Cio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orang tuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orang tuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.
Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.
Ketika ia selesai membersihkan makam, dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.
Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya kemungkinan belum pernah dilahirkan.
Ternyata ia salah.
“Salam tayhiap dan liehiap” kata Cio San menjura.
“Kau yang bernama Cio San?” tanya sang kakek.
“Benar adanya tayhiap” sebenarnya Cio San ingin bertanya siapa mereka, tapi ia juga paham. Di hadapan orang seperti ini, kau sebaiknya diam dan membiarkan mereka yang bertanya.
“Serang aku!” perintah si kakek.
Perintah yang aneh.
“Eh tapi…”
Ia tidak melanjutkan kata-katanya. Sorot mata sang kakek mencorong menusuk jiwanya. Mau tak mau ia menyerang. Sebuah gerakan Thay Kek Kun yang lamban dan sederhana.
“Tidak perlu bermurah hati. Serang dengan sungguh-sungguh” perintah kakek itu lagi. Sekali lagi sorot mata itu menghujam jiwa Cio San. Seakan-akan tubuhnya tidak lagi menjadi milik pikirannya. Gerakannya berubah menjadi dahsyat. Angin menderu-deru keluar dari telapak tangannya.
Gerakannya cepat. Sangat cepat.
Sang kakek tidak bergerak. Ia menerima ujung telapak Cio San dengan telapak pula. Suara gemuruh menderu-deru terdengar bagai angin putting beliung yang menghempaskan gunung. Tetapi sekitika itu juga suara itu hilang lenyap tak berbekas!
Seperti tak terjadi apa-apa!
Kemana hilangnya tenaga dahsyat tadi?
Tak ada seorang pun yang tahu.
Bahkan Cio San pun tidak tahu.
Sore menjelang makin gelap. Ia berdiri terpaku mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
“Bagus. Cio San adalah Cio San. Mari kita cari tempat istirahat dan dengarkan aku bercerita” kata si kakek.
Mereka lalu beranjak menuju sebuah pavilliun kecil yang berada di dekat sana. Duduk di dalamnya saat sore membawa sebuah kedamaian tersendiri.
“Kau tidak perlu tahu siapa namaku. Tetapi aku dahulu adalah sahabat dari kakekmu, Cio Hong Lim” kata sang kakek memulai cerita.
“Aku tinggal di sebuah pulau terpencil di pantai timur Tionggoan. Tak ada seorang pun yang tahu di mana pulau itu berada. Beberapa bulan yang lalu, aku menemukan seseorang terdampar di pulau kami. Orang itu sudah lumayan tua juga. Tetapi semangat dan rasa tanggung jawab yang diembannya membuat ia mampu bertahan hingga sampai di pulau kami.”
“Aku merawatnya sampai beberapa lama, hingga kemudian aku sadar bahwa aku pernah mengenal orang ini. Namanya Tin Seng. Ia adalah orang kepercayaan kakekmu.”
Cio San sedikit terhenyak.
“Ternyata Tin Seng telah diperintahkan oleh ayahmu sejak belasan tahun yang lalu untuk mencariku. Karena menurut kakekmu, hanya akulah yang dapat menyelesaikan semua permasalahan ini. Kau tahu permasalahan apa itu?” tanya si Kakek.
“Sedikit banyak, boanpwe sudah bisa membacanya, tayhiap”
“Bagus. Jelaskan!”
“Permasalahan ada hubungannya dengan rencana penyerangan orang-orang Goan ke Kotaraja sebulan yang lalu.” Jawab Cio San.
“Benar sekali. Ternyata perencanaan itu dilakukan secara matang dan sungguh rapi sekali. Otak perencanaan itu adalah seorang selir Kaisar Goan (Mongol) yang selamat saat pengusiran dulu. Setelah lari, ia membangun kekuatannya. Ternyata bahkan sebelum mereka berhasil diusir, orang-orang Goan telah memasukkan beberapa orang kepercayaan mereka untuk menjadi mata-mata di perguruan-perguruan besar, seperti Bu Tong pay, Siau Lim pay, dan Go Bi pay. Karena ketiga perguruan besar ini sangat merepotkan bagi mereka”.
“Ketika orang-orang Goan berhasil terusir, para mata-mata ini tetap menetap di perguruan-perguruan besar tadi. Bahkan kemudian menduduki posisi penting di sana. Selir Goan yang selamat itu kemudian menghubungi mereka dan mempersiapkan rencana jahat mereka itu.” Jelas sang kakek, lalu ia bertanya, “Kau tentu tahu siapa saja mereka?”
“Hong Sam Hwesio di Siau Lim Pay, Lau-ciangbun di Bu Tong pay, dan Bu Goat-nikoh di Go Bi pay” jawab Cio san.
“Benar. Mendiang ibumu yang merupakan pendekar terkemuka Go Bi pay kemudian secara tidak sengaja mengetahui rencana jahat itu. Ia lalu mengirimkan surat kepada kakekmu. Lalu kemudian bergegas melarikan diri ke desa ini bersama kau dan ayahmu”
Sampai di sini Cio San sudah paham seluruhnya. Ketika menerima surat dari ibu Cio San, kakek Cio San langsung memerintahkan orang kepercayaannya untuk mencari sang kakek di hadapannya ini. Untunglah utusan itu berhasil pergi sebelum keluarga Cio San dibantai.
