kita langsung berangkat ke Kotaraja menjalankan rencana”

Orang lain punya rencana, diri sendiri pun punya rencana. Bukankah kita adalah apa yang kita rencanakan?

Malam menjelang. Bintang bersinar cerah. Bulan temaram dalam cahayanya yang penuh kelembutan.

Ada saat pertemuan, ada saat perpisahan.

Manusia bijak memahami ini dalam kebijaksanaannya yang paling dalam.

Pertemuan bukan hal yang sepele. Begitu pula perpisahan.

Saat perpisahan, tak bisa ditolak. Seperti juga saat pertemuan.

Semua terjadi dalam uraian benang takdir. Terpintal menjadi lembaran-lembaran kenangan dan sejarah umat manusia.

“Jadi kau harus pergi?” tanya Cukat Tong.

“Aku pasti akan kembali. Kau bukannya harus pergi pula?” kata Cio San

“Benar” tegas Cukat Tong.

“Bagaimana dengan Suma-tayhiap?” tanya Cio San.

“Urusanku sudah selesai. Aku mungkin akan mencari arak dan meminumnya sampai mampus” jawabannya dingin tapi semua orang tertawa.

Walaupun mereka tertawa, tapi air mata mereka mengalir deras.

Perpisahan.

Apakah di dunia ini yang lebih menyakitkan daripada perpisahan?

Tapi di dalam perpisahan, terdapat secercah harapan.

Bukankah jika berpisah, mungkin masih bisa bertemu kembali?

Mungkin.

“Mungkin” bukanlah sebuah kata yang sia-sia.

“Mungkin” adalah sebuah kata yang penuh pengharapan.

Jika tidak di sini. Jika tidak di dunia ini.

Mungkin kita akan bertemu di sana. Di alam sana.

Selama apapun perjalanan. Sejauh apapun jaraknya. Selama apapun menanti. Sejauh apapun perbedaannya.

Masih ada kata ‘Mungkin”.

Selama masih ada kata itu di dunia ini, selama itu pula manusia masih memiliki pengharapan yang agung dan indah.

“Mungkin”.


SELESAI


(Malang, 7 Maret 2013 jam 1:59 Siang. Kamar Kost Al-Mahmudi)

Related Posts:

BAB 72: SEBUAH PERMINTAAN





Cio San dan kawan-kawan bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya,

“Kau duduk saja di sini” kata Cukat Tong.

“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa?” tukas Suma Sun membenarkan.

Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng”

Sekali bergerak mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.

Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.

“Ah selamat datang para tayhiap” kata seseorang. Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih Goanswe (jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”

“Tentu saja, tayhiap” dengan sigap ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lagi merawat luka-lukanya.

“Kau duduk tenang saja di situ, aku dan Suma-tayhiap akan segera kembali” kata Cukat Tong sambil tersenyum.

Cio San pun tersenyum. Segera bayangan kedua orang sahabatnya itu menghilang.

Sang Jendral hanya bisa berkata, “Jika aku memiliki pasukan berisi orang seperti anda dan teman-teman anda sebanyak 100 orang, aku tentu dapat menaklukkan dunia”

Cio San tersenyum saja.

Mengapa begitu banyak orang ingin menaklukkan dunia? Menaklukkan diri sendiri saja masih belum banyak orang yang mampu.

“Goanswe (jenderal) apakah putra kebanggaan Khu-hujin?” tanya Cio San sopan.

“Benar. Luas juga pandangan anda” jawabnya sambil menjura.

Cio San pun balas menjura.

“Silahkan beristirahat, cayhe harus memimpin pasukan” kata Khu-goanswe

“Terima kasih Goanswe. Selamat berjuang” Cio San

Sang jenderal mengangguk dengan segera kembali ke posisinya. Dari mulutnya keluar perintah-perintah menggelegar.

“Perwira Sing! Tutup daerah kanan! Jangan biarkan musuh merayap naik!”

“Perwira To, perhatikan persediaan panah anak buahmu”

“Pihak kiri lawan terbuka! Segera maju!”

Cio San memperhatikannya dengan kagum. Tidak mudah menjadi jendral.

Sekian lama memperhatikan Cio San mulai paham situasinya. Saat ini pasukan kekaisaran sudah berada di ambang kemenangan. Mungkin dalam satu atau dua jam, pemberontakan ini bisa dipatahkan seluruhnya.

Dari atas tembok itu, ia melihat betapa dahsyatnya Cukat Tong dan Suma Sun bertarung. Ia juga melihat Ang Lin Hua dan Luk-totiang masing-masing memimpin anak buah mereka. Ang Lin Hua memimpin Mo Kauw, dan Luk-totiang memimpin Kay pang.

