Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Butong Pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai ketua dunia persilatan.
Selama ini Bu Lim Beng Cu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Butong Pay.
Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang orang butuh kejelasan apakah memang Cio San berada di balik semua ini.
Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San, kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah pelantikan Bu Lim Beng Cu. Hampir seluruh orang-orang Kang Ouw hadir untuk menyaksikan pelantikan ketua mereka yang baru. Ini bukan pelantikan biasa, karena kaisar sendiri yang melantiknya!
Suasana ibukota menjadi sangat ramai. Di mana-mana tentara disiagakan untuk melakukan pengamanan. Walaupun pelantikan berlangsung di dalam istana, keramaian justru terjadi di luar istana. Ini wajar, karena hanya undangan tertentu yang boleh hadir mengikuti upacara itu di dalam istana.
Hadirin yang diundang pun tidak lebih dari 100 orang. Mereka adalah perwakilan dari perguruan besar seperti Siau Lim Pay, Butong Pay, Gobi pay, Kun Lun pay, dan lain-lain. Tentu saja kerabat Beng Liong juga turut diundang. Ternyata ia datang bersama kekasih dan calon mertuanya.
Kekasih Beng Liong ini cantik sekali. Para hadirin, dan orang-orang istana yang ada di dalam balairung pentahbisan itu semuanya terkagum-kagum dengan kecantikannya. Dengan gaun berwana merah muda, gadis itu terlihat bagaikan bunga mawar yang mekar di pagi hari. Tak ada orang yang tahu namanya. Tak ada pula yang tahu asal-usulnya. Selama ini Beng Liong memang juga tidak pernah menceritakan apa-apa tentang kehidupan pribadinya.
Di sebelah gadis itu, duduk seorang wanita setengah baya yang tak kalah cantik pula. Di usianya yang seperti itu, kecantikannya tidak pudar, malahan terlihat tidak kalah cantik. Semua orang tentu paham bahwa wanita setengah baya ini adalah ibu dari gadis cantik itu. Gayanya sangat anggun. Bahkan anggunnya boleh dibilang tidak kalah dari wanita manapun juga.
Semua hadirin yang berada di balairung pentahbisan itu kira-kira 200 orang. Itu belum lagi ditambah dengan sejumlah prajurit yang mengawal acara itu. Total mungkin ada sekitar 300 orang. Para undangan duduk di lantai. Di sebelah mereka terdapat meja-meja kecil tempat arak dan minuman diletakkan.
“Kaisar datang!!!!!’
Terdengar teriakan pengawal yang menggema.
Semua orang bersujud.
“Panjang umur kaisar. Panjang umur putra langit!”
Ia lalu masuk ke dalam balairung.
Kegagahannya, wibawanya, ketegasannya, semua terpancar dengan mengagumkan. Jika orang ini tidak menjadi kaisar, maka di dunia ini memang tak ada yang pantas menjadi kaisar!
Inilah kaisar Yong Lu. Usianya sudah lebih dari 40 tahun. Usia seperti ini adalah usia matang-matangnya seorang laki-laki. Di usia ini laki-laki gagah akan terlihat jauh lebih gagah. Di usia ini seorang laki-laki berada di puncak kelaki-lakiannya!
Sorot matanya yang mencorong, bagaikan sorot mata naga. Sinarnya seperti mengandung pedang yang menusuk jiwa semua orang. Jika kau dipandang oleh sinar mata seperti ini, suka atau tidak suka, rela atau tidak rela, kau harus bersujud dan bersoja.
Ia duduk di atas singgasananya, lalu berkata,
“Silahkan berdiri”
Semua orang berdiri.
Ucapan itu hanya terdiri dari dua kata. Tapi jikalau punggungmu diletakkan sebuah gunung pun, kau tetap akan berdiri jika mendengar suaranya.
Seorang pejabat istana maju ke depan.
Ia berjalan dengan lututnya.
Di hadapan kaisar memang kau harus berjalan dengan lututmu. Bahkan jika kau tidak punya lutut pun kau harus berjalan dengan lutut.
“Hormat kepada kaisar” kata si pejabat.
Si kaisar hanya berdehem sedikit.
“Hari ini adalah hari pentahbisan ketua dunia persilatan. Ia yang terpilih bernama Beng Liong. Pemuda berusia 22 tahun dari perguruan Butong pay” jelas si pejabat.
Kaisar Yong Lu mengangguk-anggukan kepala.
“Bu Lim Beng Cu harap maju ke depan menerima pentahbisan” kata si pejabat.
Beng Liong pun maju, tentu saja ia berjalan dengan lututnya.