“Kau sudah paham seluruhnya, bukan?” tanya sang kakek.
“Sudah, tayhiap”
“Nah, begitulah. Selama belasan tahun Tin Seng mencari keberadaan kami berdua. Segala pelosok Tionggoan pernah disusurinya. Tak kenal lelah ia mencari kami. Suatu hari ia bertemu dengan Tan Hoat. Pendekar Bu Tong pay. Kudengar kau sudah mengangkat ayah sekaligus guru terhadap Tan Hoat ini?”
Cio San mengangguk.
“Tin Seng percaya penuh kepada Tan Hoat. Ia lalu menceritakan semuanya. Tan Hoat memutuskan untuk pulang ke Bu Tong pay untuk menyelamatkanmu, dan membunuh Lau-ciangbun secara diam-diam. Sayang, yang kudengar kemudian, Tan Hoat meninggal secara menggenaskan.”
“Betul, tayhiap” Cio San ingat sekali peristiwa ini.
“Selama belasan tahun ini Tin Seng terus mencari kami, karena itu adalah satu-satunya tanggung jawab yang diembannya selama ini”
“Di mana beliau sekarang, tayhiap?” tanya Cio San.
“Sudah meninggal karena penderitaannya. Kami menguburkannya di pulau kami”
“Aih” tak terasa Cio San menangis pula. Betapa besar jasa Tin-Seng ini.
“Begitu kami tahu cerita ini, segera kami bergegas berangkat ke Tionggoan. Rupanya kami terlambat, dan kau sudah menyelesaikan semua urusan.”
Lama kakek ini terdiam.
“Untuk itu kami mengucapkan terima kasih” ia lalu bersujud. Betapa kagetnya Cio San ia mencoba menghalau,
“Aih tidak berani…tidak berani. Siansing” terlambat. Kedua suami istri sudah bersujud di hadapannya.
Mau tidak mau, Cio San pun balas bersujud.
“Terima kasih telah membersihkan Bu Tong pay. Terima kasih telah menjaga Kerajaan Beng” terlihat air mata menggenang di pelupuk mata sang kakek ini.
“Aih, tidak berani..siansing..tidak berani. Semua itu bukan jasa-jasa boanpwe semata. Jasa begitu banyak orang. Sungguh boanpwe tidak berani menerima kehormatan ini” kata Cio San sungguh sungguh.
Si kakek tersenyum, lalu berkata “Saat ini juga kami harus pulang ke pulau kami. Jika ada jodoh hendaknya kau mampir ke sana. Aku belum mencobai seluruh kepandaianmu” Lalu ia menoleh ke istrinya, “Ayo kita pulang, sayang”
Si nenek tersenyum dan berkata “Sayang, masa kita pulang tanpa memberikan hadiah apa-apa kepada pendekar muda ini?”
“Ah, betul juga. Cio San, kau lihatlah ini”
Si kakek bergerak. Amat indah. Amat lambat dan amat pasti.
Seperti matahari, seperti bulan, seperti alam semesta. Bergerak sesuai waktunya, sesuai kadarnya, sesuai porsinya.
Seumur hidupnya Cio San belum pernah melihat keindahan seperti ini. Seolah-olah keindahan alam semesta terpancar dari gerakan-gerakannya yang sederhana.
Lalu selesai.
Selesai seperti tak ada mula dan tak ada akhir. Begitu saja.
“Kau bisa menangkap maknanya?” tanya si kakek.
“Tidak, siansing” jawab Cio San jujur.
“Bagus!” kata si kakek sambil menepuk pundaknya. “Dalam beberapa tahun ke depan, kau akan mengalami banyak hal. Jika tidak segera menyingkir dari keramaian, kau akan mengalami berbagai macam urusan. Siapkan dirimu. Kami mohon diri. Jika jodoh akan berjumpa kembali. Salam Cio-Hongswe (jenderal Phoenix)”
Kedua orang itu kemudian pergi. Sambil bergantengan tangan dan menikmati keindahan dunia. Bercanda tawa seperti sepasang kekasih bau kencur. Cio San menjura sedalam-dalamnya.
Usia boleh tua, tetapi jiwa pecinta akan selalu muda.
Jiwa pecinta yang sejati akan seperti ini. Berbagi mesra, berbagi kasih, berbagi susah, dan berbagi derita. Cio San tahu, kakek dan nenek itu tak akan mencapai cinta semurni itu jika sebelumnya mereka tidak mengalami ujian, dan cobaan yang dahsyat.
Itulah cinta.
Ia seketika sadar bahwa ia belum bertanya siapa nama mereka. Tapi ia tahu. Jauh di dalam lubuk hatinya ia tahu siapa mereka.
Lalu ia tersenyum.
Teringat kalimat terakhir yang diucapkan kakek itu,
“Jika jodoh akan berjumpa kembali”
----------------- TAMAT---------------
Nantikan petualangan Cio San dan kawan-kawan dalam episode: Rahasia Jubah Merah
0 Response to "EPILOG"
Posting Komentar