“Lun-te (adik Lun), kau masuklah ke dalam, temani Cio San,” kata Suma Sun kepada Kao Ceng Lun. Dengan sigap pemuda itu mengangguk dan segera beranjak masuk ke dalam kapal, ketika ia mendengar Gan-siauya berkata, “Kapal ini adalah kapal perang kerajaan.”
“Kapal kerajaan?” Kao Ceng Lun menghentikan langkahnya. “Jika itu benar kapal kerajaan, biarkan aku berbicara pada pemimpin kapalnya,” katanya. Suma Sun mengangguk setuju, katanya, “Jika begitu, aku saja yang masuk ke dalam menjaga Cio San,” segera ia sudah menghilang dari situ.
Gan-siauya menoleh kepada Kao Ceng Lun, “Ide bagus. Sebagai perwira dari Kim Ie Wie (pasukan baju sulam), kau tentu bisa berbicara kepada mereka.”
“Yang cayhe (saya) khawatirkan adalah maksud dan tujuan mereka,” tukas Kao Ceng Lun.
“Aku tidak membawa barang-barang terlarang, atau berbahaya. Kemungkinan besar, satu-satunya hal yang mereka cari, adalah Kitab Bu Bhok,” ujar Gan-siauya.
Kao Ceng Lun mengangguk, “Sudah lama para jenderal dan perwira kerajaan mencari kitab ini. Sebenarnya tidak ada perintah khusus dari kaisar yang sekarang untuk tugas ini. Tetapi jika kitab ini jatuh ke tangan jenderal-jenderal yang merencanakan pemberontakan.....,” Kao Ceng Lun tidak berani meneruskan kata-katanya.
“Pemberontakan?” tanya Gan-siauya.
“Sebenarnya cayhe (saya) tidak boleh menceritakan rahasia ini. Tetapi kepada Beng-cu (ketua), tentu saja hal ini tidak mungkin cayhe tutup-tutupi. Ada pergerakan rahasia di dalam istana. Beberapa jenderal sedang merencanakan pemberontakan terhadap kaisar, dengan cara memanfaatkan keributan dengan suku-suku luar seperti Miao, dan Goan. Sayangnya, kami masih belum mengetahui siapa-siapa saja jenderal-jenderal ini. Tapi pergerakan mereka semakin jelas,” ujar Kao Ceng Lun.
“Jika kitab Bu Bhok jatuh ke tangan mereka, maka pergerakan mereka akan semakin berbahaya. Bagaikan harimau yang tumbuh sayap,” kata Gan-siauya lirih. Matanya memandang jauh ke depan, kapal yang semakin kencang menghampiri mereka, terlihat semakin mendekat. Ukuran kapal ini sangat besar, hampir 9 atau 10 kali kapalnya sendiri. Bisa dibayangkan, pasukan tentara yang berada di kapal itu pasti sangat banyak.
Bendera kerajaan yang berwarna kuning keemasan terlihat berkibar begitu gagah. Di anjungan depan kapal, banyak orang yang berkumpul dan berdiri dengan gagah. Dari pakaian dan gayanya yang berwibawa, Gan-siauya dapat melihat siapa pemimpin kapal itu.
“Laksamana Bu Sien....,” kata Kao Ceng Lun pelan. Ia mengenal laksamana itu.
“Dia orang baik?” tanya Gan-siauya.
“Cayhe tidak berani memastikan.....” jelas Kao Ceng Lun.
Kapal raksasa itu datang membawa gelombang yang cukup kuat sehingga kapal Gan-siauya sedikit terombang-ambing. Kapal kerajaan itu berhenti disamping kapal ketua dunia persilatan yang masih sangat muda itu.
Ia membuka suara, “Perkenalkan, nama cayhe Gan Siauw Liong (Siauw Liong berarti ‘naga kecil’). Cayhe adalah Bu Lim Beng Cu (ketua dunia persilatan) sah saat ini. Apakah cayhe sedang berhadapan dengan yang mulia laksamana Bu Sien yang terhormat? Mohon terima salam hormat kami,” ia menjura, suaranya terdengar lantang dan gagah, namun lembut dan tegas. Baru kali ini pula Kao Ceng Lun mengetahui nama asli Gan-siauya.
Seorang lelaki gagah, tinggi besar dan wajah kemerahan menyahut, “Salam. Benar aku adalah laksamana Bu Sien. Aku memiliki sedikit keperluan dengan saudara,” suaranya keras menggelegar.