Ia berada dekat sekali dengan kaisar. Mungkin hanya 5 langkah.
Dengan khidmat Beng Liong bersoja memberi hormat.
“Panjang umur kaisar! Panjang umur putra langit” kata Beng Liong.
Kaisar tersenyum. Nampaknya ia suka sekali dengan kegagahan Beng Liong. Pemuda-pemuda seperti inilah yang kelak akan membuat kekaisaran bertambah besar.
Kaisar lalu berdiri.
“Hari ini aku menyerahkan lencana naga emas kekaisaran Beng kepadamu. Sebagai tanda bahwa engkau mewakili aku untuk menyelesaikan segala urusan dunia Kang Ouw. Karena dunia Kang Ouw merupakan bagian rakyat yang berpengaruh pada kekaisaran ini.
Dulu mendiang ayahku, berhasil mengusir penjajah Goan (mongol) dengan bantuan para enghiong dunia Kang Ouw. Oleh karena itu kami sebagai penerusnya, akan terus melanjutkan kebijaksanaan beliau dengan cara turut mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia Kang Ouw. Permasalahan apapun yang terjadi di dunia Kang Ouw menjadi permasalahan kami. Bantuan apapun kiranya yang bisa kami berikan, akan kami berikan”
Kata sang kaisar. Lanjutnya,
“Para pendekar Kang Ouw adalah bagian dari perjalanan panjang sejarah Tionggoan. Mereka adalah pahlawan bangsa yang sejak jaman dahulu kala mengorbankan jiwa dan raga demi bangsa. Pendekar-pendekar besar seperti Kwee Ceng-tayhiap, Oey Yong-liehiap, Yo Ko-tayhiap, dan Thio Bu Kie-tayhiap adalah contoh terbaik dari kependekaran kaum Kang Ouw”
Thio Bu Kie.
Beng Liong ingat nama itu. Itu adalah nama yang sudah hampir terlupakan oleh perguruannya sendiri. Padahal nama itu adalah nama besar yang mengharumkan nama Butongpay ke seluruh dunia. Bahkan nama ini pula lah yang sebenarnya mengusir penjajah Goan.
Kaisar melanjutkan,
“Akhir-akhir ini penjajah Goan mulai berani mengacau di perbatasan. Rakyat kita yang tinggal di daerah sana banyak yang terbunuh. Kami telah mengirimkan pasukan terbaik ke sana. Tetapi tentara Mongol lumayan kuat, dan sampai sekarang peperangan di sana masih belum selesai. Kami berharap para pendekar dapat membantu rakyat mengusir pengacau-pengacau Goan”
Ia diam sejenak.
Lalu berjalan ke depan ke arah Beng Liong, lalu berhenti tepat di depan pendekar muda itu. Siapapun jika berhadapan dengan seorang kaisar sedekat ini, pasti akan merasakan yang dirasakan Beng Liong saat ini. Takjub dan tunduk setunduk-tunduknya.
“Angkat kepalamu, pendekar gagah. Terimalah lencana kebesaran kekaisaran Beng”
Kaisar Yng Lu menjulurkan tangannya menyerahkan lencana naga emas kepada Beng Liong.
Beng Liong mengangkat kepalanya.
Ia pun menjulurkan tangannya.
Tapi bukan untuk menerima lencana naga emas.
Melainkan mengincar leher kaisar Yong Lu.
“Serang!!!!”
Teriakan itu keluar dari mulut Beng Liong.
Lalu keadaan dalam balairung pentahbisan itu serta merta menjadi kacau balau. Para hadirin yang ada di sana bergerak menyerang semua pengawal. Yang tidak tahu apa-apa diam mematung tidak percaya!
Gadis cantik yang mengaku sebagai kekasih Beng Liong tentu saja ikut menggempur.
Wanita setengah baya yang mengaku sebagai ibu gadis itu tentu saja ikut menggempur pula.
Dalam sekejap mata banjir darah pun di mulai.
Tangan Beng Liong pun telah hampir sampai ke leher kaisar Yong Lu. Tapi ia sendiri heran mengapa belum sampai juga. Gerakannya sekejap mata, secepat kilat. Di dunia ini tak ada seorang pun yang bisa menghindar dari sergapannya.
Tapi kaisar Yong Lu bisa.
Kaisar itu mundur dengan anggunnya.
“Lama tak jumpa, Liong-ko”
Tentu saja Beng Liong kenal suara siapa ini. Tapi pemilik suara ini seharusnya sudah mati 30 hari yang lalu. Mampus karena terjun bebas ke dalam jurang.
Tubuh Beng Liong bergetar. Marah, bercampur kaget, bercampur kecewa, bercampur dendam dan kebencian.