Memang Cio San sendiri yang memerintahkan mereka. Di tengah malam di puncak gunung Thay san, dengan diam-diam ia harus ‘menculik’ mereka. Memasukkan mereka ke kereta dalam kondisi tertotok dan wajah tertutup serta mengirim mereka ke bawah gunung. Ini semua harus dilakukannya agar menghindari kecurigaan pihak lawan.

Ini pun terpaksa dilakukannya juga agar menyelamatkan jiwa mereka. Jika Ang Lin Hua dan Luk Ping Hoo terus mengikutinya sampai pada puncak pertarungannya itu, maka mereka berdua pun mungkin akan turut musnah di atas sana.

Cio San memang telah memikirkan segalanya. Ia telah mengirimkan Cukat Tong kembali ke kota, serta mengirimkan kedua orang anak buahnya itu kembali pula ke kota, adalah untuk dua tujuan. Menyelamatkan mereka, dan untuk menjalankan rencananya sendiri untuk menjebak Beng Liong dan gerombolannya.

Cio San sendiri memang terpaksa harus melakukan ‘penculikan’ itu terhadap kedua orang anak buahnya sendiri. Mengirimkan mereka secara diam-diam kembali ke kota. Dengan memilih orang yang paling bisa dia percaya dari ribuan anggota Mo Kauw yang hadir di gunung itu sebagai kusirnya.

Ia lalu menulis surat perintah yang ditulisnya dalam sandi khusus yang hanya bisa dimengerti oleh beberapa orang dalam Mo Kauw. Surat itu berisi perintah kepada Ang Lin Hua dan Luk-totiang untuk memimpin anak buah mereka secara diam-diam, dan bergerak ke kota raja.

“Tunggu perintahku selanjutnya” Begitulah kata-kata penutup surat perintah itu.

Ang Lin Hua yang mampu membaca tulisan rahasia itu tentu saja terheran-heran, mengapa ketuanya harus menempuh cara aneh seperti ini. Bukankah ia bisa saja menurunkan perintah dengan gamblang, tanpa harus sandiwara penculikan seperti itu?

“Mungkin begitulah cara Cio-pangcu bekerja” kata Luk Ping Hoo.

Begitulah.

Kedua orang ini lalu masing-masing memilih anak buahnya yang paling terpercaya untuk bergerak ke kota raja. Di sana mereka menghimpun lagi anak buah dari cabang di kota raja. Total terkumpul sekitar 1000 orang terbaik dari Mo-Kauw dan Kay Pang yang siap bergerak kapan saja.

“Anda bisa memanah?” gelegar suara Khu-goanswe membuyarkan lamunan Cio San.

“Tidak bisa” jawabnya sambil tertawa. Segera ia bertanya pula, “Ada apa, goanswe?”

“Musuh memiliki pemanah hebat di menara atas sana” katanya sambil menunjuk sebuah menara yang letaknya lumayan jauh. “Pemanah itu telah menawaskan banyak prajurit dan perwira-perwira penting”

Cio San lalu memejamkan mata. Ia bersemedi memulihkan luka-lukanya. Dengan perawatan para serdadu tadi, luka-lukanya sudah menutup dengan baik. Tinggal memulihkan luka dalam karena terpukul tenaga dalam Beng Liong yang dahsyat.

Untunglah orang-organ dalamnya terlindungi oleh Thay Kek Kun dan khasiat jamur sakti. Dalam beberapa menit bersemedi, tenaganya sudah kembali 4 dari 10 bagian.

Wajahnya terang. Matanya mencorong.

Dengan khi-kangnya ia mengirimkan suara kepada Cukat Tong,

“Burung-burung peliharaanmu apa siap beraksi?”

Terdengar suitan panjang dari dalm arena pertempuran. Tak berapa lama bayangan hitam muncul dari langit. Cukat Tong dalam beberapa kali melenting telah berada di hadapan Cio San.

“Kemana?” tanyanya.

“Menara itu” tunjuk Cio San

Segera mereka berdua terbang ke sana.

“Kau kembalilah ke arena. Kirim pulang kembali burungmu” kata Cio San sambil meloncat dan mendarat dengan ringan di atap menara.

Begitu kakinya baru sampai segera sebuah panah dengan kekuatan yang sangat mengagumkan telah hampir menembus dadanya.

Tapi benda apa atau makhluk apa di muka bumi ini yang mampu lebih cepat daripada Cio San?

Malahan panah itu ditepis balik dan meluncur dua kali lebih cepat daripada datangnya.