“Laksamana yang terhormat memiliki keperluan apa, mohon titahkan,” kata Gan Siau Liong sambil tersenyum ramah. Beberapa dayangnya yang cantik masih berada di belakangnya, tersenyum dengan ramah pula.
“Aku mendengar bahwa kapal ini memuat sebuah benda yang sangat penting bagi kekaisaran, aku berharap saudara mau menyerahkannya kepada kami sebagai perwakilan kekaisaran ,” laksamana ini memang bukan orang yang suka basa-basi.
“Benda apakah gerangan yang dimaksud laksamana yang terhormat?” tanya Gan Siau Liong.
“Kitab Bu Bhok!”
Gan Siau Liong terdiam beberapa saat, tapi ia segera berkata, “Kitab itu memang berada kepada kami, tetapi benda itu kini milik kaum persilatan. Menurut undang-undang yang berlaku, kekaisaran tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan kaum persilatan, kecuali jika yang mulia kaisar sendiri yang menurunkan titah,”
Braaaak! Sang laksamana menggebrak pagar anjungan kapalnya. Ia tahu kata-kata Gan Siau Liong memang ada benarnya. Tiba-tiba dari kerumunan pasukan tempatnya berdiri, majulah seseorang yang berperawakan aneh. Tubuhnya cebol, dan kepalanya jauh lebih besar daripada umumnya. Kepalanya botak dan ditumbuhi rambut tipis-tipis di sana sini. Kumis dan jambangnya lebat. Sepanjang hidupnya, seluruh yang berada di kapal Gan-siauya (tuan muda Gan) ini memang belum pernah bertemu dengan orang seperti ini. Karena pendek, lelaki cebol ini melompat dengan ringan dan berdiri di atas pagar anjungan kapal agar dapat berbicara dengan leluasa kepada kapal kecil dibawahnya.
“Menurut peraturan dunia persilatan, segala mamcam urusan antara kaum bu lim (kaum persilatan) dapat diselesaikan dengan mengadakan Pi Bu (adu tanding silat),” ia berhenti sejenak untuk melihat jawaban Gan Siau Liong. Pemuda ketua dunia persilatan itu mengangguk.
“Aku menantangmu untuk melakukan Pi Bu!” Ia menjura lalu menghentakkan kakinya tiga kali. Dalam budaya persilatan di Tionggoan, gerakan ini berarti secara resmi menantang tanding.
“Baik, apa pertaruhannya?” tanya Gao Ceng Lun balas menjura, yang berarti menerima tantangan.
“Jika aku menang, kami boleh membawa kitab Bu Bhok tanpa diganggu. Jika kau menang, kami akan membebaskan kalian pergi tanpa diganggu.”
Gao Ceng Lun mengangguk. “Tuan telah menentukan pertaruhannya, aku berhak menentukan aturannya,” katanya tegas.
Giliran si cebol yang mengangguk.
“Pertandingan ini hanya berlangsung sekali, antar 2 orang. Siapa yang jatuh ke laut dianggap kalah, siapa yang mati dianggap kalah. Boleh menggunakan senjata apa saja, kecuali racun. Tidak boleh dibantu orang lain, masing-masing petarung bertanggung jawab atas nyawanya sendiri, dan tidak ada kewajiban balas dendam kepada keluarga dan sahabat yang ditinggalkan,” kata Gan Siau Liong dengan lantang, lanjutnya, “Masih ada satu lagi. Arena pertempuran berada di kapal saudara, dan bukan kapal kami.”
“Baik. Aku menerima aturan,” kata si cebol menjura.
“Ijinkan hamba naik ke atas kapal laksamana yang mulia,” pinta Gan Siau Liong yang diikuti dengan anggukan kepala sang laksamana memberi ijin.
Dengan ringan, sang ketua dunia persilatan itu melayang dengan indahnya. Jubah merahnya yang longgar menutupi pakaiannya yang berwarna putih, berkibar-kibar tertiup angin laut. Ia mendarat di lantai kayu kapal itu dengan sangat ringan, bahkan tidak terdengar suara sedikitpun saat kakinya menginjak lantai. Bagaikan bunga kapas yang meliuk dengan indah dan jatuh di atas rerumputan.