Ia terdiam begitu lama. Sepertinya ada berjuta-juta kalimat yang ingin ia ucapkan, namun dibatalkannya.
Keadaan di dalam balairung sangat kacau balau. Berbanding terbalik dengan keadaan mereka berdua yang hanya bisa saling berdiri berhadap-hadapan.
Suara di luar balairung pun terdengar ramai dan kacau.
“Pemberontakan!”
“Pemberontakan!”
Tanpa menengok pun orang sudah paham. Di kotaraja sedang terjadi perang besar. Perang yang direncanakan dengan sangat cerdas. Sangat hati-hati. Sangat licik.
Kaisar Yong Lu menyentuh wajahnya. Dalam satu tarikan, hilanglah topeng tipis yang menutupi wajahnya. Yang terlihat adalah wajah tampan seorang anak muda.
“Jadi kau belum mati?” tanya Beng Liong.
Orang yang ditanya hanya tersenyum. Tentunya pertanyaan seperti itu tidak perlu dijawab. Ia malah balik bertanya,
“Mengapa?”
Peertanyaan ini hanya satu kata. Tapi telah mewakili jutaan pertanyaan yang perlu ditanyakan.
Yang ditanya pun tidak perlu menjawab.
Ia hanya diam memandang sekeliling. Kekacauan ini bahkan lebih kacau daripada yang terjadi di puncak Thay San.
Di ruangan ini, orang-orang yang dulu berada di puncak Thay San pun kini berada di sana. Suma Sun, Cukat Tong, dan Kao Ceng Lun. Tentu saja Beng Liong tadi tidak mengenal mereka karena mereka menyamar menjadi prajurit pengawal.
Ia terdiam lama.
“Apa yang sudah terjadi, sudah terjadi. Mengapa tidak kita lanjutkan?” tanya Beng Liong.
“Apa Liong-ko tidak ingin menunggu dulu sampai seluruh kekacauan ini reda dulu?” tanya orang yang ditanya.
Setelah berpikir sejenak, Beng Liong menjawab, “Baiklah”
Ia berdiri dengan gagahnya.
Udara di penuhi darah.
Bahkan darah-darah ini pun menciprati baju dan wajahnya.
Tetapi ia tetap berdiri dengan gagah. Seolah-olah apa yang terjadi di hadapannya seperti tidak pernah terjadi.
Pendangannya tertumbuk kepada gadis cantik.
Gadis cantik ini kekasihnya.
Jika topengnya telah terbuka, manusia di muka bumi mengenal gadis ini dengan nama Bwee Hua. Sayangnya manusia di muka bumi ini salah semua. Perempuan yang bernama Bwee Hua adalah wanita tua yang mengaku sebagai ibu gadis ini.
Entah siapa nama gadis ini. Mari kita menyebutnya dengan nama Siau Bwee Hua (Bwee Hua kecil). Gadis ini sedang berhadapan dengan seorang laki-laki.
Laki-laki ini bernama Cukat Tong.
“Sebaiknya kau menyerah Hua-moy (adik Hua). Gerakan kalian sudah ketahuan” kata Cukat Tong.
Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.
Pedang itu terhunus ke depan.
Tapi gadis itu tidak bergerak.
Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.
“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.
“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu” jawab laki-laki itu.
“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan”
Lalu perempuan tua itu bergerak.
Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.
Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai “Dewa pedang berambut merah” Ang Hoat Kiam Sian.
Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.
Ia hanya membutuhkan satu gerakan.
Satu gerakan sudah cukup.
Jika kau adalah ‘dewa pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.
Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.
Tidak ada suara. Tidak ada darah.
Yang ada hanya kematian.
Bwee Hua muda melihat kematian ‘ibunya’ dengan rasa tidak percaya. Tidak mungkin seorang yang ilmunya setinggi itu mati hanya dengan satu gerakan.
Pedang yang tadi sudah ia hunus, kini jatuh bergelontangan di lantai. Ia tahu, tak ada kesempatan dan tak ada jalan lagi.
Ia pun jatuh duduk bersimpuh. Ia menangis
Entah sedih. Entah marah. Entah menyesal.
Penyesalan memang selalu ditakdirkan untuk datang terlambat.
Wajah Suma Sun tenang. Ia telah kembali menjadi Suma Sun yang dulu. Ia telah kembali menjadi dewa pedang.
Jika kau ingin mengalahkan perempuan paling cantik di dunia, jalan satu-satunya adalah dengan menjadi ‘dewa’.
Dendam belasan tahun telah terbalas di balairung istana Kaisar.
Bapak ibunya memang dulu terbunuh oleh Bwee Hua tua. Kini segala yang menjadi beban hidupnya terangkat sudah.