Ia menancap tepat di kerongkongan si pemanah.

Cio San menunduk menyesal. Sudah terlalu banyak yang mati hari ini. Sudah banyak nyawa yang diambil tangannya. Tapi gerakannya tadi terjadi secara naluriah. Tahunya malah membunuh orang.

Begitu masuk ke dalam menara itu, disadarinya bahwa tempat ini adalah tempat yang sangat sempurna untuk menyerang.

Ia memutuskan untuk berjaga di sana, jangan sampai menara itu diambil alih lagi oleh musuh.

Sampai agak sorean, pertarungan akhirnya berakhir.

Pemandangan kotaraja jauh lebih menakutkan daripada rumah jagal manapun. Karena jumlah yang dijagal ribuan kali lebih banyak daripada rumah jagal manapun. Yang dijagal pun bukan hewan, melainkan manusia.

Manusia.

Satu-satunya makhluk yang mampu melahirkan keindahan sempurna, dan kengerian sempurna.

Di atas menara ia termenung dan terpana.

Angin sore menghempas tubuhnya.

Walaupun tubuhnya berdiri gagah dan tak goyah.

Siapa yang mampu membaca hatinya?

Hati yang lemah dari seorang anak manusia biasa.

Yang dalam ketidaktahuannya terseret ke dalam pusaran takdir.

Sekuat apapun manusia, sehebat apapun dia

Bukankah tetap tunduk kepada takdir?


Di atas menara itu, Cio San menangis sejadi-jadinya. Segala perasaannya tercurahkan ke dalam setiap tetesan bening air matanya. Kesedihan, kehilangan, kemuakan serta kelemahannya. Ia lega semua ini telah lewat.

Namun di masa mendatang?

Bukankah hidup hanyalah berupa titik-titik berisi kedamaian ditengah pusaran warna kehidupan?

Selama manusia masih memiliki keinginan, bukankah selama itu juga segala kesedihan dan kisah-kisah paling tragis akan terus terjadi di muka bumi ini?

Bukankah segala permasalahan dan kekelaman sejarah manusia terjadi hanya disebabkan sebuah kata sederhana bernama ‘Keinginan’?

Kau mungkin akan bilang “selama masih ada cinta, maka dunia masih memiliki harapan”.

Tapi bukankah cerita kepahitan hidup manusia terjadi disebabkan oleh kata bernama ‘Cinta’ itu?

Berapa ribu atau juta manusia yang mati atau menderita karena cinta?

Selama ribuan tahun yang lalu, bukankah telah terjadi?

Sampai saat ini, bukankah masih terus terjadi?

Sampai ribuan tahun ke depan pun, akan terus terjadi.

Lalu jika kehidupan sekelam ini, apakah umat manusia sudah tidak memiliki harapan lagi?

Masih ada!

Harapan itu ada pada dirimu sendiri.

Jika engkau mampu mengendalikan diri, pikiran, dan perasaanmu, maka umat manusia masih memiliki harapan bagi kehidupan yang lebih baik.

Jika engkau mau sedikit mengalah, mengerti perasaan orang, dan rela mengorbankan dirimu sendiri, maka di situlah harapan kan kembali bersinar.

Sejarah dunia ini bukan ditulis oleh orang-orang hebat dan gagah. Sejarah dunia ini ditulis oleh orang-orang biasa yang namanya tak dikenal orang. Ditulis oleh perbuatan-perbuatan sederhana yang berlandaskan keinginan untuk berkorban.

Memiliki impian besar dan agung? Boleh saja.

Tapi melakukan perbuatan baik yang sederhana itu wajib!

Ia terus berdiri. Sampai gelap datang menyapa terang. Sampai bintang-bintang mulai menghiasi langit. Cukat Tong pun tidak berani menganggunya. Ia mengerti apa yang dirasakan sahabatnya itu. Ia dan Suma Sun akhirnya berjaga-jaga saja di bawah. Kadang membantu para tentara membersihkan mayat.

Sampai hari sudah benar-benar gelap baru Cio San melayang turun.

“Kau baik-baik saja?” Tanya Cukat Tong.

“Kalian berdua yang harus kutanya. Haha. Apakah kalian baik-baik saja?” Tanyanya sambil tersenyum.

Tentu saja mereka hanya saling tersenyum. Sedikit senyum mungkin bisa membuat kita lupa akan penderitaan dan kelamnya hidup.

Mungkin.

“Aku mau melihat keadaan saudara-saudaraku dulu” kata Cio San.

“Perlu ku temani?” Tanya si Raja Maling.