Begitu mendarat, hanya satu hal yang menarik perhatiannya. Sesosok perempuan yang sejak tadi berada di balik kerumunan para prajurit. Pakaian perempuan ini ringkas namun bahan-bahannya sangat mewah. Rupanya ia adalah orang Bu Lim (kaum persilatan) pula. Gan Siau Liong memandang sekilas padanya. Senyumnya hanya di ujung bibir, seolah-olah tersenyum kepada dirinya sendiri. Nona cantik itu hanya diam memandangnya. Senyumnya pun tipis sekali. Seperti balas tersenyum kepada dirinya sendiri pula.
Para prajurit dengan sigap membuat barisan berupa lingkaran di anjungan kapal. Gan-siauya (tuan muda Gan) dan si cebol berada tepat di tengah-tengahnya. “Bolehkah aku mengetahui nama tuan yang terhormat?”
“Julukanku Sin Mo Locu (si iblis tua sakti),”
Gan Siau Liong mengangguk hormat. “Kita mulai?”
“Yang lebih mudah, silahkan memulai lebih dahulu,” katanya jumawa. Ia berkata begitu sambil menutup matanya dan kepala mendangak.
Gan Siau Liong, atau yang lebih dikenal dengan nama Gan-siauya (tuan muda Gan) itu melepas jubah merahnya. Bajunya yang putih ringkas, akan membuat gerakannya menjadi lincah dan tanpa hambatan. Ia lalu berseru, “Lihat serangan!”
Tubuh pemuda tampan itu melesat ke depan, si cebol hanya berdiri diam. Di dalam hati ia kagum juga melihat kecepatan pemuda lawannya ini. Begitu tiba di hadapannya, pemuda tampan itu melancarkan sebuah sapuan yang tiba-tiba. Serangan ini sangat unik, karena biasanya sebuah jurus pembuka adalah berupa pukulan atau tendangan. Tapi Gan Siau Liong malah menunduk rendah dan melakukan sebuah sapuan yang amat cepat. Gerakan ini sebenarnya kurang menguntungkan dibandingkan pukulan atau tendangan. Karena untuk melakukan sapuan, ia harus menunduk terlebih dahulu, dan karena ini ia kehilangan sepersekian detik yang berharga.
Karena hal inilah, si cebol tidak menghindar. Ia justru menyerang dengan telapak tangannya, karena ia merasa menang keadaan. Dalam perhitungannya, serangan telapaknya itu pasti sampai lebih dulu. Tapi ia terpaksa dibuat kagum ketika Gan-siauya secara tiba-tiba merubah sapuan itu menjadi tendangan yang dahsyat.
Nama jurus tendangan yang aneh ini adalah ‘Naga Mengibaskan Ekor’. Jurus yang merupakan pengembangan dari 18 Tapak Naga. Tetapi dilakukan dengan tendangan!
Terdengar suara angin yang menderu-deru dari tendangan maha dahsyat itu. Si cebol tidak sempat menghindar, dengan telapak tangannya yang kecil, ia menangkis tendangan maha hebat itu. Semua orang yang berada di situ berseru kaget karena telapak tangan kecil itu bergerak seperti tanpa tenaga menghadapi tendangan sedahsyat itu. Si cebol bisa terhempas tersapu kekuatan mengagumkan dari tendangan itu!
Tetapi semua yang menonton pertandingan ini justru lebih kaget lagi, ketika ternyata justru Gan-siauya yang terpental saat tendangannya beradu dengan tapak mungil itu. Seluruh kapal terasa bergetar ketika kedua serangan itu berada. Gan-siauya terhempas ke belakang hampir menabrak kerumunan para prajurit yang membentuk lingkaran. Dengan berjumpalitan, ia berhasil menguasai keadaan tubuhnya. Ia justru melayang melenting ke atas melewati barisan prajurit, dan mendarat dengan ringan di atas pagar anjungan dengan satu kaki.
Kaki yang satunya terangkat tinggi di udara. Wajahnya menampakkan senyum yang tenang. Meskipun hatinya berdebar-debar oleh semangat yang menggelora, wajahnya tetap menggambarkan ketenangan yang luar biasa.