Tapi bagaimana mungkin ia melatih tangan kirinya menjadi jauh lebih hebat ketimbang tangan kanannya?
Jawaban yang sederhana. Karena Suma Sun kidal.
Bapak ibunya pun kidal.
Ilmu pedang keluarganya pun sebenarnya kidal.
Tapi ia tidak pernah menggunakan tangan kirinya untuk bertarung.
Karena ia memang sengaja menyimpan tangan kirinya itu untuk Bwee Hua tua itu.
Bwee Hua tua dulu pernah mengalahkan ilmu pedang keluarga Suma. Oleh karena itu jika ingin mengalahkan Bwee Hua juga harus tetap menggunakan ilmu pedang keluarga Suma. Agar kekalahan itu terbayar lunas. Dan dendam terbalaskan.
Beng Liong pun hanya memandang kematian perempuan tua itu dengan wajah sedih. Ia tahu ia tak dapat berbuat apa-apa. Jika ia bergerak, maka orang yang ada di depannya pun akan ikut bergerak. Ia hanya bisa menangis. Air matanya menetes deras.
“Liong-ko, Bwee Hua apakah...nenekmu?” tanya lelaki di depannya itu.
Beng Liong mengangguk perlahan.
Lelaki di depannya pun ikut meneteskan air mata.
“Kenapa kau ikut menangis, Cio San?”
Kematian memang selalu mengharukan.
Kematian siapa saja.
Ruang balairung perlahan sepi.
Yang tersisa memang cuma kematian. Hanya beberapa orang yang masih hidup. Ada pula beberapa yang sudah menyerah.
Suara pertempuran di luar istana masih terdengar ramai dan mendebarkan.
Tapi anehnya suasana di balairung itu sunyi sekali.
“Kita mulai?” tanya Beng Liong.
“Sudahkah kau berpikir kembali, Liong-ko?”
Beng Liong hanya tersenyum.
Ia selalu suka dengan Cio San.
Tapi ia berkata,
“Jika di dunia ini ada aku, mengapa pula harus ada kau?”
Pertanyaan yang tak seorang pun bisa menjawabnya.
Beng Liong mengembangkan langkahnya. Gerakannya halus dan tenang. Dari tubuhnya tercium aroma wangi yang halus. Bahkan saat tubuhnya bernoda darah sekalipun, pemuda tampan ini masih menyebarkan aroma wangi.
Lalu ia menyerang.
Sebuah serangan yang sungguh amat menakutkan. Seolah-olah seluruh ilmu paling sakti di seluruh dunia digambungkan menjadi satu di gerakan itu. Thay Kek Kun, 18 Tapak Naga, Ilmu Menghisap Matahari, dan lain-lain. Melebur menjadi satu.
Satu pukulan. Satu gerakan. Tapi seolah-seolah seluruh ilmu silat yang ada di muka bumi berada di satu gerakan ini.
Cio San pun bergerak dengan tenang.
Kecepatannya pun tak kalah mengagumkan.
Dalam satu gebrakan kedua orang ini telah sama mengelurkan 100 pukulan, 50 tendangan, dan 150 tangkisan. Membayangkan pun tak ada yang sanggup. Apalagi untuk percaya.
Tapi pergerakan kedua orang ini memang sudah tidak masuk akal lagi.
Beng Liong memukul.
Terdengar suara bagaikan geraman naga keluar dari telapak tangannya. Tembok balairung pun pecah berantakan. Mayat-mayat dilantai pun berhamburan bagai kapas ditiup angin taufan.
Cio San menghadapi pukulan ini dengan gerakan santai. Langkahnya tegap dan gemulai. Seperti orang menari. Namun kakinya itu bagai menancap di bumi.
Angin pukulannya saja bisa menghancurkan tembok, apalagi pukulannya.
Tapi Cio San menghadapi telapak itu dengan tenang. Tangan kanannya bergetar menciptakan suara derik yang menyakitkan telinga. Dengan tangan itu ia menyambut telapak Beng Liong.
Suara menggelegar terdengar membuat jantung manusia seperti hampir meledak.
Gemuruhnya jauh lebih menakutkan daripada suara guntur yang paling menakutkan sekalipun.
Cahaya berkilatan memenuhi ruangan balairung yang sudah sangat berantakan itu.
Pertarungan kedua orang ini sudah seperti pertarungan naga dan burung hong (phoenix).
Beng Liong adalah naga. Kegagahannya, kecerdasannya, ketampananannya, kesohorannya, memang menyamai seekor naga. Bahkan namanya sendiri berarti ‘Naga Bercahaya’. Ia memang mempunyai seluruh persyaratan untuk menjadi kaisar.