“Tak usahlah”

Segera ia bergerak ke sebuah bangunan besar tempat para korban terluka dikumpulkan. Di sana ia membantu sebisa mungkin, dengan ilmu pengobatannya, banyak sekali orang yang bisa ia tolong.

Lalu ia bertemu Ang Lin Hua.

Perempuan cantik itu tidak kurang suatu apa. Walaupun terluka. Lukanya hanya luka luar biasa.

“Maaf aku tidak segera menemuimu, aku harus membantu saudara-saudara yang terluka dulu”

“Tak apa-apa Kaucu. Apakah kaucu baik-baik saja? Hamba dengar dari Cukat-tayhiap, Kaucu sempat terluka” kata Ang Lin Hua.

“Kau lihat sendiri kan?” ia tersenyum.

Ang Lin Hua pun balas tersenyum.

Senyum ini.

Cio san baru sadar betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat ia tersenyum.

Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.

“Nona, beristirahatlah”

“Baik, Kaucu. Kaucu sendiri mohon segera beristirahat”

“Segera” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.

Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.

Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana, dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.
 Sekali lagi orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.

Cio San keluar ruangan itu.

Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur bau amis mayat, dan bau bakaran, tetap saja terasa segar dibandingkan dengan suasana di dalam tadi.

Dilihatnya dikejauhan Suma Sun dan Cukat Tong sedang berbincang-bincang dengan seorang perwira. Ternyata perwira itu Kao Ceng Lun.

“Ah kau!” kata Cio San.

“Salam tayhiap” kata Kao Ceng Lun sambil menjura.

“Haish!. Buat apa tayhiap-tayhiap segala. Haha. Kau baik-baik saja kah?” Tanya Cio San.

“Baik tayhiap”

“Haha, panggil aku koko saja” kata Cio San sambil menepuk punggung Kao Ceng Lun.

“Boanpwee mana berani?” katanya ragu.

“Eh ingat umurku dan umurmu kan tak beda jauh. Kali ini aku memaksa” tukas Cio San.

“Ah baiklah kalau begitu, San-ko (kakak San)” ujar Kao Ceng Lun masih canggung.

“Ternyata kau memang orang kerajaan ya? Selama ini aku sudah curiga. Tapi tidak berani bicara” jelas Cio San.

“San-ko udah curiga? Wah, bagian mana yang bikin San-ko curiga?” Tanya Ceng Lun.

“Perawakanmu yang gagah sepertinya bukan ditempa oleh latihan silat. Karena ilmu keluargamu lebih mengandalkan pukulan tenaga dalam ketimbang tenaga luar. Jadi aku curiga perawakanmu itu ditempa oleh latihan ketentaraan”

“Hah? Dari hal sederhana itu saja San-ko bisa mengambil kesimpulan demikian?”

“Kadang-kadang permasalahan ruwet dan besar jawabannya malah sungguh sangat sederhana”

“Benar sekali”

Tiba-tiba muncul seseorang yang datang dengan baju perang lengkap, ternyata ia adalah Khu-Goanswe. Semua hadirin bangkit dan menjura, Khu-goanswe hanya tersenyum dan balas menjura,

“Cio-tayhiap, cayhe punya berita penting untuk anda. Mohon ikut sebentar.” Katanya sopan tapi penuh wibawa.

Cio San berdiri. “Sisakan araknya untuk ku” katanya sambil tertawa ewa.

“Jangan harap” Suma Sun yang sejak tadi bersikap dingin malah yang angkat bicara duluan.

“Hahaha” mereka semua tertawa.

“Ada kabar apa sampai-sampai harus Goanswe sendiri yang harus menyampaikannya?” Tanya Cio san begitu mereka masuk ke sebuah ruangan.

“Agar sampai rahasia tidak bocor. Aku tak ingin ada kejadian heboh percobaan pembunuhan kaisar lagi” katanya sungguh sungguh.

“Ada apa, goanswe?”

“Kaisar ingin menemuimu”

Cio San mengangkat alis, “Kapan?”

“Saat ini juga”

“Memangnya ‘Yang Mulia” sudah bangun saat subuh-subuh begini?”

“Di saat perang seperti ini, mana ada kaisar yang bisa tidur enak?”

Memang betul. Di saat damai saja, seorang kaisar bisa saja tidurnya tidak nikmat. Bingung karena banyak pekerjaan, banyak urusan, banyak intrik, dan banyak bahaya. Apalagi di saat perang.

“Sekarang juga hamba pergi ke istana” kata Cio San.

“Tidak perlu” tukas Khu-Goanswe.

Tadinya Cio San akan bertanya “Kenapa tidak perlu?” tapi segera ia sadar, kaisar pasti sudah berada di sana.