Ia menguasai ilmu pecahan dari 18 Tapak Naga, yang dikenalnya dengan sebuat 10 Tapak Naga. Ilmu itu dulunya berjumlah 28. Ratusan tahun yang lalu, tetua Kay Pang (perkumpulan pengemis) yang bernama Siau Hong meringkas ilmu itu menjadi 18 jurus. Sedangkan 10 yang tersisa melebur ke dalam yang ke 18 itu. Tak ada seorang pun yang tahu bagaimana rupa asli dari 10 jurus yang dilebur itu. Sampai kemudian,beberapa tahun lalu Gan-siauya menggunakannya dalam perebutan Bu Lim Beng Cu di puncak Thay-San. Kesepuluh jurus ini adalah jurus maha dahsyat yang terbuang percuma, karena tetua Siau Hong saat itu belum benar-benar memecahkan inti rahasia kesepuluh jurus ini.
Tetapi Gan Siau Liong berhasil memecahkannya. Inti dari 18 Tapak Naga adalah pengerahan kekuatan maha dahsyat untuk menyerang musuh. Inti dari 10 tapak yang tersisa adalah bagaimana menggunakan tenaga lawan untuk digabungkan dengan tenaga sendiri untuk menyerang lawan.
Cio San dulu berhasil melakukan hal ini dengan menggabungkan 18 Tapak Naga dan Thay Kek Kun. Itu pun ia hanya menguasai 3 jurus pertama dari jurus 18 Tapak Naga. Tetapi Cio San sebenarnya telah mampu memecahkan rahasia tersembunyi di balik 18 Tapak Naga. Selain tenaganya yang sangat-sangat dahsyat untuk menghancurkan, ilmu ini sebenarnya bisa digabungkan dengan ilmu tenaga ‘lembut’ yang akan menambah kedahsyatannya.
Oleh karena itu Gan Siau Liong sama sekali tidak terluka walaupun ia terhempas lumayan jauh. Justru keadaan si cebol yang sangat berbahaya. Agar mempertahankan dirinya supaya tidak terlempar ke laut, si cebol mengeluarkan tenaga yang lebih dahsyat untuk menahan gerakannya. Hal ini mengakibatkan tenaganya sendiri saling beradu, apalagi ditambah dengan tenaga serangan Gan Siau Liong. Keadaannya sebenarnya memprihatinkan.
Tapi ia tampak tenang-tenang saja, meskipun ia terlihat sangat pucat karena menahan sakit. Sebisa mungkin ia tidak bersuara agar tenaganya tidak terbuang percuma. Dengan mata merah, ia memandang Gan Siau Liong penuh kebencian. Tubuhnya bergetar menahan perihnya luka dalam yang ia hadapi.
Ingin rasanya ia pergi dari situ karena pemenangnya sudah dapat ditentukan. Dalam satu kali gebrakan saja si cebol ini mungkin akan menderita lebih parah. Tetapi peraturan yang disepakati mengatakan bahwa pemenang baru akan ditentukan saat seseorang jatuh ke laut atau mati. Bukan terluka!
Maka dari itu dengan tidak ragu-ragu, pemuda itu membumbung tinggi untuk menyudahi pertarungan itu. Ia melayang dengan indah. Mata semua orang yang berada di sana terbelalak dalam kekaguman. Seolah-olah sedang melihat seorang dewa maha tampan yang melayang turun dari khayangan. Gerakan melayang ke atas ini dilakukan dengan sangat anggun, sepertinya seluruh dunia bergerak dengan sangat lambat mengikuti gerakan pemuda tampan ini. Rambutnya tertiup angin, membuat wajahnya semakin terlihat mengagumkan.
Lalu ia melayang turun. Sebuah hujaman tendangan yang dilakukan amat sangat cepat! Begitu berbeda dari gerakan melayang naiknya yang perlahan, anggun, dan mempesona, tendangan ini justru sebaliknya. Cepat, ganas, dan menakutkan!
Gerakannya menghujam deras! Bagaikan naga yang meluncur turun dengan kecepatan dan tenaga penuh. Terlihat cahaya berkilauan dari tubuh dan matanya. Seperti petir yang menyambar-nyambar! Belum pernah seorang pun melihat cahaya yang berkilauan yang keluar dari mata manusia. Ia seperti dewa naga!
Sangat menakutkan! Sangat mengagumkan!
Angin menderu-deru menimbulkan gelombang yang membuat kapal bergoyang-goyang. Angin yang keluar hanya dari gerakan melayang si pemuda tampan ini!
Si cebol sudah tak dapat bergerak, ia hanya menerima serangan itu dengan pasrah. Tendangan yang datang sudah tak mampu dihindari atau dihentikan.
Lalu si cebol ini bergerak. Gerakannya justru lebih cepat dari gerakan Gan-siauya!
Tetapi ia bergerak ke samping, dan tidak menerima serangan itu dari depan. Tak ada seorang pun yang menyangka dibalik sikapnya yang seperti telah menerima kematian, si cebol ini rupanya menyimpan tenaga yang amat sangat besar!
Rupanya ia berpura-pura terluka.
Ia sama sekali tidak terluka. Tenaga besar yang tadi menghujam tubuhnya, rupanya mampu dikendalikannya dan dimanfaatkannya dengan baik. Ia sepertinya menguasai sebuah ilmu yang mampu menyerap tenaga dan mengalirkannya.
Dulu pula, Cio San berhasil melakukannya dengan menggabungkan ilmu menghisap matahari dan Thay Kek Kun. Tetapi ilmu si cebol itu bukan gabungan kedua ilmu itu. Ilmunya jauh lebih penuh rahasia, jauh lebih menakutkan, karena dilakukan bersamaan dengan tipu daya.
Gerakan ke sampingnya membuka peluang baginya untuk menyerang bagian paha Gan Siau Liong yang terbuka. Dan itulah yang dilakukannya! Telapak tangannya menghujam ke paha Gan Siau Liong tanpa ampun. Pemuda itu terlontar ke samping!
Tapi ia tidak kehilangan akal. Dengan kaki satunya, ia mengait ketiak si cebol, dan dengan menggunakan tenaga dorongan hasil dari serangan si cebol sendiri, ia melontarkan si cebol jauh ke atas!
Tubuh Gan Siau Liong sendiri menghujam ke barisan prajurit lalu lanjut menghantam pagar anjungan. Terdengar raungan beberapa prajurit yang tulangnya hancur dan patah-patah karena tertabrak tubuh Gan Siau Liong.
Tulang pahanya patah, dan ia terluka dalam. Dengan tenaga yang tersisa, ia berpegangan di ujung haluan kapal. Si cebol sendiri melayang ke atas, dan tanpa ampun terhempas ke laut!
Menurut peraturan yang disepakati, Gan Siau Liong lah pemenangnya.
Sejak awal, Gan Siau Liong sudah curiga bahwa si cebol memiliki ilmu yang aneh. Karena itu ia sengaja menggunakan ilmu-ilmu terdahsyatnya agar si cebol terpancing juga mengeluarkan ilmunya yang sebenarnya. Ketika pertama kali ia terhempas saat tendangannya tertangkis si cebol, ia sudah curiga bahwa si cebol ini memiliki sejenis ilmu untuk mengalihkan tenaga.
Di serangannya yang kedua, ia tahu bahwa ia tidak boleh beradu tenaga dengan si cebol ini. Sebab itu, ia memancing dengan menggunakan tendangannya yang paling sakti. Ia menyangka si cebol akan menerima tendangannya dengan telapak pula, sehingga dengan begitu si cebol akan mampu menyerap tenaganya. Jika itu yang dilakukan si cebol, Gan Siau Liong sudah menyiapkan sebuah ilmu lain untuk menghadapi tipu daya itu. Tetapi si cebol justru bergerak di luar dugaan. Ia malah memilih bergerak ke samping dan menyerang paha Gan Siau Liong.
Hal ini dilakukan si cebol karena ia sendiri tidak yakin dengan kemampuannya menyerap tenaga maha dahsyat itu. Bisa jadi Gan Siau Liong mempersiapkan serangan yang lain. Kekhawatiran si cebol itu terbukti, karena memang Gan Siau Liong sudah menyiapkan sebuah serangan yang lain. Pengalamannya dalam bertanding ribuan kali memberikannya naluri untuk membaca serangan tipuan. Oleh karena itu ia bergerak ke samping untuk menyerang daerah kosong.
Satu-satunya kesalahan si cebol adalah bahwa ia tidak menyangka Gan Siau Liong akan bergerak cepat mengikuti perubahan, dan melahirkan ide untuk mengait dirinya dan melemparkannya ke laut!
Adu tenaga ia tidak kalah. Tetapi adu pintar, ia kalah setengah langkah.
Ia sama sekali tidak terluka. Justru Gan Siau Liong lah yang terluka sangat parah. Tulang pahanya remuk. Tetapi sesuai peraturan, Gan Siau Liong lah pemenangnya.
“Prajurit, bunuh Gan Siau Liong, dan serang kapal itu!” perintah laksamana Bu Sien.
Tetapi tidak ada seorang pun yang berani bergerak. Karena tahu-tahu di situ sudah muncul sesosok laki-laki yang berpakaian putih, rambutnya kemerahan-merahan. Tangannya buntung.
“Siapa yang berani bergerak, silahkan maju lebih dulu,”
Ia tidak bergerak. Hanya diam mematung. Tetapi hawa kematian memenuhi sekitar kapal dengan sangat pekat. Para prajurit ini sudah sering berperang, dan dekat dengan kematian. Oleh karena itu mereka mengenal hawa kematian dengan baik. Mereka amat sangat mengenal kematian. Dan laki-laki bertangan buntung di hadapan mereka ini adalah ‘kematian’.
Gerakannya amat tenang, padahal ada ratusan prajurit terlatih yang sedang mengepungnya.
“Bodoh! Ayo serang!” bentak sang laksamana.
“Jangan bergerak!” terdengar suara seorang perempuan mencegah para prajurit untung bergerak. Perempuan itu sendiri malah maju ke depan ke hadapan lelaki buntung itu.
“Lian-ji! (anak Lian)” seru sang laksamana. Nona cantik ini ternyata adalah anaknya.
Si nona tidak memperdulikan ayahnya, ia justru bertanya pada si lelaki buntung, “Apakah cayhe (saya) berhadapan dengan Suma-tayhiap yang namanya menggetarkan dunia?”
“Dengan siapa saya sedang berbicara?” tanya lelaki buntung itu tenang dan lirih.
“Nama cayhe (saya) adalah Bu Cin Lian, cayhe adalah murid perguruan Tian Kiam(Pedang Langit),” jelas nona cantik itu. Jika kejadian ini terjadi di masa lampau, lelaki buntung ini pasti akan mengajak nona itu duel pedang. Tetapi lelaki ini telah jauh berubah. Ia bukan lagi seorang laki-laki yang haus kemulian dan menggilai pedang. Ia hanyalah seorang laki-laki. Seorang laki-laki sejati.
“Maafkan ayah cayhe yang tidak mengerti peraturan dunia kang ouw (dunia persilatan), untuk selanjutnya, harap Suma-tayhiap membawa Gan-bengcu (ketua Gan) pergi dengan aman. Kami berjanji untuk tidak mengganggu lagi. Mohon maaf atas kesalahpahaman ini,” nona itu menjura dan tersenyum dengan sopan. Begitu ia mengangkat kepala, laki-laki buntung itu telah menghilang dan membawa Gan-siauya bersamanya. Tak ada seorang pun yang tahu kapan ia bergerak.
Si cebol sudah kembali naik ke kapal dengan basah kuyup. Dengan wajah memerah ia berlalu dari situ tanpa memperdulikan sang laksamana yang marah-marah kepadanya.
Kapal kekaisaran itu pun tak lama sudah menghilang dari sana.
Suma Sun kini berada di bilik Cio San, bersama Kao Ceng Lun. Tabib wanita yang cantik sedang merawat luka Gan Siau Liong. Cio San rupanya tidak tidur, ia membuka matanya lebar-lebar dan menatap langit-langit kapal.
“Dari ceritamu tentang pertandingan tadi, Gan-bengcu (ketua Gan) telah melakukan pengorbanan yang amat sangat besar,” rupanya Cio San mengikuti jalannya pertarungan dengan cara mendengar cerita Suma Sun.
“Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya Suma Sun.
“Untuk sementara, carilah tempat kita bisa menyepi sementara dan memulihkan luka, dengan keadaan sekarang kita tak dapat bertahan lebih lama,” jawab Cio San.
“Ke istana Ular?” tanya Suma Sun lagi.
“Hua-moay (adik Hua, maksudnya Ang Lin Hua, istri Suma Sun) berada di sana?”
Suma Sun mengangguk.
“Sebaiknya jangan, kita justru akan membawa bahaya yang lebih besar,” kata Cio San.
“Aku punya ide yang lebih baik,” sahut Kao Ceng Lun.
“Di mana?” tanya Cio San dan Suma sun hampir bersamaan.
“Di istana kaisar,”
0 Response to "EPISODE 2 BAB 35 KEJADIAN DI ATAS KAPAL KEKAISARAN"
Posting Komentar