Ia sendiri pun sebenarnya adalah keturunan kasiar Goan.
Beng Liong benar-benar adalah naga.
Di pihak lain, Cio San memang cocok pula dipadankan dengan burung Hong. Burung ini walau tidak terlihat segarang naga, namun anggun dan penuh wibawa pula. Burung ini jika mati menjadi debu. Dari debu inilah ia bangkit kembali. Oleh karena itu burung Hong dikenal sebagai makhluk abadi yang selalu datang dan bangkit dari kematian.
Bukankah Cio San seperti burung Hong?
Berulang kali ia datang dari kematian.
Lahir pun ia hampir mati. Ketika kecil pun hampir mati dibunuh orang. Ketika remaja ia jatuh ke dalam jurang. Saat dewasa pun ia jatuh ke dalam jurang.
Tapi ia selalu muncul kembali.
Kalau tidak dijuluki burung Hong, maka tak ada lagi julukan dan sebutan yang pantas untuknya.
Kini burung Hong dan naga sedang bertarung dalam pertarungan hidup dan mati. Pertarungan keduanya ini bagaikan pertarungan yang berlangsung di langit yang mengakibatkan suara guntur dan cahaya petir seperti menghiasi balairung istana itu.
Entah sudah jurus keberapa.
Beberapa pasang mata yang kebetulan ditakdirkan untuk menyaksikan pertempuran ini hanya bisa melongo dengan rasa heran dan kagum yang mencapai puncaknya.
Telapak tangan Beng Liong menyambar-nyambar. Setiap apapun yang terkena angin pukulannya menjadi hancur berkeping-keping.
Cio San pun mengelak dengan lincah sambil sekali-sekali membalas pula dengan serangan yang tak kalah dahsyat.
Jika diperhatikan, ilmu dan jurus kedua orang ini sama persis. Yang membedakannya hanyalah cara memainkannya.
Beng Liong mantap dan pasti. Kuat dan bertenaga.
Cio San lincah dan cepat. Ringan dan leluasa.
Semua hadirin di sana sudah pasti mengerti ilmu silat. Mereka hanya bisa menghindar dari imbas dan ‘ampas’ pertarungan dahsyat ini.
Mereka sungguh tidak mengerti, ilmu kedua orang ini sama persis!
Mengapa bisa begitu?
Tentu saja hanya kedua orang itu yang bisa menjawabnya.
Cukat Tong pun hanya bisa menebak saja.
Jika Beng Liong adalah si otak besar, maka sudah pasti kitab sakti inti ilmu silat tulisan Tat Mo berada di tangannya. Tentu saja seluruh ilmu silat yang dikenal umat manusia, bersumber dari kitab ini.
Ilmu 18 Tapak Naga, Thay Kek Kun, Cakar Macan, Ilmu Menghisap Matahari, dan ilmu-ilmu lainnya semuanya bersumber dari kitab ini. Jika menguasai kitab ini, tentu saja dengan sendirinya menguasai ilmu-ilmu dahsyat itu.
Di pihak lain, bagaimana Cio San bisa pula menguasai ilmu-ilmu itu?
Menurut tebakan Cukat Tong, hal ini karena Cio San telah memahami inti pemahaman ilmu silat. Dengan pemahaman ini, jurus tak lagi dibutuhkan. Tubuh akan bergerak sesuai irama pertempuran. Di saat memukul akan memukul, di saat menangkis akan menangkis, di saat menghindar pun harus menghindar. Semua akan mengalir dengan murni dan apa adanya. Tak lagi mengenal aturan dan tak lagi mengenal batasan-batasan.
Justru dengan pemahaman inilah maka bhiksu Tat Mo dulu berhasil menciptakannya dalam sebuah buku.
Cio San memiliki pemahamannya. Beng Liong memiliki buku hasil pemahamannya.
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.
Sebaliknya di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.
Dari tangan kanan Beng Liong ia mengeluarkan jurus-jurus terakhir dari 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu.
Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Gobipay yang gemulai namun tak tertangkap mata.
Seolah-olah segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.
Seolah-olah sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.
Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.
Cio san pun menandingi pula dengan ilmu yang terlihat begitu mirip dan begitu sama.
Tapi siapapun yang ada di sana bisa melihat, ilmu Beng Liong berada setingkat di atas Cio San.
Hal ini membuktikan bahwa jika seseorang belajar dengan menggunakan penuntun, seperti guru atau kitab sakti, maka pelajaran yang dapatkan menjadi sangat efektif. Karena dalam pengalaman guru, segala sesuatu yang tidak perlu telah terhapuskan. Begitu juga dalam kitab sakti, segala sesuatu yang tidak perlu memang tidak perlu dituliskan.
Orang yang belajar dari pemahamannya sendiri, membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bisa benar-benar menguasainya. Karena ada proses pembelajaran, proses menghapus yang tidak perlu, proses menambah pengalaman.
Oleh karena itu Beng Liong lebih unggul daripada Cio San.
Pukulannya pun masuk telak ke dada Cio San.
Entah ini pukulan jurus apa. Tak ada seorang pun yang tahu dan ambil perduli. Mereka hanya tahu, satu pukulan dan satu gerakan saja akan berakibat fatal dalam pertarungan ini.
Cio San pun menerima pukulan itu dengan mengerahkan segala tenaganya.
Ia terlempar dan terjengkang bertombak-tombak.
Darah segar keluar dari mulutnya.
Lantai pualam itu hancur berkeping-keping kejatuhan tubuh Cio San. Beng Liong tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera ia memburu ke depan dan melontarkan pukulan-pukulan dahsyatnya.
Tak ada kesempatan bagi Cio San untuk menangkis atau berkelit.
Gerakan Beng Liong amat sangat cepat.
Serangan tadi yang menjatuhkannya kini telah membuat ia kehilangan banyak tenaga. Kecepatannya berkurang. Dan pandangannya pun mulai mengabur.
Jurus ke 18 dari ilmu 18 Tapak naga dikeluarkan Beng Liong. Jurus ini menghantam rusuk Cio San tanpa ampun!
Bisa dibayangkan bagaimana mengerikannya pukulan ini. Hawanya saja bisa menghancurkan bebatuan, apalagi jika inti pukulannya terkena tubuh manusia. Bisa dipastikan saat itu juga langsung menghadap dewa kematian.
Tapi Cio San menerimanya dengan gagah.
Pukulan mengerikan itu membuat tulang rusuknya patah. Jika bukan Cio San tentu tulang-tulangnya akan menjadi debu. Tapi Cio San adalah Cio San.
Gemblengan, latihan, dan perlindungan tenaga dari jamur sakti membuat tubuhnya memiliki kemampuan jauh diatas pendekar-pendekar hebat lainnya.
Beng Liong sendiri hampir tidak percaya melihat kemampuan Cio San menahan serangan itu.
Begitu tubuh Cio San terlempar, segera Beng Liong menyusulkan sebuah tendangan dahsyat ke arah pahanya. Tendangan ini sekilas mirip dengan tendangan khas dari daerah utara. Tendangan Naga Mengibaskan Ekor.
Tendangan ini bagai pusaran badai yang menghujam paha Cio San.
Kraaaakkkkk.
Suara ini begitu keras terdengar. Bagaikan suara pohon yang tumbang.
Dan Cio San pun tumbang menghantam salah satu pilar penyangga balairung.
Pilar itu pun roboh bersama Cio San. Bersama sebagian atap balairung pula.
Pertaruangan kedua orang ini begitu dahsyat sampai-sampai ruang balairung istana ini mereka rubah menjadi lapangan!
Tembok-tembok hancur berantakan.
Atap ambruk.
Di luar terlihat peperangan yang amat dahsyat.
Entah siapa melawan siapa.
Mayat bergelimpangan.
Bukankah inti perang hanya ini?
Mayat yang bergelimpangan.
Seolah-olah nyawa manusia tiada artinya.
Dengan sisa pandangannya yang sudah mengabur, Cio San dapat melihat apa yang terjadi di luar sana. Tapi tubuhnya telah susah bergerak. Kedua kakinya telah patah di hajar tendangan Beng Liong. Rusuknya pun patah sehingga pergerakan badannya pun menjadi kaku.
Ia tak dapat berdiri lagi. Walaupun ia dapat menggunakan kedua tangannya, tetap saja percuma. Ia sudah tak mampu mengumpulkan tenaga untuk membentuk kuda-kuda. Padahal kuda-kuda adalah yang terpenting dari ilmu silat.
Ia hanya bisa pasrah.
Menutup mata sambil menanti kematian.
Serangan Beng Liong datang bagai air bah yang menghujam dirinya.
Dalam kegelapan matanya, Cio San bisa mendengar gerakan Beng Liong. Entah kenapa ia merasa gerakan itu lambat sekali. Apakah orang yang mendekati kematian akan merasakan seperti itu? Segala sesuatu berjalan dengan sangat lambat.
Gerakan ini bagaikan gerakan air bah.
Ingatan Cio San kembali melayang ke saat dia terjebak ke dalam goa dulu. Keadaannya persis seperti ini. Di dalam kegelapan. Tak berdaya. Dan bahkan tak bertenaga.
Kenangan di dalam goa itu membawa sebuah perasaan di hatinya.
Perasaan semangat yang membara.
Bukankah ia sudah berkali-kali hampir mati?
Tapi berkali-kali pula ia lolos dari kematian.
Saat ini pun juga begitu.
Jika belum mati, tentu masih ada kemungkinan lolos dari kematian.
Apa yang kumiliki sekarang?
Kaki sudah tidak bisa digunakan.
Mata telah gelap.
Badan pun sudah tidak lencah.
Aku masih ada dua buah tangan.
Walaupun tenaga sudah tidak ada.
Walaupun kecapatan sudah menghilang.
Bukankah aku masih punya kehidupan?
Selama seseorang masih bisa hidup, mengapa harus takut pada kematian?
Selama seseorang belum mati, bukankah dia masih bisa hidup?
Oleh karena itu, entah bagaimana tubuh Cio san yang tergeletak tak berdaya di lantai itu tahu-tahu bisa melayang bangkit menyongsong pukulan Beng Liong.
Seperti dulu.
Menyambut air bah di gua gelap gulita.
Mengandalkan apa yang tersisa dari semangat hidup.
Manusia boleh kehilangan apapun, namun selama ia belum kehilangan nyawa, maka ia masih bisa mendapatkan apa yang dulu pernah hilang.
Cio San mendapatkan kembali semangatnya.
Sisa tenaganya yang tersisa dipakai untuk menggenjot tubuhnya melayang. Genjotan itu berasal dari punggungnya. Dengan sekali genjot ia telah berada di depan Beng Liong yang kaget setangah mati, bagaimana mungkin musuhnya itu bisa bergerak sedemikian rupa.
Itulah perbedaan peniru dan pencipta.
Peniru hanya meniru apa yang ia pelajari dari guru atau buku.
Pencipta menciptakan sesuatu dari yang tidak ada.
Penentuannya adalah di situasi seperti ini.
Jika dulu kau diajari orang, atau belajar dari kitab sakti, kau mungkin sangat hebat. Tapi bagaimana jika yang kau pelajari itu tidak bisa diterapkan dalam situasi yang tengah kau hadapi?
Jaman berkembang. Manusia berubah. Segala sesuatu tidak lagi seperti sedia kala.
Ilmu silat berkembang demikian luas.
Keadaan pun berbeda dari satu pertarungan ke pertarungan lain. Tidak ada orang yang bisa meramalkan masa depan. Begitu pula tidak ada seorang ahli silatpun yang bisa meramalkan hasil pertarungan maupun jalannya pertarungan.
Selalu ada hal yang berbeda. Segala hal bisa berubah. Mereka yang siap dengan perubahan, yang berani melakukan perubahan, merekalah yang sanggup bertahan.
Jika cara menghadapi situasi yang kau alami tidak terdapat dalam pelajaran yang kau dapatkan dari guru atau kitab sakti, maka apa yang kau lakukan?
Tidak ada.
Itulah beda peniru dengan pencipta.
Penciptakan menciptakan sesuatu dari ketiadaan.
Karena itulah dalam keadaan apapun ia akan sanggup bertahan.
Beng Liong tak pernah menduga orang yang keadaannya separah Cio San bisa tiba-tiba memiliki kekuatan untuk melenting dan menghadang pukulannya.
Kekagetannya ini walau sepersekian detik saja, telah menghantarkannya kepada kekalahan.
Entah bagaimana kedua tangan Cio San telah berhasil melilit tangan Beng Liong. Lilitan itu bahkan menggiring telapak tangan Beng Liong ke arah dadanya sendiri!
Duarrrrrrrrrrrrrr!!!!!
Serangan itu menyerang tuannya sendiri.
Beng Liong terlempar terjengkang ke belakang.
Memuntahkan darah segar.
Ia telah mencurahkan segala tenaganya untuk menghancurkan Cio San. Segala tenaganya itu tadi yang telah menghantam dirinya sendiri.
Ia terjengkang ke belakang tepat di depan singgasana kaisar.
Dengan segala daya upaya ia bangkit. Mencoba menggapai singgasana itu.
Ia mencoba dan mencoba lagi.
Singgasana itu begitu dekat, tapi mengapa terasa begitu jauh untuk digapainya?
Bukankah semua di dalam hidup seperti itu. Terasa begitu dekat, namun amat jauh untuk digapai.
Bukankah cinta pun seperti itu?
Seberapa banyak dari kita yang mengalami hal seperti Beng Liong?
Mungkin tak terhitung.
Beng Liong bangkit.
Dengan sisa-sisa tenaganya ia berdiri. Ia maju menggapai singgasana itu. Tetapi ia terjatuh lagi.
Beberapa pengawal yang masih hidup mencoba mencegahnya. Tapi langkah mereka terhenti oleh Suma Sun dan Cukat Tong.
“Siapa yang menghalangi dia, akan merasakan dinginnya kematian” kata Suma Sun.
Jika Suma Sun berbicara kepadamu, pilihanmu cuma dua. Patuh, atau mati.
Tentu saja pengawal-pengawal itu memilih patuh.
Biar bagaimanapun Beng Liong pernah menjadi sahabat Cio San, Suma Sun, dan Cukat Tong. Pernah menjadi orang yang dekat dengan hati mereka.
Kata orang, sekali sahabat tetap akan menjadi sahabat selamanya.
Oleh karena itu jika walaupun kini mereka bersebrangan, jika kini mereka berada di pihak yang saling berlawanan, mereka tetap menghargai persahabatan.
Beng Liong hanya ingin menyentuh singgasana itu. Hanya ingin merasakan sedikit kegagahan dan wibawanya.
Sebagai sahabat yang baik, kau tentu tak sampai hati melihatnya.
Walaupun Beng Liong telah memperlihatkan wajah aslinya. Telah membuka rahasia kebusukannya. Telah menunjukkan rahasia perbuatannya, ia pernah menjadi sahabat mereka.
Bagi mereka kata ‘sahabat’ ini lebih berat daripada gunung, lebih dalam daripada lautan.
Jika sahabatmu berbuat salah kepadamu, apakah kau akan membencinya atau memaafkannya?
Ketiga orang ini memilih memaafkan. Karena bukankah itulah arti persahabatan sesungguhnya? Menerima segala kekurangan orang lain. Karena jika yang kau cari kebaikan orang saja, tentulah tak ada seorang pun yang akan kau anggap sahabat.
Memaafkan.
Itulah inti dari semua hubungan yang ada di dunia ini.
Persahabatan, percintaan, kekeluargaan.
Semua permasalahan dapat diselesaikan dengan kata maaf.
Yah, mungkin masalah itu tidak selesai. Tapi setidaknya dengan maaf yang tulus, membuka jalan untuk menyelesaikan masalah.
Siapapun di dunia ini pantas dimaafkan.
Siapapun di dunia ini tidak ada yang terlalu tinggi untuk tidak memberi maaf.
Dengan tertatih-tatih, Beng Liong merangkak menuju singgasana yang hanya satu atau dua langkah di hadapannya. Tapi rasanya langkah itu bagai ribuan langkah yang sangat jauh. Seolah-olah singgasana itu berada di seberang lautan.
Ketika Cukat Tong hendak membantunya, Suma Sun melarangnya,
“Biarkan ia menyelesaikan impiannya sendiri”
Beng Liong pun terharu mendengar ucapan itu.
Cio San pun sudah berdiri dipapah oleh Cukat Tong.
“Teruskan langkahmu, Liong-ko. Tak ada seorang pun yang akan menghalaumu kali ini” kata Cio San sambil meneteskan air mata.
Beng Liong bergerak. Dengan segala tenaganya yang tersisa, akhirnya tangannya berhasil menggapai singgasana itu. Dengan merangkak perlahan, ia akhirnya bisa duduk di atas singgasana itu.
Seketika ada cahaya terang yang menghiasi wajah pemuda tampan itu. Wajahnya yang tadi sepucat kematian kini sekilas menampilkan cahaya kehidupan.
Ia nampak tenang sekali.
Senyumnya mengembang. Inilah senyum Beng Liong yang terkenal itu. Yang meluluhkan hati siapa saja. Dilihat dari sudut manapun, ia memang pantas menjadi kaisar.
“Terima kasih”
Itulah kata-kata terakhirnya.
Ia pergi dengan mata terpejam dan senyum yang mengembang. Siapapun yang meninggal dalam keadaan seperti ini, tentulah meninggal dalam kebahagiaan.
Orang yang meninggal dalam kebahagiaan, bukankah adalah orang yang bahagia?
Cio San, Cukat Tong, dan Suma Sun meneteskan air mata.
Tak ada yang tahu apakah ini air mata bahagia atau air mata kesedihan.
Tapi, apapun juga itu, air mata adalah air mata.
Ia lahir dari hati.
Di luar perang masih berlangsung.
Tapi sedahsyat apapun perang, masakah bisa lebih dahsyat dengan gemuruh perang di hati manusia?
0 Response to "Bab 71 Naga dan Burung Hong"
Posting Komentar