Pintu di belakangnya terbuka. Cio San merasa ada api membakar punggungnya. Segera ia berbalik dan ingin bersujud mengucap salam “Semoga kaisar panjang umur”, tapi sang kaisar sendiri sudah keburu melarang,

“Tidak usah. Aku sedang menyamar”

Akhirnya Cio San diam saja.

“Aku, atas nama kekaisaran ini, berhutang besar kepadamu. Karena jasa-jasamu, pemberontakan gila ini bisa diatasi.”

Kaisar diam. Cio San pun diam saja mendengarkan.

Lalu kaisar menyambung, “Pertanyaanku hanya satu, apa yang kau inginkan dari semua jasa-jasa ini?”

Cio San kaget juga. Kaisar ternyata bukan orang yang suka berbasi-basi dengan bahasa memutar. Ucapannya selalu menuju sasaran.

Cio San pun paham, terhadap orang seperti ini, ia pun tidak perlu berbasa basi,

“Hamba hanya meminta satu permintaan. Mohon kaisar membebaskan Bwee Hua muda.”

“Dia siapamu?” Tanya sang Kaisar.

“Dia orang yang paling dicintai sahabat hamba, Cukat Tong”

“Mengapa kau ingin dia bebas?” Tanya Kaisar.

“Karena hamba sudah berjanji kepada seorang sahabat”

Sahabat.

Kau tahu betapa dalam artinya?

Betapa berat pertanggungjawabannya?

Jika kau tahu, kau tidak akan dengan sombong merasa dirimu adalah ‘sahabat’ orang lain.

Hanya orang yang benar-benar bisa memberikan persahabatan yang tulus, barulah ia pantas mendapatkan persahabatan yang tulus pula. Orang-orang semacam ini adalah orang-orang yang paling beruntung di dunia.

Sayangnya, jumlah mereka sungguh amatlah sedikit.

“Itu saja permintaanmu?”

“Itu saja” jawab Cio San sambil menundukkan kepala dengan khidmat.

Lama sekali kaisar menatapnya.

Seperti tak percaya atas apa yang didengarkannya.

Lalu sang Kaisar tertawa.

“Baik”

Kaisar lalu berbalik pergi. Cio San dan Khu-goanswe hanya bisa menunduk memberi hormat.

Lama juga Cio san terdiam.

Lalu didengarnya suara Khu-goanswe, “Aku tak tahu, tayhiap ini orang yang sungguh bodoh atau orang yang sungguh pintar”

Cio San hanya memandangnya dengan pandangan bertanya.

“Tayhiap tidak meminta harta, jabatan, atau apa-apa di hadapan kaisar. Jika bukan orang yang dungu, tak mungkin berlaku demikian” lalu ia melanjutkan, “Tapi justru perbuatan itu cerdik sekali”

“Cerdik bagaimana?”

“Kaisar adalah orang yang pandai menilai orang lain, dan dia menilaimu sangat tinggi”

“Cayhe paham” kata Cio San sambil tersenyum ringan.

“Kau paham?” sekarang giliran Khu-goanswe yang bertanya.

“Jika Yang Mulia sampai merendahkan diri sendiri hanya untuk datang bertemu cayhe. Tentunya bukan sekedar bertanya kabar”

“Lanjutkan” pinta Khu Goanswe.

“Beliau ingin melihat sendiri orang seperti apa cayhe”

“Bagus. Pemikiran yang bagus. Dan kurasa permintaan tayhiap sungguh tepat. Oleh karena itu kubilang jawaban tayhiap sungguh cerdik”

“Cerdik?”

“Apa tayhiap tidak tahu, walaupun tayhiap hanya meminta pembebasan seorang pemberontak, tindakan itu sudah dianggap melanggar hukum?” lanjutnya “Berdasarkan hukum Negara, hukumannya sama dengan dianggap bagian dari pemberontakan”

“Lalu di mana cerdiknya?” Tanya Cio San.

“Karena permintaan tayhiap itu, semakin mengangkat nilai tayhiap di mata Yang Mulia. Aku yakin Yang Mulia menganggap tayhiap sebagai orang yang setia kawan, serta dapat diandalkan”

“Sejak awal, memang hanya satu itulah permintaan cayhe. Entah Yang Mulia akan mengabulkan atau tidak….” Kata Cio San.

“Jika tidak?” Tanya Khu-goanswe

Cio San tahu jawabannya.

Khu-goanswe pun tahu jawabannya.


Perlahan Khu-goanswe menyadari, betapa menakutkannya orang yang berada di hadapannya itu.

Related Posts: